Bel istirahat berbunyi. Oik, Alvin, Sivia, Ozy, Deva, Ray, dan Rio terdiam sejenak. Sepersekian detik setelahnya, mereka kembali tertawa riang. Speaker-speaker yang di pasang di seluruh penjuru sekolah, termasuk kantin, berbunyi. Akan ada pengumuman, rupanya, “Panggilan kepada seluruh Pengurus Kelas 9, anggota tim basket putra maupun putri, dan anggota ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja diharap segera berkumpul di depan Ruang OSIS sekarang juga. Terima kasih” suara sang operator menggema di seluruh sudut sekolah. Bagi yang merasa mereka adalah salah satu dari yang dipanggil tadi pun segera berhamburan menuju Ruang OSIS, di dekat lapangan basket.
Oik kembali cemberut. Ia tau teman-temannya akan ke Ruang OSIS. Alvin adalah anggota tim basket putra, bahkan kaptennya. Deva adalah pengurus kelas. Sedangkan Sivia, Ozy, dan Ray adalah anggota ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja, “Ya udah, kalian ke Ruang OSIS aja. Gue sama Kak Rio aja yang bawain tas kalian ke kelas” ujar Oik dengan lesu. Teman-temannya jadi merasa tak enak. Alvin segera menghampiri Oik, “Udah, ke sana aja. Kan tadi kamu juga dipanggil. Oh ya, tas kamu aku bawa ke kelasku aja ya. Ntar kamu ngambilnya ke kelasku” celoteh Oik. Alvin hanya menganggukkan kepalanya. Akhirnya, Alvin, Sivia, Ozy, Deva, dan Ray pun bergegas menuju Ruang OSIS. Oik menghela napas sejenak, “Ya udah yuk, kak, kita bawa nih tas-tas ke kelas gue” ajaknya. Rio tersenyum menanggapi. Mereka berduapun membawa keenam tas tersebut ke kelas Oik, 9.5.
Oik dan Rio berjalan menuju kelas Oik dengan bercanda. Sepanjang jalan pun banyak yang melirik ke arah keduanya. Ya apalagi kalau bukan karena Rio yang tak memakai seragam sekolah ini dan karena Rio memang memiliki wajah yang diatas rata-rata? Oik dan Rio hanya tersenyum kepada mereka-mereka yang berbisik-bisik sambil menatap ke arah keduanya. Oik dan Rio enjoy saja, “Kak, kak, tuh, liat deh! Temen-temen gue pada kesengsem deh tuh ama lo, haha” bisik Oik. Rio manyun, ia menyenggol pelan lengen adiknya tersebut, “Ih, apaan senggol-senggol? Biarin deh, lagi pula kan lo masih single, kak” elak Oik. Rio makin manyun saja. Tawa renyah Oik kembali terdengar.
Di depan kelas 9.7, Rio sempat berhenti. Memandang ke arah seorang gadis manis berambut panjang yang sedang duduk di kursi koridor. Oik menoleh ke belakang ketika menyadari kakaknya itu sudah tak ada lagi di sampingnya. Oik geleng-geleng kepala dan segera menyeret lengan kakaknya tersebut, “Kak Rio ngapain sih?! Lelet amat jalannya? Ayo dong, cepetan! Lelet ish! Cowok tapi lelet!” omel Oik. Rio diam saja ketika Oik mengomelinya. Padahal biasanya, Rio akan membalas omelan adiknya tersebut. Oik sempat kaget juga dengan sikap Rio. Tumben-tumbenan sekali kakaknya itu tak balas mengomelinya, “Kak, taruh sini aja tuh tasnya” saran Oik ketika mereka berdua sudah sampai di kelas Oik. Rio mengangguk dan segera meletakannya ketiga tas yang tadi ia bawa di bangku meja paling depan, “Duduk deh, kak, ini bangku gue kok” kata Oik. Rio kembali mengangguk dan duduk di sebelah Oik, bangku milik Sivia.
Oik baru menyadari bahwa ternyata kelasnya sedang sepi. Tak ada seorang pun di sini. Oik mendesah keras, membuat Rio kaget, “Apaan sih lo, dek? Ngagetin aja! Untung gue ga punya penyakit jantung!” seru Rio sambil mengusap-usap pelan dadanya. Oik terbelalak kaget. Dari mana saja kakaknya yang satu ini? Oik menempeleng pelan wajah Rio tanpa ekspresi, “Dek, apaan sih lo?” tanya Rio seraya menempeleng wajah Oik balik. Baru saja Rio membuka mulutnya, terdengar sebuah ketukan dari pintu kelas Oik. Oik dan Rio menoleh ke arahnya. Oik pun bangkit dan menghampiri orang tersebut. Seorang perempuan manis dengan rambut panjangnya, perempuan yang sama dengan perempuan yang membuat Rio terpana tadi. Rio jadi salah tingkah sendiri. Rio pun hanya dapat menundukkan kepalanya ketika Oik sedang berbincang dengan perempuan tersebut. Dan sejauh ini, Rio dapat menyimpulkan bahwa Oik belum mengenal perempuan tersebut.
“Maaf, cari siapa ya?” tanya Oik sopan seraya berjalan menghampiri perempuan itu.
“Ah, bukan kok. Gue cuman mau ngembaliin ini. Tadi jatuh dari sakunya cowok yang itu” kata perempuan tersebut seraya mengangsurkan sebuah sapu tangan berwarna merah marun dan menunjuk ke arah Rio yang sedang berkutat dengan tas-tas Ray, Deva, Ozy, Sivia, Alvin, dan Oik.
Oik menerima sapu tangan tersebut dengan senyum canggung, “Oh, makasih ya. Ini punyanya Kak Rio deh. Sekali lagi, makasih ya” ujar Oik. Perempuan tersebut membalas senyum Oik dan berlalu dari hadapan Oik. Oik pun segera menghampiri Rio dan melemparkan sapu tangan tersebut ke arah kakaknya tersebut, “Noh, sapu tangan lo. Nyusahin orang aja sih, apalagi gue ga kenal ama tuh cewek tadi” sembur Oik, berkacak pinggang di depan Rio. Rio mengangkat kepalanya. Oik kembali terbelalak. Wajah Rio kini berubah merah. Sangat merah. Persis saat wajah Oik memerah karena Cakka. Eh, Cakka? Stop, Oik! Kok ngomongin Cakka lagi sih?! Ada Alvin! Alvin lebih baik! Oke, cuman Alvin seorang! Oik kembali duduk di tempatnya dan mengamati setiap lekuk wajah kakaknya, “Kak, lo kenapa?” tanya Oik dengan polosnya.
Mendadak Rio mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti ketika ia sedang berdoa. Rio memberikan cengiran terlebarnya pada Oik, “Wahaha, nothing. Ga penting kok. Oke, gue ke perpustakaan aja deh, baca-baca. Oke! Jangan lupa, pulang sekolah ini kita bakalan ke PIM, lo sama Alvin nraktir kita. Itung-itung PJ! Bye!” seloroh Rio. Rio pun segera beranjak. Belum jauh dari tempat Oik, Rio kembali menggumam, “Untung adek gue lagi telmi” lirihnya. Oik melotot. Kebetulan di dekatnya ada sebuah gumpalan kertas. Segera saja ia lemparkan kertas tersebut ke arah Rio, “Aduh! Iye deh, sorry sorry. Bercanda doang tadi. Lo ga telmi kok!” sahut Rio, meminta maaf. Rupanya ia sadar kalau Oik mendengarkan gumamannya tadi.
“Yah, sendirian deh gue” dumel Oik. Rio sudah menghilang di kelokan koridor. Sedangkan Sivia, Alvin, Ozy, Deva, dan Ray belum juga datang. Sepertinya memang ada pengumuman yang sangat penting. Dan Oik yakin, pasti akan ada perlombaan seperti tahun lalu. Lomba basket antar sekolah dan setelahnya, akan ada lomba mading yang digelar di sebuah venue terkemuka di Jakarta. Dan seperti yang sudah-sudah, yang mengurus soal mading adalah anggota ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja, bukan dari redaksi OSIS. Karena bosan, akhirnya Oik mengambil headset miliknya di tas dan mencolokkannya pada ponselnya. Oik terlarut dalam lagu yang ia putar. Tak lama, ada seorang laki-laki masuk ke dalam kelas. Oik mendongakkan kepalanya. Cakka. Oik kembali berkutat dengan ponselnya. Bedanya, kali ini Oik hanya memasang headset di telinga kanannya saja, telinga kirinya ia biarkan begitu saja.
Cakka pun duduk dua bangku di belakang Oik, seperti biasa. Sepertinya Cakka baru saja tiba dari kantin. Ia membawa beberapa bungkus makanan ringan. Cakka pun mengikuti aktivitas Oik. Mengambil headset dan mencolokkannya pada ponsel. Memasang headset hanya di telinga kanan. Sangat persis seperti yang Oik lakukan. Lama mereka saling diam. Oik dan Cakka sama-sama tak nyaman dengan suasana tersebut. Ke mana para selir Cakka? Agni, ketua tim basket putri, pastilah sedang berada di Ruang OSIS. Acha, Ketua OSIS yang masih belum menyerahkan jabatannya kepada adik kelas, pasti sedang mengkoordinasi para teman-temannya tentang lomba tersebut. Shilla, pengurus kelas, pasti ia sedang berada di Ruang OSIS juga. Cakka jadi bingung sendiri. Agni, Shilla, dan Acha berada di tempat yang sama! Cakka hanya berdoa agar ketiganya tidak bertengkat seperti tempo hari.
“Dirimu di hatiku sudah terlalu lama dan biarlah ku mencoba untuk tinggalkan semua” Oik memulai ‘perang’ antara dirinya dengan Cakka.
Cakka menyahut, “I hope you know but I always try to be a good man until my last breathe”
“Now it's just too late and we can't go back”
“Does he love you the way I can? Did you forget all the plans that you made with me? 'Cause baby I didn't”
“For the last time you waste my tears now, no more torment, but don't just say u've gone away. You tell a fuckin' tale”
“Udah, Ik, cukup! Gue tau, gue yang salah! Tapi, please, jangan giniin gue dong!” lirih Cakka. Ia segera menundukkan kepalanya. Ia tak tau kalau Oik pun sedang menundukkan kepanya, berharap keadaan seperti ini tak pernah ada. Tapi nyatanya, hari ini, kondisi seperti ini ternjadi. Antara dirinya dan Cakka. Oik berhenti, Cakka berhenti. Keduanya berhenti menyanyikan beberapa bait lagu-lagu yang mencerminkan suasana hati keduanya. Mulai dari Biarlah, Forever, Perfect, That Should Be Me, dan The Tormented. Berhenti. Oik yang memulai dan Cakka yang mengakhiri. Sepertinya keduanya menyesali keadaan ini.
Terdengar langkah beberapa orang yang sedang menuju ke kelas 9.5, Cakka dan Oik segera ke suasana awal, berusaha tak membuat mereka semua curiga. Ya, karena Cakka dan Oik tau bahwa Agni dan Alvin termasuk dari mereka semua yang sedang berjalan ke kelas ini. Selang beberapa detik, Agni, Alvin, Sivia, Ozy, Deva, dan Ray datang. Agni segera menghampiri Cakka. Sedangkan sisanya, segera menghampiri Oik. Sivia, Ozy, Deva, dan Ray berdiri mematung di depan bangku Oik. Alvin yang duduk, di sebelah Oik. Tak mau kalah, Agni pun segera ‘menempel’ pada Cakka. Cakka masih memandang sayu ke arah Alvin dan Oik. Tetapi sayangnya, Alvin dan Oik tak menyadari tatapan sayu Cakka.
Perempuan manis yang tadi, kembali memasukki kelas 9.5 dan menghampiri Alvin. Alvin mendongak menatapnya, “Anak basket dipanggil tuh ama Pak Farid. Cepetan ya. Takutnya dimarahin kalo lama-lama!” pesannya. Alvin mengangguk. Perempuan tadi pun segera kembali keluar kelas. Sepertinya ia juga merupakan anggota tim basket putri sekolah. Alvin beranjak dari tempatnya dan menghampiri Agni, “Tuh, dipanggil Pak Farid. Cepetan deh daripada dimarahin” ujarnya, datar. Agni berpamitan sebentar dengan Cakka dan bergegas ke lapangan basket bersama Alvin.
“Siv, Siv, cewek tadi namanya siapa sih?” tanya Oik seraya menguncangkan pelan lengan Sivia.
“Oh, itu Dea. Kenapa, Ik?” jawab Sivia, Oik hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis.
Ray teringat sesuatu. Ia segera membisikkan sesuatu kepada Deva dan Ozy. Ketiganya mengangguk bersamaan. Dan kemudian, ketiganya menghampiri Cakka di bangkunya, “Cakka, kita mau ngomong sama lo. Ga di sini” kata Ray. Cakka mengangguk. Keempatnya berdiri dan ngeloyor keluar kelas. Di kelas hanya ada Sivia dan Oik. Sivia pun segera duduk di bangkunya yang tadi sempat ditempati oleh Alvin. Di tempat lain, toilet putra SMP Ranvas yang berada di lantai atas, Ray menyeret Cakka masuk ke dalam. Deva melongok keluar toilet sebentar. Setelah ia yakin tak ada seorangpun berseliweran di sana, ia tutup pintu tersebut dan menguncinya dari dalam. Ozy sudah berdiri dengan berkacak pinggang di salah satu sudut toilet, “Mau ngomong apa kalian?” tanya Cakka.
Ketiganya saling pandang sesaat, “Kita cuman pengen nanya sama lo” ujar Ozy.
“Nanya apaan? Cepetan deh! Gue ga punya banyak waktu!” sinis Cakka.
Ozy bertepuk tangan cukup keras seraya tersenyum sinis ke arah Cakka, “Wah wah, hebat ya si Agni. Bisa banget dia bikin temen sebangku gue jadi raja sinis” seru Ozy. Deva dan Ray masih memandang tajam ke arah Cakka. Cakka mengkerut, “Gini deh ya, raja sinis, kita cuman pengen nanya kok.. Sebenernya lo itu sayang ga sih sama Agni?” tanya Ozy, dengan penekanan di setiap ucapannya. Cakka tampak tak menganggukkan kepalanya maupun menggelengkan kepalanya. Ozy, Ray, dan Deva makin jengkel saja dibuatnya. Mereka bertiga sudah menunggu bermenit-menit untuk mendengar jawaban dari Cakka. Hasilnya nihil. Cakka tak menjawabnya sama sekali, “Oke kalo lo ga mau jawab. Kita mau ngasih tau sih. Oik udah jadian sama Alvin. Jadi, kalo lo bikin Oik sakit hati lagi, bukan cuman Kak Rio, gue, Deva, dan Ray yang bakal bikin perhitungan sama lo, Alvin juga bakal bikin perhitungan sama lo. Oke, selesai!” tutup Ozy. Ozy, Deva, dan Ray segera keluar dari toilet.
Cakka masih terdiam di tempat. Gue bikin Oik sakit hati? Maksud mereka apaan sih? Oik juga sayang sama gue? Masa sih? Bukannya dia udah jadian sama Gabriel? Eh, tunggu, tunggu! Tadi mereka bilang apa? Oik jadian sama Alvin? Berarti, yang gue denger di kantin tadi bukan cuman bercanda dong? Cakka frustasi. Ia acak-acak rambutnya. Ia pun segera membasuk wajahnya dengan air yang mengucur dari wastafel toilet. Setelah itu, ia pun keluar dari toilet. Menyusul ketiga temannya tadi kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, kelas sudah ramai. Bel masuk sudah berbunyi rupanya. Mungkin karena ia yang terlalu sibuk dengan pikirannya, makanya ia tak mendengar bel masuk berbunyi sedikitpun.
^^^
Bel pulang baru saja berbunyi. Seluruh siswa segera berhamburan keluar kelas. Koridor penuh sesak. Akhirnya, Sivia, Oik, Ozy, Deva, dan Ray memutuskan untuk menunggu sejenak di dalam kelas. Cakka juga masih di dalam kelas rupanya. Tak lama, Agni dan Alvin datang dari kelas 9.8 dengan wajah kusut. Terlihat sekali kalau mereka berjuang habis-habisan agar cepat sampai di kelas ini, “Oik, jadi kan kita jalan sama mereka-mereka ini?” tanya Alvin. Jari tunjuknya mengarah santai ke Sivia, Ozy, Deva, dan Ray. Oik tersenyum menanggapinya. Agni yang tak sengaja mendengar percakapan mereka berenam pun menyeret Cakka ke sana.
“Eh, kalian mau jalan ya?” tanya Agni sok manis, tangannya pun masih menggamit erat lengan Cakka. Keenamnya mengangguk malas, “Gue sama Cakka boleh ikut kan?” tanyanya lagi. Keenamnya mengangkat bahu. Jujur saja, mereka berenam malas sekali kalau Agni ikut. Ya, mereka hanya malas dengan Agni, “Yah, kok kalian gitu sih? Gue sama Cakka ikut dong” rengeknya. Alvin, Oik, Sivia, Ozy, Deva, Cakka, dan Ray melengos malas. Tak lama, seorang laki-laki berperawakan tinggi dan kurus datang menghampiri mereka bertiga dengan riangnya, seolah tak mengetahui ada Cakka dan Agni di sana.
“Helo everybody! Cabut yuk!” ajaknya riang. Sivia, Oik, Alvin, Deva, Ray, dan Ozy mengangguk semangat. Mereka bertujuh berjalan bersamaan keluar kelas. Cakka dan Agni masih diam di kelas. Segera saja mereka berdua menyusul yang lainnya keluar kelas. Agni masih saja memaksa agar bisa ikut dengan mereka semua, “Iya deh iya, lo berdua boleh ikut” jawab Rio dengan berat hati. Agni melonjak kegirangan. Cakka menatapnya tak suka, “Udah deh, ga usah banyak bacot! Cepetan berangkat!” bentak Rio. Wajah Agni mendadak pucat. Baru kali ini ia dibentak oleh orang yang tak ia kenal. Ketika Alvin baru saja akan naik ke mobil Rio, ponselnya bergetar. Ia lirik sekilas ke arah layarnya dan agak menjauh dari mereka semua, mengangkat telepon.
Tak lama, Alvin kembali dengan wajah kusut, “Guys, kalian berangkat duluan aja. Nyokap barusan telepon, minta dianter ke minimarket sebentar” katanya. Sivia, Oik, Rio, Deva, Ozy, dan Ray mengeluh kecewa, “Ya udah ya, gue cabut! Sampek ketemu di PIM!” pamitnya. Alvin pun beralih pada motornya dan meluncur meninggalkan mereka semua.
Setelah itu, ganti ponsel Agni yang berdering. Agni mengangkatnya. Lalu menutupnya dengan wajah kecewa, “Maaf ya, temen-temen, nyokap nyuruh pulang. Katanya gue kudu ganti baju dulu. Ketemu di PIM aja ya, bye!” pamitnya. Dua orang hilang. Agni pun segera menyetop taksi dan berlalu ke rumahnya.
“Idih, PD amat tuh cewek. Dia bilang apa tadi? Temen-temen? Najis! Gue aja ga kenal dia!” seru Rio keki. Oik, Sivia, Ozy, Deva, Ray, dan Cakka menahan senyum. Rio melihat Oik dan Cakka tersenyum bersamaan, “Eh, mobil gue cukup buat lima orang doang. Gimana nih?” tanyanya, pura-pura panik. Matanya melirik jahil ke arah Cakka dan Oik. Sivia, Ozy, Deva, dan Ray mengangguk mengerti.
“Ya udah deh. Gue, Sivia, Ozy, dana Deva aja yang numpang mobilnya Kak Rio. Ga pake tapi” seru Ray jahil. Kelimanya segera melaju menuju PIM. Meninggalkan Cakka dan Oik yang masih terdiam di tempat dengan wajah cengo.
Cakka berlari menuju motornya. Menyalakan mesinnya dan menghampiri Oik, “Cepetan naik” suruhnya.
Oik pun naik ke atas motor Cakka. Cakka segera melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, “Wuaaaa!!” teriak Oik. Refleks, ia memeluk pinggang Cakka.
Classmate (Part 8)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar