Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [04]

            Oik baru saja akan memasuki kamar kosnya ketika ia mendengar sebuah suara yang lumayan familiar tengah memanggil namanya. Ia menengok ke samping, arah sumber suara. Salah satu teman kosnya tengah menatapnya.
            “Ya? Ada apa?” tanya Oik.
            “Ini,” Osa –teman kosanya tersebut– mengangsurkan sebuah amplop pada Oik. “Tadi ada yang titip untuk kamu.”
            Oik menerima amplop tersebut dengan kening berkerut bingung. “Dari siapa, Sa?”
            “Aku nggak tahu namanya. Dia bilang, kamu harus cepat-cepat baca isi suratnya.”
            “Oh,” Oik mengangguk. “Makasih, Sa.”
            Osa mengangguk dan kembali masuk ke dalam kamar kosnya. Sepeninggal Osa, Oik masuk ke kamar kosnya dan meletakkan tasnya pada meja belajar. Setelahnya, ia merebahkan tubuhnya pada ranjang.
            “Dari siapa, ya?” gumamnya ketika ia mulai membuka amplop tersebut.
            Oik membaca setiap huruf yang tertera pada surat tersebut. Oik merasakan dadanya sesak begitu menyadari tulisan tangan siapa itu. Oik segera bangkit dari posisi rebahannya dan mencari-cari ponselnya. Kemudian, ia menelepon seseorang.
            “Halo? Alvin, bisa anterin aku?”

**

            Oik dan Alvin baru saja sampai disebuah kafe daerah Surabaya Pusat. Oik turun dari boncengan motor Alvin dan mengembalikan helm milik lelaki itu.
            “Kamu yakin nggak mau aku antar sampai dalam?” tanya Alvin cemas.
            “Nggak,” Oik menggeleng dengan senyum yang dipaksakan. “Aku nggak mau kamu mengacaukan pertemuan pertamaku dengan dia.”
            “Apa dia juga datang sendirian?” tanya Alvin lagi.
            Oik mengangkat bahunya. “Aku bilang, aku nggak tahu. Teman kosku cuman menyampaikan surat dari dia.”
            “Kenapa nggak lewat SMS aja?”
            “Aku nggak tahu, Alvin.” Oik terpekik sebal. “Mungkin dia tadinya datang ke tempat kosku dan aku nggak ada. Jadi dia memutuskan untuk titip surat aja ke Osa–teman kosku.”
            “Ya sudah, tunggu apa lagi?”
            Oik tersenyum tipis. Ia merasakan Alvin mulai mendorongnya untuk masuk ke dalam kafe tersebut. Oik menurut, ia melangkah masuk dan meninggalkan Alvin yang terdiam diatas motornya. Rupanya lelaki itu mempunyai firasat buruk mengenai pertemuan ini.
            Oik mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru teras kafe itu. Ada beberapa meja bundar yang masing-masing dikelilingi oleh empat kursi kayu di teras kafe. Penerangan di luar sini menggunakan lampion berwarna merah yang menggantung pada seutas tali diatas sana. Oik tak menemukannya berada di teras.
            Oik mengangguk paham. Mungkin dia memilih duduk di dalam. Ya. Oik mendorong pintu masuk kafe –yang terbuat dari kayu dengan kaca tembus pandang pada tengah-tengahnya– dan melangkah masuk. Ramai sekali.
            Oik menemukannya berada disudut kafe. Di dekat meja kasir. Oik tersenyum penuh antusias melihatnya. Oik mengangkat tangan kanannya, menyapa orang tersebut–yang kebetulan juga sedang menatapnya.
            “Ha––,” Oik mengatupkan bibirnya, menyadari orang itu tak sendirian.
            Orang itu berdiri sejenak, mempersilahkan Oik untuk duduk di hadapannya. Oik menelan bulat-bulat sapaan untuknya ketika melihat gadis yang duduk di samping orang tersebut tengah menatapnya tajam. Oik duduk dengan perasaan tak nyaman.
            “Hai, Gab.” Oik menyapa lelaki yang duduk di hadapannya dengan lirih.
            “Hai,” Gabriel menyapa Oik balik dengan dinding.
            “Apa aku tembus pandang?” sindir seorang gadis yang duduk di samping Gabriel–Angel, adiknya.
            Oik menarik napasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. “Hai, Angel.”
            “Hai juga, Oik!” Angel tersenyum miring.
            “Aku perlu bicara sama kamu, Ik.” Gabriel menatap Oik dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku...,”
            “Kamu nggak perlu seneng dulu karena Mas Gabriel ngundang kamu kesini.” Angel menyela dengan sinis. “Kalau bukan karena terpaksa dan kasihana sama kamu, pasti Mas Gabriel lebih memilih untuk memberitahu kamu lewat telepon.”
            Oik mengangguk perlahan. Ia mulai menyadari ada yang tak beres.
            “Angel!” Gabriel memperingatkan adiknya itu dengan suara rendah, lalu ia berpaling pada Oik. “Oik, sebelumnya aku minta maaf.”
            “Aku juga minta maaf, Gab. Harusnya aku yang temui kamu duluan. Kamu baru keluar dari rumah sakit, aku tahu itu.” Oik tersenyum meminta maaf pada Gabriel.
            “Bukan. Bukan masalah itu, Ik.” Gabriel mulai bergerak-gerak gelisah di tempatnya.
            “Ya?” Oik menatap Gabriel tepat pada manik matanya. Dan Oik tahu betul lelaki di hadapannya itu sedang gelisah setengah mati.
            Angel memutar bola matanya, malas. “Langsung keintinya aja, Mas.”
            Oik menatap Angel penuh tanya, meminta penjelasan. Sedangkan yang ditatap pun hanya melengos malas setelah memberikan isyarat untuk bertanya saja pada Gabriel. Pada titik ini, Oik benar-benar merasa jengah.
            “Ada apa, Gab?” tanya Oik tak sabar. “Ngel?” Ketika Gabriel tak kunjung menjawab, Oik beralih pada Angel.
            “Mas Gabriel akan––,”
            Belum sempat Angel meneruskan kata-katanya, Gabriel sudah menyela. “Kita putus, Ik.”
            Telak! Oik menahan napasnya melihat Gabriel yang kini berubah dingin. Angel pun sudah tersenyum puas di tempatnya.
            “Pu...tus? Tap-Tapi, kenapa..., Gab?” Oik menggigit bibirnya. Air matanya hampir meluncur. Bagaimana ia tidak shock jika diputuskan secara tiba-tiba begini?
            Gabriel setengah mati menahan dirinya untuk tidak menarik kata-katanya kembali ketika melihat ekspresi terluka Oik. Ia menengok pada Angel dan mendapati adiknya itu tengah memberi isyarat untuk melanjutkan semuanya.
            “Keputusanku udah bulat, Ik. Kita putus.” Gabriel menahan napas ketika melihat satu butir air mata Oik yang meluncur dipipi mulus gadis itu.
            “Aku... butuh penjelasa, Gab.” Oik meneruskan kata-katanya dengan susah payah.
            Dari awal, Oik memang sudah merasa bahwa Gabriel berbeda. Tatapan mata lelaki itu tak sehangat biasanya, tak sehangat sebelum lelaki itu dirawat di rumah sakit. Begitupula saat ini. Oik menggigil menatap lelaki itu. Gabriel menghujamkan tatapan dinginnya padanya. Hanya satu yang Oik tak tahu. Gabriel tengah berperang dengan hatinya sendiri untuk melanjutkan ini atau berhenti saja.
            “Benar kata kedua orangtuaku, Ik. Kita berbeda. Kita nggak akan punya masa depan.”
            “Kalau yang kalian maksud berbeda adalah,” Oik mengusap cepat air matanya yang luruh. “kamu langit dan aku buminya... Oke.”
            “Bukan, bukan itu.” Gabriel mendadak panik.
            “Apa lagi? Keluargamu memang dari dulu berpikiran begitu, kan, Gab? Aku tahu.” Oik tersenyum miris. “Oke. Kita putus.”
            “Kita berbeda, Ik. Kita menyembah Tuhan yang berbeda.” Gabriel menatap kalung salib yang ia pakai. “Aku dengan salibku, dan kamu dengan tasbihmu.”
            “Agama? Kepercayaan?” tanya Oik. “Hal paling klise tetapi memang nggak bisa disatukan.” Oik mengangguk mengerti.
            “Ya.” Gabriel pun ikut mengangguk.
            “Mas Gabriel udah dijodohkan.” Angel menimpali, gemas karena kakaknya itu tak kunjung melanjutkan pembicaraan.
            “Dijodohkan? Dan kamu udah setuju, Gab?” tanya Oik tak percaya. “Kenapa kamu nggak putuskan aku duluan?”
            “Karena Mas Gabriel masih berbaik hati sama Mbak Oik.” Angel menatap Oik dari sudut matanya dengan sinis. “Nggak perlu merasa sedih, Mbak. Mas Gabriel bukan cuman satu-satunya laki-laki di dunia. Iya, kan? Mbak Oik masih bisa cari yang lain.” Angel berujar dengan nada menyindir.
            “Pertanyaan terakhir.” Oik menelan ludahnya. “Kamu dijodohkan dengan siapa?”
            “Aku nggak tahu, Ik.”
            “Dan kamu masih bisa setuju?”
            “Dengan anak dari rekan bisnis Papa.”
            “Oh,” Oik mengangguk. “Namanya?”
            Gabriel kembali menggeleng tak tahu. “Dari keluarga Soekamto.”
            Oik mengangguk mengerti lalu melirik jam tangannya sekilas. “Sudah hampir jam sembilan. Aku harus pulang.” Oik bangkit lalu tersenyum paksa pada Gabriel dan Angel. “Aku permisi dulu.”
            Tanpa menunggu jawaban dari keduanya, Oik sudah melangkah meninggalkan mereka. Dengan langkah tergesa dan air mata yang sudah menggenang dipelupuk, ia menghampiri Alvin yang masih setia duduk diatas motornya.
            “Vin..” panggil Oik dengan suara bergetar.
            “Ya?” Alvin –yang tadinya sedang memainkan ponselnya– segera mendongak begitu mendengar suara Oik. “Kenapa, Ik?” tanya Alvin panik, wajahnya pias melihat ekspresi terluka Oik.
            “Aku putus,” lirih Oik.
            “Kemari,” Alvin merentangkan tangannya lebar-lebar, mempersilahkan Oik memeluknya. Dalam sekejap, Oik pun telah berada dalam dekapan Alvin. “Mau cerita?”
            Oik mengangguk dalam pelukan Alvin. “Gabriel bilang aku dan dia berbeda.”
            “Ya. Agama?” timpal Alvin.
            Oik kembali mengangguk. “Dan dia udah dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis Papanya. Gabriel setuju. Bahkan dia udah setuju sebelum dia memutuskan aku.”
            Alvin menghembuskan napasnya. Ia mengelus puncak kepala Oik. “Siapa namanya?”
            “Gabriel nggak tahu. Gabriel cuman tahu kalau nama keluarga dari orang yang dijodohkan dengan dia adalah... Soekamto.”
            “Soekamto?” ulang Alvin, merasa familiar dengan nama tersebut.
            “Ya.” Oik mengangguk kecil.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LOVE HURTS [Cerpen]

            Tiga..
            Dua..
            Satu.
            Lampu studio mulai menyorot ke stage. Segmen keempat dimulai dengan kelima anggota girlband Diamond yang mulai menyanyikan single terbaru mereka secara acoustic. Single keempat yang diluncurkan dari album perdana mereka merupakan lagu recycle–Dealova.
            Salah satu anggota girlband yang berambut sebahu mulai memetik gitar yang berada dipangkuannya. Ia duduk pada sebuah kursi tinggi ditengah-tengah stage dan dikelilingi keempat anggota girlband Diamond lainnya.
            “Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu. Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu. Karena langkah merapuh tanpa dirimu. Oh, karena hati telah letih.
            Suara salah satu anggota girlband yang berambut ikal panjang membuka penampilan mereka kali ini. Anggota lainnya yang berdagu tirus mengambil alih suara dua.
            “Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh. Aku ingin kau tahu bahwa ku selalu memujamu. Tanpamu sepinya waktu merantai hati. Oh, bayangmu seakan-akan..
            Perpaduan suara antara dua anggota girlband yang sama-sama bersuara lembut memukau penonton dalam studio dan penonton di rumah–acara merupakan live show.
            “Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu. Seperti udara yang kuhela kau selalu ada.
            Kelima anggota Diamond mulai menyanyi bersama dengan perpecahan suara yang terdengar apik. Keempat anggota girlband yang tidak memegang alat musik mengangkat tangannya ke atas, mengajak penonton di studio untuk ikut bernyanyi.
            “Hanya dirimu yang bisa membuatku tenang. Tanpa dirimu aku merasa hilang. Dan sepi. Dan sepi.
            Salah seorang anggota Diamond yang berpostur tubuh paling tinggi menutup penampilan singkat mereka dengan falsetnya hingga menimbulkan keriuhan tepuk tangan dalam studio.
            “Diamond!” seru sang host, tangan kanannya menunjuk kelima anggota Diamond.
            Kelima anggota Diamond membungkukkan badan sedikit lalu kembali duduk bersebelahan disisi stage. Mereka ikut membawa serta gitar yang tadi digunakan untuk mengiringi menyanyikan lagu Dealova.
            “Om Botak, aku titip gitar. Jangan diapa-apain!” Sivia –anggota Diamond yang tadi bermain gitar– meletakkan gitar kesayangannya pada meja sang host kemudian kembali duduk diantara keempat anggota Diamond lainnya.
            “Om Botak?” ulang sang host dengan mata menatap Sivia tajam. Penonton dalam studio tertawa, sedangkan Sivia –sang tersangka utama– hanya nyengir lebar.
            “Om, kan, memang botak.” Ify –anggota girlband yang berdagu tirus– menyahut dari samping Sivia.
            “Iya, saya tahu saya botak.” Host tersebut –Dedy Corbuzier– mulai menatap kelima anggota Diamond dengan tajam. Penonton dalam studio kembali tertawa.
            “You’re botak and you know it.” Acha menimpali. Anggota Diamond yang berambut ikal panjang itu lalu mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya­ –peace– begitu melihat Dedy mulai memelototinya.
            Pricilla –yang tadi menutup penampilan singkat Diamond dengan falset– terkekeh mendengar ucapan Acha. “Ini yang bintang tamu siapa, yang host siapa. Kenapa malah host-nya yang di-bully?”
            “Iya, iya. Oik, kenapa?” Dedy menyela begitu melihat anggota lain girlband tersebut mulai membuka mulut. Ancang-ancang sebelum gadis itu ­–Oik– ikut mem-bully-nya.
            “Nggak, nggak jadi.” Oik menggeleng. “Cuman mau bilang, tadi disuruh Mas yang itu,” Oik mengedik pada seorang kru disudut studio. “buat cepet-cepet mulai... apa, ya? Itu deh, pokoknya. Nggak tahu apa. Eh, nggak tau.”
            Sementara Dedy berbincang dengan kelima anggota Diamond, beberapa kru mulai menata dua buah kursi yang dipisahkan dengan sebuah meja pada spot utama stage. Sebentar lagi akan dimulai bagian Question of Life.
            “Om Botak nggak boleh jahat-jahat sama Oik. Nanti ditonjok sama yang sekarang lagi di backstage.” Sivia berbicara dengan wajah polos yang mendramatisir suasana.
            “Backstage? Siapa yang di backstage?” tanya Dedy, melirik Oik sekilas.
            “Nggak ada! Nggak ada yang di backstage. Krunya Diamond doang, kok. Ih, Sivia! Ngapain, sih?!” Oik mulai berseru panik dengan wajah memerah.
            “Ini acaranya siapa, sih, Om Botak? Yang punya acara, kok, bisa nggak tahu siapa yang lagi di backstage.” Ify terkekeh, memperlihatkan deretan giginya yang rapi berbehel.
            “Eh, Ify barusan ganti karet behel kemarin. Jadi warna tosca sekarang. Lucu, kan, Om?” ujar Oik, mengalihkan pembicaraan.
            “Oik ngeles! Ih! Salting! Pipinya merah!” Pricilla berseru heboh, semakin membuat Oik salah tingkah.
            “Ih, Pricilla jahat banget. Oik lagi ulang tahun, nih! Nggak boleh jahat-jahat!” Ify memukul pelan lengan Pricilla.
            “Oh, Oik ulang tahun?” tanya Dedy.
            “Iya, Om.” Oik mengangguk malu.
            Dan dalam hitungan detik, lagu Happy Birthday menggema dalam studio. Oik tersenyum cerah. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih–entah pada siapa.
            “Ulang tahun yang ke-berapa?” tanya Dedy.
            “Sembilan belas, Om.” Oik nyengir lebar. “Udah gede, nih.”
            “Yang di backstage udah ngucapin belum, Ik?” tanya Sivia usil.
            “Apa, sih, lo? Mulai lagi!” Oik mendadak sewot.
            “Siapa, sih, yang ada di backstage?” tanya Dedy dengan wajah sebal karena pertanyaannya tak kunjung dijawab.
            Acha pun ikut buka suara. “Ada si solois itu, Om, di backstage. Nungguin Oik. Itu, tuh.. Si Al––,”
            Belum sempat Acha menyelesaikan ucapannya, Oik sudah melemparkan bantal sofa yang tadi dipeluknya tepat kewajah Acha. “Acha, apaan?! Nggak, nggak. Acha bohong, Om. Nggak ada siapa-siapa di backstage.”
            “Al? Al siapa? Al Ghazaly–anaknya Ahmad Dhani?” tanya Dedy, ia menatap bingung pada kelima anggota Diamond yang mulai ribut sendiri.
            “Alvin Jonathan, Om!” ujar Ify datar.

**

            Cakka baru saja tiba di apartemennya. Ia baru selesai sesi latihan bersama personel Rockability lainnya. Ia melihat seisi apartemennya yang kosong. Seperti kakaknya sudah berangkat kuliah. Cakka hanya mengangkat bahunya tak acuh.
            Lelaki itu melepas jaketnya dan melemparkannya begitu saja kearah sofa. Ia mengambil remote televisi dan menyalakannya. Merasakan tenggorokannya yang kering, Cakka melangkah menuju dapur. Ia menuangkan orange juice instan pada gelasnya kemudian kembali ke ruang tengah dan duduk nyaman diatas sofanya.
            Cakka menyeruput sedikit orange juice-nya kemudian meletakkannya diatas meja. Ia merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar, pertanda sebuah SMS masuk. Cakka mengeluarkannya dan membuka pesan dari Shilla –manager Rockability– tersebut. Seperti biasa, mengingatkan jadwal latihan untuk esok hari.
            Ia mendengar jingle salah satu acara terfavorit dari televisi. Cakka seperti mengenalinya. Ia pun mendongakkan kepala, menatap televisi. Oh, benar dugannya. Hitam Putih. Siapa bintang tamunya kali ini? Cakka ingat, ia dan personel Rockability lainnya baru saja menjadi bintang tamu dalam acara tersebut minggu lalu.
            Sang host –Dedy– mulai membuka segmen dengan seruan khasnya–sinis. Cakka kembali mengambil orange juice-nya dan menyeruputnya. Ia terbatuk ketika mengetahui siapa bintang tamu Hitam Putih kali ini. Cakka meletakkan gelasnya dan fokus dengan acara tersebut.
            “Diamond?” desisnya tak percaya.

**

            Di dalam studio, Dedy mulai menghampiri kelima anggota Diamond. Mencari-cari siapa yang akan ia pilih mewakili Diamond dalam Question of Life.
            “Siapa, nih?” tanya Dedy.
            “Nggak mau! Jangan aku, Om!” Pricilla menutup wajahnya dengan bantal sofa.
            “Jangan aku juga, Om. Janji, deh, nggak akan manggil pakai sebutan Om Botak lagi!” Sivia nyengir lebar menatap Dedy.
            “Om, aku anak alim, Om. Jangan aku.” Acha tersenyum memelas, menangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada.
            “Om, Sivia aja. Dia yang palig nakal, Om.” Oik menunjuk Sivia dengan telunjuknya.
            “Eits, eits!” Ify menggelengkan kepalanya begitu mengetahui Dedy tengah menatapnya. “Aku yang paling tua disini. Nggak bisa, nggak bisa.”
            Dedy menatap Ify tak mengerti kemudian menatap kamera. “Apa hubungannya yang paling tua sama Question of Life?” tanyanya.
            Studio salah satu televisi swasta Indonesia tersebut kembali riuh dengan tawa.
            “Hom pim pah aja, deh, kalian berlima.” Suruh Dedy dengan tak sabar.
            “Nggak mau!” koor kelima anggota Diamond dengan kompak.
            Dedy kembali menatap kamera dengan wajah masam. “Susah, nih, kalau punya bintang tamu anak ABG. Pada suka semaunya!”
            “Sivia aja, Om!”
            “Nggak mau. Oik aja!”
            “Acha, nih, mupeng!”
            “Ify aja, Om. Yang paling tua!”
            “Yang paling tembem aja, Om. Pricilla!”
            Dedy menggelengkan kepalanya menatap kelima bintang tamunya kali ini. Ia pun menarik paksa salah seorang anggota Diamond dan mendudukkannya pada salah satu kursi di spot utama stage, lalu ia duduk di hadapannya.
            “Yeay! Oik! Semangat!” Pricilla bertepuk tangan heboh.
            “Nah, gitu! Yang paling muda aja!” Ify terkekeh menatap Oik.
            “Go Oik! Go Oik! Go!” Acha berdiri, lalu bertepuk tangan, kemudian kembali duduk.
            “Untung bukan gue!” Sivia mengelus dadanya seraya nyengir lebar.
            “Sialan lo semua!” Oik merengut menatap keempat partner-nya dalam Diamond.
            “Ssssttt!!” Dedy mendesis sebal. Kelima bintang tamunya benar-benar tidak bisa diam. “Oik, udah ngerti cara ngejawabnya, kan? Jadi nanti ada dua sesi. Yang pertanya saya kasih pertanyaan dan kamu harus jawab. Yang kedua tanpa pertanyaan. Oke?”
            “Om, aku udah ngerti. Nggak usah dijelasin.” Oik menatap Dedy dengan polos.
            Dedy memasang wajah sebal–lagi. Ia mulai membuka-buka note hitam miliknya.
            “Pacaran sehat adalah pacaran yang...?”
            “Sehat? Nggak sakit!”
            “Hah?!” Dedy menatap Oik bingung. “Pacaran sehat. Pacaran sehat, Oik! Pacaran sehat adalah pacaran yang...?”
            “Yang... nggak macem-macem,” Oik nyengir lebar.
            “Macem-macem gimana?” tanya Dedy lagi dengan wajah usilnya.
            “Yang... gitu, deh! Kepo banget, Om?” Oik menjulurkan lidahnya, mengejek Dedy.
            “Udah pernah macem-macem, ya, sama pacarnya?” tanya Dedy lagi.
            “Nggak!” Oik menggeleng cepat. “Nggak punya pacar!”
            “Bohong!” sahut Ify dan Pricilla.
            “Lho? Udah putus sama personelnya Rockability?” tanya Dedy menatap Oik.
            “Cakka, Om, namanya.” Acha menimpali.
            “Iya, Cakka.” Dedy melirik Acha sekilas lalu kembali pada Oik. “Udah putus sama Cakka, ya?”
            “Udah, Om,” Oik mengangguk kikuk. Wajahnya mendadak keruh.
            “Sebulan yang lalu, Om, putusnya! Kudet banget, sih, Om Botak,” seloroh Sivia.
            “Berani manggil saya Om Botak lagi?” Dedy menengok pada Sivia dan Sivia menggeleng heboh.
            “Ampuni saya, Om! Saya udah tobat!”
            Dedy menggeleng kemudian menengok pada Oik. “Saya putus dengan mantan saya karena...?”
            Oik gelagapan. “Hm, karena... karena apa, ya?” Oik menengok pada keempat sahabatnya. “Karena apa, woy?”
            “Eh, eh, eh,” seruan Dedy membuat Oik kembali menatapnya. “Nggak boleh nanya temen. Lagian kamu yang putus, kok, bisa nggak tahu alasannya?!”
            “Apa, ya, Om?” tanya Oik balik seraya nyengir.
            “Saya putus dengan Cakka Rockability karena...?” Dedy kembali mengulang pertanyaannya dengan embel-embel nama mantan kekasih Oik dibelakangnya.
            “Karena udah nggak cocok!” ujar Oik spontan.
            Dedy mengangguk kemudian tertawa. “Sekarang saya sedang dekat dengan...?”
            “Om, please.. Kenapa pertanyaannya gitu banget?” keluh Oik.
            “Oik harus jujur!” seru Acha heboh.
            “Jujur pale lu peyang! Gue lagi nggak deket sama siapa-siapa!” Oik menatap Acha dengan tajam.
            “Sekarang saya sedang dekat dengan...?”
            “Dengan... Ify, Sivia, Pricilla, Acha!”
            “Oik..” Nada suara Dedy mulai terdengar menyeramkan.
            “Yang di backstage, Ik!” sahut Ify.
            “Alvin Jonathan!” jawab Oik lantang lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia yakin pipinya kini telah merona merah.
            “Saya merasa jelek banget pada saat...?”
            “Bangun tidur!” sela Sivia. Gadis itu kemudian tertawa terpingkal-pingkal karena membayangkan wajah kuyu Oik ketika baru saja bangun tidur.
            Oik menjentikkan jarinya. “Bangun tidur,”
            “Pertanyaan terakhir,” Dedy menatap Oik jahil. “Saya nyaman berada didekat Alvin Jonathan karena...?”
            “Om! Nggak ada yang bilang aku nyaman deket Alvin!” Oik memekik. Ia dapat mendengar Ify, Sivia, Pricilla, dan Acha yang tertawa heboh.
            “Jawab aja..” desak Dedy.
            “Karena... Alvin baik, pengertian. Udah, ah! Rese, nih, Om Botak,” seru Oik sebal.
            Studio kembali riuh. Dedy memasang wajah keruhnya karena kembali dipanggil Om Botak oleh anggota Diamond.
            Oik mendadak bingung karena studio dan teman-temannya yang riuh sekali. Oik menengok pada sebuah layar dibelakang anggota Diamond. Rupanya layar itu sedang menampilkan slide foto-fotonya bersama Alvin.
            “Ini kapan diambil fotonya?” tanya Dedy.
            Oik menatap fotonya bersama Alvin yang tampak sedang makan es krim berdua dengan latar belakang patung Merlion. Tangan kanan Alvin memegang cone es krim dan tangan kirinya merangkul Oik yang tersenyum lebar menatap kamera.
            Oik tampak berpikir. “Dua minggu yang lalu kayaknya, Om.”
            “Kalian ke Spore berdua?”
            “Nggak!” Oik menggeleng cepat. “Sama temen-temen satu management lainnya juga. Cuman kebetulan ini fotonya berdua.”
            “Alvin sama Diamond itu satu management?”
            “He’eh,” Oik mengangguk.
            Foto berganti. Kini fotonya dan Cakka yang terpampang disana. Keduanya berfoto disebuah ruang tengah–entah rumah siapa. Cakka tampak sedang memakan pizza dan Oik melirik Cakka.
            “Ini...?”
            “Sama Cakka, Om,” Oik menjawab seraya tersenyum kecut.
            “Ah, Om Botak flashback, nih!” seru Sivia.
            “Sivia, kamu nakal sekali?!” balas Dedy dengan sebal.
            “Om, lanjutin Question of Life-nya!” sergah Ify begitu melihat Oik yang mulai murung.
            “Oh, iya!” Dedy pun kembali fokus pada Oik, tak menghiraukan foto-foto lainnya yang terpampang dilyara. “Pacaran atau kuliah?”
            “Kuliah!”
            “Mall atau kafe?”
            “Kafe!”
            “Pantesan tembem.” Dedy menatap Oik mengerti. “Karir atau kuliah?”
            Oik menahan napasnya. “Ku...liah,”
            “Ayah atau ibu?”
            “Ibu,”
            “Ibu atau pacar?”
            “Nggak punya pacar, Om!” koreksi Oik.
            “Oh, oke. Ibu atau gebetan?”
            “Om..” Oik menggelengkan kepalanya.
            “Ibu atau Alvin?”
            “Ibu!” jawab Oik langsung.
            “Ik, yang di backstage sakit hati ntar,” seloroh Acha.
            “Terkenal atau kaya?”
            “Terkenal aja, deh. Terkenal, kan, duit gampang datengnya.
“Matre lo!” seru Ify lalu terkekeh.
            “Sahabat atau gebetan?”
            “Sahabat, dong!”
            “Yang di backstage udah terkapar karena serangan jantung denger elo nggak milih dia, Ik.” Pricilla kembali bersuara.
            “Serba salah, kan, jadi gue?! Gue milih sahabat, salah. Gue milih gebetan, salah.” Oik menggelengkan kepalanya tak mengerti.
            “Cantik atau pintar?”
            “Susah, nih, Om. Aku, kan, cantik sama pinter.”
            “Pilih salah satu, Oik!” ujar Dedy, sebal.
            “Pinter, deh.”
            “Berarti jelek nggak masalah, ya?”
            “Nggak gitu juga!” seru Oik sewot. Dedy tertawa puas.
            “Personel band atau solois?” Dedy kembali tertawa.
            “Ngecengin mulu, nih!” Oik mendadak cemberut.
            “Kalau pilih personel band, ntar yang di backstage serangan jantung lagi.” Ify menyahut.
            “Kalau pilih solois, ntar sang mantan kecewa.” Acha meneruskan.
            “Anggota girlband, deh!” Oik menjawab lalu nyengir lebar.
            “Nggak bisa.” Dedy kembali sebal. “Personel band atau solois?”
            “Solois!” Oik menjawab dengan setengah hati.
            “PDKT atau CLBK?”
            “PDKT! Kalau ada yang baru, ngapain sama yang lama?” seloroh Oik.
            “Wajah atau tubuh?”
            “Tubuh.”
            “Salon atau bioskop?”
            “Bioskop, lah!”
            “Justin Bieber atau Bruno Mars?”
            “Bruno Mars, deh.”
            “Mendadak kaya atau bisa go international bareng Diamond?”
            “Go international,”
            “Punya sedikit fans atau banyak haters?”
            “Eh, gila! Jahat banget pertanyaannya?!” Oik melirik Dedy sebal. “Sedikit fans, deh.”
            “Kehilangan sahabat atau kehilangan karir?”
            “Wah, ngajak ribut.” Oik menggebrak meja kemudian tertawa. “Nggak mau milih!”
            “Kehilangan sahabat atau kehilangan karir?” ulang Dedy.
            “Maksa amat, Om?” ejek Oik.
            “Kehilangan sahabat atau kehilangan karir?” ulang Dedy lagi.
            “Sahabat, deh.”
            Keempat anggota Diamond lainnya mulai bersorak heboh mendengar jawaban Oik.
            “Kalian itu partner, lebih dari sahabat. Tenang aja.” Oik melirik keempatnya kemudian terkekeh pelan.
            “Gebetan baru atau girlband baru?”
            “Gebetan baru!” Oik menjawab mantap.
            “Coy! Telepon UGD, coy! Yang di backstage terkapar kehabisan napas!” seru Sivia yang mengundang riuh tawa penonton dalam studio.
            “Diamond atau Cakka?”
            “Diamond, dong!”
            “Eh, Cakka nge-BBM gue, nih. Mau ngelabrak Om Botak katanya.” Pricilla berpura-pura menengok ponselnya lalu nyengir menatap Oik dan Dedy.
            “Diamond atau... Alvin?” seru Dedy bersemangat.
            “Abis, nih, yang di backstage. Koma pasti abis ini.” Acha menengok kearah sudut belakang stage, berpura-pura mencari Alvin.
            “Diamond,” Oik menjawab yakin.
            “Terakhir.” Dedy tertawa. “Alvin atau Cakka?”

**

            Cukup!
            Cakka mematikan televisinya dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Ia mengenakan jaketnya dengan asal, mengambil kunci mobil, kemudian berlalu dari ruang tengah. Begitu ia akan keluar dari apartemennya, ia berpapasan dengan Shilla.
            “Mau kemana, Kka?” tanya Shilla seraya menenteng cheese cake kesukaan Cakka. “Nih, buat lo.”
            Cakka tak mengiraukan Shilla dan cheese cake yang kini disodorkan padanya. “Bukan urusan lo,” kata Cakka dengan nada dingin.
            Shilla menatap Cakka yang bergerak menjauh dan membuang cheese cake-nya begitu saja dikoridor apartemen. “Kka! Tunggu!” Ia pun berlari menghampiri Cakka.
            Cakka menatap Shilla datar. Begitu keduanya masuk dalam lift dan pintu lift tertutup, Cakka segera menekan tombol lift hingga membawanya ke lobby apartemen. Cakka melangkah cepat menuju parking area dengan diikuti Shilla yang kesusahan menyamai langkahnya dengan Cakka.
            “Lo mau kemana, sih, Kka?” tanya Shilla lagi, berusaha menghentikan laju langkah lelaki itu dengan cara menahan lengannya.
            Cakka menatap Shilla sebal lalu menghentakkan lengannya, membuat tangan Shilla tak lagi menahan lengannya. “Gue bilang bukan urusan lo!”
            Shilla berdiri dengan Cakka yang memunggunginya. Keduanya kini telah berada disisi mobil Cakka. Rupanya lelaki itu sedang membuka kunci mobilnya. Begitu terbuka, ia langsung masuk dan menyalakan mesin.
            “Kka! Dengerin gue!” Shilla mengetuk-ngetuk kaca mobil Cakka.
            Dengan terpaksa, Cakka membukanya dan menatap Shilla sinis. “Lo ngapain, sih?!”
            “Harusnya gue yang nanya ke elo!” Shilla berteriak dengan suara bergetar. “Elo yang ngapain?! Elo, tuh, kayak orang kesetanan! Kenapa, sih, Kka?” tanya Shilla lirih.
            Cakka membuang pandangannya. “Lo nggak usah ikut campur urusan gue.”
            “Tapi gue manager lo!” sela Shilla cepat.
            “Elo manager Rockability, bukan manager gue.” Cakka berkata dengan mata menatap Shilla tajam.
            “Elo mau kemana, Kka? Ini udah hampir jam delapan malem. Waktunya lo istirahat.” Shilla menyeka air mata yang mulai meleleh dipipinya dengan cepat.
            “Gue mau ke studio salah satu televisi swasta. Gue lihat Oik disana. Sama Alvin. Puas lo?!” Cakka kembali menutup kaca mobilnya dan berlalu meninggalkan Shilla.
            “Tapi gue sayang sama elo, Kka. Kenapa lo nggak nyadar juga?” lirih Shilla.
            Air matanya kembali meleleh menatap mobil Cakka yang semakin menjauh. Ia terduduk di parking area apartemen Cakka. Ia menangisi dirinya yang terlanjur mencintai Cakka. Ia menangisi Cakka yang tak menyadari perasaannya. Dan, terlebih, ia menangisi Cakka yang tak kunjung bisa melupakan Oik–mantannya.

**

            Alvin sedang menyalakan lilin pada kue tart untuk Oik. Lima menit lagi acara selesai dan Oik beserta anggota Diamond lainnya pasti akan menuju backstage untuk bersiap-siap pulang. Alvin sengaja memberikan tart untuk Oik pada malam hari karena pagi tadi Oik sibuk mempersiapkan untuk hadir dalam acara ini.
            Alvin mendengar derap langkah seseorang di belakangnya. Dan, belum sempat ia menengok ke belakang, ia sudah tersungkur karena tonjokan seseorang.
            “Makan, tuh!” suara berat seseorang mengagetkan Alvin.
            Alvin berusaha memfokuskan pandangannya pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Alvin mencoba untuk berdiri dan terkesiap kaget menyadari siapa yang telah memukulnya. “Cakka?”
            “Hai, Alvin!”
            “Lo ngapain kesini?” tanya Alvin tak suka.
            “Harusnya gue yang tanya begitu ke elo!” Cakka kembali melayangkan tinjunya pada pipi Alvin. “Ngapain lo disini?! Mau narik simpatinya Oik, hah?!”
            Alvin meringis kesakitan. Darah mulai menetes dari sudut bibirnya. “Asal lo tahu, Oik yang minta gue buat nemenin dia dateng ke acara ini.”
            “Sialan lo!”
            Cakka sudah akan meninju Alvin lagi ketika tangannya ditahan oleh seseorang. Cakka menengok dan mendapati Oik tengah menahan tangannya. Ia juga mendapati keempat anggota Diamond lainnya yang tengah menatapnya cemas.
            “Stop, Kka,” ujar Oik lirih.
            Alvin tersenyum tipis menatap Oik. Ia lalu mengambil kue tart untuk Oik dan menunjukkannya pada gadis itu. “Happy birthday, Oik.”
            “Makasih, Vin.” Oik tersenyum sedih. Tangannya terulur untuk menghapus darah pada sudut bibir Alvin. Cakka meradang melihatnya.
            “Happy birthday, Oik. Happy birthday, Oik. Happy birthday, happy birthday... happy birthday, Oik.” Alvin menyenandungkan lagu sederhana itu dengan meringis menahan perih pada sudut bibirnya.
            Cakka mendorong Alvin menjauh. Ia menghadap Oik. Kedua tangannya menyentuh lengan Oik. Cakka menatap Oik dalam, berharap Oik bisa membaca perasaannya lewat bola matanya.
            “Ik, kenapa...?” tanya Cakka dengan suara tercekat.
            Oik menggeleng. “Kita udah putus, Kka!”
            “Dan secepet itu kamu dapet penggantiku?” tanya Cakka tak mengerti.
            “Iya!” Oik menatap Cakka dengan pandangan menantang. “Ak–Gue capek sama lo! Gue capek jadi satu-satunya yang ngerasa sakit!” Oik berteriak histeris.
            “Sakit? Sakit apa?” Cakka bertanya dengan suara lembutnya. Tangannya menyentuh pipi Oik, mengusapnya perlahan.
            “Kamu nggak tahu, Kka. Kamu nggak tahu rasanya jadi aku! Udah, kita udah putus.” Oik mulai menangis. Ia melepaskan tangan Cakka dari lengan dan pipinya lalu beranjak membopong Alvin.
            “Ik!” Cakka memanggil Oik yang berlalu dari hadapannya bersama Alvin.
            Oik menengok sekilas dengan air mata yang masih berlinang. “Kamu nggak tahu, Kka. Aku capek, sakit, sedih.” Ia kemudian menghapus air matanya. “Makasih untuk kado ulang tahunnya. Baik-baik sama Rockability dan... Shilla.”
            Oik benar-benar berlalu dari hadapan Cakka. Bersama Alvin. Ify, Sivia, Pricilla, Acha, dan para kru Diamond pun hanya dapat menatap Cakka prihatin lalu bergegas menyusul Oik serta Alvin.
            Cakka termenung di tempatnya. Pandangannya kosong.
            “OIIIIIIKKKKK!!!!!”


THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS