Pagi ini, seperti biasa, Aren sampai di sekolahnya tepat pukul enam pagi. Palang besar bertuliskan Vectaf School menyambut kedatangannya setiap hari. Ia mulai memasukki pelataran sekolahnya.
Hanya ada beberapa siswa yang menyapanya karena memang ia tidak populer di sekolahnya, bahkan bisa dibilang kalau dia sama sekali tidak populer. Ia menghela napas sejenak sebelum akhirnya ia melanjutkan langkahan kakinya menuju kelas.
Aren Nadya. Siswi kelas sebelas di Vectaf School. Hanya seorang siswi biasa. Ia berbeda dengan sepupunya, Oik. Oik memang lebih populer jika dibandingkan dengan dirinya. Oik adalah pacar dari seorang lead-guitar band sekolahnya, SIB (Super Idola Band).
Kadang, ia merutuki nasibnya sendiri. Mengapa ia diciptakan dengan semua ini? Dengan saudara sepupu yang populer dan dengan dirinya yang cupu? Kadang pun, ia merasa iri dengan sepupunya, Oik.
Ketika ia melewati kantin, ia melihat segerombol anak-anak populer sedang di sana. Termasuk Oik, pacar Oik, dan... Laki-laki yang ia benci sekaligus ia sayangi, Ray. Benci sekaligus sayang? Ya itu lah yang Aren rasakan pada Ray. Baru saja Oik akan menyapanya dan mengajaknya bergabung di sana, ia sudah berlari terlebih dahulu menuju kelasnya.
Ia tak mau berada di tengah-tengah mereka semua. Jiper gue di sana, batinnya. Ia langsung memasukki kelasnya dan berjalan ke arah bangku yang biasa ia dudukki. Ia duduk dan meletakkan tasnya, serta melakukan kegiatan rutinnya tiap pagi, melamun.
^^^
Setiap ku melihatmu ku terasa di hati
Kau punya segalanya yang aku impikan
“Oik!” teriak Aren ketika dirinya baru saja membuka pintu kamar Oik.
Ia dan Oik memang serumah. Oik menoleh sekilas ke arahnya dan tersenyum. Aren membalas senyumnya. Aren segera masuk ke kamar Oik dan berguling-guling di kasur Oik. Oik sendiri, ia sedang duduk di kursi meja belajarnya sambil memegang iPad berwarna pink miliknya. Oik masih fokus dengan sesuatu di layar iPad itu. Karena penasaran, Aren pun ikut melihat ke arah layar iPad Oik.
“Cakka? Ray? Gabriel? Alvin? Debo? Ify? Zevana? Agni?” gumam Aren. Oik menganggukkan kepalanya, “Lo akrab banget ya, Ik, sama mereka? Anak-anak SIB?” tanya Aren. Sekali lagi, Oik mengangguk. Aren terkulai lemas.
Oik segera mematikan iPad miliknya dan mengajak Aren duduk-duduk di balkon kamarnya, “Tumben amat ke kamar gue? Ngapain?” tanya Oik pada Aren, to the point.
“Eh Ik, gue pengen curhat deh” kata Aren malu-malu dengan sedikit menundukkan wajahnya. Tampak semburat kemerahan dikedua pipinya.
Oik menoleh antusias ke arahnya, “Curhat apa? Ayo cerita! Gue penasaran! Biasanya kan lo tertutup banget sama gue..” paksa Oik.
“Gue lagi suka sama orang nih, Ik..” kata Aren. Bola mata Oik membulat seketika. Jarang sekali memang Aren bercerita kepada sepupunya ini, “Gue sayang sama dia, tapi... Gue juga benci sama dia. Eits! Jangan kira benci itu bener-bener cinta ya! Ini murni benci! Aneh ya? Gue sendiri aja ga tau kenapa bisa kayak gini. Gue bisa sayang sekaligus benci sama cowok yang sama” keluh Aren. Ia menopang dagunya dengan tangan. Oik hanya manggut-manggut.
“Terus? Kenapa lo bisa benci sama tuh cowok? Gue sih ga bakalan nanya ya kenapa lo bisa sayang sama dia. Jawabannya pasti panjang deh” canda Oik. Sesaat, Aren mengulum senyum tipis. Sepupu gue manis banget deh kalo lagi senyum, batin Oik.
“Gue benci dia karena dia punya semua yang gue pengen! Dia punya sahabat yang selalu ada buat dia, dia punya orang tua yang sayang setengah mampus sama dia, dia punya segudang bakat, dia punya kepopuleran, dia punya segalanya! Ga kayak gue! Gue ga punya sahabat yang selalu ada buat gue, gue ga punya orang tua yang selalu sayang sama gue, gue ga punya bakat apapun, gue ga populer! Gue emang nothing banget” ujar Aren. Perlahan, matanya mulai berkaca-kaca. Oik segera memeluknya dan mengelus rambutnya.
“Sahabat? Lo bisa anggep gue sahabat lo kok. Gue bakalan ada disaat lo butuh gue, disaat lo lagi down ataupun lagi seneng. Orang tua? Dengan kerjaan mereka yang seabrek dan jarang ada buat lo bukan berarti mereka ga sayang sama lo. Tiap orang tua punya cara masing-masing buat nunjukkin rasa sayangnya. Bakat? Kata siapa lo ga punya bakat? Lo bisa nyanyi, lo bisa main drum. Keren tau ga! Cewek yang bisa main drum itu bener-bener keren! Populer? Kepopuleran ga bakal dibawa mati kok. Itu bisa dicari.. Tenang aja” tutur Oik. Oik masih memeluk sepupunya itu.
Terkadang, Oik merasa kasihan dengan Aren. Hampir tak pernah ia melihat Aren mengobrol dengan kedua orang tuanya. Seharusnya, Aren tak tinggal dengannya, seharusnya Aren tinggal di rumahnya sendiri. Rumah Aren pun tak kalah megah dengan rumah Oik. Hanya saja, Aren tak suka sendirian. Jadinya, Aren memutuskan untuk tinggal di rumah Oik saja. Apalagi, orang tua Oik pun juga perhatian dengannya. Tak pernah sekalipun Oik merasa iri dengan perhatian orang tuanya pada Aren, karena ia tau bahwa Aren kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya sendiri.
Setelah Oik rasa Aren sudah bisa mengontrol luapan air matanya, ia melepas pelukannya dan menatap Aren lekat-lekat. Masih tersisa bulir-bulir air mata dikedua pipi sepupunya itu. Ia mengusap sisa-sisa air mata Aren dengan kedua ibu jarinya. Persis kayak yang biasa Cakka lakuin ke gue waktu gue nangis, katanya dalam hati, “Sekarang lo cerita deh ke gue soal cowok beruntung itu..” kata Oik.
Aren kembali menundukkan kepalanya, “Cowok itu tuh...” belum selesai Aren mengucapkan siapa nama laki-laki itu, terdengar deru motor dari depan rumah Oik. Oik melongok ke arahnya. Ada enam motor terparkir di halaman rumahnya. Debo membonceng Ify, Alvin membonceng Sivia, Rio membonceng Agni, Gabriel membonceng Zevana, serta Cakka dan Ray yang tak membonceng siapapun. Wajah Oik langsung sumringah begitu melihat Cakka ada di sana. Oik menyeret Aren untuk turun dan menghampiri mereka bersepuluh di pekarangannya. Sivia dan Rio memang bukan anggota SIB, tapi mereka merupakan ‘geng populer’ di Vectaf School. Aren sempat minder ketika berada di tengah mereka bersebelas.
Aren pun segera berkenalan dengan mereka semua (karena paksaan dari Oik). Tepat ketika ia berkenalan dengan Ray, jantungnya berdegup cepat dengan tak terkendalikan, “Gue Ray” kata Ray sambil menyodorkan tangan kanannya ke arah Aren. Aren membalas uluran tangan Ray dengan pipi memerah. Cakka, Oik, Debo, Ify, Alvin, Sivia, Rio, Agni, Gabriel, dan Zevana memandang mereka dengan tawa tertahan. Mereka cocok juga, batin mereka semua. Sore ini, sore terindah bagi Aren. Dan, Ray, mungkin.
***
Dan anganku tak henti saja tentang bayangmu
Walau kutahu kau tak pernah anggapku ada
Siang ini, Aren sedang berada di kantin sendirian. Ya, sendirian. Tadi ia sudah mengajak Oik untuk menemaninya ke kantin. Tapi Oik menolak. Ia harus menemani Cakka berlatih di Ruang Musik, katanya. Dan Oik juga bilang kalau dia akan menyusul setelah Cakka setelah berlatih. Dan kemungkinan besar, anggota-anggota SIB yang lainnya juga akan mengekor Cakka dan Oik ke kantin, menemui Aren. Sebagian hati Aren bersorak gembira dan sebagian lainnya membunyikan lonceng tanda peperangan akan dimulai.
Bayangkan saja, ia akan bertatap muka kembali dengan laki-laki itu. Laki-laki yang sudah sukses membuatnya jatuh cinta dan juga sukses membuatnya iri setengah mampus dengan apa yang ia punya. Ray. Hanya Ray yang dapat menumbuhkan dua perasaan yang saling bertolak-belakang itu di hati Aren. Aren sendiri pun bingung dengan perasaannya pada Ray. Di satu sisi, ia suda jatuh untuk Ray. Entah sudah sejak kapan, yang jelas, Aren sudah jatuh cinta dengannya. Di sisi lain, Ray membuat Aren iri dengan semua yang ia miliki. Dan itu, membuat Aren sangat membencinya.
Sampai saat ini pun, Aren masih memikirkan Ray. Tak peduli apakah Ray juga sedang memikirkannya atau tidak. Ketika ia sedang asyik mengaduk-aduk makanannya, beberapa suara yang terdengar berbeda menyapanya dengan nada riang, “Aren!” sapa mereka semua. Mereka semua kemudian duduk bergerombol di dekat Aren. Oik, Cakka, Sivia, Alvin, Ify, Debo, Zevana, Gabriel, Agni, Rio, dan tentu saja... Ray. Aren tersenyum k arah mereka semua. Sesaat, ia terdiam ketika mendapati Ray sudah duduk dengan tenangnya di sampingnya.
Ketika mereka semua sedang asyik-asyiknya melahap makanan masing-masing, Ray tiba-tiba tersedak. Pantas saja, kuah bakso yang ia makan berwarna sangat merah. Pertanda bahwa banyak sambel yang ia tambahkan. Dengan cepat, Aren memberikan air mineral kepadanya, tapi ternyata, “Oke, makasih ya Deb!” seru Ray ketika Debo memberikan segelas jus alpukatnya padanya. Aren kembali menarik uluran tangannya. Oik menatapnya dengan tatapan Aren-lo-kudu-cerita-soal-ini-ke-gue-ntar-pulang-sekolah. Aren menelan ludah, pasrah.
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Aren segera membereskan barangnya dan berlari keluar kelas. Menuju parkiran. Sopirnya sudah menunggu di sana. Oik? Oik pasti akan pulang diantar Cakka. Pikiran Aren kacau. Haruskah ia menceritakannya pada Oik? Bagaimana reaksi Oik ketika ia tau bahwa laki-laki yang ia sayang sekaligus ia benci adalah Ray? Apakah Oik akan menertawakannya? Berbagai pikiran buruk bermunculan di benak Aren. Sangking sibuknya ia dengan pikirannya, ia tak sadar kalau ia sudah sampai di rumah. Rumah Oik, tepatnya.
Ia segera turun dari mobil dan berjalan lunglai memasukki rumah sepupunya itu. Dan ternyata, Oik sudah datang terlebih dulu darinya. Tadi Aren memang sempat terjebak macet. Oik sendiri, karena Cakka mengantarkannya dengan motor, ia tak terjbak macet. Oik sudah duduk di sofa ruang keluarganya, “Aren! Sini!” panggil Oik. Tangan kanannya menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Aren menghampirinya dengan senyum terpaksa dan duduk di sebelah Oik, “Cakka udah pulang?” tanya Aren, mengalihkan pembicaraan.
“Ga usah ngalihin pembicaraan deh” kata Oik dengan juteknya. Aren hanya menunjukkan cengiran lebarnya, “Ayo, cerita sama gue soal yang tadi, di kantin! Kenapa lo bisa sampek segitunya waktu Ray ngabaiin bantuan yang lo kasih?” todong Oik. Dan inilah yang Aren tidak sukai tentang Oik, Oik orangnya sangat to the point dan tidak suka basa-basi.
“Ya itu, Ray.. Orang yang gue sayang sekaligus gue benci” ungkap Aren. Oik cengo, “Tapi jangan bilang siapa-siapa!” potong Aren cepat. Oik hanya menganggukkan kepalanya. Ia masih kaget dengan penuturan Oik barusan.
***
Ku tak bisa menggapaimu takkan pernah bisa
Walau sudah letih aku tak mungkin lepas lagi
“Oh, jadi Ray ya cowok yang lo suka sekaligus lo benci itu?” tanya Oik, antusias. Aren menganggukkan kepalanya, “Oke, gimana kalo gue sama Cakka bantuin lo berdua? Ya itung-itung sebagai PDKT-nya lo sama Ray gitu” saran Oik. Aren segera menggelengkan kepelanya pertanda tak setuju dengan saran Oik. Oik cemberut, sarannya tak disambut indah dengan Aren. Aren malah tertawa sejadi-jadinya.
“Udahlah Ik, gue nyadar kok gue itu siapa. Gue ga mungkin bisa dapetin Ray. Masih banyak cewek Vectaf yang lebih populer dan lebih cantik dari gue. Dan gue yakin, Ray pasti lebih suka mereka daripada gue. Udah deh. Gue ga apa-apa kok meskipun perasaan gue ga dibales sama si Ray” hibur Aren. Bingung? Kenapa malah Oik yang lebih bersemangat dengan hubungan Aren dan Ray? Jelas saja karena Oik ingin sepupunya itu bahagia. Sudah lama ia tak melihat Aren tertawa lepas seperti tadi.
“Udah ya Ik, gue mau ke kamar. Capek banget” pamit Aren. Oik hanya mengangguk dan Aren barlalu dari hadapannya. Dengan cepat, Oik segera menelpon Cakka, “Halo, Cakka..........Bisa bantu aku ga?..........Iya nih, penting banget..........Iya, anak-anak Sib yang lainnya juga, kecuali Ray!..........Oke oke, jadi gini rencananya..........” Oik pun memberitahukan rencananya pada Cakka dengan volume yang sangat kecil. Bisa berabe kalau sampai Aren mendengarnya. Tau sendiri kan kalau Aren tadi tidak menyetujui usul Oik itu?
Setelah selesai bertelpon ria dengan Cakka, Oik segera berjalan menuju kamar Aren. Dengan santainya, ia masuk ke dalam dan menghempaskan tubuhnya di sebelah tubuh Aren yang sedang asyik membaca majalah di kasur. Aren manatapnya sekilas, “Ngapain, Ik? Butuh sesuatu?” tanya Aren. Oik segera menggelengkan kepalanya dan mengambil paksa majalah di tangan Aren, “Biar lo konsen sama pembicaraan kita” kata Oik, sok serius.
“Tadi Cakka telpon. Dia bilang kalo besok ada pensi gitu di sekolah. Sebenernya pengumumannya sih udah lama, udah dari seminggu yang lalu. Guenya aja yang lupa ngabarin ke lo, hehe” kata Oik, ditutup dengan cengiran lebar khas ala dirinya. Aren berdecak kesal. Bisa-bisanya Oik lupa mengabarinya tentang acara ini? “Terus? Besok jam berapa acaranya?” tanya Aren. Oik mengacungkan kesembilan jarinya sambil tersenyum lebar. Aren membulatkan mulutnya.
“Oke, dandan yang cantik ya sayang!” teriak Oik. Ia sudah beranjak keluar dari kamar Aren dan berjalan menuju ke kamarnya. Ia tersenyum puas. Menanti hari esok di mana ia akan melihat Aren kembali tersenyum dengan manisnya. Oik menghempaskan tubuhnya di kasur dan terlelap dalam mimpi indahnya.
***
Kau hanya mimpi bagiku tak untuk jadi nyata
Dan sgala rasa buatmu harus padam dan berakhir
Pensi di Vectaf School baru saja dimulai. Oik dan Aren sudah duduk manis di kursi penonton. Tiba-tiba, Ify menarik mereka berdua ke belakang panggung. Ada semua anggota SIB di sana, dengan raut wajah kalut masing-masing, “Ada apaan sih?” tanya Oik penasaran. Para anggota SIB hanya diam terpaku. Hanya Ray yang masih asyik dengan stik drum miliknya. Aren pun ikut bingung. Para anggota SIB saling berpandangan satu sama lain.
“Jadi gini.. Ren, lo tau kan kalo SIB kudu manggung?” tanya Cakka. Aren mengangguk saja, “Tapi kita ga bisa manggung nih!” lanjut Cakka. Aren terbeliak kaget, “Loh? Kenapa?” tanya Aren.
“Gue lagi ga enak badan, jadi ya Oik kudu nungguin gue di UKS. Abis ini gue bakalan ke UKS sama Oik” kata Cakka. Selesai mengucapkan itu, Cakka menarik Oik untuk menjauhi belakang panggung. Para anggota SIB yang lain kembali berpandangan. Aren semakin bingung saja.
“Gue lagi mau nganterin Zevana ke rumah sakit. Tantenya ada yang melahirkan” ucap Gabriel.
“Ini, Agni lagi pingsan. Gue kudu bawa dia pulang” lanjut Rio.
“Gue kudu nemenin Debo ke rumah saudaranya, ada yang kecelakaan” lanjut Ify.
“Sivia lagi ga enak badan. Tiba-tiba aja. Gue mau nganter dia ke klinik” lanjut Alvin.
Aren hanya menganggukkan kepalanya. Ray sendiri, masih saja bergulat dengan stik drumnya, “Jadi, gue mohon, lo mau ya tampil ngegantiin kita? Bareng Ray kok! Gue denger dari Oik, lo jago main drum kan?! So, lo battle aja sama Ray. Mau kan, Ray?” tutur Ify. Ray yang merasa namanya disebut pun menoleh ke arah Ify dan Aren. Ia tersenyum pada Aren, “Sip! Kita tinggal dulu ya! Kalian siap-siap aja, lima menit lagi giliran kalian tampil. Bye!” pamit Ify.
Kini, Ray dan Aren sedang berada di atas panggung dengan drum masing-masing. Mereka battle. Ray memainkan lagu dari Avenged Sevenfold dan Aren memainkan lagu dari Simple Plan. Para anggota SIB beserta pacarnya, sedang meringkuk di balik semak-semak. Mata mereka memandang jahil ke arah Ray dan Aren yang battle di atas panggung sambil sesekali curi-curi pandang, “Kayaknya mereka sama-sama suka deh” celetuk Cakka.
Di sisi lain, Aren sedang bergulat dengan pikirannya. Gue ga mungkin bisa dapetin Ray. Percuma. Cewek-cewek di Vectaf banyak yang lebih dari gue. Gue ga ada apa-apa dibandingin mereka. Apalagi dibandingin sama Shilla yang dari dulu tetep keukeuh ngejer Ray. Kayaknya, gue kudu ngapus sebagian rasa gue deh. Ngapus rasa sayang gue ke Ray dan mertahanin rasa benci gue ke dia. Oke, gue bakalan ngelakuin itu. Tepat setelah gue turun dari panggung ini, gue bakalan mulai ngejauh dari Ray. Seolah ga ada apa-apa di antara kita dan emang... Ga ada apa-apa!
***
Kan selalu ku rasa hadirmu
Antara ada dan tiada
Permainan drum Aren dan Ray baru saja selesai. Aren segera menuruni tangga dan berlari menuju jalan raya. Ray memanggil-manggil namanya dari belakang tapi tetap saja tak ia hiraukan. Anggota SIB beserta pacar masing-masing pun mengikuti mereka berdua dari belakang. Sampai akhirnya, Ray berhasil menghentikan langkah Aren di gerbang sekolah. Tepat ketika Aren baru saja akan menyeberang jalan. Dengan malas, Aren menoleh ke arah Ray, “Ngapain lagi?” tanya Aren dengan judesnya.
Tiba-tiba Ray menarik Aren ke dalam pelukannya. Aren sempat berontak, tapi gagal. Beberapa menit mereka bertahan dengan posisi seperti itu, “Sorry” desis Ray. Ray langsung melepas pelukannya, “Iye iye. Lo mau ngukur tinggi gue kan? Iye deh, gue emang lebih pendek daripada lo!” kata Aren. Ray membelalakkan matanya. Polos banget nih cewek, batinnya.
“Aduh, gue tuh sayang sama lo!”
“Iye, gue tau. Gue tau gue itu ngeselin”
Karena sudah tak tahan, akhirnya Ray memutuskan untuk mencium kening Aren. Aren kaget. Jantungnya kembali berdegup dengan tak terkendali, “Udah cukup buat bukti?” tanya Ray. Aren mendengus kesal, “Bukti kalo lo emang ga suka sama gue” kesal Aren.
“Lo tuh ya! Gue sayang sama lo!”
“Sebagai teman!”
“Bukan! Aduh! Lo cewek yang gue sayang!”
“Hehe.. Menghibur banget kok”
“Aduh.. Aren Nadya, gue itu sayang sama lo. Lo mau ga jadi cewek gue?” tanya Ray.
Aren terlihat menimbang-nimbang sebentar sampai akhirnya ia mengangguk pelan. Ray bersorak heboh. Kemudia, ia kembali menarik Aren dalam pelukannya. Anggota-anggota SIB muncul dari tempat persembunyiannya, “Ecieee.. PJ ya!” sorak mereka semua. Aren dan Ray segera melepaskan pelukannya dan memandang ke arah teman-temannya. Mereka berdua menelan lidah. PJ? Nraktir mereka semua? Bisa abis duit jajan mereka sebulan!
“Satu.. Dua.. Tiga!” teriak Ray, “Kabur!” sambung Aren.
Mereka berdua segera berlari dari kejaran Cakka, Oik, Rio, Agni, Alvin, Sivia, Gabriel, Zevana, Debo, dan Ify. Tanpa Aren dan Ray sadari, sebuah motor melaju kencang di belakang mereka. Aren yang kebetulan berlari di tengah jalan, tertabrak dengan motor tersebut. Tubuhnya terhatuh di atas aspal. Cakka, Oik, Rio, Agni, Alvin, Sivia, Gabriel, Zevana, Debo, dan Ify segera menghampirinya. Ray sudah memangku tubuh Agni di tengah jalan, “Aren! Gue sayang sama lo! Jangan tinggalin gue secepet ini!” teriak Ray.
^^^
“Woy! Ngelamun aje lo!” kaget Oik. Aren tergagap dan segera bangun dari lamunannya barusan. Aren meraba-raba seluruh anggota tubuhnya. Dan ia tak menemukan setitik luka pun di sana. Oik semakin bingung saja dengan Aren ketika ia bertanya kepadanya, “Gue ga di rumah sakit kan ini? Gue ga apa-apa kan? Gue ga ada yang luka kan?” serobot Aren. Oik hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung.
Jadi semua itu cuman lamunan gue, batinnya. Aren mendengus kesal. Dari pintu kelasnya, nampang anggota-anggota SIB dengan pacar masing-masing. Cakka pun segera menghampiri Oik. Rio dan Agni berlalu ke tempat duduk mereka. Alvin dan Sivia masih betah berdiri sambil mengobrol di depan kelas. Debo dan Ify langsung meletakkan tas dan mengerjakan PR yang belum sempat mereka kerjakan. Zevana dan Gabriel sedang menggumam tak jelas, seperti melantunkan bait-bait lagu. Cakka dan Oik sedang asyik bercanda. Tunggu tunggu! Kenapa Oik duduk sama Cakka?
“Hay.. Gue duduk di sini ya” kata Ray. Ia segera duduk di sebelah Aren, tempat Oik dulu. Aren mengangguk kaku. Ray tersenyum ke arahnya, “Soalnya tadi si Cakka minta buat duduk sama princess-nya, Oik. Jadinya ya gue disuruh duduk sama lo. Repot emang jadi jomblo sendiri” lanjut Ray. Untuk yang kesekian kalinya, Aren menganggukkan kepalanya dengan kaku. Ray senyum sama gue? Kemajuan besar! Meskipun itu tadi cuman lamunan gue aja, gue bisa duduk sebangku sama Ray! Teriak Aren dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar