Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 32 - End)

Seluruh rombongan dari SMP Ranvas telah tiba di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Dengan teratur, seluruhnya masuk ke dalam bus yang telah tersedia sesuai dengan kelompok masing-masing. Kelompok Oik dan Cakka kebetulan satu bus di bus H.

Shilla berjalan terseok-seok sambil menggeret sebuah koper besar berwarna ungu, sebuah tas jinjing besar berwarna sama, dan sebuah tas selempangan dengan merk terkenal berwarna oranye.

Cakka terlihat tergesa-gesa menyusul Shilla, “Mau dibantu, Shill?”

Shilla menengok ke arahnya dan tersenyum sekilas, “Boleh. Bawain tas jinjing aja, ya”

Cakka mengangguk cepat. Tas jinjing berukuran besar tersebut beralih dari tangan Shilla menuju tangan Cakka. Keduanya saling tersenyum dan berjalan beriringan menuju bus mereka. Oik, Angel, Dea, Acha, Sivia, Ray, Deva, Gabriel, Ozy, dan Alvin berjalan tergesa-gesa dan mendahului kedua sejoli itu.

Dengan sengaja, Acha menyenggol bahu Shilla lumayan keras dan tersenyum simpul setelahnya, “Cha! Lo bisa jalan ati-ati ga, sih?!” maki Shilla.

Acha berbalik badan dan menghadap Shilla, kemudian ia sunggingkan senyum sinisnya, “Kenapa, Shill? Lo bukannya lagi sakit, ya? Kok bisa marah-marah, sih?” tanya Acha telak, dengan penakan pada kata ‘sakit’.

Oik menghela napas tak kentara. Dari samping, Gabriel mengelus bahunya dan tersenyum menenangkan, “Sabar, ya..”

Oik mengangguk pada Gabriel, “Lo di bus ntar bisa kan duduk sama gue aja? Lo tau lah si nona cantik pasti bakalan duduk sama Cakka. Lagi..”

Gabriel tertawa kecil dan mengacak pelan puncak kepala Oik, “Pasti!” jawabnya, mantap.

Oik dan Gabriel menghampiri Acha dan Shilla yang masih saling adu tatap, tentu saja dengan tangan Gabriel yang masih bertengger indah bahu Oik dan Oik yang tersenyum simpul.

Tanpa menunggu lama, Oik menarik mundur tubuh Acha, “Udah, Cha. Ga usah ngabisin tenaga buat hal yang ga perlu. Jadwal liburan kita masih panjang buat dua hari ke depan..”

Acha tersenyum misterius, “Oh iya. Dan gue harap, umur Shilla masih cukup buat nikmatin liburan terakhirnya, ya” kata Acha dengan nada tajam.

Tangan Shilla sudah terayun dan akan menampar pipi Acha ketika tangan Ozy menahannya, “Kalau lo berani macem-macem sama Acha, gue bisa dengan senang hati buka ‘kartu‘ lo. Sekarang!” Ozy mendesis tajam.

Nyali Shilla mendadak ciut. Ia segera melenggang meninggalkan mereka semua. Dan, tentu saja, Cakka datang menghampiri gadis semampai itu bak pahlawan kesiangan. Sahabat-sahabatnya hanya menatap penuh kasihan pada Oik.

“Kenapa, sih, guys? Gue ga apa-apa! Menurut lo gue bakalan nangis bombay untuk yang kesekian kalinya gara-gara cowok macem dia, gitu? Ga akan! Makasih!” ujar Oik.

“Ik, jadi duduk sama gue? Yuk, naik ke bus..” ajak Gabriel, Oik mengangguk saja ketika tangan Gabriel sudah bertaut dengan tangannya.

Gabriel dan Oik melenggang. Diikuti oleh Ozy dan Acha. Selanjutnya, Alvin dan Sivia. Barulah Dea, Angel, Deva, dan Ray menyusul. Kesepuluhnya duduk berdekatan ketika dalam bus. Mungkin karena insiden tadi, Shilla tak berani dekat-dekat dahulu dengan Acha.

“Zy, si Shilla takut sama aku gara-gara insiden tadi, ya?” tanya Acha, tepat ketika keduanya baru saja duduk di dalam bus.

“Iya, kali. Pecun abis itu orang. Coba aja kamu bolehin aku buat ngebuka ‘kartunya’, udah aku lakuin dari kemarin!” timpal Ozy dengan kesal.

Acha mengusap-usap lengan Ozy pelan, “Sabar aja. Allah ga bakalan ngebiarin yang ‘hitam’ menang dari yang ‘putih’, kok. Kapan pun itu..”

Bus pun perlahan-lahan mulai berjalan menuju hotel yang akan rombongan SMP Ranvas tempati selama dua hari kedepan. Perjalan memakan waktu sekitar setengah jam. Inna Bali Hotel. Itulah tulisan yang tertera di plang besar berwarna putih di depan gedung hotel.

Seluruh rombongan pun segera turun dari bus dan berkumpul di halaman hotel untuk mengambil kunci kamar. FYI, hotel ini dibagi menjadi dua wilayah dan dipisahkan dengan sebuah jalan raya. Untuk siswi di bagian timur dan siswa di bagian barat. Sedangkan para guru, berada di antara keduanya.

“Cakka mana, nih? Kunci kamar udah dapet eh malah itu anak kagak tau di mane!” ucap Deva gemas.

Ray melengos malas, “Lo pikir? Ke mana lagi si Cakka kalau ga ngampirin si putri cantik?!”

Deva melongo kaget, “Cakka? Ngapain ngampirin si nenek lampir?! Kurang kerjaannya kebangetan itu anak satu!”

Gabriel tiba-tiba datang, “Kalian duluan aja. Gue mau nganterin Oik dulu..” pamit Gabriel pada Deva dan Ray.

Gabriel tak menunggu jawaban dari keduanya dan langsung berlalu menghampiri Oik. Deva dan Ray berpandangan sesaat. Kemudian, keduanya berpelukan dengan ekspresi yang sulit ditebak antara sungguhan dan hanya main-main.

“Nasib banget, ya, kita jomblo!” seru Ray, sangat dramatis.

Deva seolah-olah menghapus air mata yang berlinangan di kedua pipinya, “Alvin sama Sivia, it’s okay. Gabriel sama Oik, it’s okay juga. Ozy sama Acha, it’s okay banget. Tapi Cakka sama Shilla? Dammit banget!”

“Ya udah, yuk, Dev. Kita ke kamar aja, berduaan..” ujar Ray, melepas pelukannya dengan Deva.

Tepat ketika mereka berdua melepas pelukan, seluruh sorot mata dari para siswa, siswi, dan guru yang belum mendapat kunci kamar tertuju pada mereka. Keduanya meringis lebar dan segera menarik koper masing-masing menuju kamar.

^^^

Gabriel berjalan menghampiri segerombolan sahabat barunya itu. Oik, Sivia, Acha, Angel, Dea, Alvin, dan Ozy. Ke mana Cakka dan Shilla? Ada.. Sekitar dua meter jauhnya dari tempat mereka berdelapan dan entah sedang membicarakan apa.

“Udah dapet kunci kamar?” tanya Gabriel, lebih kepada Oik daripada yang lainnya.

“Udah.. Ini mau balik ke kamar. Lo ga ke kamar?” tanya Oik balik.

Gabriel tersenyum manis pada gadis mungil itu, “Gue anterin kalian dulu aja. Kalau udah baru gue, Alvin, sama Ozy balik ke kamar”

“So sweet banget lo, Gab..” sindir Angel sambil menaik-turunkan alisnya.

“Nganter kita apa cuman nganter Oik?” goda Dea, seluruhnya tertawa mendengar celotehan Dea.

“Nganter kalian, kok.. Ga cuman Oik” jawab Gabriel akhirnya.

“Terus? Baliknya ntar ga sekalian sama Cakka juga?” tanya Sivia, matanya melirik Cakka tajam.

Gabriel mengangkat bahunya. Seolah ia tak perduli dengan ada atau tidak adanya Cakka, “Bodo amat. Ngapain mikirin dia? Dia aja ga mikirin gimana orang lain..” Gabriel menaikkan sedikit volume suaranya.

“Jelas, Gab! Dia, kan, udah ‘buta’ sama cinta! Mana mungkin mikirin gimana orang lain?” timpal Acha, matanya melotot pada Cakka dan Shilla yang terus saja mengawasi mereka.
Oik yang sedari tadi hanya tersenyum kecil pun akhirnya buka suara, “Udah, ah! Ke kamar aja, yuk? Gue laper, nih.. Kebetulan gue bawa camilan banyak. Mau?”

Sivia, Angel, Acha, Dea, Alvin, Gabriel, dan Ozy mengangguk kompak, “Mau!” teriak mereka.

Oik sampai harus menutup telinganya untuk meredam suara mereka bertujuh yang tak kenal volume, “Ya udah, ayo! Ozy, lo telpon Deva sama Ray sekalian, ya. Kesian mereka berduaan doang di kamar..”

Ozy mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum lebar, “Sip, Ik!”

Mereka berdelapan pun berjalan beriringan menuju kamar para gadis-gadis itu. Tentu saja dengan Ozy yang masih bergulat dengan ponselnya untuk menghubungi Deva dan Ray. Sesekali, mereka semua tertawa lepas dan lebar.

“Lo berdua mau diem terus di sini dan jadi patung selamat datang, gitu?” sindir Sivia pada Cakka dan Shilla.

Tanpa banyak bicara, keduanya pun berjalan mengekor kedelapan orang yang sedang tertawa lebar itu. Tepat ketika mereka bersepuluh sampai di depan kamar para gadis, Deva dan Ray datang dengan hebohnya.

“Tolong! Untung banget, Zy, lo nyuruh gue sama Deva ke sini. Kalau ga pasti udah pada ngira gue sama Deva homo-an di dalem kamar!” seru Ray dengan lebaynya.

“Bukannya kalian berdua emang kayak gitu?” tanya Alvin dengan ekspresi super datar.

Deva menempeleng kepala Alvin dengan keras, “Sompret! Fitnah lu, ya! Kagak gua kasih tau tempat-tempat cari oleh-oleh yang murah di sini, ya, lu!” amcamnya.

Alvin memutar bola matanya dan mendesis, “Mentang-mentang banget, ya, yang orang asli sini..”

Oik pun membuka pintu kamarnya dan kunci yang tadi telah diberikan. Tentu saja dengan tertawa terpingkal-pingkal mendengar celotehan Ray, Alvin, dan Deva. Begitu pintu kamar terbuka, terhamparlah kamar yang akan ia dan kelima gadis lainnya tempati untuk dua hari kedepan.

“Yang cewek! Taruh koper aja dulu, gih. Yang cowok-cowok mau nunggu di dalem apa di luar?” tanya Oik, mengerling pada sahabat-sahabatnya, tentu saja Cakka dan Shilla tidak termasuk.

“Di luar!” teriak Acha, Sivia, Angel, dan Dea.

“Ya udah, kita nunggu sini aja. Kalian ganti baju aja sekalian..” saran Gabriel.

“Gab, lo ngomong ke para cewek-cewek atau cuman Oik aja? Dari tadi ngeliatnya ke Oik doang, sih..” tanya Ray sambil menunjukkan ekspresi terpolosnya.

Wajah Gabriel mendadak semerah kepiting rebus, “Ke semuanya, kok..” jawabnya, menundukkan kepala dalam-dalam.

“Udah, ah! Para cewek mau ganti baju dulu, ya.. Para cowok di luar aja dulu!” sela Angel, sebelum kembali terjadi celotehan-celotehan panjang dan heboh dari para laki-laki.

Oik, Sivia, Acha, Dea, dan Angel pun segera masuk ke dalam kamar. Menyisakan Gabriel, Alvin, Ozy, Deva, Ray, Cakka, dan Shilla di teras kamar. Teras kamar? Memang, setiap kamar di hotel ini memiliki terasnya masing-masing. Dan FYI again, hotel ini tidak seperti hotel-hotel pada umumnya yang bertingkat hingga tingkat keberepapuluh. Hotel ini seperti cottage. Setiap kamar berada pada lantai dasar.

Gabriel berbagi kursi dengan Alvin. Sedangkan Ozy berbagi kursi dengan Deva dan Ray. Cakka dan Shilla? Kembali berdiri mematung di dekat mereka berlima. Teras setiap kamar memang memiliki dua kursi dan satu meja bundar kecil.

“Shill, ga masuk ke kamar?” tanya Cakka.

Shilla mengangkat bahunya seolah tak tau, “Mereka berlima aja ga nawarin gue buat masuk”

“Sok ga ada dosa banget emang..” sindir Ozy sambil menatap tajam kepada Shilla.

“Maksud lo apa, Zy? Perasaan dari kemarin lo sama Acha ngungkit-ngungkit soal itu mulu ke Shilla?” tanya Cakka, terdengar nada bicaranya mulai meninggi.

“Cakk? Lo ngebentak Ozy? Temen sebangku lo sendiri? Sahabat lo sendiri? Cuman gara-gara Shilla? Wow!” Deva mendesis sambil menggeleng tak percaya.

“Maksud gue? Lihat aja nanti. Acha udah ngewanti-wanti gue buat ngebongkarin semuanya. Biar waktu yang ngejawab. Pelan-pelan, pasti semuanya kebongkar dengan sendirinya..” jawab Ozy, kembali mengambang.

Tiba-tiba saja, pintu kamar terbuka. Kelima gadis yang tadi masuk ke dalamnya pun kembali keluar. Dengan pakaian yang sama. Dahi Gabriel berkirut heran menatap kelimanya.

“Kalian ga ganti baju?” tanyanya langsung.

Kelimanya menggeleng berbarengan, “Ga. Kita cuman cuci muka aja tadi..” jawab Dea.

“Gue boleh masuk ke dalem, kan?” tanya Shilla dengan suara pelan.

Acha, Dea, Sivia, dan Angel hanya melengos mendenger pertanyaan Sivia. Mereka berempat langsung duduk di teras kamar. Duduk lantai, di bawah. Akhirnya Gabriel, Alvin, Ozy, Deva, dan Ray mengikuti keempatnya untuk duduk di lantai.

Oik tersenyum kecil, “Masuk aja. Lo, kan, sekelompok sama kita. Lo beres-beres aja di dalem..”

“Eh, kasurnya ada tiga. Gue ga mau sekasur sama lo! Gue udah sekasur sama Acha!” ujar Sivia dengan nada yang sama sekali tak enak didengar.

“Gue sama Oik..” ujar Dea, pelan namun tetap tak enak didengar.

“Yah.. Berarti gue, dong, yang sama Shilla? Ck!” Angel melengos malas.

“Ya udahlah.. Apa Angel sama Dea aja, terus gue sama Shilla?” tanya Oik, menengahi.

“Ga usah! Biar Angel aja yang sama Shilla!” teriak semuanya, kecuali Cakka, Shilla, dan Oik.

“Ya udah.. Gue masuk dulu, ya” pamit Shilla.

“Ga usah pamit. Ntar aje kalau lo mau mampus, baru pamit!” timpal Sivia.

“Ik! Kok lo baik banget, sih, sama dia? Ih!” tanya Acha.

“Ga semua yang jahat harus dibales sama jahat juga, kan?” tanya Oik balik, kembali tersenyum simpul setelahnya.

Shilla pun masuk ke dalam. Tentu saja dengan hati dongkol. Di luar, Oik pun menyusul sahabat-sahabatnya untuk duduk di lantai. Kedua tangannya penuh membawa camilan yang ia bawa dari Jakarta. Gabriel membantunya untuk meletakkannya di lantai. Terlihat Cakka yang mendengus kesal menyaksikannya.

“Ape lo? Ga suka?” tantang Deva, Cakka mengalihkan pandangannya.

“Berdiri aja, Cakk? Ga mau gabung sama kita? Duduk sini aja..” ajak Oik pada Cakka.

Cakka mengangguk kaku dan segera duduk. Kebetulan, tempat yang luang hanya di sebelah kanan Oik saja. Jadilah Cakka duduk di sana. Tentu saja dengan diiringi tatapan tajam dari yang lainnya.

“Jadwal kita hari ini apa?” tanya Ray, dengan mulut yang penuh oleh camilan, kepada sahabat-sahabatnya. Tentu saja minus Cakka, dalam pikiran Ray.

“Istirahat doang, sih. Besok baru kita ngedatengin tempat wisata” jawab Deva.

Ozy menoyor kepala Deva dengan brutalnya, “Sarap! Malem ini kita ada acara inagurasi!”

“Oh iya!” seru Deva, seolah-olah baru ingat.

“Gila! Kita, kan, ngisi acara! Nyanyiin tiga lagu, hoy!” timpal Alvin, menambahkan secuil informasi lagi untuk Deva yang memang sering ‘pikun mendadak’.

“Lho? Kita jadi ngisi acara?” tanya Gabriel, kaget.

“Jadi, dong, Gab! Jangan bilang lo ga sempet ngafalin not-not lagunya waktu di Jakarta..” ujar Alvin gemas.

“Tenang! Akang Gabriel udah ngafalin not lagunya, kok!” sambung Gabriel seraya tersenyum menggoda.

“Kalian mau ngebawain lagu apa aja emangnya?” tanya Oik.

“Kita mau ngebawain---” belum sempat Gabriel menyelesaikan kalimatnya, Deva sudah memotongnya.

“Janga mentang-mentang Oik itu imut dan lo suka sama dia makanya lo mau ngebocorin lagu apa aja yang bakalan kita bawain ntar, ya!” ancam Deva.

“Ga, kok! Sumpah!” ujar Gabriel, sok serius.

“Lihat ntar aja, Ik. Mereka emang sok misterius..” sela Angel, Oik mengangguk saja.

Ray melirik malas pada Cakka, “Biar gimana pun, lo tetep guitarist!”

^^^

Malam menjelang. Rombongan dari SMP Ranvas baru saja makan malam di resto hotel yang terletak di wilayah barat. Sekarang, mereka semua berbondong-bondong ke wilayang timur untuk acara inagurasi. Terdapat sebuah pendopo besar di depan kamar para siswi dan di situlah acara inagurasi diadakan.

Seluruh rombongan SMP Ranvas sudah berada di sekitar pendopo tersebut ketika Alvin, Gabriel, Ray, Deva, Ozy, dan Cakka berada di mini panggung untuk mengisi acara. Alvin sebagai bassist, Gabriel keyboardist, Ray drummer, Ozy dan Cakka guitarist, dan Deva vocalist.

“Dev, bilang sekalian, ya, kalau lagu ini kita persembahin buat Shilla..” bisik Cakka pada Deva, sebelum mereka mulai perform. Deva seolah-olah tak mendengar ucapan Cakka.

“Malam semuanya..” Deva buka suara ketika kelima sahabatnya telah siap di posisi masing-masing.

“Malam..” balas seluruh rombongan SMP Ranvas.

“Malam ini, kami berenam akan membawakan beberapa lagu untuk kalian semua. Perform kami kami persembahkan untuk seluruh anggota SMP Ranvas, para guru, Pak Kepala Sekolah, dan..... Oik, Sivia, Acha, Angel, Dea” Deva kembali bersuara.

Terdengar dengungan-dengungan kata-kata menggoda dari teman-temannya. Deva kembali bersuara, “Enjoy!”

Kuingin menunjukkan cintaku
Oh kepada belahan jiwaku
Tlah lama kumenanti waktu
Untuk mengungkapkan isi hatiku

Jangan kau berdiam dan menunggu
Cinta yang datang menghampirimu
Jika kau hanya berdiam diri
Hanya rasa sesal yang kan kau rasakan nanti

Tunjukkanlah rasa cintamu
Coba buat mereka tahu
Betapa indahnya dunia bila engkau sedang jatuh cinta

Berlarilah sekuat kau mampu
Hingga kau mendapatkan cintaku
Buktikan bila kau memang mau
Buat ku berikan cinta ini kepadamu

Disaat matahari bersinar
Burung - burung pun mulai berkicau
Cintaku kan selalu membentang
Untuk kau arungi bersamaku

Tunjukkanlah rasa cintamu
coba buat mereka tahu
Betapa indahnya dunia bila engkau sedang jatuh cinta

Showing my love that's what I'm doin'
Baby your love is what I'm looking for
Coz I really need u sweet lovin'
And everytime I see you
I feel so in love

Tunjukkanlah rasa cintamu
coba buat mereka tahu
Betapa indahnya dunia bila engkau sedang jatuh cinta

Showing my love that's what I'm doin'
Baby your love is what I'm looking for
Coz I really need u sweet lovin'
And everytime I see you
And everytime I see you
And everytime I see you
I feel so in love

(Tunjukkan Cintamu - RAN ft Sheila)

Tepuk tangan membahana mengiringi berakhirnya lagu pertama yang mereka berenam bawakan. Banyak siswa-siswa bahkan guru-guru SMP Ranvas yang ikut bernyanyi bersama Deva. Cukup membuktikan bahwa penampilan mereka memang bagus, bukan?

“Mau lagi?” tanya Deva.

“Mau!” koor seluruhnya, berbarengan.

“Oke.. Lagu kedua dari kami. Jangan bosen-bosen lihat kita, ya. Enjoy!” kata Deva.

You know all the things i’ve said
You know all the things that we have done
And things i gave to you
There’s a chance for me to say
How precious you are in my life
And you know that it’s true

To be with you is all that i need
Cause with you, my life seems brighter and these are all the things
I wanna say...
[ Lyrics from: http://www.lyricsmode.com/lyrics/t/ten_2_five/i_will_fly.html ]
I will fly into your arms
And be with you
Til the end of time
Why are you so far away
You know it’s very hard for me
To get myself close to you

You’re the reason why i stay
You’re the one who cannot believe
Our Love will never end
Is it only in my dream?
You’re the one who cannot see this
How can you be so blind?

I will fly into your arms
And be with you
Til the end of time
Why are you so far away
You know it’s very hard for me
To get myself close to you

I wanna get
I wanna get
I wanna get myself close to you

(I Will Fly - Ten 2 Five)

Tepuk tangan kembali bergemuruh mengiringi selesainya lagu kedua yang mereka bawakan. Lagi-lagi, banyak yang ikut bernyanyi bersama Deva. Lagu kedua kembali sukses seperti lagu pertama tadi.

“Oke.. Ini lagu terakhir dari kami, ya” kata Deva.

Hanya denganmu aku berbagi
Hanya dirimu paling mengerti
Kegelisahan dalam hatiku
Yang selama ini tak menentu

Tak ada ragu dalam hatiku
Pastikan aku jadi cintamu
Seiring waktu yang tlah berlalu
Mungkin kau yang terakhir untukku

Akan kulakukan semua untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku
Janganlah engkau berubah
Dalam menyayangi dan memahamiku

Pegang tanganku, genggam jariku
Rasakan semua hangat diriku
Mengalir tulus untuk cintamu
Tak ada yang lain di hatiku

Akan kulakukan semua untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku
Janganlah engkau berubah
Dalam menyayangi dan memahamiku

Akan kulakukan semua untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku
lyricsalls.blogspot.com
Janganlah engkau berubah
Dalam menyayangi dan memahamiku

Inilah cintaku kuberikan untukmu
Setulus hatiku kuberikan untukmu

(Akan kulakukan semua untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku)

Akan kulakukan untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku
Janganlah engkau berubah
Dalam menyayangi dan memahamiku

(Akan kulakukan untukmu
Akan kuberikan seluruh cintaku)
Janganlah engkau berubah
Dalam menyayangi dan memahami
Dalam menyayangi dan memahami
Dalam menyayangi dan memahamiku

Dan memahamiku

(Kulakukan Semua Untukmu - RAN)

“Big thanks to Oik, Acha, Sivia, Angel, and Dea..” kata Deva, di akhir lagunya.

Lagu ketika selesai dan selesailah perform mereka kali ini. Ray, Ozy, Gabriel, Cakka, Alvin, dan Deva berdiri berdekatan di depan mini panggung dan menunduk berbarengan. Tepuk tangan kembali bergemuruh hingga mereka turun dari mini panggung tersebut.

Cakka mendekati Deva ketika baru saja turun dari mini panggung, “Kenapa tadi lo ga bilang kalau kita juga mersembahin lagunya buat Shilla?”

Deva menatap Cakka tajam, “Kita? Gue sama yang lainnya ga ngerasa itu perform buat Shilla”

Deva pun melenggang meninggalkan Cakka yang tercenung diam dan menyusul Gabriel, Alvin, Ozy, dan Ray yang telah menyusul Oik, Sivia, Acha, Dea, serta Angel. Cakka hanya menatap kosong pada mereka bersepuluh.

“Gue pingin deket lagi sama kalian.. Tapi, gimana? Kalian semua harusnya tau kalau ini kesempatan terakhir kita buat bikin Shilla senyum” lirihnya.

^^^

“Perform kalian kerena banget! Sumpah!” puji Angel ketika segerombolan laki-laki menghampirinya.

“Apalagi pakai nyebutin nama kita berlima. So sweet!” timpal Acha dengan pipi memerah sambil menatap Ozy, Ozy mengacak rambutnya pelan.

“Deva, mah! Nama gue selalu disebutin paling awal, ya!” gurau Oik, ia mencubit lengan Deva.

Deva tertawa terpingkal-pingkal, “Kan, lo emang sesuatu banget buat kita semua”

“Princess Syahrini Lovers banget, ya, lo..” celetuk Dea, Deva tersenyum lebar.

“Eh, abis ini siapa yang perform?” tanya Gabriel, yang baru saja datang, pada mereka semua.

“Ga tau.. Bodo amat. Ke kamar kita-kita aja, yuk?” ajak Alvin pada kelima gadis itu. Kelimanya mengangguk bersemangat.

“Emang boleh, ya, kita ga ngikut inagurasi sampai selesai?” tanya Ozy.

“Ga boleh. Ya kita ke sananya sembunyi-sembunyi aja!” seru Ray sambil menatap Ozy gemas.

^^^

Semuanya berjalan lancar. Mengalir seperti air. Hingga tak terasa, hari ini adalah hari terakhir mereka semua di Pulau Dewata. Matahari sedang ada dipuncak tahtanya. Denpasar dan Jakarta ternyata sama. Sama-sama panas ketika siang bolong seperti sekarang.

Rombongan dari SMP Ranvas sedang berada di sebuah pusat oleh-oleh bernama ‘Dewata’ sekarang ini. Mereka semua sedang sibuk mencari oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta. Begitupula dengan Oik, Sivia, Acha, Angel, Dea, Gabriel, Alvin, Ozy, Deva, dan Ray. Kesepuluhnya sedang antri di kasir untuk membayar belanjaan masing-masing.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, kesepuluhnya pun selesai membayar belanjaan masing-masing. Karena took yang memang penuh, akhirnya mereka memutuskan untuk menunggu di luar saja.

Mereka bersepuluh pun memutuskan untuk duduk-duduk di kursi yang telah disediakan di depan toko oleh-oleh tersebut sambil melihat lalu lalang kota Denpasar siang itu. Bus yang mereka semua tumpangi diparkir di seberang jalan sana.

“Itu Cakka sama Shilla ngapain? Mau nyebrang?” tanya Dea ketika melihat Cakka dan Shilla di pinggir jalan.

“Iya, kali.. Bodo amat, sih” timpal Gabriel.

^^^

“Lo niat ga, sih, Cakk, sebenernya nemenin gue?!” teriak Shilla pada Cakka.

Cakka hanya menundukkan kepalanya dan itu semakin membuat Shilla emosi, “Lo nemenin gue, kan? TapI kenapa lo malah ngeliatin Oik mulu? Kenapa, Cakk? KENAPA?!” teriak gadis semampai itu lagi.

Lagi-lagi Cakka tak memberika respons apapun. Shilla menggeleng tak percaya, “Cukup tau gue, Cakk!”

Untuk yang kesekian kalinya, Cakka hanya menunduk dan tak menggubris sedikitpun teriakan maupun makian yang keluar dari bibir Shilla. Akhirnya Shilla pun menyebrang jalan, tanpa sepengetahuan Cakka, dan bermaksud untuk menunggu yang lainnya saja di dalam bus.

Sampai akhirnya, sebuah suara hantaman keras mampu membuat Cakka mengangkat kepalanya dan membuat seluruh rombongan SMP Ranvas menengok penasaran. Darah di mana-mana. Pelaku tabrakan itu segera kabur tanpa memperdulikan korbannya.

“Shilla!” teriak mereka semua.

Cakka, yang notabene posisinya paling dekat dengan Shilla, segera menghampiri tubuh tak berdaya yang tergeletak di tengah jalan tersebut. Darah Shilla sudah berceceran di jalanan. Oik dkk pun bergegas menghampiri keduanya.

“Shilla?” panggil Oik, Shilla menengok kesal padanya.

“Gara-gara lo Cakka ga perduli sama gue! Gara-gara lo gue sama Cakka berantem barusan! Gara-gara lo gue lari dan ketabrak!” lirih Shilla dengan sisa tenaga yang ia punya.

Oik menggelengkan kepalanya dan terduduk lemas. Air matanya bercucuran, “Bukan gara-gara gue” sangkalnya.

Gabriel segera menarik Oik ke dalam pelukannya, “Bukan gara-gara siapapun ini terjadi. Ini udah takdir dari Tuhan dan lo ga bisa protes atas itu!” bentaknya, pada Shilla.

Dalam sekejap, guru-guru dan kepala sekolah SMPN Ranvas sudah mengelilingi mereka. Kepala sekolah tadi telah menelpon ambulance untuk mengangkut Shilla menuju rumah sakit terdekat. Lima menit berlalu, Shilla hilang kesadaran beberapa detik sebelum ambulance datang.

Tubuh Shilla pun diangkut ke dalam ambulance. Ada dua guru yang mendampingi Shilla. Sedangkan yang lainnya beserta kepala sekolah, mengatur siswa-siswinya untuk cepat-cepat masuk ke dalam bus dan berangkat menuju Pantai Kuta, tujuan terakhir mereka.

Cakka baru saja akan naik ke dalam ambulance ketika tangan Alvin menahannya, “Lo bukan sahabat kita lagi kalau lo ikut nganter tuh cewek ke rumah sakit” desis Alvin tajam.

Cakka menengok padanya. Ada Alvin, Sivia, Ozy, Acha, Ray, Deva, Angel, dan Dea di sana. Gabriel dan Oik agak menjauh dari kedelapannya. Cakka melirik keduanya sekilas. Terlihat Gabriel sedang menenangkan Oik yang menangis deras, mungkin karena ucapan Shilla tadi.

“Ikut ke Kuta dan tetep jadi sahabat kita atau ikut nganter nenek lampir ke rumah sakit dan bukan sahabat kita lagi?” tanya Sivia, berbaik hati memberikan dua options pada Cakka.

Cakka melemas. Ia urung untuk ikut mengantar Shilla ke rumah sakit, “Kalian kenapa, sih, gitu banget sama Shilla?” tanya Cakka dengan suara amat pelan.

“Ntar lo bakalan tau sendiri, kok, jawabannya..” jawab Ozy, menepuk pundak Cakka pelan.

^^^

Bus sedang melaju menuju bandara. Mereka semua baru saja beranjak dari Pantai Kuta. Semenjak tadi, pikiran Cakka masih tertuju pada Shilla. Tapi sekarang sudah mulai tenang karena kedua orang tua Shilla beserta Nova sudah mendampingi gadis itu di rumah sakit.

“Lo kenapa, Cakk?” tanya Gabriel.

Cakka hanya menggelengkan kepalanya, “Gue ga kenapa-kenapa, kok..”

Mereka telah tiba di Ngurah Rai dan segera menarik koper masing-masing. Seluruhnya telah berbaris dan akan check in ketika itu. Cakka baru saja akan mematikan ponselnya ketika sebuah pesan singkat masuk. Dari Nova. Cakka membacanya perlahan-lahan.

“Inalillahi. Yang tenang, ya, Shill, di sana..” gumamnya.

“Siapa yang meninggal, Cakk?” tanya Oik, yang tepat berdiri di belakangnnya.

Cakka segera menutup SMS dari Nova tanpa membaca akhir dari SMS itu dan mengedik padanya lalu tersenyum sendu, “Shilla..”

Air muka Oik tiba-tiba berubah. Matanya kembali berkaca-kaca. Cepat-cepat ia tutup mulutnya agar tak seorangpun mendengarnya menangis. Cakka kaget. Langsung saja ia menarik Oik ke dalam pelukannya.

“Ssshh! Ga usah nangis. Bukan salah lo, kok, kalau akhirnya kayak gini. Mungkin ini emang ending yang paling baik buat kita semua..” hiburnya.

Seluruh teman-temannya yang lain ikut penasaran ketika melihat Oik menangis. Cakka mengedik pada mereka semua dan tersenyum sendu, “Shilla meninggal..” lirihnya.

Terdengar ucapan-ucapan bela sungkawa dari mereka semua. Ozy dan Acha menghampiri Cakka dan Oik, “Siapa yang ngasih tau lo soal meninggalnya Shilla?” tanya Ozy.

“Nova, adiknya Shilla” jawab Cakka. Singkat, jelas, dan padat.

“Nova ga ngasih tau sesuatu lagi sama lo?” tanya Acha.

Cakka mengedikkan bahunya, “Ga tau. Gue ga ngebaca SMS dia sampai habis. Langsung gue matiin HP gue soalnya..”

Ozy dan Acha membulatkan bibirnya dan saling pandang, “Kasih tau sekarang?” tanya Acha pada Ozy, Ozy mengangguk cepat.

Oik menghapus air matanya dan melepas pelukan Cakka, “Ngasih tau soal apa?”

“Sebenernya Shilla ga pernah bener-bener sakit. Dia cuman pura-pura..” ujar Acha.

Cakka menggelengkan kepalanya, tak percaya, “Ga mungkin, Cha!”

Acha menatapnya tajam, “Gue denger dari mulutnya dia sendiri! Gue ga sengaja denger waktu Shilla ngobrol berdua doang sama Nova!” desisnya tajam.

Alvin, Sivia, Ray, Deva, Gabriel, Angel, dan Dea yang tak sengaja mendengar pun hanya terbelalak kaget. Tak menyangka bahwa kenyataannya akan seperti ini.

“Ya udahlah.. Yuk, masuk pesawat aja. Ga usah berantem..” ujar Angel seraya tersenyum kecil.

Mereka bersebelas pun segera naik ke dalam pesawat dan duduk di tempat masing-masing. Bedanya, ketika berangkat Cakka duduk dengan Shilla dan Oik dengan Gabriel namun sekarang Cakka duduk dengan Oik dan Gabriel duduk sendirian, tepat di depan Cakka dan Oik.

Pesawat lepas landas. Hijaunya pedalaman Pulau Dewata dan birunya pantai di Pulau Dewata telah terlihat indah dari atas sini. Pesawat sepi. Tak terdengar suara-suara nyaring berupa lelucon seperti ketika mereka berangkat.

“Ik..” panggil Cakka.

Oik menengok dan tersenyum manis, “Kenapa?”

“Maaf, ya..” ujar Cakka, bersungguh-sungguh.

“Maaf untuk?” tanya Oik, tak mengerti.

“Karena udah lebih mentingin Shilla daripada kamu. Dan ternyata..... Shilla cuman pura-pura”

Oik menunjukkan jari telunjuknya di bibir Cakka dan kembali tersenyum, “Ga usah minta maaf. Ini udah jalannya Tuhan. Entah untuk apa. Tapi yang pasti, Tuhan ga mungkin ngatur semua ini kalau ga ada tujuannya..”

“Ini jalannya Tuhan untuk ngebuat semuanya jadi lebih indah dan bermakna. Seenggaknya, untuk kamu dan aku..” lanjut Cakka.

Keduanya tersenyum satu sama lain. Cakka kembali merengkuh tubuh mungil Oik ke dalam dekapannya dan mengecup lembut kening gadis dalam dekapannya itu. Cakka mengangkat dagu Oik agar menatap kepadanya.

“Jadi gadis aku, ya? Temenin aku ngejalanin semuanya kedepannya..”

Oik mengangguk kecil dan tersenyum sangat manis. Kepala keduanya semakin mendekat dan semakin mendekat. Dan.....

“Hayoloh! Mau ngapain?!” teriak Alvin, Gabriel, Ray, Deva, Ozy, Sivia, Acha, Dea, dan Angel.

Cakka dan Oik kembali ke posis semula dan tersenyum salah tingkah. Kesebelasnya kemudian tertawa bersama. Sampai-sampai, beberapa temannya yang telah tertidur nyenyak pun terbangun olehnya.

“Ending yang indah, kan?” tanya Cakka.

Oik mengangguk, “Banget! Semuanya ngebuat aku makin ngerti gimana berartinya kamu buat aku..”

Di sinilah semuanya berakhir. Atau, paling tidak, momen-momen di mana keduanya berada dalam suasana yang benar-benar mereka inginkan semenjak lama. Berdua, seolah dunia hanya milik keduanya, dan tanpa ‘benalu’ yang dulu sering sekali menghambat keduanya untuk bersama.



THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Classmate (Part 31)

Pagi-pagi sekali, Alvin sudah siap dengan seragamnya. Semalam pun ia sudah belajar tentang subjek pelajaran yang akan diujikan hari ini, Bahasa Indonesia. Seperti beberapa hari sebelumnya, ia berangkat terlebih dulu menuju kediaman Sivia untuk menjemput gadis berpipi chubby tersebut.

“Alvin, hati-hati, ya! Ngerjain soal UNAS-nya ga usah buru-buru!” pesan omanya, tepat ketika motor Alvin melesat dari tempatnya semula.

Alvin yang mendengar itu hanya tersenyum kecil dari balik helm berwarna hitam legam yang ia pakai. Tepat ketika ia sampai di halaman rumah Sivia, gadis oriental itu sedang membaca buku-buku tebal dengan serius.

“Sivia..” panggil Alvin, dengan senyum miring seperti biasa.

Sivia, yang merasa namanya dipanggil pun berkerut heran. Perasaan, kedua orang tuanya sedang di dalam. Lantas, siapa yang memanggilnya? Sivia mendongakkan kepalanya dan tersenyum kecil ketika mendapati Alvin sudah ada di atas motornya.

Sivia segera meletakkan buku-bukunya dan berlari kecil menghampiri Alvin, “Kok udah di sini? Bukannya UNAS-nya masih mulai jam delapan ntar?” tanya Sivia.

“Memangnya kenapa? Ini udah jam tujuh, Sivia! Sekalian aku, gue mkasudnya, mau nyariin Ozy sama Acha” jawab Alvin, tergagap ditengah-tengah kalimatnya sendiri.

Sivia kembali tersenyum kecil, tangan kanannya terulur untuk mencubit lengan Alvin, “Mau pakai aku, ya aku aja. Pakai acara ngeles gue-gue pula!” Sivia tertawa renyah setelahnya.

Alvin ikute tertawa, tangan kanannya mengucek puncak kepala Sivia, “Ya udah, cepetan ambil tas terus kita berangkat” suruh Alvin.

Sivia mengangguk lucu dan kemudian kembali mengambil buku yang tadi ia geletakkan ketika menyadari Alvin sudah ada di halaman rumahnya. Sivia beranjak masuk ke dalam kediamannya dan mengambil tas berwarna oranye yang ia gantungkan pada sandaran kursi di meja makan.

“Pa, Ma, Sivia berangkat, ya!” teriak Sivia riang, pada kedua orang tuanya.

Sivia kembali berlari-lari kecil menghampiri Alvin. Keduanya pun melesat, membelah jalanan Jakarta dengan reli-reli yang diciptakan Alvin pagi itu.

^^^

Oik, Rio, Dea, dan kedua orang tua Oik-Rio baru saja selesai sarapan bersama. Oik dan Dea sudah siap dengan tas kecil mereka serta Rio sudah siap dengan kunci mobilnya. Di tangan Oik dan Dea, ada sebuah buku bersubjek Bahasa Indonesia.

“Berangkat sekarang?” tanya Rio, mengedik pada Oik dan Dea.

Oik dan Dea mengangguk. Keduanya lekas salim pada kedua orang tua Oik dan berjalan beriringan menuju mobil Rio. Seperti biasanya, Dea duduk di depan bersama Rio dan Oik duduk di belakang.

Rio mulai menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya menuju sekolah Oik dan Dea. Oik dan Dea sedang sibuk membaca ulang materi-materi yang akan diujikan ketika Rio menyetir. Rio terlihat menyunggingkan senyum tipisnya kala itu.

“Belajar yang rajin biar nilainya bagus terus masuk SMA yang kalian pingin. Senengin orang tua..” nasihat Rio, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di hadapannya.

“Sip, kak!” jawab Oik dan Dea berbarengan.

^^^

Alvin dan Sivia sampai di SMP Ranvas ketika jam menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh tiga menit. Sivia menunggu Alvin yang masih memarkirkan motornya dengan sesekali melirik laki-laki oriental itu dan tersenyum kecil.

“Ayo..” ajak Alvin, keduanya pun berjalan menuju kelas mereka.

Layaknya Ujian Nasional sebelum-sebelumnya, para peserta diharuskan duduk sendirian. Sehingga kapasitas dalam suatu kelas hanya dua puluh peserta saja. Ozy, Deva, Shilla, Cakka, dan Ray berada di ruangan 9. Sedangkan Oik dan Sivia di ruangan 10. Acha di ruangan 5, Dea di ruangan 13, dan Alvin di ruangan 15.

Dahi Sivia berkerut heran ketika keduanya melewati ruangan 15 dan Alvin tidak masuk ke dalamnya, “Vin, kamu ruangan 15, kan?”

Alvin mengangguk pelan, “Kok ga masuk? Ruangan 15 itu di situ..”

“Aku mau ke Ozy sama Acha dulu. Mau ngomong. Mereka kira-kira di mana, ya?”

Sivia mengangkat bahunya tak tahu, “Ga tau. Taruh tas aku dulu, ya, di ruangan 10. Abis itu baru ke ruangannya Ozy, kali aja mereka berdua di sana”

Alvin kembali mengangguk. Ruangan 10. Sivia segera masuk untuk meletakkan tas mungilnya. Setelah itu, ia kembali keluar dan menggeret Alvin menuju ruangan 9. Dan benar saja, Ozy dan Acha sedang duduk bersebelahan di dalam sambil membaca materi yang akan diujikan hari ini.

“Ozy! Acha!” suara Alvin muncul berbarengan dengan masuknya ia serta Sivia ke ruangan 9.

Ozy dan Acha menengok ke sumber suara. Keduanya tersenyum kikuk, “Apa?” tanya Ozy.

Alvin dan Sivia beranjak duduk di depan bangku Ozy dan Acha, “Mau UNAS ini! Lo berdua masih aja pacaran! Belajar, hoy!” sorak Sivia dengan tertawa lebar.

Pipi Acha memanas. Ia memang belum kebal dengan sorakan-sorakan yang ditujukan padanya dan Ozy, “Ini juga lagi belajar, kok” sangkal Ozy, memeletkan lidahnya pada dua sosok oriental di hadapannya.

“Tapi sambil pacaran!” balas Alvin, telak. Sukses membuat Ozy dan Acha mengkerut malu.

“Udah, deh! Ga usah nyorakin mulu! Kalian ke sini, tuh, mau apa?” tanya Acha pada akhirnya, ia malu jika terus-terusan disoraki seperti tadi.

Mimik wajah Alvin berubah serius, “Gue mau nanya sama kalian berdua..” kata Alvin, menggantung.

Acha dan Ozy manggut-manggut, “Uhum..” keduanya menggumam bersamaan.

Alvin kembali membuka mulutnya, “Kemarin gue ga sengaja lihat kalian. Di depan rumah Acha. Kayak lagi ngomong serius gitu. Sepulang kita semua dari rumah you-know-who--”

Belum selesai Alvin melanjutkan kalimatnya, seseorang telah memotongnya, “Buset, Vin! Lu kate Voldemort pakai lu sebut begitu segala?!” teriak Deva heboh.

Alvin memutar bola matanya malas. Keempatnya lantas menoleh pada dua sosok imut di dekat mereka yang baru saja hadir. Deva dan Ray. Deva dan Ray lantas mengambil kursi dan mendudukkinya.

“Lagi ngomongin apaan?” tanya Ray penasaran.

“Enaknya ngomongin apaan?” tanya Sivia balik, agak kesal karena mereka berdua telah memotong perkataan Alvin.

Alvin kembali melanjutkan kalimatnya, “Maksud gue Shilla. Gue ngelihat kalian ngobrol serius banget. Ngomongin apa, sih, kalian kemarin?”

Ozy dan Acha berpandangan sesaat, Acha menggeleng samar-samar, “Bukan apa-apa, kok. Nanti kalian bakal tau sendiri, kok. Pelan-pelan semuanya bakalan kejawab. Cakka sama Oik juga bakalan tau sendiri” jawab Ozy.

Alvin masih penasaran. Tapi ia diam saja. Ia tak mau memaksa Ozy dan Acha untuk memberitahunya. Ia tahu kalau itu akan percuma. Ozy dan Acha sudah sepakat untuk tidak memberitahunya.

“Soal apa, sih? Pelan-pelan bakal tau sendiri? Maksudnya apa? Soal Oik, Cakka, Shilla?” tanya Deva beruntun.

Ozy dan Acha kembali mengangguk, “Udahlah. Gue ga mau bahas soal ini. Biar gue sama Ozy aja yang tau. Takutnya, kalian ga bisa kontrol emosi kalau tau soal ini”

Sivia menghembuskan nafas diam-diam. Ia menoleh sekilas pada pintu kelas. Ada Oik dan Dea di sana, akan masuk ke kelas ini dan tentunya akan bergabung dengan mereka berenam. Sivia kembali menghadap kelimanya.

“Ada Oik sama Dea! Belaga kita ga lagi ngomongin mereka. Oik, I mean. Dea tau, sih, ga apa-apa. Kalau Oik? Gue yakin maksudnya Ozy sama Acha tadi rada danger..” komando Sivia.

“Hay! Lagi pada ngomongin apa?” sapa Oik riang, ketika ia dan Dea menghampiri keenamnya.

Keenamnya tersenyum kaku, “Ga lagi ngomongin apa-apa. Lagi kumpul aja. Belajar, hehe” jawab Ray, mewakili sahabat-sahabatnya yang lain.

Oik membulatkan bibirnya dan mengangguk mengerti. Kelas sudah mulai ramai. Hamper semuanya telah datang. Sekitar lima menit kemudian, dua-sejoli-yang-paling-tak-diharapkan-kehadirannya datang.

Cakka dan Shilla. Keduanya terlihat juga sedang mengobrol. Keduanya lantas duduk di bangku masing-masing. Kebetulan, bangku Cakka dan Shilla berseberangan. Lumayan dekat. Shilla tersenyum lemah pada kedelapannya.

Ozy dan Acha memutar bola matanya malas, “Masih idup, neng? Kirain udah mampus..” serang Ozy.

“Ozy! Umurnya masih ada! Cuman aja, ya, ga lama lagi!” timpal Acha sambil melirik Shilla sinis.

“Masa, sih, Cha? Bukannya ‘kartu AS’-nya dia ada di kita, ya?” tanya Ozy, berpura-pura bingung.

Acha tampak berpikir keras dan kemudian ingat, “Aha! Iya! Kita, kan, punya ‘kartu AS’-nya dia yang bisa kita buka semau kita!” seru Acha lantang.

Oik, Dea, Sivia, Alvin, Ray, dan Deva tampak bingung dengan secuil percakapan Acha dan Ozy barusan. Kartu AS? Kartu AS apa? Mengapa Acha melirik Shilla sesinis itu pula? Mengapa Ozy juga menjadi lebih ‘sadis’ terhadap Shilla dari biasanya?

Di tempatnya, Shilla ketar-ketir sendiri. Kartu AS? Kartu AS gue? Soal apa? Soal ‘itu’? Ga mungkin! Kalau iya soal ‘itu’, dari mana mereka berdua tau? Bukannya yang tau cuman gue sama Nova? Ga mungkin, kan, gue ngebocorin rencana gue sendiri ke mereka? Apa Nova yang ngasih tau?

^^^

Selama empat hari berturut-turut itu pula, Cakka terus mengantar-jemput Shilla dan agak menjauh dari sahabat-sahabatnya dan Oik. Sekarang adalah hari keempat. Ujian terakhir dengan subjek Matematika telah selesai.

Oik dan Dea sudah ada dalam mobil Rio, meluncur menuju kediaman Oik dan Rio. Sepi. Hanya ada suara Bruno Mars yang mengalun merdu dari tape mobil milik Rio. Oik sedang menatap kaca jendela dengan pandangan menerawang, Dea memainkan ponselnya, dan Rio konsentrasi dengan kemudi.

“Gimana tadi UNAS-nya? Matematika, kan?” tanya Rio, memecah keheningan.

“Biasa aja..” jawab Oik, datar. Cukup untuk membuat Dea mengedik padanya dari kaca spion.

“Lo kenapa, Ik? Badmood?” tanya Dea, bingung. Seingatnya, tadi Oik masih baik-baik saja ketika di sekolah.

“Ya gitu..” jawab gadis mungil itu mengambang, Rio dan Dea mendesah pelan.

Mobil Rio telah memasukki pelataran kediamannya. Mesin mobil dimatikan. Oik segera melompat turun dan berlari menuju kamarnya. Rupanya ia benar-benar sedang dalam mood yang buruk.

Baru saja Dea akan membuka pintu mobil di sampingnya ketika Rio mencekal tangan kanannya dan menahannya untuk tetap di sana. Dea menoleh tak mengerti pada laki-laki berparas manis itu.

“Apa?” tanya Dea, tak mengerti.

“You haven’t answer my last question, dear..” jawab Rio dengan tersenyum malu-malu.

“Your question? About what?” tanya Dea lagi, mengikuti arah permainan Rio dengan menggunakan Bahasa Inggris.

“About... ‘That’, you know? Errr, about me and... You” ujar Rio dengan tergagap.

Dea membulatkan mulutnya dan tersenyum kecil setelahnya, “Oh, I know. About us, you mean?” Dea memastikan, Rio mengangguk kecil, “I would, Rio..”

“Really? Oh, thanks, darl!” pekik Rio senang dan tanpa sadar memeluk Dea.

Pipi Dea bersemu merah. Ia cepat-cepat melepaskan pelukan Rio ketika matanya tak sengaja terantuk pada sesosok gadis mungil yang tengah mengintip keduanya dari jendela lantai atas. Rio memincingkan matanya tak mengerti mengapa Dea melepas pelukannya.

“Ada yang ngintip. Malu, tau!” jawab Dea sekenanya.

“Siapa yang ngintipin?” selidik Rio.

Dea tak menjawab. Ia hanya mengedik pada gadis mungil di jendela tadi, Oik, dan beranjak turun dari mobil Rio. Rio tersenyum gemas pada Oik dan mengikuti langkah Dea, turun dari mobil dan masuk ke kediamannya.

^^^

Hari Jumat. Ujian Nasional untuk siswa SMP telah selesai. Tetapi SMP Ranvas tidak meliburkan murid-murid kelas 9 hari ini. Mereka semua tetap masuk. Jam 06.30 tepat bel telah berbunyi. Siswa-siswi kelas 7 dan 8 pun juga telah kembali masuk.

Oik, Sivia, Ozy, Deva, Ray, dan Cakka sudah duduk di bangkunya masing-masing ketika Bu Winda melenggang memasukki kelas. Oh, ada yang hilang rupanya! Shilla! Ke mana gadis semampai itu?

“Ssstt! Cakk! Cakka! Tumben lo ga jadi tukang ojeknya si nenek lampir?” bisik Ozy.

Cakka meliriknya, “Dia ga masuk. Tau, deh, kenapa.. Kenape?” tanya Cakka balik, Ozy hanya menggelengkan kepalanya.

Bu Winda berdeham. Seisi kelas 9.5 mencurahkan seluruh perhatiannya pada wali kelasnya tersebut, “Sudah tau mengapa hari ini kalian tetap masuk?” tanya beliau.

Murid-muridnya menggeleng pertanda tidak mengerti, “Ada pengumuman penting dan kalian harus tau. Soal acara darmawisata sekolah kita ke Bali yang akan diadakan pada Senin minggu depan..”

Sontak, kelas menjadi riuh seperti di pasar, “Stop!” kelas menjadi diam kembali.

“Urusan administrasi telah selesai. Nanti akan dibagikan lembar fotocopy-an yang membuat barang-barang apa saja yang harus kalian bawa. Kita berangkat hari Senin dengan menggunakan pesawat. Jam delapan pagi sudah harus berkumpul di bandara. Nanti, di Bali, kita akan menyewa bus. Sudah membuat kelompok?”

“Belum, bu..” koor seisi kelas.

“Kalau begitu, lekas buat kelompok. Satu kelompok terdiri dari enam orang dan seluruhnya harus berjenis kelamin sama. Tidak boleh cewek-cowok. Karena nanti kelompok tersebut juga akan digunakan sebagai teman sekamar. Boleh dengan siswa kelas lain juga.. Mengerti?”

“Mengerti, bu..” seisi kelas kembali berseru berbarengan.

“Bagus. Nanti aka nada staff Tata Usaha yang membagikan fotocopy-an. Saya tinggal dulu..” Bu Winda pun langsung melenggang keluar kelas.

“Eh! Sekelompok berenam, kan? Gue, Deva, Ozy, Cakka, Alvin, Gabriel! Oke?” tanya Ray, semuanya mengangguk.

“Berarti tinggal ngasih tau Alvin, ya?” respons Cakka, Ray menggeleng.

“Alvin udah tau, kok. Dia udah bilang sebelumnya ke gue..” jawab Ray, Cakka mengangguk mengerti.

“Eh, sekelompok sama siape lagi?” tanya Sivia pada Oik.

“Ga tau! Kurang berapa, sih? Kan udah ada gue, lo, Acha, Angel, sama Dea. Kurang satu! Siape?” tanya Oik balik, Sivia melengos sebal.

Cakka tiba-tiba saja ikut nimbrung bersama keduanya, “Kurang satu lagi?” tanyanya, Sivia mengangguk, “Sama Shilla, ya? Tadi dia nitip sama gue suruh bilang ke kalian kalau dia minta sekelompok sama kalian” kata Cakka.

“Kalau Oik, Sivia, Acha, Dea, sama Angel ga mau, gimana?” tanya Ozy, agak nyolot.

“Ya, gimana, ya? Kesian Shilla..” ucap Cakka, menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.

“Kesian? Sama cewek kayak dia? Gue yakin ntar kalau lo udah tau semuanya, ga bakalan ada rasa kesian sedikit pun buat cewek macem Shilla!” seru Acha, sangat sinis.

“Ya udahlah, sama Shilla aja. Abisin waktu sepuas-puasnya sama dia. Abis ini, kan, bakalan mampus..” timpal Ray, sepertinya sudah mulai mengerti arah pembicaraan Ozy dan Acha.

“Hus! Gitu amat lo, Ray? Haha..” sela Oik, ia tertawa renyah, Cakka sampai terdiam dibuatnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Classmate (Part 30)

Cakka baru saja tiba di kediaman Shilla. Benar saja. Rumah itu terlihat sangat sepi. Cakka pun segera memarkirkan motornya di halaman rumah Shilla dan beranjak mengetuk pintu rumah tersebut. Tak lama, terdengar derap langkah yang seolah kian mendekat.

“Kak Cakka?” tanya sebuah suara saat pintu terbuka.

“Iya.. Shilla mana?” tanya Cakka balik dengan raut wajah cemas.

“Di kamarnya. Kak Cakka cepetan ke sana, deh!” seru gadis itu, Nova, dengan wajah sembab.

Cakka menganggukkan kepalanya dan segera masuk ke dalam rumah Shilla. Cakka melenggang menuju kamar gadis semampai tersebut, diikuti Nova dari belakang. Tanpa Cakka sadari, di belakangnya, Nova sedang menunjukkan raut wajah bersalah. Maaf, ya, Kak Cakka..

“Kak Cakka ke kamarnya Kak Shilla aja dulu. Gue mau ke dapur, bikinin lo minum” kata Nova, nada bicaranya mendadak berubah dingin.

Cakka hanya mengangguk. Dalam hati ia membatin mengapa nada bicara Nova berubah menjadi sedingin itu. Cakka mengangkat bahunya, tak mau tau. Ia pun membuka pintu kamar Shilla. Terlihat Shilla yang terbaring di ranjangnya dengan wajah sangat pucat.

Cakka bergerak mendekat ke ranjang Shilla dengan raut wajah susah ditebak. Ia mengambil sebuah kursi di dekat meja belajar milik Shilla dan menariknya mendekati ranjang Shilla. Tanpa Cakka ketahui, Shilla tersenyum simpul dalam pingsan pura-puranya.

“Shill.. Shilla..” panggil Cakka dengan volume sangat kecil, Shilla masih bertahan dengan pura-pura pingsannya.

“Shill.. Bangun, Shill..” panggil Cakka lagi, keadaan masih tetap seperti sebelumnya.

“Shill.. Ini gue, Shill.. Cakka..” panggil Cakka, untuk yang ketiga kalinya.

Shilla bergeliat pelan. Cakka masih belum menyadarinya. Cakka seakan teringat sesuatu! Tasnya! Ia segera mengambil ponselnya di saku celananya dan menghubungi salah satu temannya.

Tapi.. Siapa yang akan ia hubungi? Alvin? Mana mungkin. Sivia? Cukup sudah ia ditampar oleh gadis cantik itu. Oik? Jangan. Acha, Dea, Deva, Ozy, atau Ray? Cakka berpikir-pikir sejenak.

“.....Halo? Ozy?.....”

“.....Eh, ntar kalau lo semua udah selesai belajar barengnya, anterin tas gue ke rumahnya Shilla, ya!.....”

“.....Terserah lo, deh, lo mau ngajak siapa aja.....”

Klik! Sambungan diputus sepihak oleh Cakka. Ia kesal karena Ozy sempat menolak permintaan tolongnya karena itu semua berhubungan dengan kau-tau-siapa. Tapi akhirnya, Ozy mau juga mengantarkan tasnya kemari. Dengan catatan, Ozy mengajak semuanya. Semuanya berarti Alvin, Sivia, Acha, Dea, Deva, dan... Oik.

Hati Cakka berdesir aneh ketika ia menyebutkan dalam hati nama terakhir. Ia sadar bahwa ia telah membuat gadis manis itu marah, kesal, dan sebagainya. Tapi, mau bagaimana lagi? Shilla sekarat dan, seharusnya, Oik tau itu.

“Shilla, bangun. Gue ada sesuatu buat lo. Tapi masih ada di tas gue. Ntar Ozy nganterin ke sini, kok. Lo bangun, dong, Shill..” pinta Cakka memelas, Shilla kembali tersenyum dalam hati.

“Sebenernya coklat itu tadi buat Oik, sih..” gumam Cakka selirih mungkin. Sayangnya, Shilla mendengarnya. Diam-diam, Shilla menghela napas kesal.

^^^

Nova mengambil sebuah cangkir berornamen bunga dari dalam kitchenset di dapurnya. Ia meletakkannya di atas meja makan dan kembali beranjak mengambil dua stopless di dekat oven. Ia kembali ke meja makan.

Nova menyendokkan dua sendok bubuk teh dari stopless pertama dan dua sendok pula gula putih dari stopless kedua. Nova menuangkan air hangat ke dalam cangkir tersebut dan mengaduknya beberapa saat.

Setelah siap, ia mengangkat cangkir tersebut dan beranjak dari dapur lalu menuju kamar Shilla. Kebetulan, pintu kamar Shilla terbuka sedikit. Ia mengintip dari luar. Terlihat Shilla yang curi-curi pandang terhadap Cakka, masih dalam pingsan pura-puranya.

Nova geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya tersebut, “Keterlaluan emang lo, kak! Ini terakhir kalinya gue ngebantu lo. Besok-besok ga bakalan lagi gue bantu lo, kak!” desisnya.

Nova pun melangkah masuk. Cakka mengedik padanya beberapa saat dan kembali terpaku dengan Shilla. Nova meletakkan secangkir teh tadi di meja rias Shilla dan berdiri di samping Cakka, ikut-ikut terpaku dengan Shilla.

“Tehnya, Kak Cakk..” kata Nova, Cakka mengangguk pelan.

“Kakak lo pingsan mulai jam berapa? Lama bangat siumannya..” tanya Cakka.

Nova tergagap. Ia bingung harus menjawab apa, “Pas sebelum gue nelpon lo, kak..”

Pelan-pelan, Shilla mulai menggeliat. Gadis semampai itu mulai membuka kelopak matanya dan mengerjap-erjap. Ia mendapati Cakka dan Nova di sampingnya. Nova melengos malas. Malas melihat kakaknya kembali berpura-pura.

“Lo udah sadar, Shill?” tanya Cakka kaget, Shilla tersenyum lemah.

“Gue mau belajar dulu, ya. Besok, kan, udah UNAS..” ujar Shilla lemah, Nova kembali melengos.

Cakka mengangguk semangat, “Belajar? Yuk, sama gue. Kita belajar bareng” ajak Cakka.

Shilla tertawa puas dalam hati, “Lo mau ikutan belajar, Cakk? Emang tas lo mana? Buku lo mana?” tanya Shilla, pura-pura tak tau.

Cakka menepuk keningnya, “Astaga! Belum dianter ke sini sama Ozy! Ya udah, belajarnya pakai buku lo aja dulu..” saran Cakka, Shilla mengangguk lemah.

Shilla segera duduk. Cakka mengambilkan buku-buku Shilla yang berserakan di meja belajar gadis semampai itu. Keduanya pun membuka-buka buku dengan serius. Nova beranjak, akan kembali ke kamarnya.

“Gue tinggal, ya..” pamit Nova dengan judes, pintu kamar Shilla ia tutup dengan keras.

^^^

“Telpon dari siapa, Zy?” tanya Acha, tepat ketika Ozy kembali meletakkan ponselnya.

Ozy mengedik pada gadisnya dan memasang tampang malas, “Cakka..”

“Ngapain lagi dia nelpon lo?” tanya Dea, terdengar tak suka nama Cakka disebut-sebut.

“Minta gue buat nganterin tasnya ke rumah rumah Shilla, kalau kita udah selesai belajar..” jawab Ozy sekenanya.

“Terus? Lo mau, gitu?” tanya Ray seraya memincingkan kedua matanya.

“Gue, mah, ogah kalau kalian ga mau ikut..” jawab Ozy secuek mungkin.

“Terus? Maksud lo, kita kudu ikut lo nganterin tasnya Cakka ke rumah Shilla?” tanya Deva.

Ozy mengangguk santai, “Mau, kan?” tanya Ozy kepada yang lainnya, yang lainnya hanya mengangguk pasrah.

Oik mulai membereskan buku-bukunya dan menatap Ozy sejenak, “Mau ke sana jam berapa? Kita, kan, udah selesai belajar..”

“Sekarang aja, gimana? Gue ga mau si Shilla kelamaan berduaan sama Cakka. Ga terima gue!” seru Sivia berapi-api, Alvin mengelus pundaknya pelan, pipi Sivia bersemu merah.

“Ya udah, yuk!” ajak Alvin.

Kedelapannya pun bangkit berdiri ketika telah selesi membereskan barang masing-masing. Deva beranjak ke kamar orang tuanya sebentar dan meminta izin. Ia kembali dengan sebuah kunci motor di tangannya.

“Siapa yang mau bareng gue?” tanya Deva sambil mengeluarkan motornya dari garasi.

Alvin sudah siap dengan Sivia di boncengannya, “Gue sama Sivia..” ucapnya datar.

“Gue sama Acha..” kata Ozy, Acha sudah bertengger di boncengan motornya.

“Ik, lo sama gue apa sama Deva?” tanya Ray sambil menghidupkan mesin motornya.

Oik tampak berpikir sejenak, “Gue sama lo aja, deh, Ray. Biar Dea yang sama Deva..” putus Oik, gadis manis itu pun segera naik ke boncengan motor Ray.

Begitu pula dengan Dea. Ia segera naik ke boncengan motor Deva. Keempat motor tersebut melaju, membelah jalanan Jakarta menuju rumah Shilla dengan jarak tempuh sekitar sepuluh menit dari kediaman Deva.

Dan, benar saja. Ketika mereka berdelapan sampai di rumah Shilla, motor Cakka sudah terparkir rapi di halaman rumah gadis semampai itu. Alvin, Deva, Ozy, dan Ray memarkirkan motor mereka di depan rumah Shilla, luar rumah Shilla, tak sampai masuk ke dalamnya. Karena memang, mereka berniat tak lama-lama di sana.

“Kita mampir? Ngejenguk Shilla?” tanya Dea, menatapi teman-temannya bergantian.

“Mampir aja. Jengukkin. Kali aja ini kesempatan terakhir kita ngeliat dia..” ujar Ray santai.

Kedelapannya pun segera turun dari motor dan melenggang memasukki rumah Shilla. Pagarnya tak dikunci. Alvin mengetuk pintu rumah Shilla. Tak lama, muncullah Nova dengan senyum tipisnya.

“Nganterin tasnya Kak Cakka, ya?” tanya Nova, kedelapannya mengangguk kompak, “Masuk aja, Kak Cakka lagi di kamarnya Kak Shilla..” kata Nova.

Kedelapannya pun masuk dengan canggung. Nova menepuk pelan bahu Oik dan menggeret pelan tangan Oik untuk sedikit menjauh dari ketujuh temannya yang lain. Oik menatap Nova dengan pandangan tak mengerti.

“Maaf, kak..” hanya itu yang mampu Nova ucapkan, dengan menunduk dalam-dalam.

“Maaf buat apa?” tanya Oik tak mengerti.

“Nanti Kak Oik tau sendiri, kok..” jawab Nova menggantung, “Ya udah, Kak Oik balik lagi aja ke temen-temen Kak Oik”

Oik pun meninggalkan Nova dengan dahi berkerut. Apa maksud Nova tadi? Maaf untuk apa? Bukannya Nova tak pernah berbuat salah padanya? Lantas, itu tadi maaf untuk apa? Oik menggelengkan kepalanya tak mengerti.

Oik terpaku sejenak di pintu kamar Shilla. Ia melihat Cakka dan Shilla sedang belajar bersama dengan akrabnya. Ia paksakan sebuah senyum ramah di bibirnya dan kembali melangkah mendekati keduanya. Ketujuh temannya yang lain hanya menatap Cakka dan Shilla tanpa ekspresi.

“Udah siuman, Shill?” tanya Oik ramah.

Shilla mengedik padanya dan tersenyum aneh, “Udah..”

“Cepet sembuh, ya. Semoga besok lo udah bisa ikut ujian..” kata Oik, kembali dengan senyum yang ia paksakan di bibirnya.

Shilla tersenyum lebar, “Makasih..”

Alvin, Sivia, Ozy, Acha, Deva, Ray, dan Dea hanya mengeluh dalam hati. Untuk apa Oik berbuat seramah itu kepada Shilla? Toh, Shilla tak akan pernah membalas keramahan Oik itu. Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja.

Cakka mengambil tasnya dari tangan Ozy dan mengobrak-abriknya sebentar. Ia mengeluarkan sebatang coklat top branded dan mengangsurkannya pada Shilla dengan senyum manis. Alvin makin geleng-geleng kepala. Alvin tau betul coklat top branded itu adalah favorit Oik. Oik menghela napas tak kentara.

“Makasih, Cakka!” seru Shilla riang dengan senyum mengembang.

“Ya udah, gue balik. Istirahat, Shill. Besok ujian..” pamit Cakka.

Shilla mengangguk menanggapinya. Terakhir, Cakka mengacak-acak rambut Shilla dan berlalu pergi. Oik menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah. Tak lama, terdengar deru motor Cakka yang semakin menjauh.

“Kita balik, Shill..” pamit Sivia, mewakili yang lainnya.

“Ya udah.. Pulang aja” sahut Shilla tak mau tau, ia sedang asyik memakan coklat dari Cakka.

Kedelapannya melenggang keluar kamar Shilla dengan memendam amarah. Tuan rumah macam apa dia? Tak sopan sama sekali! Alvin, Deva, Ozy, dan Ray mulai menyalakan mesin motor masing-masing. Acha hendak memakai helm-nya ketika tangannya tak sengaja menyentuh rambutnya. Ada yang hilang di sana.

“Astaga! Jepit rambut gue!” pekik Acha histeris.

“Jepit rambut lo?” ulang Oik, tak mengerti.

“Iya! Jepit rambut gue! Tadi gue pakai! Sekarang udah ga ada!” kata Acha, mencari-cari jepit rambutnya di jalanan.

“Jatuh di dalem rumah Shilla, kali!” celetuk Deva.

“Iya kali, ya.. Ya udah, gue cari dulu aja di dalem..” Acha pun beranjak kembali ke rumah Shilla.

“Jepit doang itu, Cha! Beli juga banyak! Mending kita pulang!” teriak Dea dari atas motor Deva.

Acha menoleh padanya dengan tampang ganas, “Itu jepit dari Ozy! Ozy yang bikin!” teriaknya balik.

“Zy, gue sama yang lain balik duluan.. Lo anter Acha sampai rumah. Jangan lupa!” pamit Alvin, Ozy mengangguk patuh dan tersenyum lucu.

Ketiga motor itu pun melaju. Alvin mengantarkan Sivia, Deva mengantarkan Dea, dan Ray mengantarkan Oik. Khusus Deva dan Ray, mereka memiliki tujuan yang sama. Rumah Oik. Dea memang masih menginap di rumah Oik.

^^^

Acha memasukki rumah Shilla. Ia terus menunduk, menatap lantai dengan mata awas. Ia cari jepit rambutnya yang berwarna merah marun, pemberian Ozy. Mulai dari ruang tamu rumah Shilla, tak ada tanda-tanda adanya jepit rambut itu.

Hingga di depan pintu kamar Shilla, Acha hampir memekik kesenangan. Jepit rambutnya ada di sana! Acha pun mengulurkan tangannya untuk mengambil jepit rambutnya tersebut.

“Akhirnya ketemu..” ujar Acha kalem, ia mendesah lega.

Baru saja ia akan kembali dan keluar dari rumah Shilla, ia mendengar rebut-ribut dari dalam kamar Shilla. Rupanya Shilla dan Nova sedang bertengkar. Hey! Apa? Bertengkar? Karena penasaran, Acha menempelkan telinganya di daun pintu kamar Shilla.

“Astaga!” lirih Acha ketika ia menyadari apa topik utama pertengkaran itu.

Acha menggeleng tak percaya. Ia segera keluar dari rumah Shilla dan menghampiri Ozy yang sedang bertengger di atas motornya dengan wajah pucat. Acha cepat-cepat memakai helm-nya dan naik ke boncengan motor Ozy.

“Ayo, Zy! Cepetan jalan! Aku mau ngomong kalau kita udah sampai di rumahku..” lirih Acha.

^^^

Mereka berdua telah sampai di rumah Acha. Kadar kepucatan wajah Acha telah menurun. Acha segera melepaskan helm-nya dan menarik Ozy memasukki pelataran rumahnya. Wajah Acha kembali pucat.

“Kamu mau ngomong apa tadi?” tanya Ozy sambil tersenyum simpul.

“Aku tadi denger kalau...” Acha pun menceritakan apa yang tadi ia dengar kepada Ozy.

“Sial! Maunya apa, sih, si Shilla itu?!” umpat Ozy kesal, tepat setelah Acha menceritakannya.

“Dia kelewatan banget, Zy..” lirih Acha.

“Terus? Apa kita bilang aja ke yang lainnya?” tanya Ozy lagi.

Acha menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Ga usah, Zy. Allah pasti punya cara sendiri buat ngebales Shilla..” cegah Acha.

Ozy menganggukkan kepalanya dan menarik Acha perlahan ke dalam pelukannya. Tanpa mereka sadari, Alvin sedang menatap mereka berdua dari teras rumahnya dengan tatapan penuh tanya.

“Ngapain mereka berdua? Ngomongnya serius banget..” gumam Alvin.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS