Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

LOVE WILL FIND ITS WAY [Side Story of LOVE HURTS]

            Terdengar bunyi-bunyian yang memekakkan telinga dari dalam studio. Sebuah band beraliran heavy rock sedang berlatih di dalam dengan didampingi managernya. Jam dinding telah menunjuk angka sebelas dengan jarum panjangnya dan angka satu dengan jarum pendeknya. Di luar sedang turun hujan, membuat malam itu semakin dingin.
            Bunyi-bunyi berisik berangsur hilang. Studio perlahan menjadi senyap. Keempat anggota band yang sedang naik daun itu beristirahat untuk sementara, sang manager memperhatikan dalam diam. Jadwal latihan mereka memang semakin padat menjelang konser keliling Indonesia yang mereka gelar pada pertengahan bulan nanti.
            Rockability. Itulah mereka. Sebuah band dengan empat lelaki bertampang diatas rata-rata yang tergabung didalamnya. Cakka yang sudah nyaman sebagai vocalist, Gabriel dengan bass, Ozy dengan gitar, dan Ray bersama drum. Dan keempatnya berada dibawah kuasa penuh sang manager, Ashilla–atau yang lebih akrab disapa Shilla.
            Mereka berempat sedang meminum soft drink masing-masing ketika salah satu ponsel yang tergeletak di sudut ruangan meraung-raung pertanda sebuah pesan telah masuk. Kelimanya saling lirik.
            “Biar gue yang cek.” Ray melangkah untuk mengecek keempat ponsel tersebut dan mengambil salah satunya. “Punya lo, Kka.” Ray mengacungkannya pada Cakka lalu melemparkannya.
            Cakka dengan sigap menangkap. “Thanks, Ray!”

From: Oik
Kt ptus

            “Wh–––Are you kidding me?!” Cakka memekik kaget.
            Gabriel menatapnya dengan alis terangkat sebelah. “Got problem, Bro?” tanyanya penasaran. Cakka hanya mengangkat salah satu tangannya dan kembali fokus memelototi layar ponsel.

To: Oik
We’re just fine n u... Why?

            “Kka?” Ozy memanggil Cakka dan tak dihiraukan sedikit pun oleh sang obyek.

From: Oik
Aq bsn sm qm

            Cakka mengacak rambutnya frustasi. Dengan segera, ia mengantongi ponselnya lalu mengambil kunci mobil dan bergegas berlari ke parkiran. Ia sama sekali tak memerdulikan ketiga sahabatnya dan seorang managernya yang berteriak kencang dari dalam studio menanyakan ada apa padanya.
            Ia melajukan mobilnya seperti orang kesetanan ke wilayah Menteng, tempat dimana dorm Diamond –girlband Oik– berada. Hanya dalam waktu sepuluh menit –yang dalam keadaan normal Cakka harus menempuh perjalanan selama setengah jam lebih– ia sudah memarkirkan mobilnya asal-asalan di halaman depan dorm Diamond.
            Cakka turun dari mobilnya. Ia mengangguk sekilas pada seorang satpam paruh baya yang berjaga di pos. Dengan langkah lebar-lebar, Cakka berjalan menuju bangunan utama dorm. Tangannya menggedor pintu dengan keras.

**

            Kelima anggota Diamond sedang berada di kamar Oik di lantai dua ketika suara gedoran pintu yang dapat menulikan telinga itu terdengar. Sivia, yang sedang mengecat kukunya dengan kuteks motif leopard berwarna tosca-putih, berteriak nyaring karena cairan kuteks tersebut luntur hingga keibu jarinya.
            “Siapa, sih, malam-malam begini ngegedor pintu seperti orang kesurupan?!” Ify berkata sewot dari balik laptopnya.
            Acha melirik keempat partnernya dengan curiga, “Elo berempat nggak lagi delivery sesuatu, kan?”
            “Nggak!” Pricilla menggeleng kecil. Kemudian gadis itu kembali larut dalam majalah fashion yang ia baca.
            “Biar gue aja yang buka,” kata Oik.
            Gadis bergigi gingsul itu segera turun dari ranjangnya, mengenakan sandal boneka, dan pasti sudah keluar dari kamar ketika kakinya tidak sengaja mengantuk sebuah kotak berukuran sedang di bawah ranjang.
            Keadaan mendadak sunyi. Sivia berhenti mengoleskan kuteks kekukunya. Ify menutup laptopnya. Acha berhenti mengunyah jeruk. Pricilla meletakkan majalahnya. Oik memandang ngeri kearah boks tersebut.
            Dengan sigap, Sivia kembali mendorong boks tersebut ke bawah ranjang Oik tanpa memperhatikan kuteksnya yang masih basah.
            “Come on, Oik! Elo nggak pingin ngebuat orang kesetanan yang sedang ngetuk pintu itu makin kesetanan lagi, kan, karena elo nggak ngebukain?” Sivia mendorong punggung Oik menuju pintu kamar dan memaksa gadis itu turun.
            Oik mengangguk pelan tanpa melihat ekspresi keempatnya. Perlahan, ia pun turun. Meninggalkan keempat sahabatnya yang –tanpa mereka sadari– sedang menahan napas semenjak kaki Oik tidak sengaja mengantuk boks itu.
            Oik terlebih dahulu mengintip sesosok bayangan hitam yang sedang menggedor pintu dormnya itu melalui kaca jendela. Sialnya, lampu depan sudah padam semua dan Oik hanya bisa melihat siluet itu. Siluet laki-laki.
            Oik membuka pintu. Ia tersentak kaget begitu mendapati Cakka tengah berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam. Oik segera menutup kembali pintunya. Wajahnya pucat pasi. Tapi sayangnya, tangan kokoh Cakka berhasil mencegah Oik melakukannya.
            “Buka, Oik!” suara Cakka terdengar frustasi di luar sana.
            “Nggak! Kamu ngapain malam-malam begini ke dorm?” Oik menyahut dari dalam.
            “Arrrggghh!!” Cakka mendorong pintu dorm Oik hingga membuat gadis mungil itu agak mundur. “For God’s sake, Oik! Buka pintunya! Kita perlu bicara.”
            Oik menggeleng dengan peluh yang sudah menetes dari dahinya. “Nggak mau. Sebaiknya kamu pulang aja.”
            “Please, Oik...” Cakka berkata pelan. “Sekali ini aja. Setelah itu, aku nggak akan ganggu kamu lagi.”
            “Janji?” tanya Oik dengan suara bergetar.
            Cakka memejamkan matanya. Mengapa suara Oik terdengar bergetar? Cakka memijat keningnya membayangkan ia akan menghabiskan sisa umurnya tanpa bayangan Oik. “IYA! OKE!” Cakka menggeram.
            Perlahan, Cakka merasakan pintu yang ia dorong tak lagi ditahan dari dalam. Pintu terbuka sedikit demi sedikit. Cakka dapat melihat wajah Oik yang pucat pasi dari balik daun pintu. Dengan tak sabar, Cakka mendorong pintu tersebut supaya terbuka lebar. Oik beringsut masuk ke dalam dorm.
            “Why were you doing this to me?” tanya Cakka dengan suara memohon.
            “Doing what?” tanya Oik balik dengan terbata-bata.
            “Look at me, Oik!” Cakka mengangkat dagu Oik agar pandangan mereka bertemu. “Kenapa, Ik?” tanya Cakka lagi, terdengar seperti suara orang kesakitan.
            Oik kembali melarikan pandangannya ke samping. “Ak––Gue bosen sama lo.”
            Cakka jatuh terduduk dikaki Oik. Menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Setetes air mata Oik jatuh ketika melihat lelaki itu begitu tersiksa karenanya. Cepat-cepat ia hapus air mata itu sebelum Cakka melihatnya.
            Cakka mendongak menatap Oik, “Can you think about it again? I’ll wait for it. ‘Til the end of time. Just... don’t leave me. Please.” Cakka memohon.
            Oik menggeleng, tetap pada keputusannya. “Ini udah malam, Kka. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Sukses buat konser keliling Indonesia Rockability.”
            Cakka menggeleng lesu. Oik sudah menutup pintunya keras-keras. Satu yang Cakka tak tahu, Oik juga terduduk di balik pintu. Ia tak tahu gadis itu juga sama tersiksanya dengan dirinya.
            “Ik, buka...” lirih Cakka.
            “Pulang, Kka!” bentak Oik.
            “Nggak.” Cakka menggeleng frustasi.
            “Pak satpam! Suruh dia pulang!” Oik berteriak dari dalam.
            Oik bangkit. Ia berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Ia menyeret kakinya, memaksanya menaiki tangga. Telinganya mendengar Cakka dan satpamnya yang tengah berdebat diluar. Oik semakin lemas saja.
            Begitu sampai di kamarnya, Oik langsung menjatuhkan dirinya diatas ranjang. Sivia, Ify, Pricilla, dan Acha saling pandang.
            “Tadi siapa, Ik, yang datang?” tanya Acha seraya mengusap punggung Oik dengan lembut.
            “Ca...kka...”
            Keempatnya terpekik. Sivia melongokkan kepalanya ke bawah sana melalui jendela. Mobil Cakka meninggalkan pelataran dorm. Ia mengantar kepergian Cakka dengan alis terangkat sebelah. Sivia melirik kearah ranjang Oik. Ify, Pricilla, dan Acha tengah memeluk Oik bersamaan. Sivia menatap Oik kasihan.
            “Be strong, Oik.”

**

            Keesokan paginya, Diamond bertolak menuju kantor management mereka. Mereka sampai disana sekitar pukul sepuluh pagi. Lobby kantor terlihat ramai oleh penyanyi yang diorbitkan oleh TS-Entertainment. Kelima member Diamond segera menuju hall untuk menemui manager mereka–Zahra.
            “Mbak Zahra!” sapa Pricilla ketika kelimanya baru saja memasuki hall.
            “Hey!” Zahra menengok kearah mereka berlima, menyuruh mereka untuk menghampirinya. “Sudah lama datengnya?”
            “Belum, Mbak.” Acha menjawab dengan tersenyum lebar.
            Zahra menengok pada Oik, menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan artisnya itu. “Mata kamu sembab, Ik?”
            Oik terperangah kaget mengetahui Zahra menyadari matanya yang supersembab. Ia kemudian menggeleng lemas. “Nggak apa-apa, Mbak. Kurang tidur aja.”
            Baru saja Zahra akan kembali bertanya macam-macam pada Oik, Sivia sudah mendahuluinya. Ia tak mau Oik gelagapan menjawab pertanyaan manager mereka. “Itu siapa, Mbak?” tanya Sivia, melirik seorang lelaki di samping Zahra.
            Oik melirik Sivia. Ia tersenyum kikuk pada Sivia. Sivia hanya mengacungkan jempolnya tak kentara. Oik menghela napasnya. Bagaimanapun juga, Oik masih agak kikuk jika berbicara dengan gadis itu. Apalagi kalau bukan karena kejadian itu?
            “Oh, iya!” Zahra seakan baru mengingat bahwa ada seseorang di sampingnya. “Ini Alvin. Penyanyi baru orbitan TS-Entertainment.”
            Alvin tersenyum pada kelima member Diamond. Kelimanya pun mulai menyalami Alvin.
            “Penyanyi solo, member boyband, apa personel band?” tanya Pricilla.
            “Kebetulan penyanyi solo.” Alvin menjawab dengan disertai senyum manisnya. Kelima member Diamond mengangguk mengerti.
            “Oik!!!” Oik mendengar suara bass yang cukup ia kenali tengah mamanggil namanya. Oik menengok ke samping dan menemukan salah satu staf TS-Entertainment telah berada di sampingnya.
            “Kenapa, Biet?” tanya Oik pada lelaki itu–Obiet.
            “Kenapa lo nggak cerita ke kita, sih, Darling?” Obiet menatap Oik dengan mata sayunya. Ia sudah menganggap Oik sebagai adiknya sendiri.
            “Cerita apa?” tanya Oik balik.
            Obiet menghela napasnya. “Gue barusan lihat acara gossip di TV. Managernya Rockability, tuh... siapa?”
            “Shilla!” jawab Sivia cepat. Ia melirik Oik dengan pandangan meminta maaf. “Kenapa sama Shilla, Bang?”
            “Shilla bikin pernyataan kalau Cakka lagi frustasi, depresi, dan semacamnya. Gara-gara elo, Darling.” Obiet menatap Oik dalam-dalam. “Lo putus sama Cakka?”
            Oik memejamkan matanya. Ia sadar berita ini akan cepat menyebar. Tetapi ia tak mengira kalau akan secepat ini media mengendus hubungannya dan Cakka yang telah berakhir. Padahal baru semalam ia dan Cakka resmi putus.
            “Kamu putus, Ik? Itu yang bikin mata kamu sembab begini?” tanya Zahra was-was.
            Oik tersenyum jengah. “Padahal baru semalam gue dan Cakka putus.”
            Sivia bergerak mendekati Oik. Ia semakin merasa bersalah pada gadis itu. Sivia merangkul Oik. Oik berdiri diam dalam rangkulannya. Suasana mendadak senyap karena pernyataan singkat Oik barusan.
            “Oik?” Alvin memanggil gadis itu. “Maaf sebelumnya. Mau minum hot chocolate bareng? Banyak orang bilang kalau coklat bisa menimbulkan efek tenang.”
            Oik mengangguk kikuk. Ia melepaskan diri dari rangkulan Sivia dan berjalan bersama Alvin menuju coffee shop yang terletak di lobby kantor management mereka. Keempat member Diamond lainnya beserta Zahra dan Obiet menatap kepergian Oik dengan lesu.
            “Gue makin merasa bersalah sama Oik,” ujar Sivia lirih.

**

            Sore itu Oik beserta Ify tengah menandatangani beratus-ratus lembar foto Diamond yang akan dijadikan souvenir dalam peluncuran album terbaru mereka besok. Acha, Pricilla, dan Sivia sudah membubuhkan tandatangan mereka dalam foto-foto itu. Hanya Oik dan Ify yang belum.
            “Acha, Sivia, sama Pricilla kemana, Fy?” tanya Oik.
            Ify menggeleng tak tahu. “Sivia, sih, tadi lagi keluar. Nggak tahu kalau Acha sama Prissy. Lagi molor, kali. Itu anak dua, kan, pada kebo semua.” Oik tertawa.
            Ditengah-tengah kegiatan mereka membubuhkan tandatangan, terdengar keributan kecil dari luar dorm. Keduanya mendengar jelas keributan kecil antara dua gadis tersebut karena Oik dan Ify sedang berada di ruang tamu. Sepertinya keributan kecil itu berlangsung di teras dorm mereka.
            “Siapa?” tanya Oik bingung.
            “Nggak tahu. Biar gue aja yang cek.” Ify memberikan isyarat agar Oik tetap duduk saja.
            Ify bangkit dari duduknya. Baru saja ia akan membuka pintu, pintu sudah terlebih dahulu dibuka dari luar. Tubuh Sivia menyeruak masuk. Dengan cepat, Sivia kembali menutup pintu dorm. Ify menatapnya curiga.
            “Oik––,” Sivia membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali. Ia bingung akan berbicara apa.
            “Apa, Siv?” tanya Oik dengan alis terangkat sebelah.
            Ify berusaha mendorong tubuh Sivia agar menyingkir dari pintu. Ify ingin sekali melihat siapakah yang kini tengah berada di teras dorm. “Itu siapa, sih, Siv?”
            Sivia makin gelagapan saja. Melihat Sivia yang tengah bingung dengan pikirannya sendiri, Ify segera mendorong tubuh gadis itu dengan sekuat tenaga agar menyingkir dari pintu. Ify segera membuka pintu dorm dan melihat seorang gadis yang tengah berdiri di teras dorm dengan wajah merah padam.
            Ify terkesiap begitu menyadari siapa gadis itu. Ify pun kembali menutup pintu dan berbisik pada Sivia. “Kenapa orang itu bisa ada di sini, Siv? Lo hutang penjelasan sama gue.”
            “Ada siapa, Fy, di luar?” tanya Oik penasaran.
            “Nggak tahu. Nggak kelihatan. Sivia, nih, nggak mau minggir, gue jadi nggak bisa ngebuka pintunya.” Ify pun melangkah meninggalkan Oik dan Sivia.
            “Fy! Mau ke mana?” tanya Oik lagi.
            “Ke dapur!” jawab Ify cepat. “Haus gue. Lo mau gue ambilin minum juga?”
            “Nggak usah, deh.” Oik membalas dengan berteriak.
            “Ik..” panggil Sivia pelan. “Ada yang mau ketemu sama lo.” Sivia menggigit bibirnya gugup ketika melihat ekspresi penasaran yang memancar jelas dari wajah Oik.
            “Siapa?” tanya Oik penasaran. “DiAddict? Atau OikLovers?”
            “Sepupu gue,” jawab Sivia takut-takut.
            Oik berdiri ketika Sivia mulai membuka pintu dorm. Seorang gadis masuk kemudian berdiri di hadapan Oik. Gadis itu berwajah merah padam karena marah. Ia menggenggam beberapa lembar foto yang sudah lecek karena ia genggam terlalu keras.
            “Hay, Oik..” sapanya sinis.
            “Shilla?” suara Oik terdengar bergetar karena takut. Oik pun beralih pada Sivia. Rupanya gadis itu tengah menatapnya dengan pandangan meminta maaf. “Kenapa bisa ada dia di sini, Siv? Mana sepupu lo?”
            “Gue sepupunya Sivia,” ujar Shilla dengan senyum sinisnya.
            “Lo nyari Cakka, Shil? Cakka nggak di sini, kok.” Oik menatap Shilla dengan gemetar.
            “Gue nggak nyari Cakka,” Shilla berkata perlahan seraya berjalan semakin dekat kearah Oik. Wajahnya mendadak berubah sengit. Ia melemparkan lembaran foto yang ia genggam tadi tepat kearah wajah Oik. “Lihat foto itu!” teriaknya bengis.
            Oik terkesiap kaget mendapat perlakuan seperti itu dari Shilla. Ia beringsut mengambil beberapa lembar foto yang terjatuh dilantai. Oik memperhatikan keempat foto itu dengan seksama.
            “Gara-gara foto itu semuanya jadi kacau, Oik!” suara Shilla mulai terdengar berbahaya.
            “Kacau...?” Oik bergumam tak mengerti.
            “Gara-gara empat foto itu RockaFriends, terutama C~LUVers, pada ngamuk di twitter! Gara-gara foto itu! Gara-gara elo!” teriak Shilla sebal.
            Oik kembali memperhatikan empat foto tersebut. Keempatnya menunjukkan gambar dirinya dan Cakka. Cakka tengah mencium pipinya dengan latar belakang Menara Petronas, Kuala Lumpur. Oik ingat betul bahwa foto itu diambil seminggu yang lalu ketika ia dan Cakka menghabiskan waktu berdua di Malaysia.
            “Gimana bisa foto-foto ini ada di twitter?” tanya Oik tak mengerti.
            “Bukan Oik yang upload foto itu di twitter, Shil!” ujar Sivia.
            Shilla menatap Sivia tajam kemudian menatap Oik dengan pandangan membunuh. “Iya, gue tahu. Cakka yang upload foto itu––,”
            “Terus kenapa elo nyalahin gue?!” teriak Oik balik dengan suara bergetar antara marah dan ingin menangis karena gadis di hadapannya itu dari dulu tak pernah menyetujui hubungannya dengan Cakka.
            “Terus gue harus nyalahin siapa? Cakka?” tanya Shilla dengan senyum meremehkan.
            “Cakka yang upload foto itu. Bukan gue. Jangan salahin gue!” teriak Oik lagi.
            Shilla menatap Oik tak suka. “Lo berani sama gue?” tanya Shilla tak suka. Tangannya melayang akan menampar Oik. Tapi sayangnya, Sivia sudah menahannya terlebih dahulu.
            “Mending lo balik aja, Shil. Lo emang sepupu gue, tapi bukan berarti gue ngedukung apapun yang lo lakuin.” Sivia menatap Shilla dingin kemudian mendorong gadis itu agar cepat-cepat angkat kaki dari dorm Diamond.
            Selepas kepergian Shilla, Oik terduduk lemas pada sofa ruang tamu dorm Diamond. Oik terisak. Sivia bergerak untuk memeluk Oik tetapi ditepis olehnya. Sivia hanya mampu menatap Oik sedih. Ify, Pricilla, dan Acha datang tak lama kemudian. Oik sama sekali tak menolak ketika ketiganya memeluknya.

**

            “Jadi gitu ceritanya,” ujar Oik, mengakhiri ceritanya.
            Alvin mengangguk mengerti. “Jadi, Sivia itu sepupunya Shilla?” ulang Alvin.
            “Iya. Dan gue masih kikuk aja kalau ngomong sama Sivia. Masih kebayang-bayang gimana waktu itu dia ngebawa Shilla ke dorm Diamond aja.” Oik tersenyum tipis. “Eh, maaf, ya. Kita baru aja kenal tapi gue udah cerita nggak penting gini ke elo.”
            “Nggak apa-apa, kali.” Alvin tersenyum maklum. “Daripada elo pendem semuanya sendirian dan akhirnya jadi gila. Iya, kan?”
            Oik tertawa kecil. “Makasih banget, Vin.”
            “Lo nggak ada niatan untuk perbaikin hubungan lo sama Sivia? Takutnya ntar malah kecium media dan bakalan ada gossip nggak jelas.”
            “Asal Sivia nggak pernah bawa Shilla ke hadepan gue lagi, sih..” Oik mengerling.

**

            Hari itu, Oik kembali menjadi bintang tamu dalam acara Hitam Putih. Bedanya, kali ini ia tidak datang bersama Diamond, namun bersama Cakka. Keduanya duduk berdampingan sementara sang host –Dedy– menatap keduanya iri.
            “Jadi, kalian kapan resmi balikan?” tanya Dedy sembari menatap Cakka dan Oik bergantian.
            “Resminya tiga bulan lalu, Om,” Oik menjawab dengan tersenyum malu-malu sehingga membuat Cakka tertawa dan menariknya kedalam pelukan lelaki itu.
            “Terus sekarang udah main tunangan aja?!” tanya Dedy kaget.
            Cakka tertawa. “Kan, aslinya kita berdua udah dari lama, Om. Cuman sempet putus aja beberapa bulan lalu. Jadinya waktu kita balikan, ya, langsung dibawa kejenjang yang lebih serius aja.”
            “Kalian berdua waktu itu putusnya kenapa, sih? Waktu itu Oik juga sempet pacaran sama Alvin, kan? Ya, meskipun sebentar doang.” Dedy kembali berceloteh.
            “Nggak, Om. Aku sama Alvin nggak pacaran, kok. Kita berdua sahabat deket. Deket banget. Sampai sekarang masih sahabatan, kok. Isu yang bilang Alvin pernah nembak Oik juga nggak bener.” Oik kembali teringat isu bahwa ia dan Alvin pacaran kemudian tertawa bingung.
            “Bukannya waktu itu temen-temen kamu dari Diamond sendiri yang bilang kalau kamu sama Alvin pacaran?” tuntut Dedy.
            “Nggak!” Oik menggeleng keras. “Bercandaan doang itu, Om. Sekarang juga Alvin udah punya cewek, kali. Jangan sebut-sebut Alvin pacarku, dong. Lagian Om Dedy nggak bisa diajak bercandaan amat. Udah tua, sih.” Studio pun kembali riuh oleh tawa penonton.
            Dedy memandang Oik keki karena telah mengatainya sudah tua. “Putus, putus. Kalian putusnya kenapa waktu itu?”
            Cakka dan Oik berpandangan penuh arti. “Itu biar jadi rahasia kita berdua aja, Om,” jawab Cakka.
            Dedy menatap kamera lalu memasang wajah jengkelnya. “Begini ini bintang tamu minta diusir. Ditanyain malah sok main rahasia-rahasiaan.”
            “Om, nggak nanya kita nikahnya kapan?” tanya Oik dengan wajah polosnya.
            “Iya, iya! Kapan kalian berdua nikah?” tanya Dedy balik dengan terlampau bersemangat.
            “Tahun depan, Om!” jawab Cakka dan Oik berbarengan yang memancing gelak tawa penonton seisi studio.


THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS