Rio membopong Oik ke UKS dengan segera. Alvin, Sivia, Ray, Deva, dan Ozy mengikutinya dari belakang. Keenamnya sama-sama khawatir dengan keadaan Oik sekarang. Kebetulan, jika ingin ke UKS maka harus melewati area ruang kelas Sembilan terlebih dahulu. Tepat ketika keenamnya melewati kelas 9.5, Cakka sedang berada di luar kelas.
“Hey, hey! Ini Oik kenapa?” tanya Cakka. Dia pun ikut dalam rombongan tersebut, mengantar Oik ke Ruang UKS.
Deva, Ozy, dan Ray menatapnya tajam. Alvin, Rio, dan Sivia seolah tak peduli dengan kedatangan Cakka. Toh, ada Cakka ataupun tidak, tetap saja Oik pingsan, “Tanya aja sama cewek lo yang psycho itu!” seru ketiganya bersamaan.
Rio semakin cepat berjalan. Begitupula dengan Alvin, Sivia, Ray, Deva, dan Ozy. Kelimanya berjalan dengan tergesa-gesa. Cakka sampai tertinggal. Hingga akhirnya Cakka memutuskan untuk berbalik dan menemui Agni. Kebetulan semua guru sedang rapat.
^^^
Rio membaringkan tubuh mungil Oik di ranjang UKS. Dan sayangnta, petugas UKS sedang absen. Jadilah keenamnya kelimpungan mencari cara agar Oik sadar. Sivia mengobrak-abrik almari obat di dekat kulkas. Tak ia temukan minyak kayu putih di sana. Sivia berdecak kesal.
“Aduh, duh, duh! Ini Oik biar sadar caranya gimana? Gue bukan dokter! Ah, matilah gue!” seru Deva lebay. Ia mondar-mandir di dekat ranjang Oik sambil sesekali menghentakkan kakinya dengan kesal.
Sedangkan Rio, ia duduk di kursi yang ia letakkan tepat di samping ranjang Oik. Matanya menatap pilu adik semata wayangnya itu. Tak lama, seorang gadis tiba dengan dahi berkerut heran.
“Hey, sedang apa kalian di sini?” tanyanya, tetap mempertahankan kerutan indah di dahinya.
Seketika itu pula keenamnya menoleh. Ray, Deva, dan Ozy langsung berbinar ketika melihat gadis itu. Ketiganya berlomba-lomba menarik gadis itu agar mendekat ke ranjang Oik. Gadis itu jadi bingung sendiri.
“Dea cantik..” gombal Ozy, matanya berkedip-kedip ke gadis yang ia panggil ‘Dea’ tadi.
“Ayang Dea asistennya perawat UKS, kan?” tanya Ray, ia mengikuti kedip-kedip centil ala Ozy.
Deva memegang tangan gadis itu dengan centil, “Dea baik deh. Bantuin kita dong” rajuknya.
Gadis itu, Dea, mengangguk-angguk tanda mengerti, “Oh, ada maunya ternyata. Pantesan aja dari tadi sok centil sambil manggil gue cantik, sayang, dan lain-lain. Iya, gue asistennya perawat UKS. Terus kenapa?” balas gadis bongsor nan manis itu, Dea.
Sivia, Alvin, Rio, Deva, Ozy, dan Ray memekik girang. Keenamnya langsung mendorong Dea agar lebih dekat dan dapat melihat keadaan Oik, “Loh, ini cewek yang waktu itu, kan? Adik lo, ya? Yang waktu itu sapu tangan lo jatuh, kan?” tanya Dea bertubi-tubi. Ia memandang Rio dan Oik bergantian.
Rio mengangguk cepat. ia merasakan jantungnya semakin berdegup tak karuan. Ia tundukkan kepalanya. Menghalangi Dea melihat rona kemerahan di wajahnya, Dea kembali buka suara, “Eh, dia Oik?” tanya Dea. Keenamnya mengangguk.
“Astaga.. Ini Oik kenapa? Dia keringat dingin banget! Abis kalian apain, sih? Kelihatan stress banget Oik. Tunggu ya, gue cariin minyak kayu putih” Dea berceloteh seraya melenggang menuju almari. Oh, rupanya kayu putih tak ada di sana. Ia kembali menemui keenam orang tadi.
“Iya, Dea. Ulahnya si psycho nih!” sungut Deva berapi-api.
Ray dan Ozy pun ikut memuncak kembali kemarahannya, “Masa ya, De, si Agni ngunciin Oik di ruangan sebelah Ruang Media itu. Yang ruangannya kecil dan gelap banget! Dasar psycho!” timpal Ozy, tak kalah berapi-api dengan Deva.
“Tau tuh si Agni. Udah tau si Oik takut gelap! Bego apa gimana sih itu anak orang satu? Gila aja dia ngunciin Oik di ruangan itu! Kan kesian Oik, dasar ga punya hati!” balas Ray.
Dea menelan ludah. Mereka memang tak tau kalau Dea adalah sepupu Agni. Dea pun tak kaget denga penuturan mereka. Ia berusaha sabar. Ingin sekali ia tutup mulut Deva, Ray, dan Ozy yang berceloteh heboh soal sepupu kesayangannya itu. Tapi mau bagaimana lagi? Sepupunya memang begitu.
“Oke, kebetulan minyak kayu putih lagi ga ada. Gue mau ke kelas sebentar, gua bawa minyak kayu putih. Ga sampai lima menit, gue udah balik lagi ke sini. Bye!” pamitnya.
Dea melenggang meninggalkan keenamnya. Sivia sempat melihat raut tak enak di wajah Dea ketika ketiga sahabatnya membicarakan soal keburukan Agni. Segera ia tepis pikiran tersebut. Gagal. Ia penasaran dengan hubungan Dea dan Agni.
^^^
Cakka berjalan memasukki kelas Agni. Sepi sekali. Hanya Agni yang ada di sana. Pasti yang lainnya sedang berada di kantin. Cakka menghampiri gadisnya itu yang sedang membaca sebuah komik. Sesekali deraian tawa muncul dari mulutnya. Dengan santai, Cakka berangsur duduk di bangku sebelah Agni.
Agni meliriknya sekilas, “Eh, Cakka. Kenapa?” tanyanya. Ia langsung menutup komiknya tersebut dan menggeletakkannya di dalam kolong bangku. Ia pun membenahi cara duduknya agar lebih terlihat anggun di depan Cakka.
Cakka masih menatapnya dengan tajam, “Bacot! Lo apain Oik?” tanyanya dengan nada datar. Matanya menatap Agni semakin tajam. Agni takut dibuatnya.
“Biasa aja deh, Cakka, ngeliatnya!” seru Agni gemetar. Ia mengalihkan pandangan Cakka dari dirinya. Berhasil memang. Tapi hanya untuk beberapa detik saja. Cakka kembali menatapnya dengan sangat-sangat tajam.
“Jawab! Ga usah banyak bacot! Lo apain Oik, hah? Lo tau? Oik pingsan! Wajahnya pucet, keringet dingin! Lo ngerjain Oik? Kira-kira, dong, kalau ngerjain orang! Oik itu sama kayak lo, kayak gue, manusia! Bisa ga sih lo pakai otak lo? Think twice!” hardiknya. Amarah Cakka sudah sampai di ubun-ubun.
Tanpa Agni menjawab sedikitpun, Cakka sudah berlalu meninggalkannya. Agni kembali memasang wajah sebal. Cakka menutup pintu kelas Agni dengan kasar. Sampai-sampai bunyi yang ditimbulkan pun tak hanya didengar olehnya dan Agni. Siswa-siswa yang kelasnya tepat berada di sebelah kelas Agni pun ikut mendengar suara berisik itu.
“Resek nih si Oik. Masih kurang apa, ya, dia dapet Alvin? Dia udah punya banyak sahabat, plus kakak yang sayangnya setengah mampus sama dia! Kenapa masih mau ngerebut Cakka-ganteng gue?” dumelnya.
^^^
Dea tersenyum lega. Rupanya ia memang membawa sebotol kecil minyak kayu putih. Ia pun bergegas kembali ke UKS. Tak enak dengan keenam orang yang menunggunya di sana. Ia mendengar suara-suara berisik dari kelas sebelah, kelas Agni lebih tepatnya. Ia buru-buru keluar dan mendapati pintu kelas Agni terombang-ambing. Pasti ada yang sengaja menutupnya dengan kasar.
Dea melongok ke dalam kelas. Agni sendirian di sana. Wajahnya sama sekali tak enak dilihat. Campuran antara marah, kesal, sedih, dan yang lainnya. Dea memutuskan untuk kembali ke UKS dan setelah itu, barulah ia menemui sepupu kesayangannya itu.
Dea beranjak memasukki Ruang UKS kembali. Keenam orang tadi segera menyingkir dari dekat ranjang Oik, membiarkan Dea menanganinya sebentar, “Kalau Oik udah sadar, gue langsung cabut. Ga kenapa-kenapa, kan?” tanyanya, meminta persetujuan kepada keenam orang tadi.
Tak ada seorang pun yang menjawab. Rio geleng-geleng kepala, “Iya, it’s fine. Makasih lo udah mau ngebantuin kita” timpal Rio. Dea meliriknya sekilas. Tanpa Rio sadari, rona kemarahan itu kembali tersirat dari wajah manisnya.
Oik mengerang. Perlahan-lahan, matanya mulai terbuka. Rio segera berdiri dan beranjak ke samping ranjang Oik. Dea tersenyum simpul. Oik mengerjap-erjapkan matanya sebentar, “Loh, kok gue di sini?” tanyanya, suaranya masih terdengar parau.
“Tadi kita nemuin kamu pingsan di ruangan kecil itu. Kak Rio yang gendong kamu ke sini” jawab Alvin. Senyum lega menghiasi wajah orientalnya.
Sivia menghela napas lega. Begitupula Deva, Ray, dan Ozy, “Kita khawatir, Ik, sama lo! Tadi keadaan lo kacau banget. Lo keringet dingin pula!” jelas Sivia yang juga diamini oleh Deva, Ray, Ozy, Rio, serta Alvin.
“Iya, Ik! Emang tadi lo diapain aja, sih, sama cewek psycho itu?” tanya Deva.
Oik mendudukkan dirinya. Alvin menghampirinya, “Tadi gue dikunciin di ruangan itu. Gelap banget! Gue takut. Dan, kalian tau? Ternyata di sana juga ada kecoak, tikus mati, kalajengking, dan lain-lain! Sumpah, gue takut!” pekiknya. Ia segera memeluk Alvin, yang kebetulan, memang posisinya paling dekat dengannya.
Dea berdecak kesal. Ia segera keluar dari UKS dan membiarkan Oik beristirahat di sana. Ia memang perlu bicara dengan Agni. Atau, kalau mungkin, bicara dengan kedua orang tua Agni. Sepupu kesayangannya itu terlampau keterlaluan.
^^^
Cakka berjalan gontai selepas keluar dari ruang kelas Agni. Tak sengaja ia berpapasan dengan Dea. Dea pun melihat raut wajah Cakka yang kacau. Dea mempercepat langkahnya agar dapat segera berbicara dengan Agni tentang kekacauan yang telah ia ciptakan.
“Ah! Oik, kan, di UKS! Mendingan gue ke sana aja!” gumam Cakka.
Serentak, Cakka membalikkan badannya dan berjalan ke UKS. Kebetulan sekali pintu UKS terbuka. Ia melongok masuk. Napasnya tertahan, kakinya seakan lemas. Ada Oik di sana. Sedang memeluk Alvin dengan air mata membanjiri paras manisnya.
“Ehemm.. ” Cakka berdehem kecil. Sontak, tujuh orang yang berada dalam UKS mengedik ke arahnya, tak terkecuali Alvin dan Oik, “Maaf ganggu” lanjutnya. Ketujuhnya mengangguk. Oik segera melepas pelukannya pada Alvin.
Rio memandangnya tak suka. Ia bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri Cakka. Sekarang keduanya sedang berdiri berhadapan. Selisih tinggi mereka pun tak beda jauh, “Ngapain lagi lo ke sini?” tanya Rio dengan ketusnya.
Cakka menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak menyangka akan seburuk ini sikap Rio padanya. Ia beranikan mendongak, “Maaf, kak. Gue ga ada maksud.. Cuman mau lihat keadaan Oik, mastiin dia baik-baik aja atau…” Cakka menggantungkan kalimatnya.
“Atau apa?” sahut Sivia dari belakang punggung Rio, “Apa lo punya misi yang sama kayak cewek lo yang psycho itu? Mau ngerjain Oik habis-habisan dan ngelihat Oik kayak sekarang?” tantangnya.
Cakka menggeleng cepat. Alvin memutar bola matanya, malas melihat Cakka, “Udah, ya, Cakk. Kalau emang lo ke sini cuman mau ngelihat keadaan Oik, lihat! Oik udah ga kenapa-kenapa. Lo bisa bilang ke cewek lo. Dan besok-besok, cewek lo bakalan ngerjain cewek gue lagi”
Cakka menggeram kesal. Matanya menatap sendu ke Oik. Oik cepat-cepat mengalihlkan pandangannya. Sempat Cakka lihat mata gadis itu berair, “Oke.. Get well soon, Ik” lirih Cakka.
Cakka membalikkan badannya. Ia berjalan keluar UKS dengan lemas. Alvin segera mengelus punggung Oik, sekedar memberi semangat kepada gadisnya itu. Oik kembali berbaring. Kepalanya masih terasa pusing. Lebih tepatnya, kembali pusing ketika Cakka datang.
^^^
Dea membuka pintu ruang kelas Agni dan berjalan cepat menuju meja Agni. Ia menggebrak meja Agni dengan keras. Agni melonjak kaget dibuatnya. Agni segera menutup kembali komik yang dibacanya dan berdiri berhadapan dengan Dea.
“Apa-apan lo, De?”
“Lo yang apa-apaan!”
“Apa maksud lo?”
“Ngapain, sih, lo ngerjain Oik sampai segitunya?! Lo ga tau, kan, gimana keadaan Oik waktu kakaknya, Sivia, Alvin, Deva, Ozy, sama Ray nemuin dia di ruangan itu? Lo punya hati ga sih, Ag?! Coba deh lo yang ada di posisi Oik, gimana perasaan lo, hah?!”
“Oh, rupanya lo udah mulai ketularan Cakka, ya? Ngapain sih lo jadi sok pahlawan gini?!”
“Bukannya gue sok pahlawan ya, sepupu gue tersayang! Lo itu udah keterlaluan! Oik bisa mampus di dalem kalau kakaknya ga cepet-cepet bawa dia keluar dari sana! Apa lagi gue denger kalau di dalem sana juga ada tikus mampus, kecoak, kalajengking, dan lain-lain!”
“Oh, gue tau! Lo suka sama abangnya Oik?”
“Ga usah ngalihin pembicaraan, Agni! Kita lagi ngebahas kekacauan yang lo buat! Bukan ngomongin soal gue ataupun abangnya Oik!”
“Terserah lo deh, ya! Gue ga peduli! Gue bakalan tetep bikin Oik kayak gini sampai dia ga ngegangguin Cakka-ganteng gue lagi! Cakka itu punya gue! Ga ada seorangpun yang boleh rebut dia dari gue!”
“Sarap, lo! Itu namanya keinginan buat memiliki, bukan cinta!” tutup Dea.
Dea berlari keluar dari kelas Agni. Ia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran sepupunya itu. Agni sendirik, terduduk lemas di bangkunya. Ia menelungkupkan kepalanya dalam tangannya dan menangis tersedu-sedu.
“Kalian ga tau perasaan gue! Gue iri sama Oik! Gue iri sama dia! Dia punya abang yang saying banget sama dia. Dia punya Cakka sama Alvin yang jelas-jelas cinta sama dia. Dia punya Ozy, Ray, dan Deva yang selalu support dia! Sedangkan gue? Gue punya apa? Tuha ga adil sama gue!” ujarnya dalam sela-sela tangis.
^^^
“Ik, ke kelas aja gimana? Ini udah jam segini loh. Abis ini pasti bel pulang. Mau, ya?” bujuk Sivia. Oik menganggukkan kepalanya.
Alvin dan Rio segera berdiri dan membantu Oik untuk berjalan. Sivia, Ozy, Deva, dan Ray mengikuti mereka bertiga dari belakang. Mereka bertujuh melewati kelas 9.2, Acha berdiri di ambang pintu seraya menghentak-hetakkan kakinya dengan kesal.
Ozy segera bersembunyi di antara Deva dan Ray. Ia mengerti jelas bahwa Acha sedang mencari Cakka. Dan jika Cakka tak ada, pastilah ia yang akan diinterogasi oleh Acha soal Cakka.
“Oh iya, kok akhir-akhir ini gue ga pernah lihat Shilla?” tanya Sivia pada yang lainnya.
“Loh, lo belum tau? Shilla, kan, lagi ngejenguk neneknya yang sakit di desanya sono. Tau dah tuh di mana. Di Sulawesi sono kayaknye. Katanya sih bakalan lama. Bagus deh! Ga ada lagi, kan, yang suka tebar pesona di kelas?” kelekar Deva.
Keenamnya tertawa lepas mendengar jawaban dari Deva.
Classmate (Part 11)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar