Sudah sejam yang lalu semenjak sang mentari muncul di peraduannya. Oik dan Alvin kini sedang berjalan menyusuri jalanan Jakarta menuju sekolah mereka, SMP Ranvas. Keduanya tampak sedang berbincang-bincang ria. Sesekali, sunggingan tawa lebar muncul di wajah keduanya.
“Eh, Vin, ntar pulang sekolah aku dijemput Kak Rio. Ga pa-pa, kan?” tanya Oik memastikan.
Alvin meliriknya sekilas melalui spion motor dan tersenyum kepada peri kecilnya itu, “Ga pa-pa, dong. Tumben banget, Ik? Kalian mau ada acara, ya?” balas laki-laki berwajah oriental tersebut.
Oik menganggukkan kepalanya tepat ketika Alvin kembali meliriknya melalui spion, “Iya, Vin. Kita berdua mau jemput papa sama mama di bandara. Hari ini mereka pulang, Vin. Seneng banget, sumpah!” seru Oik dengan wajah berseri-seri.
Alvin kembali menyunggingkan senyum termanisnya setelah mendengar jawaban dari Oik. Ia membelokkan setir motornya dan berbelok menuju SMP Ranvas. Ia kembali membelokkannya dan sampailah mereka di area parkir motor SMP Ranvas.
Oik lekas turun dari boncengan motor Alvin dan mengangsurkan helmnya pada Alvin. Lalu, keduanya berjalan menyusuri koridor utama sekolah menuju kelas Oik. Kelas Oik masih sepi rupanya. Memang. Alvin dan Oik berangkat terlalu pagi hari ini.
Oik meletakkan tasnya di bangkunya dan beralih pada Alvin, “Vin, aku ke toilet dulu, ya” pamitnya. Gadis mungil itu sudah bergegas keluar dari kelasnya.
“Lah? Ik! Aku anterin, ya?” tanya Alvin.
Oik kembali menoleh pada lelakinya tersebut, “Ga usah! Kamu di sini aja, temenin Sivia!” Oik kembali berseru dan setelahnya, ia berjalan cepat menuju toilet di ujung koridor ini.
Alvin pun mengambil sebuah bangku dan meletakkannya berhadapan dengan bangku Oik. Keadaan berubah canggung. Alvin dan Sivia masih sama-sama menutup mulut rapat-rapat. Alvin sibuk dengan ponselnya. Dan Sivia, sibuk bercuri-curi pandang pada Alvin.
“Eh, Vin, lo udah jalan berapa lama sama Oik?” tanya Sivia. Alih-alih, ia merutukki dirinya sendiri karena bertanya soal hal tersebut. Ia tau betul Alvin pasti akan bercerita soal dirinya dan Oik.
Alvin mengedik padanya dengan senyum mengembang, “Jalan sebulan, Siv. Nyenengin banget itu si Oik. Kalo manjanya kumat tuh, beneran deh bikin gemes! Ga bisa jauh lama-lama dari tuh cewek mungil! Udah kayak ketergantungan gue sama dia” celoteh Alvin panjang lebar.
Alvin memang sama sekali tak tau soal Sivia yang sudah mengumpat dalam hati. Sivia sudah mati-matian untuk tak mendengar celotehan Alvin barusan. Tapi mau bagaimana lagi? Telinganya masih berfungsi dengan normal. Otomatis, ia mendengar celotehan Alvin barusan.
Terdengar suara langkahan kaki dari kejauhan. Alvin dan Sivia menoleh ke arah pintu kelas. Dan, benar saja, Oik muncul di sana dengan senyum lucunya. Oik pun menghampiri keduanya dan duduk di bangkunya sendiri.
“Dilihat-lihat, kalian berdua itu cocok lho!” ujar Oik dengan wajah sangat polos.
Sivia terbeliak kaget dan segera menundukkan wajahnya karena ia sadar betul seberapa merahnya wajahnya sekarang. Sedangkan Alvin, ia hanya tersenyum tipis dan mengacak rambut Oik pelan, “Ada-ada aja kamu, Ik!” balas Alvin dengan santai.
Diam-diam Sivia merasa kecewa begitu mendengar respons Alvin yang sangat santai. Cinta memang tak bisa dipaksakan. Begitulah prinsip Sivia ketika itu hingga sekarang. Ketika itu? Ya.. Ketika ia menyadari ada sebuah rasa yang berbeda darinya untuk laki-laki tersebut.
Oik kembali memasang wajah polosnya, “Beneran loh! Tipe wajah kalian itu sama! Terus ya, kalian itu sama-sama Chinese! Beneran, deh! Swear!” seru Oik menggebu-gebu.
Sivia tertawa sumbang, “Ada-ada aja lo, Ik! Alvin, kan, udah sama lo! Gue juga udah ada yang lain, kok. Ngaco lo, Ik!” kata Sivia dengan sedikit membohongi kedua makhluk di dekatnya itu.
“Tau, nih, si Oik.. Udah jelas-jelas sekarang gue udah sama dia. Iya, kan, Siv?” sambung Alvin pada Sivia. Sivia hanya mengangguk dan tersenyum getir. Ekspresi wajahnya kini memang betul-betul susah diartikan!
^^^
Hari ini, murid-murid SMP Ranvas terpaksa dipulangkan lebih cepat. Pasalnya, guru-guru akan mengadakan rapat soal Ujian Nasional yang akan dihadapi siswa-siswi kelas Sembilan beberapa bulan mendatang. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh ketika mereka semua berhamburan keluar kelas.
Oik, Sivia, Cakka, Ray, Deva, dan Ozy masih berada di dalam kelas. Seperti biasa, mereka malas sekali jika harus berdusel-dusel dengan siswa-siswi yang lainnya yang akan pulang. Mereka lebih memilih menunggu di dalam kelas seraya menunggu Acha dan Alvin kemari.
Dari kejauhan tampak seorang siswa dan seorang siswi SMP Ranvas sedang berjalan ke arah mereka berenam. Oik, Sivia, Cakka, Ray, Deva, dan Ozy bisa memastikan bahwa keduanya adalah Alvin dan Acha. Siapa lagi?
“Hey!” sapa kedua sosok tersebut kepada mereka berenam. Keenamnya balas tersenyum.
“Hay, Cha!” sapa Ozy dengan senyum malu-malu. Begitu pula Acha.
“Hay juga, Zy!” Acha melambaikan tangannya kepada Ozy dengan wajah memerah.
Sontak, Oik, Sivia, Alvin, Cakka, Ray, dan Deva menatap keduanya dengan kening berkerut. Tumben-tumbenan sekali keduanya bertegur sapa tanpa menyapa yang lainnya juga. Apalagi, ditambah dengan senyum malu-malu keduanya dan wajah Acha yang memerah.
“Hey, hey, hey! Ada apakah gerangan sampai kalian berdua sapa-sapaan tanpa nyapa yang lainnya?” tanya Deva dengan bahasa yang, memang, agak belibet dan sangat to the point.
“Iya, tuh! Apalagi wajahnya si Acha pake ada merah-merahnya gitu! Nyokap gue aja, yang rutin make blush on, ga sampek segitu merahnya” timpal Ray dengan polosnya.
Glek! Acha dan Ozy menelan ludah. Mereka merutukki diri masing-masing. Kenapa tadi pakai acara saling menyapa tanpa menyapa yang lain? Kenapa pula wajah Acha menjadi semerah itu? Keduanya masih diam mematung.
“Mau cerita sesuatu, kawan?” tanya Cakka dengan menaik-turunkan alisnya.
Acha dan Ozy hanya menganggukkan kepalanya bersamaan. Kedelapannya lalu duduk melingkar di lantai. Tetap saja Acha dan Ozy duduk bersebelahan. Keenamnya kembali mengerutkan kening masing-masing. Keenamnya benar-benar tak merasa kalau setelah ini mereka akan mendapat ‘terapi jantung’ dari Acha dan Ozy.
“Oke.. Cerita aja. Kita udah penasaran banget!” komando Sivia, mewakili kelima temannya yang juga bernasib sama seperti dirinya, penasaran dengan Acha dan Ozy!
Keadaan kembali hening. Acha dan Ozy hanya saling tatap sambil sesekali tersenyum malu-malu. Oik, Sivia, Alvin, Cakka, Ray, dan Deva sudah geregetan saja melihat keduanya tak kunjung bercerita. Ditengah-tengah keheningan, tiba-tiba saja mengalun lagu Born This Way dari Lady GaGa.
“Eh, maaf! Maaf! Hehe..” Oik memberikan cengiran terlebarnya dan segera mengambil ponselnya di saku. Rupanya ada sebuah panggilan dari Rio, kakaknya.
“.....Iya.. Kenapa, kak?.....”
“.....Udah pulang, sih, ini. Kenapa?.....”
“.....Ya udah, ntar lo jemput gue aja setengah jam lagi.....”
“.....Ya di gerbang, dong! Emang mama sama papa nyampek jam berapa?.....”
“.....Oke.. See you!.....”
Oik segera memutuskan panggilan dari Rio dan kembali meletakkan ponselnya di saku. Kini ia menatap Acha dan Ozy bergantian seraya tersenyum tipis, “Ayo, lanjutin ceritanya!” suruhnya.
“Udah, kamu aja yang cerita” bisik Ozy pada Acha.
Acha menoleh pada Ozy dan memasang wajah memelas. Ozy malah melengos dan sok tak perduli dengan Acha. Acha menarik napas banyak-banyak dan menghembuskannya perlahan, mengatasi rasa malunya. Ia kembali menoleh pada Ozy. Ozy hanya menggelengkan kepalanya.
“Ya, gitu pokoknya.. Gue sama Ozy.. Aduh, ngomongnya gimana, ya? Hmm, gini deh. Gue sama Ozy itu kayak.. Alvin sama Oik” ujar Acha dengan wajah yang sudah sangat memerah. Bahkan Ozy, yang tak ikut menjelaskan, pun ikut memerah wajahnya.
Oik, Sivia, Alvin, Cakka, Ray, dan Deva cengo. Ozy dan Acha masih saja saling lirik dengan senyum malu-malu. Akhirnya keenamnya sadar dari kecengoan masing-masing dan menatap Ozy dan Acha bersamaan, “Ecieeeeee!!!” koor keenamnya bersamaan.
“Eh, eh, kok bisa jadian, sih, kalian berdua?” tanya Oik.
“Iya, tuh! Kapan jadiannya?” tanya Sivia.
“Ozy nembak lo-nya kapan, Cha?” tanya Cakka.
“Kok bisa jadian? Malahan gue kira Acha jadiannya sama Cakka!” tanya Alvin.
“Zy, udah ga murung lagi, dong, ya?” tanya Deva.
“Zy, Cha, ngasih PJ-nya kapan?” tanya Ray.
Sontak, Acha dan Ozy menjitak kepala Ray dengan ganasnya. Ray mengusap-usap kepalanya dengan wajah polos, “Lo, sih, nanyanya begituan! Kayak yang lain, kek, nanya soal jadiannya gue sama Acha! Nah, elo? Malah minta PJ!” sungut Ozy berapi-api.
“Aduh, nanyanya satu-satu, dong! Gue, kan, bingung jawabnya!” keluh Acha.
“Oke, kalian berdua kok bisa jadian?” tanya Oik untuk kedua kalinya.
Ozy dan Acha saling berpandangan dan tersenyum lebar, “Ya bisa, dong!” seru keduanya kompak.
“Terus, terus, kapan jadiannya?” Sivia mengulagi pertanyaannya.
“Kemarin malem!” kali ini hanya Ozy yang menjawab.
“Ozy nembak Acha kapan?” kali ini ganti Cakka yang bertanya.
Acha terlihat menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan gurat kemerahan di pipinya, “Kemarin malem, Cakk. Di taman deket sini. Untung aja bukan elo yang dateng ke situ. Ya meskipun aslinya buat elo, sih, undangannya” jelas Acha. Ia jadi malu sendiri ketika mengingat kejadian kemarin malam.
“Kok bisa jadian? Bukannya Acha sama Cakka?” tanya Alvin, (sok) serius.
Cakka dan Acha terlihat sedang tertawa terbahak-bahak setelah mendengar pertanyaan Alvin. Sedangkan Ozy, ia cepat-cepat menoyor kepala Alvin dengan ganasnya, “Ngarang lo! Udah jelas-jelas Acha sekarang sama gue!” serunya ga nyantai.
Alvin memanyunkan bibirnya, “Ya, kan, gue ga tau, Zy!” ia kemudian beralih pada Oik, “Ik, aku ditoyor Ozy, nih!” ujar Alvin dengan manja. Oik hanya menyunggingkan senyumnya dan mengusap bekas toyoran Ozy di kepala Alvin.
“Aduh, Vin, Vin.. Gini, ya.. Gue sama Cakka itu ga ada apa-apa. Tanya sama Cakka sendiri, deh, kalo ga percaya” ujar Acha yakin. Alvin pun menoleh pada Cakka.
“Acha itu udah gue anggep kayak adik gue sendiri. Lo, Ozy, tau, kan, kalo gue pernah punya adik cewek. Tapi, ya, sekarang dia udah ga ada. Udah di surga, kayaknya. Nah, Acha itu mirip banget sama almarhumah adik gue! Makanya gue lengket sama Acha!” Cakka mengakhiri ceritanya dengan tersenyum tipis.
Yang lain hanya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Sedangkan Oik, ia memandang Cakka dengan sedih. Ia baru tau bahwa Cakka punya adik perempuan yang sudah meninggal. Pasti kesepian sekali menjadi Cakka itu.
^^^
Oik dan Rio kini sedang dalam mobil yang dikemudikan sendiri oleh Rio. Keduanya sedang pergi menuju bandara, menjemput papa dan mama mereka yang baru saja datang dari Perancis. Keduanya sama-sama memasang wajah gembira menyambut kedatangan kedua orang tuanya. Wajarlah, keduanya sudah tak bertemu dengan orang tuanya selama setahun lebih.
“Kak Rio, mama sama papa udah take off belum?” tanya Oik dengan semangat.
Rio mengedik padanya beberapa detik dan tersenyum senang, “Udah, baru aja. Makanya kita kudu cepet-cepet sampek sana. Kesian mama sama papa kudu nunggu kita” balasnya.
Tepat sepuluh menit kemudian, mereka sudah berada dalam bandara dan mencari kedua orang tuanya di salah satu gate kedatangan yang telah ditentukan. Keduanya melambai riang pada dua sosok paruh baya yang menggeret koper super besar milik masing-masing.
Kedua sosok paruh baya tersebut pun berjalan menghampiri Rio dan Oik. Keduanya memeluk Rio dan Oik dengan penuh kasih. Akhirnya, keempatnya berjalan menuju area parkir bandara sambil berbincang dan, sesekali, tertawa bersama.
“Udah, biar Rio aja, pa, yang nyetir. Papa duduk belakang aja sama mama. Kalian pasti capek” usul Rio. Kedua orang tuanya hanya mengangguk dan bergegas naik ke dalam mobil.
Sedangkan Oik, gadis mungil satu itu sedang berusaha memasukkan kedua koper orang tuanya kedalam bagasi mobil. Rio pun menghampiri adik semata wayangnya tersebut dan membantunya memasukkan koper kedalam bagasi.
“Kak, jangan cerita yang aneg-aneh, ya, sama mama sama papa!” pesan Oik sebelum keduanya juga masuk ke dalam mobil.
Rio mengacungkan jempolnya dan keduanya pun masuk ke dalam mobil. Mobil keluar dari are parkir bandara dan berjalan menuju kediamannya. Di tengah perjalanan, keempatnya kembali mengobrol dengan seru. Tapi kemudian, obrolan mereka berubah serius.
“Oik, Rio, kalian tau, kan, kalau sekarang gentian rekan bisnis kami yang ada di Perancis?” tanya papa keduanya. Keduanya hanya mengangguk tanpa suara.
“Jadi, rekan bisnis kami itu meminta agar anaknya tinggal bersama dengan kita selama mereka masih ada di Perancis” lanjut mamanya. Lagi-lagi, Oik dan Rio hanya mengangguk tanpa suara.
“Tapi tenang saja, anak rekan bisnis papa itu sebaya dengan kamu, Oik. Jadi kalian pasti akan cepat akrab” papanya kembali menjelaskan dengan tersenyum kepada kedua anaknya, walaupun kedua anaknya tak melihat senyumnya tersebut.
“Jadi, mulai kapan anak rekan bisnis papa sama mama nginep di rumah kita?” tanya Rio yang baru saja membuka mulutnya kembali setelah sekian lama terdiam.
“Nanti malam kita jemput dia di rumahnya.. Harusnya, sepupunya dia juga ikut tinggal bersama kita. Tapi ternyata, sepupunya itu sudah pindah” balas mamanya.
Rio dan Oik hanya menganggukkan kepalanya. Mereka pun sampai di kediamannya dan cepat-cepat turun dari mobil. Sebelumnya, Oik telah berpesan kepada kedua orang tuanya agar mereka lekas istirahat saja. Biar ia dan Rio yang mengambil koper. Sebenarnya, Oik juga ingin berbicara dengan Rio.
“Kak, males banget, kan, bakalan ada orang yang kita ga kenal tinggal di rumah kita?!” gerutu Oik seraya menggeret koper mamanya masuk ke dalam rumah.
“Ya udahlah, itung-itung biar jadi temen main lo kalo gue kuliahnya lamaan” balas Rio santai.
Classmate (Part 19)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar