Tanpa mereka berlima sadari, seorang gadis dengan tubuh semampainya telah melihat keseluruhan kejadian tadi dari luar lapangan basket dan bersembunyi di balik salah satu ring yang terdekat dengan akses masuk dan keluar lapangan tersebut.
Gadis semampai itu memandang tak suka ke arah Cakka dan Oik yang masih diam membisu dan berpelukan di tengah-tengah lapangan. Ia mengutuki Alvin, Sivia, dan Dea yang juga tak bergerak dari tempat masing-masing untuk sekedar menyuruh Cakka melepaskan pelukannya terhadap Oik.
Lihat apa yang bisa gue bikin buat elo, Ik! Lo udah ngambil Cakka gue dan elo harus ngerasain sakit yang lebih daripada yang gue rasain sekarang!
Dengan secepat kilat, dan juga agar keberadaannya tak disadari oleh kelima orang tadi, ia bergegas keluar dari tempat persembunyiannya dan kembali ke kelas. Sesekali ia melirik ke belakang, memastika kelimanya masih terpaku di tempat masing-masing.
^^^
Alvin memandang geram Cakka yang masih tetap enggan melepas pelukannya pada Oik. Alvin merutukki dirinya sendiri dalam hati. Merutukki ketidak-berdayannya untuk menarik Oik dari pelukan Cakka, mengingat sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi.
Ia mengedik pada Sivia dan Dea yang posisinya berada di belakangnya beberapa meter. Ia menunjukkan wajah dengan ekspresi termelasnya. Dea dan Sivia sendiri sadar kalau Cakka tak akan melepaskan Oik sebelum bel berbunyi. Mereka berdua hanya mampu menggelengkan kepala pada Alvin.
“Putusin Alvin, Ik” pinta Cakka, masih dengan berbisik di telinga Oik.
Oik menggelengkan kepalanya, “Ga, Cakk. Gue ga tega. Dia udah baik banget sama gue” tolaknya halus. Cukup membuat Cakka kembali menggeram kesal.
Kring kring kring.. Bel berbunyi tiga kali. Alvin, Sivia, dan Dea menghela napas lega. Akhirnya ada juga alasan agar Cakka segera melepaskan pelukannya pada Oik. Detik itu juga, Cakka melepaskan Oik dari rengkuhan angkuhnya.
Cakka menatap kedua bola mata Oik dalam-dalam, cukup membuat Alvin kembali ‘memanas’. Cakka menghapus buliran-buliran air mata yang meleleh di pipi Oik dengan sunggingan senyum di bibirnya.
Ia kembali mencondongkan tubuhnya kepada Oik, “Pertimbangin lagi apa yang gue minta tadi, ya” bisiknya.
Setelahnya, ia ‘mengembalikan’ Oik kepada Sivia dan Dea, tanpa mengacuhkan Alvin yang masih menatapnya berapi-api. Cakka pun melenggang meninggalkan lapangan basket dengan senyum leganya.
Sivia dan Dea mengelus punggung Oik. Keempatnya pun segera kembali ke kelas masing-masing. Tepat di ujung koridor, Alvin meminta izin untuk ke toilet. Hal tersebut disambut indah oleh Sivia dan Dea yang memang akan berbicara enam mata dengan Oik.
“Ik, tadi Cakka ngebisikin lo apa?” tanya Sivia yang juga diamini oleh Dea.
Oik menghela napas pasrah, “Dia nyuruh gue buat bilang kalau gue sayang sama dia” jawabnya.
Sivia memincingkan matanya. Sebenarnya ia tak tega dengan Alvin. Tapi, mau bagaimana lagi? Mana mungkin ia menusuk Oik dari belakang? Sivia segera mengenyahkan pikiran-pikiran buruknya untuk memberitahu Alvin soal itu.
“Terus? Lo turutin?” tanya Dea, Oik mengangguk lemas.
Sivia menepuk jidatnya, “Untung aja Alvin ga denger! Coba kalau dia denger! Kasihan, Ik!” serunya sarkatis.
Sekarang ganti Dea yang memincingkan matanya. Tidak, kali ini tidak kepada Oik. Tapi kepada Sivia. Dea mulai menduga-duga soal isi hati gadis oriental di sampingnya ini. Ia menghela napas berat, Makin rumit aja ini masalah.
“Lah? Kok lo malah kasihan sama Alvin, sih? bukannya kasihan sama sohib sendiri?” tanya Dea, lumayan berani.
Pertanyaan Dea barusan seakan menohok ulu hati Sivia. Ia mendadak gugup. Tak mungkin ia mengungkapkan kegalauannya soal Alvin kepada dua gadis yang sedang berjalan beriringan dengannya tersebut. Ia cukup menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis pada Dea.
Mereka bertiga telah sampai di depan kelas Sivia dan Oik, “Ik, pulang sekolah lo kudu cerita ke gue! Sekalian, gue mau tanya-tanya sama lo” bisik Dea, ia tak ingin Sivia mendengarnya.
Oik hanya mengangguk kecil. Setelahnya, Sivia dan Oik telah masuk ke dalam kelasnya. Dan Dea, terus melangkah menuju kelasnya sendiri yang hanya berjarak beberapa meter dari kelas mereka berdua. Tepatnya, berada di antara kelas Oik dan Alvin.
^^^
Bel istirahat baru saja berbunyi. Sivia, Deva, dan Ozy sudah melenggang entah ke mana. Kebetulan Ray sedang absen. Kelas 9.5 tampak sepi. Hanya ada tiga orang di sana. Oik, Cakka, dan Shilla. Aura-aura ‘balas dendam’ dari Shilla pun sudah mulai terasa. Bukannya Oik tak menyadarinya, ia hanya.....
Shilla masih berada di bangku miliknya sendiri. Ia mengulum senyum sinisnya pada Oik, yang sayangnya tak melihatnya karena gadis manis itu duduk jauh di depan bangku miliknya. Ia sudah bersiap-siap melancarkan aksinya ketika tiba-tiba saja ponselnya bergetar, ada sebuah panggilan masuk. Ia pun cepat-cepat mengangkatnya.
“.....Apa, Nov?.....”
“.....Kebetulan, nih, lo nelpon! Bantuin gue, ya?.....”
“.....Ga usah bawel! Ntar gue kirimin SMS!.....”
“.....Oke! Lo emang adik gue yang paling pinter!.....”
Shilla pun menutup panggilan dari Nova tersebut dengan senyum mengembang. Ia segera meletakkan ponselnya di sakunya. Bagus, akhirnya Nova mau bantuin gue. Great! Gue ga perlu susah-susah lagi ngejabaninnya!
Seakan teringat ucapannya, ia kembali mengambil ponselnya. Shilla segera mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Nova. Setelahnya, ia kembali meletakkannya di saku seragamnya. Ia menatap Cakka dan Oik yang memunggunginya. The game begins, Oik!
“Aaaaaawww!!” seru Shilla sambil memegangi perutnya.
Spontan, Cakka dan Oik menoleh ke arahnya. Mereka berdua segera menghampiri gadis semampai itu dengan raut wajah khawatir. Sial! Kenapa si Oik ikutan ke sini, sih?! Gue, kan, maunya cuman Cakka yang ngampirin gue! Biar lebih dramatis!
“Shill, kenapa, Shill?” tanya Cakka khawatir, Shilla tersenyum dalam hati.
“Perut lo sakit?” tanya Oik. Bego! Udah jelas-jelas gue megangin perut gue!
“Cakk, perut gue sakit banget. Gue ga kuat” lirihnya, matanya menatap Cakka memelas.
Cakka jadi tak tega. Ia langsung melirik Oik. Tidak! Ia tak mau Oik berpikir macam-macam tentang dirinya dan Shilla. Cakka mencoba mengontrol perasaan khawatirnya dan menunjukkan ekspresi sewajarnya.
“Lo bawa obat?” tanya Cakka dingin. Shilla kaget sesaat. Kenapa Cakka berubah menjadi sedingin dalam waktu sekejap?
Shilla menggeleng lemas, “Mending lo anterin gue pulang aja. Obat gue ada di rumah. Please!” mohonnya. Cakka tampak menimbang-nimbang sebentar dan akhirnya mengangguk. Shilla kembali tersenyum dalam hati.
Shilla mencoba berdiri. Dan, dengan dibuat-buat, ia kembali terjatuh di bangkunya. Cakka menggelengkan kepalanya. ia pun memapah tubuh Shilla. Sebelumnya, dengan sengaja ia meletakkan tasnya di kolong bangkunya. Ia tersenyum licik pada Oik dan sayangnya, lagi-lagi Oik tak menyadarinya.
Oik terpaku menatap punggung kedua orang yang cukup mewarnai hidupnya itu, walaupun dengan arti yang berbeda, semakin menjauh dari dirinya. Rupanya Cakka benar-benar mengantar Shilla pulang ke rumahnya. Oik menghela napas sedih.
Ia pun kembali ke bangkunya dan terduduk lemas di sana. Alvin, Dea, Sivia, Acha, Ozy, dan Deva datang tak lama setelah Cakka dan Shilla berlalu. Keenamnya menatap bangku Cakka yang kosong. Sivia pun duduk di samping Oik..
“Ke mana si Cakka sama nenek sihir itu? Bukannya tadi kalian bertiga di kelas?” tanya Ozy.
Oik mencoba terlihat biasa saja. Dan hasilnya, sukses! Hanya di mata Alvin saja, “Cakka nganterin Shilla pulang. Tiba-tiba perutnya sakit dan dia ga bawa obat. Penyakitnya kambuh, kali” jelasnya.
“Oh.. Lagi sakaratul maut, ya, itu nenek sihir satu? Bagus, deh” sahut Deva ngaco.
“Hus! Gila lo ngedoain temen sendiri mampus!” ujar Oik dengan menahan tawanya. Selalu saja Deva dan Ozy ini berkata kejam soal Shilla. Biasanya Ray juga, tapi sekarang ia sedang absen.
“Apa? Temen? Wah, Dev! Dia temen lo? Astaga! Jauh-jauh, Dev! Ketularan ngeselinnya dia, baru tau rasa lo!” timpal Acha dengan gaya bahasa dimirip-miripkan dengan Shilla.
“Astaga, Acha! Dia bukan temen gue! Gue ga sudi punya temen kayak dia! Kiamat, Cha, kalau dia itu temen gue!” balas Deva, tak kalah lebay dengan seruan Acha sebelumnya.
Kontan, gelak tawa terdengar dari ketujuhnya. Oik geleng-geleng kepala mendengar celotehan sahabat-sahabatnya tersebut. Keadaan kembali hening. Tepat ketika keheningan tersebut berlangsung, ponsel Oik bergetar.
Ia menoleh pada layar ponselnya dan mendapati nama Shilla di sana. Sebuah panggilan masuk dari Shilla. Ia memutar bola matanya malas. Ia tak bisa berlama-lama memendam rasa tidak sukanya kepada gadis semampai tersebut.
“Dari siapa, Ik?” tanya Alvin penasaran.
“Dari nenek sihir lo, tuh” jawab Oik ketus seraya mengedik pada Deva dan Ozy.
“Najis lu, Ik! Ogah gue! Ga kenal gue sama dia!” seru Deva heboh, lebay, dan alay.
“Loudspeaker, Ik!” pinta Sivia sambil menunjuk ke arah ponsel di tangan Oik.
Oik mengangguk pada Sivia dan mulai memencet tombol berwarna hijau di ponselnya. Cepat-cepat ia memilih submenu loudspeaker agar sahabat-sahabatnya tersebut mendengar pembicaraan via telponnya dengan Shilla.
“.....Halo? Oik, ya? Ini gue, Shilla!.....” ujar suara di seberang sana.
“Bego! Udah jelas-jelas dia pernah tukeran nomor sama Oik! Ya jelas Oik punya nomornya, dong! Dikira Oik ga bisa baca? Dia, kali, tuh yang ga bisa baca!” dumel Dea dengan suara yang agak keras.
Di seberang sana, Shilla melotot kesal mendengar ucapan Dea barusan. Ia mengatur emosinya agar suaranya tetap terdengar seperti orang-orang yang sedang sakit pada umumnya. Ia kembali mendekatkan telinganya pada ponselnya.
“.....Iya. Kenapa, Shill?.....” tanya Oik malas-malasan.
“.....Gue mau minta tolong, nih. Lo bisa, ga, anterin tas gue sama Cakka ke rumah gue pulang sekolah nanti? Cakka nemenin gue di rumah soalnya, lagi ga ada orang.....” ujar Shilla dari seberang, cukup membuat Oik geram.
“.....Enak aja lo! Siape elo nyuruh-nyuruh Oik? Cuih!.....” samber Alvin langsung, ia pun mulai tak suka dengan gadis semampai di seberang sana.
Shilla menghela napas sok sedih di seberang sana, “.....Ayolah, gue mohon! Kan, kalian tau gue lagi sakit.....”
“.....Ck! Iya iya.....” ujar Oik pada akhirnya.
Cepat-cepat ia mematikan sambungannya dengan Shilla. Cukup sudah Shilla membuatnya kesal hari ini. Ia pun segera mengambil tas milik Cakka dan Shilla di bangku mereka masing-masing. Oik menghempaskan kedua tas tersebut di bawah kursinya. Dan dengan sengaja, Dea menginjak tas berwarna ungu milik Shilla.
“Ups! Ga sengaja! Maaf! Itung-itung buat kenangan dari gue. Kan, abis ini kita ga ketemu lagi, Nona Shilla yang cantik” ujar Dea dengan nada yang dibuat-buat. Cukup membuat sahabat-sahabatnya kembali tertawa.
^^^
Cakka baru saja akan beranjak dari kursi di saping ranjang Shilla ketika tangan Shilla dengan sengaja menahan langkahnya tersebut. Cakka membalikkan tubuhnya dan memandang Shilla tanpa ekspresi. Sejujurnya, Shilla takut dipandangi Cakka seperti itu.
“Lo sini aja, anak-anak yang ntar bakalan anterin tas gue sama tas lo” ujarnya.
Cakka menaikkan satu alisnya, “Oh, jadi lo udah ngerencanainnya? Gitu? Pinter, ye, lo! Lo minta tolong ke siapa, hah?” tantang Cakka, untung saja di rumah Shilla hanya ada mereka berdua. Jadi, tak aka nada yang mendengar seruan kencangnya.
“Ga, bukan gitu. Maksud gue baik, kok! Gue lihat lo lemes banget. Capek, kan? Makanya gue nyuruh lo di sini aja. Lo bisa istirahat di sini sambil jagain gue” jelas Shilla.
Cakka mendengus kesal. Bisa sekali gadis ini memainkan kata-kata. Dengan pasrah, Cakka kembali duduk di kursi tersebut. Menjaga Shilla yang sedang ‘sakit’. Tak lama kemudian, Cakka sudah tertidur dengan posisi duduk. Shilla tersenyum licik.
^^^
Bel pulang baru saja berbunyi. Seluruh murid sudah berhamburan pulang. Alvin sudah pulang dengan motornya, Sivia dengan mobil jemputannya, Acha dengan dibonceng Ozy, dan Deva dengan motornya. Kini tinggal Oik dan Dea yang menunggu Rio, berharap laki-laki itu segera datang dan mengantar keduanya ke tempat terkutuk itu.
“Ik, kok lo mau disuruh itu anak nganterin tasnya ke rumahnya?” tanya Dea bingung.
“Biarlah, De. Sekalian salam perpisahan. Stadium empat, kan? Tinggal beberapa mingggu lagi, kan? Eh, salah! Tinggal dua minggu lagi!” jawab Oik kejam. Dea tersenyum simpul.
Terdengar suara klakson mobil dari depan mereka. Rio rupanya. Kedua gadis tersebut pun segera menghampiri mobil tersebut. Dengan formasi biasa, Dea di depan dan Oik di belakang, mereka bertiga melesat meninggalkan SMP Ranvas siang itu.
“Kak, anterin gue, dong!” pinta Oik.
“Ke mana?” tanya Rio sambil meliriknya dari kaca yang menggantung di atas gigi mobil.
“Ke rumah Shilla. Nih, nganterin tasnya dia sama Cakka” jawab Oik malas.
Rio hanya manggut-manggut, “Oke! Rumahnya di mana?” tanyanya lagi, Oik pun menyebutkan alamat lengkap rumah Shilla.
^^^
Mereka bertiga telah sampai di depan rumah Shilla. Benar saja, motor Cakka terparkir rapi di halaman depan rumah tersebut. Oik pun beranjak turun dari mobilnya. Ia tadi menolak tawaran Dea untuk menemaninya ke dalam. Cukup ia saja yang ke dalam.
Perlahan, Oik mulai membuka pagar rumah Shilla. Tak dikunci rumahnya. Ia pun terus masuk ke dalamnya. Pintu rumahnya pun tak dikunci. Ia nyelonong saja ke dalam. Toh, ia pikir Cakka sedang menjaga Shilla di kamarnya. Apalagi kamar Shilla terbilang jauh dari ruang tamunya.
Oik terus berjalan dan mengingat-ingat letak kamar Shilla. Nah! Itu dia kamarnya! Ia menunjuk ke sebuah pintu dengan pajangan tulisan berwarna ungunya. Oik bergegas ke sana sambil menenteng kedua tas tersebut.
“Permisi..” ujar Oik sopan, ia mengetuk pintu kamar tersebut beberapa kali.
Shilla, yang menyadari kedatangan Oik, pun segera memasang wajah lemas. Karena tak jua mendapat jawaban dari dalam, Oik nyelonong masuk. Wow! Bagus sekali pemandangan di hadapannya ini! Cakka yang tertidur seraya menggenggam tangan Shilla!
“Shilla..” panggil Oik.
Shilla menoleh padanya, “Oik.. Taruh situ aja tasnya” gadis semampai itu mengedik pada meja di dekatnya.
Oik cepat-cepat meletakkan kedua tas tersebut dan keluar dari tempat terkutuk itu tanpa berpamitan kepada pemiliknya. Setengah mati ia menahan tangis. Ia pun bergegas masuk ke dalam mobilnya dan menangis hebat di sana.
Sedangkan di dalam kamarnya, Shilla tersenyum sinis. Ga sia-sia juga gue mindahin tangan Cakka di atas tangan gue. Mampus lo, Ik! Rasain gimana sakitnya gue tadi pas lihat lo dipeluk Cakka di lapangan basket!
Classmate (Part 25)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar