Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 22)

Keesokan harinya, semua kembali normal. Seperti biasa, Oik berangkat bersama Alvin. Tanpa sepengetahuan kedua orang tua Oik, tentunya. Karena keduanya masih beristirahat. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya Cakka menjemput Shilla di rumahnya.

Cakka baru saja sampai di depan rumah Shilla ketika Nova keluar dari rumah dengan motor matic-nya. Keduanya sempat berpapasan. Nova melemparkan senyum manisnya. Sedangkan Cakka, bersikap tak acuh dengan adik perempuan Shilla tersebut.

“Masuk aja, Kak Cakk. Kak Shilla masih sarapan, tuh” pesan Nova.

Kemudian, ia menyalakan mesin motornya, “Kak Cakk, gue duluan, ya!” pamitnya. Cakka mengangguk ogah-ogahan dan Nova-pun melenggang menggunakan motornya. Mau tak mau, Cakka masuk ke dalam dan mencari Shilla.

“Permisi..” Cakka terlihat sangat canggung ketika sudah berada di teras rumah Shilla.

“Iya, sebentar!” terdengar sahutan dari dalam. Suara yang lembut, atau sok lembut? Entahlah. Terdengar pula langkah kaki seseorang. Tak lama kemudian, muncullah seorang gadis semampai di depan Cakka, “Loh? Cakka?” kaget gadis tersebut.

“Hmm..” Cakka menanggapinya dengan ogah-ogahan.

“Ngapain di sini?” tanya gadis itu. Terlihat sekali kalau ia sangat senang, matanya pun berbinar-binar ketika mendapati Cakka sudah ada di teras rumahnya sepagi ini.

“Lo pikir? Jemput nenek moyang lo, apa? Ya jemput elo lah!” seru Cakka ketus.

“Oh, oke.. Gue ke dalem sebentar, ya. Mau pamitan sekaligus ambil tas. Tunggu sini bentar! Jangan ke mana-mana!” pesan gadis semampai tadi, Shilla.

Shilla segera masuk dan mengambil tasnya. Tak lupa, ia juga berpamitan dengan kedua orang tuanya. Ia kembali menemui Cakka di teras rumahnya dengan senyum mengembang, “Ayo berangkat” ajaknya.

Keduanya pun segera menaikki motor Cakka. Cakka menghidupkan mesin motornya dan mereka pun melaju menuju SMP Ranvas. Cakka, ini bener elo, kan? Lo jemput gue, Cakk? Apa itu artinya... Lo udah ‘lupa’ sama Oik? Semoga, Cakk!

^^^

Lapangan parkir khusus murid SMP Ranvas pun terlihat sudah hampir penuh. Dua kendaraan bermotor datang bersamaan dan parkir di tempat yang dekat satu sama lain. Kedua pengemudi motor pun melepaskan helmnya, begitu pula dua siswa yang mereka bonceng masing-masing.

“Alvin my bro!” ucap pengemudi motor yang membonceng seorang gadis berambut panjang dengan wajah imut dan senyum lucunya.

“Ozy my bro!” sapa balik pengemudi motor satunya yang membonceng seorang gadis berambut sebahu dan senyum manisnya.

Kedua gadis itu pun tertawa bersama ketika mendapati ‘pangerannya’ terlihat akrab. Alvin dan Ozy, pengemudi kedua motor tadi, segera mematikan mesin motornya dan melenggang beriringan dengan kedua gadis tadi, Oik dan Acha.

“Eh, eh, by the way, si ‘nenek lampir’ hari ini masuk, ya?” tanya Ozy enteng yang dengan seenak jidatnya mengubah nama orang lain menjadi ‘nenek lampir’.

“Jahat lo, Zy! Temen lo, tuh! Pake ngubah namanya jadi ‘nenek lampir’, lagi!” seru Alvin, seolah-olah membela orang yang sedang mereka bicarakan.

“Tau, tuh! Ozy mah jahat! Jangan sampek aja nama gue juga lo rubah jadi semacem itu!” kecam Oik, terlihat ia sedang menahan ledakan tawanya semenjak Ozy mengucapkan kata ‘nenek lampir’ tadi.

“Aduh, bukan gitu, Oikku sayangku cintaku! Maksud aku tuh, udah cukup nama aslinya jelek! Nama panggilannya jangan jelek-jelek lagi! Ngambek loh ntar orangnya. Kalo dia udah ngambek, penyakitnya kambuh loh! Ntar kitanya juga yang repot!” lanjut Alvin. Kali ini, omongannya lebih ‘pedas’ ketimbang Ozy yang menyebutnya ‘nenek lampir’.

Acha tertawa terbahak, “Kalian ini mah! Stadium empat, tuh, si Princess! Abis ini mampus, kan, katanya si Nova?” sahut Acha yang sedari tadi diam.

“Heh! Jahat banget kalian ini! Temen sendiri itu!” Oik menimpali sambil tersenyum geli.

“Oik terlalu baik, sih!” sungut Ozy dengan ekspresi lucu.

“Hayo! Lagi ngomongin gue, ya?” seseorang mengageti keempatnya dari belakang. Keempatnya pun menoleh ke belakang bersamaan, “Kenapa? Kaget gue udah masuk? Kangen sama gue? Iya dong! Ranvas pasti sepi ga ada Princess-nya!” seloroh orang tersebut.

“Please, deh, Shill! Ga usah lebay! Princess? Elo? Princess-nya Ranvas? Dapet ilham dari mana lo sampek berani ngomong gitu?” Acha meluapkan kekesalannya pada gadis tersebut. Shilla terlihat tak suka dengan perkataan Acha tadi, “Kenapa? Ga suka? Mau protes?” tantangnya.

“Cakka! Acha jahat banget sama gue! Ngeselin!” gadis itu, Shilla, melapor pada Cakka dengan gaya manjanya.

“Ssstt! Udah, udah! Kok malah tengkar, sih?” Oik melerai keduanya dengan tersenyum tipis.

Ozy dan Acha melengos malas ketika mendengar Shilla yang berubah sedrastis itu kepada Cakka, “Terus? Emang ada urusannya sama gue? Emangnya lo siapa gue? Pacar? Enak aja!” reaksi Cakka kali ini cukup membuat Shilla kesal.

“Makan, tuh!” seru Ozy dan Acha berbarengan.

Setelah itu, Ozy, Acha, Alvin, Oik, dan Cakka pun kembali melenggang, meninggalkan Shilla yang terlihat masih kesal dengan Ozy, Acha, dan Cakka. Cakka, maksud lo tadi bilang kayak gitu tuh apa? Gue kira lo udah ‘lupa’ sama Oik. Untuk yang kesekian kalinya, gue kecewa sama lo!

Terlihat kelimanya berhenti di depan kelas 9.2, kelas Acha, “Eh ya, Cha! Lo kok tau kalo si ‘nenek lampir’ kena kanker rahim stadium empat? Lo juga, Zy! Tau dari mana?” tanya Alvin bingung.

“Eh iya ya.. Kalian berdua tau dari mana? Perasaan yang waktu itu denger dari Nova cuman gue, Alvin, Cakka, Dea, sama Kak Rio” Oik juga terlihat bingung dengan ini.

Ozy dan Acha saling pandang dengan ekspresi lucu, “Tau dari Dea!” jawab keduanya kompak.

“Yeh.. Si Dea kagak bisa jaga rahasia amat!” gerutu Cakka.

“Bukan! Bukan Dea yang ga bisa jaga rahasia! Gue tanya aja sama dia. Kan, dia majang status gitu dan bilang kalo lagi di taman kota bareng kalian-kalian” jelas Acha, tak terima Cakka menyalahkan ‘kecablakan’ Dea.

“Iya! Terus, ya, gue sama Acha tanyain aja ngapain dia di sana, sama kalian-kalian ini. Kan, gue sama Acha demen tanya-tanya, tuh. Makanya, gue tanyanya dari awal sampek akhir. Dea juga udah bilang kalo kita ga boleh bilang siapa-siapa” lanjut Ozy.

“Etdah! Kompak amat jelasinnya? Langgeng, deh, kalian” sahut Alvin sambil tersenyum mengejek.

“Ngaca, Vin, ngaca! Lo sendiri, sama Oik udah berapa bulan, coba?!” tantang Ozy.

Acha menyikut lengan Ozy pelan ketika ia tak sengaja melirik ekspresi Cakka ketika mendengar ucapan Ozy barusan, “Sssstt! Ozy! Kamu salah ngomong, tuh! Liat si Cakka! Dia jadi murem gitu, tau ga?! Oik juga. Dia kayak ngerasa bersalah gitu. Kamu mah!” Acha berbisik pelan di telinga Ozy.

“Ah, ya udah yuk, bye Acha! Vin, Ik, Cakk, ayo ke kelas. Eh, Vin, lo ke 9.8 lho, ya! Jangan nyasar ke 9.5!” Ozy mengalihkan pembicaraan dan segera menarik Oik, Alvin, dan Cakka menjauhi kelas Acha.

^^^

Bu Winda baru saja datang di kelas 9.5, “Eh, anak-anak, ibu minta tolong, ya. Hmm.. Cakka dan Oik, tolong ambilkan lembar-lembar soal latihan di Ruang Guru, di meja saya, ya!” pesannya.

Cakka dan Oik pun bangkit dari duduk mereka masing-masing dengan disambut tatapan tak suka dari Shilla, “Bu, Bu Winda! Gimana kalo saya aja yang bantuin Cakka ngambil soal-soal latihan di Ruang Guru?” tawarnya.

“Ga usah, Shill! Lo, kan, takut keringetan. Ntar rambut lo lepek, lagi! Ntar, kan, ga cantik lagi!” sahut Deva dari tempatnya. Sukses mendapat sorakan keras dari teman-teman sekelasnya dan tatapan sinis dari Shilla.

“Iya, Shill! Mending lo duduk manis aja di bangku lo. Kan, ga keringetan, tuh! Biar lo tetep cantik!” tambah Ray. Kali ini, sorakan dari anak-anak 9.5 terdengar sangat keras.

“Sudah, sudah! Shilla, biar Oik saja yang bantu Cakka. Kamu diam saja di kelas!” Bu Winda pun beralih pada Cakka dan Oik, “Kalian berdua jangan bengong saja di situ! Cepat ambil lembar-lembar soal latihannya!”

“Be strong, ya, Ik!” bisik Sivia di telinga Oik. Oik hanya membalasnya dengan senyuman.

Cakka dan Oik pun cepat-cepat melenggang keluar kelas dan menuju ke Ruang Guru sebelum kembali dibentak oleh Bu Winda. Kedunya jalan beriringan menuju ke sana. Setelah sampai, keduanya langsung masuk ke dalam Ruang Guru. Sepi. Wajarlah, pasti guru-guru yang lain sedang sibuk mengajar di kelas.

“Eh, mejanya Bu Winda yang mana, sih?” gumam Cakka.

“Tuh!” Oik mengedik ke arah salah satu meja dengan tumpukan lembar-lembar soal latihan di atasnya.

Keduanya pun segera menghampiri meja tersebut dan membagi dua lembar-lembar soal tadi. Tentunya, dengan Cakka yang membawa lembaran soal lebih banyak ketimbang Oik. Setelahnya, mereka kembali keluar dari Ruang Guru dan berjalan beriringan tanpa suara.

Bruk! Tiba-tiba saja Oik terjatuh. Alhasil, lembaran soal yang akan dibagikan pada teman-temannya pun jatuh berserakan, “Aduh, pake jatuh segala, lagi!” gerutu Oik. Cepat-cepat ia bereskan lembaran-lembaran soal tersebut.

Cakka pun menoleh dan mendapati Oik yang jatuh terduduk dan berusaha mengumpulkan kembali lembaran soal yang sudah berserakan di koridor depan Ruang Guru tersebut. Ia pun berjongkok dan membantu Oik.

“Sini gue bantu” tawarnya. Oik mendongak dan menatap Cakka sekilas, senyumnya kemudian mengembang seiring dengan tangan Cakka yang membantunya mengumpulkan kembali lembar-lembar tersebut.

Tak mereka sadari, Alvin sudah berdiri mematung di belakang mereka berdua dengan ‘panas’. Terlebih lagi, ketika tangan Cakka dan Oik tak sengaja akan mengambil lembaran yang sama. Terlihat wajah Cakka dan Oik yang sama-sama memerah.

“Ehem ehem..” Alvin berdehem di belakang mereka. Cakka dan Oik pun segera melepaskan tangan masing-masing dari lembaran yang sama tersebut.

“Eh, Alvin.. Kok di sini, vin?” tanya Oik, mengedik sekilas ke Alvin dan kemudian, kembali berkutat dengan lembaran-lembaran yang berserakan tersebut.

“Kebetulan mau ke toilet. Kenapa, Ik?” tanya Alvin balik.

Oik menggelengkan kepalanya cepat, “Ga pa-pa. Tanya aja” sahut Oik.

Cakka dan Oik menghela napas lega ketika lembaran-lembaran tersebut sudah tak berserakan lagi di laintai koridor dan telah berpindah ke tangan Oik, “Ya udah, Vin. Aku duluan, ya! Tadi cuman disuruh Bu Winda ngambil ini” pamit Oik.

Cakka dan Oik pun berlalu, meninggalkan Alvin yang masih mematung melihat ‘insiden’ tadi, tepat di depan matanya sendiri. Oik sendiri, kembali melangkah di samping Cakka dengan jantung yang masih berdebar-debar akibat ‘insiden’ tadi.

“Eh, iya.. Makasih yang tadi” ujar Oik dengan suara yang sangat kecil.

Cakka mengangguk kecil, “Iya, sama-sama” terlihat wajah Cakka yang kembali memerah. Tak hanya Cakka, ternyata wajah Oik pun berubah memerah.

^^^

“Kalian ini dari mana saja? Lama sekali! Pacaran dulu? Iya?” tegur Bu Winda ketika Cakka dan Oik baru saja memasukki kelas. Kontan, kelas 9.5 kembali riuh dengan sorak-sorakkan penghuninya.

“Go kok, bu. Tadi lembarannya sempet jatuh, makanya lama” jelas Oik, tak ingin lama dirinya jadi bahan sorak-sorakkan. Apalagi ketika dia mengingat Shilla. Huh!

“Ya sudah, cepat duduk!” suruh Bu Winda. Cakka dan Oik pun kembali ke tempat masing-masing. Oik di samping Sivia dan Cakka di samping Ozy. Oik disambut oleh pandangan menyelidik dari Sivia. Sedangkan Cakka, disambut tatapan jahil dari Ozy.

“Hayo ngaku! Ngapain aja tadi sama Oik?” tanya Ozy dengan tetap mempertahankan tatapan jahilnya. Cakka melengos dengan wajah memerah, “Ciee pake merah segala wajahnya! Ayo cerita!” paksa Ozy.

“Ya gitu.. Cuman ngambil lembaran soal latihan di Ruang guru. Eh, tau-tau punyanya Oik jatuh semua. Ya udah gue bantuin. Ga sengaja aja tadi ngambil lembaran yang sama. Terus, Alvin dateng. Gitu aja” jawab Cakka, masih dengan wajah memerah.

“Haha.. Si Alvin ngerusak suasana banget, ya?” tanya Ozy, Cakka mengangguk polos.

Di tempat Sivia dan Oik, “Ik, lo musti cerita ke gue! Sekarang!” sekarang ganti Sivia yang menodong Oik untuk bercerita. Tak jauh beda dengan Ozy yang menodong Cakka.

“Cerita apa, sih, Siv?” tanya Oik kalem.

Sivia melengos malas, “Apalagi, sih, yang bisa lo ceritain kalo bukan lo sama Cakka tadi?”

“Emangnya kenapa? Kan, tadi kita cuman ngambil lembaran soal di Ruang Guru!” jelasnya.

“Ga ada insiden apa atau apa, gitu? Masa? Ga yakin gue!” Sivia kembali melancarkan ‘aksinya’.

“Iya deh iya! Tadi ga sengaja aja ngambil lembaran yang sama waktu lembaran tadi pada jatuh. Udah, kan? Puas?” Oik menjelaskannya dengan suara yang makin lama, makin mengecil dan pipi yang kembali memerah.

“Wah! Terus? Terus? Lanjutin!” Sivia terlihat kaget dengan penjelasan Oik barusan.

“Ya ga gimana-gimana, Sivia. Terus, Alvin dateng. Udah!” lanjut Oik lagi.

Sivia terkikik pelan, “Si Alvin jadi benalu banget! Iya, kan?” tanya Sivia, Oik mengangguk kecil seraya tersenyum lucu, “Lo, tuh! Cowok sendiri, juga!” Sivia terlihat kaget dengan Oik yang mengangguk tadi.

“Eh, eh, terus? Lo tadi berangkat bareng Alvin, kan? Terus Dea gimana?” tanya Sivia lagi.

“Loh? Lo tau dari mana?” tanya Oik bingung.

Sivia cengengesan, “Dari Acha!” jawabnya enteng.

Oik menghela napas, “Dasar pada cablak, ya! Kalo Dea, bareng Kak Rio. Pulangnya ntar, ya, gue kudu bareng mereka. Kan, Kak Rio bawa mobil. Gue jadinya ga bareng Alvin lagi kalo pulang” cerocos Oik.

Sivia hanya tersenyum tipis. Sebagian hatinya bersorak heboh ketika Oik berkata bahwa ia tak akan bareng Alvin lagi ketika pulang. Lo kok gini, sih, Siv?! Aduh! Ga boleh! Ga boleh! Mikir apa, sih, lo?! Lupain!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar