CAST
1. Alyssa Saufika Umari
Alyssa Saufika Umari. Akrab disapa Ify. Dia adalah seorang gadis dengan segudang talenta. Dia bisa menyanyi, dia juga bisa memainkan piano klasik. Baru-baru ini pun, ia sudah lancar memainkan gitar. Terkadang, ia memainkan piano klasiknya seraya bersenandung merdu. Ify merupakan fresh graduated dari Carial International School. Sekarang ini, ia sudah terdaftar menjadi siswi tingkat 10 di Witchy School of Art. Kedua orang tuanya memiliki sebuah toko yang menjual berbagai macam alat-alat sihir dan buku-buku berisikan mantera di salah satu sudut Kota Carial. Tak ingin menjadi penerus toko kedua orang tuanya, Ify bersekolah di Witchy School of Art. Toh, pikirnya, masih ada kakak laki-laki dan adik laki-lakinya yang bisa meneruskan toko tersebut.
2. Oik Cahya Ramadlani
Gadis mungil nan imut ini biasa dipanggil Oik. Ia baru saja lulus dari Medium Art School. Akhirnya, ia melanjutkan di Witchy School of Art. Sebenarnya, kedua orang tuanya tak setuju ia bersekolah di sana. Karena, kata mereka, mereka tak bisa jauh-jauh dari Oik. Mengapa? Witchy School of Art adalah sekolah seni di Kota Carial yang menerapkan system asrama. Seluruh anak didiknya hanya boleh pulang ke rumah masing-masing ketika akhir bulan. Oik terus membujuk kedua orang tuanya dan akhirnya mereka berdua memperbolehkannya. Oik lega. Sungguh, ia tidak tahu harus berkata apalagi. Akhirnya, setelah sekian lama, ia bisa bebas dari rumahnya. Oh ya, satu lagi! Oik memiliki sixth sense.
3. Sivia Azizah
Sivia, gadis berkulit putih merona dengan lesung di kedua pipinya. Sama seperti Ify, ia juga bisa bermain piano dan menyanyi. Ia adalah anak tunggal. Wajar saja jika kedua orang tuanya benar-benar menjaganya. Nasibnya seolah sama dengan Oik. Awalnya, kedua orang tuanya juga tak tega menyekolahkan Sivia di sekolah bersistem asrama. Tapi, apa daya? Sivia sendiri yang ingin bersekolah di sana. Sst! Ada sebuah rahasia yang Sivia tutup rapat-rapat dari seluruh teman-teman barunya di Witchy School of Art. Rahasia apa itu? Sebenarnya, Sivia memiliki tumor jinak di lengan atas tangan kirinya. Ia tak pernah memakai pakaian dengan lengan pendek karenanya. Karena tumor jinak itu jugalah, Ify dan Oik sering mengantarnya diam-diam untuk check up ke Central Hospital, tentu saja dengan seizin Kepala Sekolah.
PROLOG
Keluarga Umari baru saja tiba di halaman depan Witchy School of Art. Ify, kedua orang tuanya, seorang kakak laki-lakinya, dan seorang adik laki-lakinya turun dari kereta kuda. Penunggang kereta kuda tersebut segera menepikannya, berpuluh-puluh kereta kuda lainnya sudah berbaris di belakang untuk bergantian menurunkan penumpangnya.
Kakak serta adik Ify masing-masing membawakan satu koper berwarna ungu milik Ify. Kelimanya pun segera menuju main hall. Mereka melewati beberapa koridor berarsitekturkan neo-klasik yang terlihat sangat mewah. Setelah beberapa menit berjalan, kelimanya pun tiba di main hall. Sebuah rungan super luas yang langit-langitnya menggugurkan bunga-bunga sakura dengan bantuan sihir.
“Kopernya taruh di mana ini? Mana mungkin aku bawa terus?!” kata kakak Ify, Eizel.
Ify memutar bola matanya, malas melihat kakak semata wayangnya ini, “Taruh situ aja. Lagipula, aku belum dapet kamar.”
Eizel segera meletakkan koper ungu milik Ify dengan sembarang. Laki-laki yang sudah hamper dewasa itu pun terduduk di lantai marmer main hall.
“Kenapa di sini ga ada kursi? Terpaksa aku duduk di lantai marmer yang kotor ini.” gerutunya, lagi.
“Banyak omong sekali kau ini? Ck! Kau kira ini tempat apa? Ini main hall! Jelas saja di sini tak ada kursi!” sentak Ify, kedua orang tua mereka hanya dapat geleng-geleng kepala.
Khalif menarik-narik ujung kemeja Ify dan menengadahkan kepalanya pada kakak gadisnya itu, “Kakak, Khalif cape’. Kopernya kakak Khalif taruh di bawah, ya?”
Ify mengangguk, Khalif segera meletakkan koper yang sedari tadi ia geret tersebut di samping koper milik Ify yang satu lagi. Dengan gemas, Ify mengucek pelan puncak kepala adiknya. Gadis berbehel itu yakin kalau ia pasti akan sangat merindukan malaikat kecil yang Tuhan kirimkan pada keluarganya tersebut.
^^^
Oik berjalan melewati koridor-koridor sekolah barunya tersebut seorang diri. Ia pun membawa sendiri dua koper berwarna pink, masing-masing satu di tangannya. Sengaja ia tidak mengajak kedua orang tuanya kemari. Ia tak mau kedua adiknya ikut serta ke sini, Oktav dan Angel. Sungguh, ia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika kedua adiknya tersebut ikut mengantarkannya.
Oik menengok ke kanan dan ke kiri. Bulu kuduknya meremang. Ia menggerutu kesal. Ia tidak menyangka bahwa sekolah barunya, yang notabene juga sekolah seni terbaik di Kota Carial, memiliki banyak penghuni dari dunia dan dimensi yang berbeda dengannya.
Yap! Sixth sense selalu menyertainya ke manapun ia pergi. Ia dapat melihat berbagai macam makhluk-makhluk lain dimensi tersebut menatapnya tajam. Tak hanya ia, orang-orang lain yang sedang berlalu-lalang pun juga tak luput dari tatapan tajam mereka.
“Tuhan, aku tak tahu harus berterima kasih atau malah mengutukki anugrah yang Kau beri ini.” gumamnya.
Ia tahu kalau ia adalah orang yang spesial. Tak semua manusia memiliki kemampuan tersebut. Ditambah lagi, Oik dapat berbicara dengan mereka. Sungguh! Pernah, sekali-kali, Oik bertanya kepada salah satu penunggu rumahnya tentang asal mula rumahnya dibangun.
Akhirnya ia tiba di main hall. Tak sengaja, ia menabrak seorang gadis berambut pendek dengan kulit putih merona yang berdiri membelakanginya. Koper-koper oik pun terlepas dari genggamannya. Ia sampai terjungkir ke belakang, saking kerasnya tabrakan tadi.
“Maaf!” lirih Oik.
Gadis itu pun menengok ke belakang. Tangan kanannya terulur untuk menolong Oik berdiri. Oik menyambutnya. Mereka pun saling melemparkan senyum. Perlahan, tangan keduanya saling berjabat.
“Aku Oik.”
“Aku Sivia.”
“Salam kenal!” seru keduanya, bersamaan.
Menyadari keduanya berkata bersamaan, timbullah gelak tawa dari mulut mereka. Keduanya pun berbincang akrab, menunggu nama masing-masing disebut oleh Kepala Sekolah dalam pembagian kamar. Sekarang ini, para pengantar siswa dan siswi baru sudah diperkenankan kembali ke kereta kuda masing-masing dan pulang.
“.....Kamar Putri nomor satu. Alyssa Saufika Umari, Oik Cahya Ramadlani, dan Sivia Azizah.....”
Mendengar namanya disebut, Sivia dan Oik segera menarik koper masing-masing dan menuju ke sebuah koridor. Sudah ada seorang guru yang menunggu keduanya di sana, bersama seorang gadis cantik berbehel.
“Ga nyangka aja kita bisa sekamar.” kata Sivia.
Oik mengangguk bersemangat, “Iya! Ah, pasti gadis berbehel itu yang bernama Alyssa. Dia teman sekamar kita juga.”
“Ayo, Ik! Aku sudah tak sabar melihat bagaimana kamar yang akan kita tempati dalam tiga tahun kedepan.” seru Sivia, sangat bersemangat.
Keduanya pun mempercepat laju langkah mereka. Sampai! Keduanya telah berdiri di hadapan seorang guru berpakaian khas Witchy School of Art dan seorang gadis berbehel berpakaian bebas. Oik dan Sivia mengembangkan senyum masing-masing.
“Oik Cahya Ramadlani?” tanya beliau, Oik mengangguk.
“Dan kau, Sivia Azizah?” tanyanya lagi, Sivia pun mengangguk.
“Baiklah. Perkenalkan, saya Ira. Kalian bertiga bisa memanggil saya Madam Ira. Saya salah seorang pengajar Seni Suara di sini. Oke, mari saya antar ke kamar kalian.”
Madam Ira segera berjalan, ketiga siswi barunya mengekor di belakang. Ify, Oik, dan Sivia berjalan beriringan. Ketiganya saling tersenyum.
Ify melambaikan tangan kanannya pada Sivia dan Oik, “Hay! Aku Alyssa, panggil Ify saja ya.”
“Aku Oik! Dan ini, Sivia.”
“Salam kenal, Ify!” sapa Sivia, Ify tersenyum kembali.
Ketiganya pun segera menyusul Madame Ira. Pasalnya, beliau sudah berada jauh di depan ketiganya. Ketiganya menyusul dengan tawa kecil masing-masing.
Madam Ira berhenti di sebuah jalan setapak, tak jauh dari jalan beraspal yang berada sekitar sepuluh meter di belakang mereka. Ify, Oik, dan Sivia pun segera menghentikan laju lari kecil mereka. Madam Ira berbalik, menghadap ketiganya.
“Ini kamar kalian. Di dalam sudah ada barang-barang yang kalian butuhkan. Warnanya pun sudah sesuai dengan warna favorit kalian masing-masing. Jadi, kalian tak usah berebut. Oh ya, di dalam hanya ada satu kamar mandi.” jelas beliau, tangan kanannya terarah pada sebuah rumah pohon di atas sana.
“Ehm, maaf Madam. Bagaimana kami bisa membawa koper kami ke atas sana?” tanya Sivia.
Madam Ira menengok ke atas sejenak. Tak lama, muncullah tiga ekor burung kecil. Masing-masing memiki bulu berwarna favorit ketiganya. Masing-masing dari mereka menerbangkan koper Ify, Oik, dan Sivia ke atas.
“Itu tadi burung milik kalian. Ungu milik Ify, merah muda milik Oik, dan oranye milik Sivia. Mereka bertigalah yang akan membantu kalian. Setiap paginya, mereka juga akan membawa secarik kertas bertuliskan kelas-kelas apa saja yang harus kalian datangi selama sehari penuh.”
Ketiga gadis itu hanya mengangguk mengerti. Tak lama, Madam Ira sudah menghilang dari tempatnya. Ify, Oik, dan Sivia berdecak kagum. Menghilang begitu saja adalah satu sihir tersulit! Hebat sekali Madam Ira...
“Ayo, siapa dulu yang mau naik ke atas?” tanya Sivia.
“Aku!” seru Ify.
“Selanjutnya aku, baru kamu.” sambung Oik. Sebelum ia naik ke atas, tak lupa ia mencubit gemas pipi chubby Sivia.
“Oiiiiiikkk!! Awas kau, ya!” gertak Sivia.
Sivia segera menyusul kedua sahabat barunya itu ke atas dengan perlahan. Maklum saja, tangannya belum begitu kuat untuk menajat rumah pohon ini. Belum terbiasa. Setelah beberapa detik, akhirnya ia sampai juga di tempat singgahnya.
“Wow!” ketiganya bergumam terpukau.
Ketiganya pun segera menjatuhkan tubuh di ranjang masing-masing. Warna seprai pun sudah sesuai dengan warna favorit mereka masing-masing. Seluruh barang di rumah pohon ini berjumlah tiga, dengan warna favorit masing-masing.
Tepat ketika ketiganya membuka mata, sudah ada burung kecil milik mereka yang membawa secarik kertas.
Besok akan diadakan pra-MOS bagi siswa-siswi baru. Barang-barang keperluan untuk pra-MOS sudah ada di dalam almari masing-masing. Untuk pemberitahuan selanjutnya, menyusul.
Setelah selesai membaca, secarik kertas tersebut hilang entah ke mana. Ify, Oik, dan Sivia kembali terperangah kagum.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar