Cakka baru saja tiba di kediaman Shilla. Benar saja. Rumah itu terlihat sangat sepi. Cakka pun segera memarkirkan motornya di halaman rumah Shilla dan beranjak mengetuk pintu rumah tersebut. Tak lama, terdengar derap langkah yang seolah kian mendekat.
“Kak Cakka?” tanya sebuah suara saat pintu terbuka.
“Iya.. Shilla mana?” tanya Cakka balik dengan raut wajah cemas.
“Di kamarnya. Kak Cakka cepetan ke sana, deh!” seru gadis itu, Nova, dengan wajah sembab.
Cakka menganggukkan kepalanya dan segera masuk ke dalam rumah Shilla. Cakka melenggang menuju kamar gadis semampai tersebut, diikuti Nova dari belakang. Tanpa Cakka sadari, di belakangnya, Nova sedang menunjukkan raut wajah bersalah. Maaf, ya, Kak Cakka..
“Kak Cakka ke kamarnya Kak Shilla aja dulu. Gue mau ke dapur, bikinin lo minum” kata Nova, nada bicaranya mendadak berubah dingin.
Cakka hanya mengangguk. Dalam hati ia membatin mengapa nada bicara Nova berubah menjadi sedingin itu. Cakka mengangkat bahunya, tak mau tau. Ia pun membuka pintu kamar Shilla. Terlihat Shilla yang terbaring di ranjangnya dengan wajah sangat pucat.
Cakka bergerak mendekat ke ranjang Shilla dengan raut wajah susah ditebak. Ia mengambil sebuah kursi di dekat meja belajar milik Shilla dan menariknya mendekati ranjang Shilla. Tanpa Cakka ketahui, Shilla tersenyum simpul dalam pingsan pura-puranya.
“Shill.. Shilla..” panggil Cakka dengan volume sangat kecil, Shilla masih bertahan dengan pura-pura pingsannya.
“Shill.. Bangun, Shill..” panggil Cakka lagi, keadaan masih tetap seperti sebelumnya.
“Shill.. Ini gue, Shill.. Cakka..” panggil Cakka, untuk yang ketiga kalinya.
Shilla bergeliat pelan. Cakka masih belum menyadarinya. Cakka seakan teringat sesuatu! Tasnya! Ia segera mengambil ponselnya di saku celananya dan menghubungi salah satu temannya.
Tapi.. Siapa yang akan ia hubungi? Alvin? Mana mungkin. Sivia? Cukup sudah ia ditampar oleh gadis cantik itu. Oik? Jangan. Acha, Dea, Deva, Ozy, atau Ray? Cakka berpikir-pikir sejenak.
“.....Halo? Ozy?.....”
“.....Eh, ntar kalau lo semua udah selesai belajar barengnya, anterin tas gue ke rumahnya Shilla, ya!.....”
“.....Terserah lo, deh, lo mau ngajak siapa aja.....”
Klik! Sambungan diputus sepihak oleh Cakka. Ia kesal karena Ozy sempat menolak permintaan tolongnya karena itu semua berhubungan dengan kau-tau-siapa. Tapi akhirnya, Ozy mau juga mengantarkan tasnya kemari. Dengan catatan, Ozy mengajak semuanya. Semuanya berarti Alvin, Sivia, Acha, Dea, Deva, dan... Oik.
Hati Cakka berdesir aneh ketika ia menyebutkan dalam hati nama terakhir. Ia sadar bahwa ia telah membuat gadis manis itu marah, kesal, dan sebagainya. Tapi, mau bagaimana lagi? Shilla sekarat dan, seharusnya, Oik tau itu.
“Shilla, bangun. Gue ada sesuatu buat lo. Tapi masih ada di tas gue. Ntar Ozy nganterin ke sini, kok. Lo bangun, dong, Shill..” pinta Cakka memelas, Shilla kembali tersenyum dalam hati.
“Sebenernya coklat itu tadi buat Oik, sih..” gumam Cakka selirih mungkin. Sayangnya, Shilla mendengarnya. Diam-diam, Shilla menghela napas kesal.
^^^
Nova mengambil sebuah cangkir berornamen bunga dari dalam kitchenset di dapurnya. Ia meletakkannya di atas meja makan dan kembali beranjak mengambil dua stopless di dekat oven. Ia kembali ke meja makan.
Nova menyendokkan dua sendok bubuk teh dari stopless pertama dan dua sendok pula gula putih dari stopless kedua. Nova menuangkan air hangat ke dalam cangkir tersebut dan mengaduknya beberapa saat.
Setelah siap, ia mengangkat cangkir tersebut dan beranjak dari dapur lalu menuju kamar Shilla. Kebetulan, pintu kamar Shilla terbuka sedikit. Ia mengintip dari luar. Terlihat Shilla yang curi-curi pandang terhadap Cakka, masih dalam pingsan pura-puranya.
Nova geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya tersebut, “Keterlaluan emang lo, kak! Ini terakhir kalinya gue ngebantu lo. Besok-besok ga bakalan lagi gue bantu lo, kak!” desisnya.
Nova pun melangkah masuk. Cakka mengedik padanya beberapa saat dan kembali terpaku dengan Shilla. Nova meletakkan secangkir teh tadi di meja rias Shilla dan berdiri di samping Cakka, ikut-ikut terpaku dengan Shilla.
“Tehnya, Kak Cakk..” kata Nova, Cakka mengangguk pelan.
“Kakak lo pingsan mulai jam berapa? Lama bangat siumannya..” tanya Cakka.
Nova tergagap. Ia bingung harus menjawab apa, “Pas sebelum gue nelpon lo, kak..”
Pelan-pelan, Shilla mulai menggeliat. Gadis semampai itu mulai membuka kelopak matanya dan mengerjap-erjap. Ia mendapati Cakka dan Nova di sampingnya. Nova melengos malas. Malas melihat kakaknya kembali berpura-pura.
“Lo udah sadar, Shill?” tanya Cakka kaget, Shilla tersenyum lemah.
“Gue mau belajar dulu, ya. Besok, kan, udah UNAS..” ujar Shilla lemah, Nova kembali melengos.
Cakka mengangguk semangat, “Belajar? Yuk, sama gue. Kita belajar bareng” ajak Cakka.
Shilla tertawa puas dalam hati, “Lo mau ikutan belajar, Cakk? Emang tas lo mana? Buku lo mana?” tanya Shilla, pura-pura tak tau.
Cakka menepuk keningnya, “Astaga! Belum dianter ke sini sama Ozy! Ya udah, belajarnya pakai buku lo aja dulu..” saran Cakka, Shilla mengangguk lemah.
Shilla segera duduk. Cakka mengambilkan buku-buku Shilla yang berserakan di meja belajar gadis semampai itu. Keduanya pun membuka-buka buku dengan serius. Nova beranjak, akan kembali ke kamarnya.
“Gue tinggal, ya..” pamit Nova dengan judes, pintu kamar Shilla ia tutup dengan keras.
^^^
“Telpon dari siapa, Zy?” tanya Acha, tepat ketika Ozy kembali meletakkan ponselnya.
Ozy mengedik pada gadisnya dan memasang tampang malas, “Cakka..”
“Ngapain lagi dia nelpon lo?” tanya Dea, terdengar tak suka nama Cakka disebut-sebut.
“Minta gue buat nganterin tasnya ke rumah rumah Shilla, kalau kita udah selesai belajar..” jawab Ozy sekenanya.
“Terus? Lo mau, gitu?” tanya Ray seraya memincingkan kedua matanya.
“Gue, mah, ogah kalau kalian ga mau ikut..” jawab Ozy secuek mungkin.
“Terus? Maksud lo, kita kudu ikut lo nganterin tasnya Cakka ke rumah Shilla?” tanya Deva.
Ozy mengangguk santai, “Mau, kan?” tanya Ozy kepada yang lainnya, yang lainnya hanya mengangguk pasrah.
Oik mulai membereskan buku-bukunya dan menatap Ozy sejenak, “Mau ke sana jam berapa? Kita, kan, udah selesai belajar..”
“Sekarang aja, gimana? Gue ga mau si Shilla kelamaan berduaan sama Cakka. Ga terima gue!” seru Sivia berapi-api, Alvin mengelus pundaknya pelan, pipi Sivia bersemu merah.
“Ya udah, yuk!” ajak Alvin.
Kedelapannya pun bangkit berdiri ketika telah selesi membereskan barang masing-masing. Deva beranjak ke kamar orang tuanya sebentar dan meminta izin. Ia kembali dengan sebuah kunci motor di tangannya.
“Siapa yang mau bareng gue?” tanya Deva sambil mengeluarkan motornya dari garasi.
Alvin sudah siap dengan Sivia di boncengannya, “Gue sama Sivia..” ucapnya datar.
“Gue sama Acha..” kata Ozy, Acha sudah bertengger di boncengan motornya.
“Ik, lo sama gue apa sama Deva?” tanya Ray sambil menghidupkan mesin motornya.
Oik tampak berpikir sejenak, “Gue sama lo aja, deh, Ray. Biar Dea yang sama Deva..” putus Oik, gadis manis itu pun segera naik ke boncengan motor Ray.
Begitu pula dengan Dea. Ia segera naik ke boncengan motor Deva. Keempat motor tersebut melaju, membelah jalanan Jakarta menuju rumah Shilla dengan jarak tempuh sekitar sepuluh menit dari kediaman Deva.
Dan, benar saja. Ketika mereka berdelapan sampai di rumah Shilla, motor Cakka sudah terparkir rapi di halaman rumah gadis semampai itu. Alvin, Deva, Ozy, dan Ray memarkirkan motor mereka di depan rumah Shilla, luar rumah Shilla, tak sampai masuk ke dalamnya. Karena memang, mereka berniat tak lama-lama di sana.
“Kita mampir? Ngejenguk Shilla?” tanya Dea, menatapi teman-temannya bergantian.
“Mampir aja. Jengukkin. Kali aja ini kesempatan terakhir kita ngeliat dia..” ujar Ray santai.
Kedelapannya pun segera turun dari motor dan melenggang memasukki rumah Shilla. Pagarnya tak dikunci. Alvin mengetuk pintu rumah Shilla. Tak lama, muncullah Nova dengan senyum tipisnya.
“Nganterin tasnya Kak Cakka, ya?” tanya Nova, kedelapannya mengangguk kompak, “Masuk aja, Kak Cakka lagi di kamarnya Kak Shilla..” kata Nova.
Kedelapannya pun masuk dengan canggung. Nova menepuk pelan bahu Oik dan menggeret pelan tangan Oik untuk sedikit menjauh dari ketujuh temannya yang lain. Oik menatap Nova dengan pandangan tak mengerti.
“Maaf, kak..” hanya itu yang mampu Nova ucapkan, dengan menunduk dalam-dalam.
“Maaf buat apa?” tanya Oik tak mengerti.
“Nanti Kak Oik tau sendiri, kok..” jawab Nova menggantung, “Ya udah, Kak Oik balik lagi aja ke temen-temen Kak Oik”
Oik pun meninggalkan Nova dengan dahi berkerut. Apa maksud Nova tadi? Maaf untuk apa? Bukannya Nova tak pernah berbuat salah padanya? Lantas, itu tadi maaf untuk apa? Oik menggelengkan kepalanya tak mengerti.
Oik terpaku sejenak di pintu kamar Shilla. Ia melihat Cakka dan Shilla sedang belajar bersama dengan akrabnya. Ia paksakan sebuah senyum ramah di bibirnya dan kembali melangkah mendekati keduanya. Ketujuh temannya yang lain hanya menatap Cakka dan Shilla tanpa ekspresi.
“Udah siuman, Shill?” tanya Oik ramah.
Shilla mengedik padanya dan tersenyum aneh, “Udah..”
“Cepet sembuh, ya. Semoga besok lo udah bisa ikut ujian..” kata Oik, kembali dengan senyum yang ia paksakan di bibirnya.
Shilla tersenyum lebar, “Makasih..”
Alvin, Sivia, Ozy, Acha, Deva, Ray, dan Dea hanya mengeluh dalam hati. Untuk apa Oik berbuat seramah itu kepada Shilla? Toh, Shilla tak akan pernah membalas keramahan Oik itu. Hanya buang-buang waktu dan tenaga saja.
Cakka mengambil tasnya dari tangan Ozy dan mengobrak-abriknya sebentar. Ia mengeluarkan sebatang coklat top branded dan mengangsurkannya pada Shilla dengan senyum manis. Alvin makin geleng-geleng kepala. Alvin tau betul coklat top branded itu adalah favorit Oik. Oik menghela napas tak kentara.
“Makasih, Cakka!” seru Shilla riang dengan senyum mengembang.
“Ya udah, gue balik. Istirahat, Shill. Besok ujian..” pamit Cakka.
Shilla mengangguk menanggapinya. Terakhir, Cakka mengacak-acak rambut Shilla dan berlalu pergi. Oik menggigit bibir bawahnya hingga hampir berdarah. Tak lama, terdengar deru motor Cakka yang semakin menjauh.
“Kita balik, Shill..” pamit Sivia, mewakili yang lainnya.
“Ya udah.. Pulang aja” sahut Shilla tak mau tau, ia sedang asyik memakan coklat dari Cakka.
Kedelapannya melenggang keluar kamar Shilla dengan memendam amarah. Tuan rumah macam apa dia? Tak sopan sama sekali! Alvin, Deva, Ozy, dan Ray mulai menyalakan mesin motor masing-masing. Acha hendak memakai helm-nya ketika tangannya tak sengaja menyentuh rambutnya. Ada yang hilang di sana.
“Astaga! Jepit rambut gue!” pekik Acha histeris.
“Jepit rambut lo?” ulang Oik, tak mengerti.
“Iya! Jepit rambut gue! Tadi gue pakai! Sekarang udah ga ada!” kata Acha, mencari-cari jepit rambutnya di jalanan.
“Jatuh di dalem rumah Shilla, kali!” celetuk Deva.
“Iya kali, ya.. Ya udah, gue cari dulu aja di dalem..” Acha pun beranjak kembali ke rumah Shilla.
“Jepit doang itu, Cha! Beli juga banyak! Mending kita pulang!” teriak Dea dari atas motor Deva.
Acha menoleh padanya dengan tampang ganas, “Itu jepit dari Ozy! Ozy yang bikin!” teriaknya balik.
“Zy, gue sama yang lain balik duluan.. Lo anter Acha sampai rumah. Jangan lupa!” pamit Alvin, Ozy mengangguk patuh dan tersenyum lucu.
Ketiga motor itu pun melaju. Alvin mengantarkan Sivia, Deva mengantarkan Dea, dan Ray mengantarkan Oik. Khusus Deva dan Ray, mereka memiliki tujuan yang sama. Rumah Oik. Dea memang masih menginap di rumah Oik.
^^^
Acha memasukki rumah Shilla. Ia terus menunduk, menatap lantai dengan mata awas. Ia cari jepit rambutnya yang berwarna merah marun, pemberian Ozy. Mulai dari ruang tamu rumah Shilla, tak ada tanda-tanda adanya jepit rambut itu.
Hingga di depan pintu kamar Shilla, Acha hampir memekik kesenangan. Jepit rambutnya ada di sana! Acha pun mengulurkan tangannya untuk mengambil jepit rambutnya tersebut.
“Akhirnya ketemu..” ujar Acha kalem, ia mendesah lega.
Baru saja ia akan kembali dan keluar dari rumah Shilla, ia mendengar rebut-ribut dari dalam kamar Shilla. Rupanya Shilla dan Nova sedang bertengkar. Hey! Apa? Bertengkar? Karena penasaran, Acha menempelkan telinganya di daun pintu kamar Shilla.
“Astaga!” lirih Acha ketika ia menyadari apa topik utama pertengkaran itu.
Acha menggeleng tak percaya. Ia segera keluar dari rumah Shilla dan menghampiri Ozy yang sedang bertengger di atas motornya dengan wajah pucat. Acha cepat-cepat memakai helm-nya dan naik ke boncengan motor Ozy.
“Ayo, Zy! Cepetan jalan! Aku mau ngomong kalau kita udah sampai di rumahku..” lirih Acha.
^^^
Mereka berdua telah sampai di rumah Acha. Kadar kepucatan wajah Acha telah menurun. Acha segera melepaskan helm-nya dan menarik Ozy memasukki pelataran rumahnya. Wajah Acha kembali pucat.
“Kamu mau ngomong apa tadi?” tanya Ozy sambil tersenyum simpul.
“Aku tadi denger kalau...” Acha pun menceritakan apa yang tadi ia dengar kepada Ozy.
“Sial! Maunya apa, sih, si Shilla itu?!” umpat Ozy kesal, tepat setelah Acha menceritakannya.
“Dia kelewatan banget, Zy..” lirih Acha.
“Terus? Apa kita bilang aja ke yang lainnya?” tanya Ozy lagi.
Acha menggelengkan kepalanya cepat-cepat, “Ga usah, Zy. Allah pasti punya cara sendiri buat ngebales Shilla..” cegah Acha.
Ozy menganggukkan kepalanya dan menarik Acha perlahan ke dalam pelukannya. Tanpa mereka sadari, Alvin sedang menatap mereka berdua dari teras rumahnya dengan tatapan penuh tanya.
“Ngapain mereka berdua? Ngomongnya serius banget..” gumam Alvin.
Classmate (Part 30)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar