Pagi-pagi sekali, Alvin sudah siap dengan seragamnya. Semalam pun ia sudah belajar tentang subjek pelajaran yang akan diujikan hari ini, Bahasa Indonesia. Seperti beberapa hari sebelumnya, ia berangkat terlebih dulu menuju kediaman Sivia untuk menjemput gadis berpipi chubby tersebut.
“Alvin, hati-hati, ya! Ngerjain soal UNAS-nya ga usah buru-buru!” pesan omanya, tepat ketika motor Alvin melesat dari tempatnya semula.
Alvin yang mendengar itu hanya tersenyum kecil dari balik helm berwarna hitam legam yang ia pakai. Tepat ketika ia sampai di halaman rumah Sivia, gadis oriental itu sedang membaca buku-buku tebal dengan serius.
“Sivia..” panggil Alvin, dengan senyum miring seperti biasa.
Sivia, yang merasa namanya dipanggil pun berkerut heran. Perasaan, kedua orang tuanya sedang di dalam. Lantas, siapa yang memanggilnya? Sivia mendongakkan kepalanya dan tersenyum kecil ketika mendapati Alvin sudah ada di atas motornya.
Sivia segera meletakkan buku-bukunya dan berlari kecil menghampiri Alvin, “Kok udah di sini? Bukannya UNAS-nya masih mulai jam delapan ntar?” tanya Sivia.
“Memangnya kenapa? Ini udah jam tujuh, Sivia! Sekalian aku, gue mkasudnya, mau nyariin Ozy sama Acha” jawab Alvin, tergagap ditengah-tengah kalimatnya sendiri.
Sivia kembali tersenyum kecil, tangan kanannya terulur untuk mencubit lengan Alvin, “Mau pakai aku, ya aku aja. Pakai acara ngeles gue-gue pula!” Sivia tertawa renyah setelahnya.
Alvin ikute tertawa, tangan kanannya mengucek puncak kepala Sivia, “Ya udah, cepetan ambil tas terus kita berangkat” suruh Alvin.
Sivia mengangguk lucu dan kemudian kembali mengambil buku yang tadi ia geletakkan ketika menyadari Alvin sudah ada di halaman rumahnya. Sivia beranjak masuk ke dalam kediamannya dan mengambil tas berwarna oranye yang ia gantungkan pada sandaran kursi di meja makan.
“Pa, Ma, Sivia berangkat, ya!” teriak Sivia riang, pada kedua orang tuanya.
Sivia kembali berlari-lari kecil menghampiri Alvin. Keduanya pun melesat, membelah jalanan Jakarta dengan reli-reli yang diciptakan Alvin pagi itu.
^^^
Oik, Rio, Dea, dan kedua orang tua Oik-Rio baru saja selesai sarapan bersama. Oik dan Dea sudah siap dengan tas kecil mereka serta Rio sudah siap dengan kunci mobilnya. Di tangan Oik dan Dea, ada sebuah buku bersubjek Bahasa Indonesia.
“Berangkat sekarang?” tanya Rio, mengedik pada Oik dan Dea.
Oik dan Dea mengangguk. Keduanya lekas salim pada kedua orang tua Oik dan berjalan beriringan menuju mobil Rio. Seperti biasanya, Dea duduk di depan bersama Rio dan Oik duduk di belakang.
Rio mulai menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya menuju sekolah Oik dan Dea. Oik dan Dea sedang sibuk membaca ulang materi-materi yang akan diujikan ketika Rio menyetir. Rio terlihat menyunggingkan senyum tipisnya kala itu.
“Belajar yang rajin biar nilainya bagus terus masuk SMA yang kalian pingin. Senengin orang tua..” nasihat Rio, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di hadapannya.
“Sip, kak!” jawab Oik dan Dea berbarengan.
^^^
Alvin dan Sivia sampai di SMP Ranvas ketika jam menunjukkan pukul tujuh lebih dua puluh tiga menit. Sivia menunggu Alvin yang masih memarkirkan motornya dengan sesekali melirik laki-laki oriental itu dan tersenyum kecil.
“Ayo..” ajak Alvin, keduanya pun berjalan menuju kelas mereka.
Layaknya Ujian Nasional sebelum-sebelumnya, para peserta diharuskan duduk sendirian. Sehingga kapasitas dalam suatu kelas hanya dua puluh peserta saja. Ozy, Deva, Shilla, Cakka, dan Ray berada di ruangan 9. Sedangkan Oik dan Sivia di ruangan 10. Acha di ruangan 5, Dea di ruangan 13, dan Alvin di ruangan 15.
Dahi Sivia berkerut heran ketika keduanya melewati ruangan 15 dan Alvin tidak masuk ke dalamnya, “Vin, kamu ruangan 15, kan?”
Alvin mengangguk pelan, “Kok ga masuk? Ruangan 15 itu di situ..”
“Aku mau ke Ozy sama Acha dulu. Mau ngomong. Mereka kira-kira di mana, ya?”
Sivia mengangkat bahunya tak tahu, “Ga tau. Taruh tas aku dulu, ya, di ruangan 10. Abis itu baru ke ruangannya Ozy, kali aja mereka berdua di sana”
Alvin kembali mengangguk. Ruangan 10. Sivia segera masuk untuk meletakkan tas mungilnya. Setelah itu, ia kembali keluar dan menggeret Alvin menuju ruangan 9. Dan benar saja, Ozy dan Acha sedang duduk bersebelahan di dalam sambil membaca materi yang akan diujikan hari ini.
“Ozy! Acha!” suara Alvin muncul berbarengan dengan masuknya ia serta Sivia ke ruangan 9.
Ozy dan Acha menengok ke sumber suara. Keduanya tersenyum kikuk, “Apa?” tanya Ozy.
Alvin dan Sivia beranjak duduk di depan bangku Ozy dan Acha, “Mau UNAS ini! Lo berdua masih aja pacaran! Belajar, hoy!” sorak Sivia dengan tertawa lebar.
Pipi Acha memanas. Ia memang belum kebal dengan sorakan-sorakan yang ditujukan padanya dan Ozy, “Ini juga lagi belajar, kok” sangkal Ozy, memeletkan lidahnya pada dua sosok oriental di hadapannya.
“Tapi sambil pacaran!” balas Alvin, telak. Sukses membuat Ozy dan Acha mengkerut malu.
“Udah, deh! Ga usah nyorakin mulu! Kalian ke sini, tuh, mau apa?” tanya Acha pada akhirnya, ia malu jika terus-terusan disoraki seperti tadi.
Mimik wajah Alvin berubah serius, “Gue mau nanya sama kalian berdua..” kata Alvin, menggantung.
Acha dan Ozy manggut-manggut, “Uhum..” keduanya menggumam bersamaan.
Alvin kembali membuka mulutnya, “Kemarin gue ga sengaja lihat kalian. Di depan rumah Acha. Kayak lagi ngomong serius gitu. Sepulang kita semua dari rumah you-know-who--”
Belum selesai Alvin melanjutkan kalimatnya, seseorang telah memotongnya, “Buset, Vin! Lu kate Voldemort pakai lu sebut begitu segala?!” teriak Deva heboh.
Alvin memutar bola matanya malas. Keempatnya lantas menoleh pada dua sosok imut di dekat mereka yang baru saja hadir. Deva dan Ray. Deva dan Ray lantas mengambil kursi dan mendudukkinya.
“Lagi ngomongin apaan?” tanya Ray penasaran.
“Enaknya ngomongin apaan?” tanya Sivia balik, agak kesal karena mereka berdua telah memotong perkataan Alvin.
Alvin kembali melanjutkan kalimatnya, “Maksud gue Shilla. Gue ngelihat kalian ngobrol serius banget. Ngomongin apa, sih, kalian kemarin?”
Ozy dan Acha berpandangan sesaat, Acha menggeleng samar-samar, “Bukan apa-apa, kok. Nanti kalian bakal tau sendiri, kok. Pelan-pelan semuanya bakalan kejawab. Cakka sama Oik juga bakalan tau sendiri” jawab Ozy.
Alvin masih penasaran. Tapi ia diam saja. Ia tak mau memaksa Ozy dan Acha untuk memberitahunya. Ia tahu kalau itu akan percuma. Ozy dan Acha sudah sepakat untuk tidak memberitahunya.
“Soal apa, sih? Pelan-pelan bakal tau sendiri? Maksudnya apa? Soal Oik, Cakka, Shilla?” tanya Deva beruntun.
Ozy dan Acha kembali mengangguk, “Udahlah. Gue ga mau bahas soal ini. Biar gue sama Ozy aja yang tau. Takutnya, kalian ga bisa kontrol emosi kalau tau soal ini”
Sivia menghembuskan nafas diam-diam. Ia menoleh sekilas pada pintu kelas. Ada Oik dan Dea di sana, akan masuk ke kelas ini dan tentunya akan bergabung dengan mereka berenam. Sivia kembali menghadap kelimanya.
“Ada Oik sama Dea! Belaga kita ga lagi ngomongin mereka. Oik, I mean. Dea tau, sih, ga apa-apa. Kalau Oik? Gue yakin maksudnya Ozy sama Acha tadi rada danger..” komando Sivia.
“Hay! Lagi pada ngomongin apa?” sapa Oik riang, ketika ia dan Dea menghampiri keenamnya.
Keenamnya tersenyum kaku, “Ga lagi ngomongin apa-apa. Lagi kumpul aja. Belajar, hehe” jawab Ray, mewakili sahabat-sahabatnya yang lain.
Oik membulatkan bibirnya dan mengangguk mengerti. Kelas sudah mulai ramai. Hamper semuanya telah datang. Sekitar lima menit kemudian, dua-sejoli-yang-paling-tak-diharapkan-kehadirannya datang.
Cakka dan Shilla. Keduanya terlihat juga sedang mengobrol. Keduanya lantas duduk di bangku masing-masing. Kebetulan, bangku Cakka dan Shilla berseberangan. Lumayan dekat. Shilla tersenyum lemah pada kedelapannya.
Ozy dan Acha memutar bola matanya malas, “Masih idup, neng? Kirain udah mampus..” serang Ozy.
“Ozy! Umurnya masih ada! Cuman aja, ya, ga lama lagi!” timpal Acha sambil melirik Shilla sinis.
“Masa, sih, Cha? Bukannya ‘kartu AS’-nya dia ada di kita, ya?” tanya Ozy, berpura-pura bingung.
Acha tampak berpikir keras dan kemudian ingat, “Aha! Iya! Kita, kan, punya ‘kartu AS’-nya dia yang bisa kita buka semau kita!” seru Acha lantang.
Oik, Dea, Sivia, Alvin, Ray, dan Deva tampak bingung dengan secuil percakapan Acha dan Ozy barusan. Kartu AS? Kartu AS apa? Mengapa Acha melirik Shilla sesinis itu pula? Mengapa Ozy juga menjadi lebih ‘sadis’ terhadap Shilla dari biasanya?
Di tempatnya, Shilla ketar-ketir sendiri. Kartu AS? Kartu AS gue? Soal apa? Soal ‘itu’? Ga mungkin! Kalau iya soal ‘itu’, dari mana mereka berdua tau? Bukannya yang tau cuman gue sama Nova? Ga mungkin, kan, gue ngebocorin rencana gue sendiri ke mereka? Apa Nova yang ngasih tau?
^^^
Selama empat hari berturut-turut itu pula, Cakka terus mengantar-jemput Shilla dan agak menjauh dari sahabat-sahabatnya dan Oik. Sekarang adalah hari keempat. Ujian terakhir dengan subjek Matematika telah selesai.
Oik dan Dea sudah ada dalam mobil Rio, meluncur menuju kediaman Oik dan Rio. Sepi. Hanya ada suara Bruno Mars yang mengalun merdu dari tape mobil milik Rio. Oik sedang menatap kaca jendela dengan pandangan menerawang, Dea memainkan ponselnya, dan Rio konsentrasi dengan kemudi.
“Gimana tadi UNAS-nya? Matematika, kan?” tanya Rio, memecah keheningan.
“Biasa aja..” jawab Oik, datar. Cukup untuk membuat Dea mengedik padanya dari kaca spion.
“Lo kenapa, Ik? Badmood?” tanya Dea, bingung. Seingatnya, tadi Oik masih baik-baik saja ketika di sekolah.
“Ya gitu..” jawab gadis mungil itu mengambang, Rio dan Dea mendesah pelan.
Mobil Rio telah memasukki pelataran kediamannya. Mesin mobil dimatikan. Oik segera melompat turun dan berlari menuju kamarnya. Rupanya ia benar-benar sedang dalam mood yang buruk.
Baru saja Dea akan membuka pintu mobil di sampingnya ketika Rio mencekal tangan kanannya dan menahannya untuk tetap di sana. Dea menoleh tak mengerti pada laki-laki berparas manis itu.
“Apa?” tanya Dea, tak mengerti.
“You haven’t answer my last question, dear..” jawab Rio dengan tersenyum malu-malu.
“Your question? About what?” tanya Dea lagi, mengikuti arah permainan Rio dengan menggunakan Bahasa Inggris.
“About... ‘That’, you know? Errr, about me and... You” ujar Rio dengan tergagap.
Dea membulatkan mulutnya dan tersenyum kecil setelahnya, “Oh, I know. About us, you mean?” Dea memastikan, Rio mengangguk kecil, “I would, Rio..”
“Really? Oh, thanks, darl!” pekik Rio senang dan tanpa sadar memeluk Dea.
Pipi Dea bersemu merah. Ia cepat-cepat melepaskan pelukan Rio ketika matanya tak sengaja terantuk pada sesosok gadis mungil yang tengah mengintip keduanya dari jendela lantai atas. Rio memincingkan matanya tak mengerti mengapa Dea melepas pelukannya.
“Ada yang ngintip. Malu, tau!” jawab Dea sekenanya.
“Siapa yang ngintipin?” selidik Rio.
Dea tak menjawab. Ia hanya mengedik pada gadis mungil di jendela tadi, Oik, dan beranjak turun dari mobil Rio. Rio tersenyum gemas pada Oik dan mengikuti langkah Dea, turun dari mobil dan masuk ke kediamannya.
^^^
Hari Jumat. Ujian Nasional untuk siswa SMP telah selesai. Tetapi SMP Ranvas tidak meliburkan murid-murid kelas 9 hari ini. Mereka semua tetap masuk. Jam 06.30 tepat bel telah berbunyi. Siswa-siswi kelas 7 dan 8 pun juga telah kembali masuk.
Oik, Sivia, Ozy, Deva, Ray, dan Cakka sudah duduk di bangkunya masing-masing ketika Bu Winda melenggang memasukki kelas. Oh, ada yang hilang rupanya! Shilla! Ke mana gadis semampai itu?
“Ssstt! Cakk! Cakka! Tumben lo ga jadi tukang ojeknya si nenek lampir?” bisik Ozy.
Cakka meliriknya, “Dia ga masuk. Tau, deh, kenapa.. Kenape?” tanya Cakka balik, Ozy hanya menggelengkan kepalanya.
Bu Winda berdeham. Seisi kelas 9.5 mencurahkan seluruh perhatiannya pada wali kelasnya tersebut, “Sudah tau mengapa hari ini kalian tetap masuk?” tanya beliau.
Murid-muridnya menggeleng pertanda tidak mengerti, “Ada pengumuman penting dan kalian harus tau. Soal acara darmawisata sekolah kita ke Bali yang akan diadakan pada Senin minggu depan..”
Sontak, kelas menjadi riuh seperti di pasar, “Stop!” kelas menjadi diam kembali.
“Urusan administrasi telah selesai. Nanti akan dibagikan lembar fotocopy-an yang membuat barang-barang apa saja yang harus kalian bawa. Kita berangkat hari Senin dengan menggunakan pesawat. Jam delapan pagi sudah harus berkumpul di bandara. Nanti, di Bali, kita akan menyewa bus. Sudah membuat kelompok?”
“Belum, bu..” koor seisi kelas.
“Kalau begitu, lekas buat kelompok. Satu kelompok terdiri dari enam orang dan seluruhnya harus berjenis kelamin sama. Tidak boleh cewek-cowok. Karena nanti kelompok tersebut juga akan digunakan sebagai teman sekamar. Boleh dengan siswa kelas lain juga.. Mengerti?”
“Mengerti, bu..” seisi kelas kembali berseru berbarengan.
“Bagus. Nanti aka nada staff Tata Usaha yang membagikan fotocopy-an. Saya tinggal dulu..” Bu Winda pun langsung melenggang keluar kelas.
“Eh! Sekelompok berenam, kan? Gue, Deva, Ozy, Cakka, Alvin, Gabriel! Oke?” tanya Ray, semuanya mengangguk.
“Berarti tinggal ngasih tau Alvin, ya?” respons Cakka, Ray menggeleng.
“Alvin udah tau, kok. Dia udah bilang sebelumnya ke gue..” jawab Ray, Cakka mengangguk mengerti.
“Eh, sekelompok sama siape lagi?” tanya Sivia pada Oik.
“Ga tau! Kurang berapa, sih? Kan udah ada gue, lo, Acha, Angel, sama Dea. Kurang satu! Siape?” tanya Oik balik, Sivia melengos sebal.
Cakka tiba-tiba saja ikut nimbrung bersama keduanya, “Kurang satu lagi?” tanyanya, Sivia mengangguk, “Sama Shilla, ya? Tadi dia nitip sama gue suruh bilang ke kalian kalau dia minta sekelompok sama kalian” kata Cakka.
“Kalau Oik, Sivia, Acha, Dea, sama Angel ga mau, gimana?” tanya Ozy, agak nyolot.
“Ya, gimana, ya? Kesian Shilla..” ucap Cakka, menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
“Kesian? Sama cewek kayak dia? Gue yakin ntar kalau lo udah tau semuanya, ga bakalan ada rasa kesian sedikit pun buat cewek macem Shilla!” seru Acha, sangat sinis.
“Ya udahlah, sama Shilla aja. Abisin waktu sepuas-puasnya sama dia. Abis ini, kan, bakalan mampus..” timpal Ray, sepertinya sudah mulai mengerti arah pembicaraan Ozy dan Acha.
“Hus! Gitu amat lo, Ray? Haha..” sela Oik, ia tertawa renyah, Cakka sampai terdiam dibuatnya.
Classmate (Part 31)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar