Alvin masih memandangi layar laptopnya dengan wajah memerah. Tak lama, ponselnya bergetar. Tertera nomor dan nama Agni di sana. Dalam hitungan detik, Alvin sudah mengangkat panggilan dari Agni tadi.
***ONTHEPHONE:ALVIN-AGNI***
Alvin : “Ngapain lo?”
Agni : “Udah deh, ga usah sok muna! Lo pasti sakit hati juga, kan, liat foto-foto itu?”
Alvin : “Sesakit hatinya gue, gue ga bakalan kayak lo, ya!”
Agni : “Maksud lo apaan?”
Alvin : “Gue ga kayak lo yang tiap kali sakit hati sama orang, orang itu bakal gue celakain!”
Agni : “Ah, ide bagus! Lihat aja besok!”
Alvin : “Awas ya kalau sampai lo macem-macem sama Oik!”
Agni : “Anceman lo ga mempan! Lihat apa yang bisa gue lakuin buat cewek lo!”
***ONTHEPHONE:END***
Panggilan ditutup sepihak. Alvin langsung membuang ponselnya ke arah kasur. Frustasi, ia acak-acak rambutnya. Tak lupa, ia matikan terlebih dahulu laptopnya dan meletakkannya di tempatnya. Sejurus kemudian, Alvin sudah berada di alam mimpi.
^^^
Pagi-pagi sekali Agni sudah siap dengan tas sekolah dan seragamnya. Hari ini ia meminta Cakka agar tidak menjemputnya. Jam baru saja menunjukkan pukul lima lebih lima belas. Agni berjalan ke arah dapur dan berpamitan dengan mamanya.
“Ma, Agni berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum” pamitnya seraya mencium tangan mamanya.
“Kok pagi banget, sayang?” Tanya mamanya.
Wajah Agni mendadak pias, “Ah, anu, itu, ma, eh, ada, umm, itu loh, piket! Iya, piket!” jawab Agni gelagapan.
Mamanya memincingkan matanya. Tumben sekali Agni menjawab dengan gelagapan. Tapi akhirnya, mamanya mengangguk. Agni kembali melenggang. Ia berjalan menuju garasinya dan mengeluarkan sepeda angina berwarna hijau. Agni menaikinya dan mengayuh dengan kecepatan penuh.
Tak sampai sepuluh menit, Agni sudah sampai di sekolah. Segera ia parkirkan sepeda anginnya. Ia cepat- cepat berjalan menuju kelas 9.5, kelas Oik. Kelas sangat sepi. Belum ada seorang pun yang datang. Agni menghela napas lega.
Agni masuk ke dalam dengan sesekali menoleh ke koridor, berjaga-jaga kalau-kalau ada yang melihatnya. Pelan-pelan, Agni mengeluarkan secarik kertas dari dalam saku kemeja sekolahnya. Ia letakkan kertas tadi di kolong bangku Oik.
“The game began” gumamnya sambil tersenyum licik.
Agni pun keluar dari kelas Oik dan berjalan santai ke arah kelasnya. Ia masih saja menyunggingkan senyum liciknya. Tukang kebun yang sedang memotong rumput taman di depan kelas Sembilan pun sampai bergidik ngeri.
Agni memasukki kelasnya dan meletakkan tasnya. Ia melirik kea rah koridor. Seorang gadis mungil dengan tas berwarna pink berjalan santai di sana. Agni kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju tempat sasaran.
^^^
“Mama ngeselin, ish! Masa gara-gara hari ini gue piket, gue disuruh berangkat pagi-pagi?! Biasanya juga, kan, yang ngebersihin kelas itu Cleaning Service! Mama ngeselin!” sumpah-serapah terus mengalir dari bibir gadis mungil itu.
Di koridor, ia berpapasan dengan tukang kebun sekolah. Ia lemparkan senyum manisnya kepada tuykang kebun paruh baya itu. Gadis mungil itu, Oik, kembali berjalan menuju kelasnya. Masih sangat sepi. Baru ia yang sudah datang di kelasnya.
Ia berjalan dan segera duduk di bangkunya. Sejenak ia memejamkan matanya. Menetralisir kemarahnnya, kekesalannya, dan kejengkelannya pada mamanya. Kelopak matanya kembali terbuka. Ia menangkap sebuah kertas di kolongnya.
“Dari siapa, ya?” gumamnya.
Ia membolak-balik secarik kertas tersebut. Ia merasa familiar dengan tulisan itu. Seperti tulisan seseorang. Oik mengangkat kedua bahunya. Begitu ia buka secarik kertas tadi, bola matanya langsung menyusuri setiap huruf yang tertera di sana. Di akhir surat itu, ada nama pengirimnya. Alvin.
“Dari Alvin? Tumben dia ga SMS? Tau ah” ujar Oik.
Oik segera bangkit dan berjalan keluar kelas. Ia berbelok menuju kanan. Lorong panjang yang berujung di area untuk kelas delapan. Ia kembali berbelok kanan. Ada dua kelokan. Belok kanan maka akan menuju laboratorium biologi dan fisika serta yang lainnya. Belok kiri maka akan menuju ke Ruang OSIS, Ruang Multimedia, dan sebuah ruangan kecil. Oik berbelok kiri.
“Alvin ngapain nyuruh gue ke ruangan kecil itu? Alvin mah bikin gue penasaran aja. Dia sih bilangnya mau ngasih kejutan. Hihi.. Suka deh gue sama cowok misterius” celoteh Oik.
Oik pun membuka pintu ruangan kecil tersebut. Seorang perempuan yang berseragam sama dengannya sudah berada di balik pintu. Perempuan tadi lantas mendorong Oik masuk ke dalam dan menguncinya dari luar. Oik tersentak kaget. Cewek mungil itu segera menggedor-gedor pintu ruangan kecil tadi.
Perempuan tadi, Agni, kembali tersenyum licik. Ia segera melenggang meninggalkan ruangan kecil tersebut dan Oik serta membawa kunci pitunya. Oik sudah menangis di dalam. Ruangannya gelap gulita. Saklar lampunya berada di luar ruangan tersebut. Oik terduduk lemas bersandarkan pintu.
Jemari mungilnya meraba-raba tempat di sekitarnya. Ada sesuatu yang ia pegang. Oik terbelalak kaget. Segera ia buka gorden ruangan tersebut. Beberapa berkas cahaya masuk dan menyinari sedikit ruangan kecil itu. Sedikit demi sedikit Oik sudah dapat melihat keadaan di sekitarnya dengan bantuan cahaya tadi.
“Mama! Tolongin Oik! Di sini ada kecoak, tikus mati, sama laba-laba! Tuhan! Sivia, Ozy, Alvin, Deva, Ray, Kak Rio, Cakka! Tolongin Oik!” pekik Oik. Air mata makin menetes saja dari kedua bola matanya.
Oik berusaha sekuat tenaga untuk menjauh dari binatang-binatang terkutuk tadi. Badannya makin melemas. Nama sahabat-sahabat, kakak, dan Alvin terus ia sebut dalam ketakutan. Mereka-mereka yang Oik sebut namanya tadi pun merasakan hal aneh.
^^^
Sivia turun dari mobilnya. Ia bertemu dengan Deva dan Ray di koridor. Mereka bertiga berjalan bersama sambil mengobrol. Agni duduk di kursi depan kelasnya sambil menatap sinis ke arah mereka bertiga. Sivia makin benci saja dengan perempuan satu itu.
“Apa lo lihat-lihat? Mau ngajak berantem? Oke, ayo sini!” tantang Sivia.
Deva dan Ray mencegah Sivia untuk menghampiri Agni. Sivia dan Agni sudah berdiri berhadapan. Dan, plak! Salah satu dari mereka mengaduh kesakitan. Deva dan Ray melongo. Buk! Satu lagi. Kembali terdengar aduhan dari orang yang sama.
“Itu balesannya kalau lo berani-berani ganggu temen gue! Apalgi sahabat gue! Lihat apa yang bisa gue buat untuk cewek macem lo!” gertak Sivia.
Sivia segera menarik lengan Deva dan Ray untuk pergi dari sana, meninggalkan Agni yang masih kesakitan. Deva dan Ray masih cengo. Keduanya menatap Sivia dengan mata berbinar.
“Biasa aja deh!” seru Sivia keki. Tangannya menempeleng Deva dan Ray bergantian.
“Gila, Siv! Keren!” pekik Deva riang. Sivia tersenyum samar.
“Iya, Siv! Ga nyangka gue kalau cewek sekalem lo bisa nampar Agni! Pakai penutup pula! Mantep tuh, Siv, tonjokkan di perutnya!” celoteh Ray.
“Kalian bisa aja” ujar Sivia.
Sivia pun merangkul kedua sahabatnya untuk masuk ke dalam kelas. Di dalam sudah ada Alvin dan Ozy yang sedang mengobrol rupanya. Sivia, Ray, dan Deva pun meletakkan tas di bangku masing-maing dan kemudian, ikut mengobrol bersama Alvin dan Ozy.
“Eh, Zy, perasaan gue dari tadi ga enak nih. Kayak ada yang manggil-manggil gitu” cerita Alvin.
“Sama, Vin!” seru Ozy, Deva, Ray, dan Sivia berbarengan.
“Oh ya, Oik ke mana? Tasnya sih udah ada, tapi orangnya ga tahu ke mana” Cakka menimpali, ia baru saja datang dan langsung duduk di samping Ozy.
Sivia, Alvin, Ozy, Deva, dan Ray tersentak seketika. Oik! Di manakah sahabat mereka yang satu itu? Cakka jadi bingung sendiri dengan reaksi kelima temannya tersebut. Alvin yang sibuk dengan telponnya, Sivia yang sibuk dengan tas Oik, dll.
“Kalian ini kenapa, sih?” Tanya Cakka dengan kekinya.
Deva segera menghampiri Cakka dan menepuk pelan bahunya, “Kawan, kita semua baru sadar kalau Oik ga ada di sini. Padahal, kan, tasnya udah ada. Perasaan kita berlima dari tadi juga ga enak. Kita takut ada apa-apa sama Oik, kawan!” jelasnya.
Cakka menepuk jidatnya sendiri, “Ah, ya! Sama! Perasaan gue juga ga enak mulu dari tadi! Berasa ada yang manggil-manggil!” pekiknya.
Alvin beranjak dan menghampiri Cakka. Ia tarik kerah baju laki-laki di hadapannya itu, “Cepetan lo Tanya cewek lo! Ke mana tuh setan bawa cewek gue! Kemarin cewek lo nelpon gue dan ngancem bakalan ngapa-ngapain Oik karena foto kalian berdua! Gue ga perduli, cepet cari cewek lo!” ujar Alvin dengan nada tinggi.
Cakka segera melepaskan cengkeraman Alvin dari kerah bajunya, “Apa maksud lo?”
Ozy geleng-geleng kepala, “Bego lo, Cakk! Agni itu marah gara-gara foto box lo sama Oik! Cepetan cari dia! Tanya dia, dia bawa Oik ke mana. Agni itu nekat, Cakka! Gue ga bakalan biarin cewek lo idup tenang kalau Oik kenapa-kenapa!” timpal Ozy.
Cakka menggelengkan kepalanya, “Justru karena Agni itu orangnya nekat! Kita ga usah nanya ke dia, dia pasti ga bakalan jawab dan masang tampang sok ga ada dosa! Mendingan kita cari aja deh! Mumpung bel masuk masih lima belas menit lagi” komando Cakka.
Segera saja kelimanya berjalan keluar kelas dan berpencar mencari Oik. Cakka ke area kelas tujuh, Ozy ke area kelas delapan, Deva ke arah laboratorium, Ray ke arah lapangan, Sivia ke arah aula, dan Alvin ke arah Ruang OSIS.
Alvin berjalan menyusuri koridor. Ada Ruang OSIS, Ruang Multimedia, dan sebuah ruangan kecil di sana. Pertama, ia melongok ke arah Ruang OSIS. Tak ada seorang pun di sana. Ia kembali berjalan. Ruang Multimedia. Ia buka pintunya dan… Kosong. Selanjutnya, ruangan kecil. Baru saja ia akan mencoba membukanya, bel sudah berbunyi.
Mengingat jam pertama adalah pelajaran Bahasa Inggirs, ia melesat menuju kelasnya dan segera duduk di bangkunya. Agni, yang memang duduk tepat di depannya, membalikkan badan dan menghadap Alvin. Seulas senyum licik kembali menghiasi wajahnya. Alvin mengumpat kesal.
^^^
“Alvin.. Sivia.. Kak Rio.. Cakka.. Ozy.. Deva.. Ray.. ” lirih Oik.
Oik masih berada dalam ruangan kecil itu. Binatang-binatang terkutuk tadi pun sudah keluar melalui celah-celah jendela. Oik masih bersandar pada papan pintu. Keringat mengucur deras dari pelipisnya. Ia takut gelap. Dan Agni memanfaatkannya.
Ia mengambil ponselnya dari dalam saku rok. Ia memencet beberapa tombol angka. Telpon tersambung. Terdengar suara Rio dari sana. Oik tak mampu menjawabnya. Keadaannya sudah terlampau lemas.
“…..Ik, kenapa?.....”
“…..Dek, kenapa? Jawab dong!.....”
“…..Jangan bikin kakak khawatir dong…..”
Klik! Oik memutuskan panggilannya. Keadaannya semakin melemah. Ia pun terjatuh pingsan di dalam ruangan kecil itu.
^^^
Rio semakin penasaran saja ketika panggilan Oik putus tiba-tiba. Yang pasti, bukan ia yang memutuskan panggilan tiba-tiba. Tiba-tiba dosennya telah tiba. Ia segera masukkan ponselnya dan berusaha berkonsentrasi dengan apa yang dosennya kerjakan.
“Aduh dek, semoga lo ga kenapa-kenapa, ya. Kalau mata kuliah ini abis, gue langsung ke sekolah lo kok” gumam Rio.
^^^
Sivia, Cakka, Ozy, Deva, dan Ray pun sudah berada di dalam kelas. Memang masih jam budaya baca, tetapi mereka sudah berhenti mencari Oik. Mereka akan kembali mencari Oik ketika ada jam kosong atau ketika jam istirahat saja. Mereka tidak mau terpergok oleh guru sedang berada di luar kelas ketika jam pelajaran masih berlangsung.
Kring kring.. bel berbunyi dua kali. Guru yang menunggui mereka pada saat jam budaya baca pun telah keluar. Tak lama, Deva dipanggil ke ruang guru. Deva kembali dengan tampang datar. Ia segera beranjak menuju depan kelas.
“Kebetulan guru yang harusnya ngajar kita lagi ga ada, jadinya untuk beberapa jam ini kita kosong” ujar Deva.
Kelas hening sesaat. Kemudian suara-suara muncul dan saling bersahutan. Beberapa siswa pun langsung ada yang ke kantin, ke lapangan basket, ke mana pun mereka mau. Wajahrlah, memang begini suasana kelas jika sedang tidak ada guru. Hanya beberapa anak saja yang tetap tinggal di kelas.
Sivia, Ozy, Cakka, dan Ray segera bangkit dari duduknya dan melesat keluar kelas. Tujuan mereka sama, mencari Oik. Deva pun mengekor mereka berempat. Menelusuri setiap detail sekolah. Mereka telah menyusuri area kelas tujuh dan delapan. Hasilnya nihil. Karena memang, Oik tak di sana.
^^^
Rio cepat-cepat membereskan barangnya. Dosennya baru saja melangkah keluar. Setelah selesai, Rio pun berpamitan dengan kawan-kawannya, lalu melesat menuju sekolah Oik dengan motornya. Kebetulan ia tidak sedang menggunakan mobilnya.
Rio mengendarai motornya dengan kecepatan maksimum. Ia sampai di sekolah Oik lima menit kemudian. Ia memarkirkan motornya dan berjalan masuk. Para satpam pun masih ingat dengan Rio. Makanya mereka membiarkan Rio nyelonong masuk ke dalam area sekolah.
Di pertigaan lorong, ia bertemu dengan kelima sahabat Oik. Rio menghampiri mereka, “Kalian tahu di mana Oik? Dia tadi nelpon gue, tapi dia ga bersuara sedikit pun! Gue takut dia kenapa-kenapa” panic Rio.
Kelima sahabat Oik tadi, Sivia, Ozy, Cakka, Deva, dan Ray menggeleng bersamaan. Rio semakin cemas saja. Tiba-tiba, ia mendengar suara seseorang dengan volume kecil, “Sssstt!” ia menempelkan telunjuknya di depan bibirnya.
Rio bergerak menuju sumber suara. Ruang OSIS ia masukki, kosong. Ruang Multimedia ia masukki, ada segerombolan siswa kelas delapan yang sedang pelajaran, taka da Oik di sana. Terakhir, ruang kecil di sebelah Ruang Multimedia. Ia dorong pintunya, terkunci!
“Shit! Dikunci! Gue yakin Oik di dalem! Gue dobrak kali, ya?!”
Dan, brak! Rio berhasil mendobrak pintu. Ia kaget ketika melihat Oik terbujur lemah di dekat jendela. Ruangannya gelap dan pengap. Pantas saja Oik pingsan. Rio segera menggendong Oik keluar dan membawa adiknya itu ke UKS sekolah.
“Sialan si Agni! Gue bikin perhitungan ya smaa tuh anak!” geram Deva.
Classmate (Part 10)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar