Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SESUATU YANG BARU part 3 (MOS Hari Kedua)

            Pagi-pagi itu, Ify, Oik, dan Sivia sedang menghabiskan American breakfast masing-masing yang dikemas dalam sebuah minni basket berwarna cokelat muda di atas ranjang. Jam masih menunjukkan pukul enam lewat sedikit. Maka dari itu, ketiganya terlihat santai.

            “Gimana kesan kalian selama tiga hari berada di sini?” tanya Oik, pada keduanya.

            Ify mengedik padanya sekilas. Ia meminum susu hangatnya terlebih dahulu baru membuka mulut, “Flat. Biasa saja. Kalau ga ada kalian, pasti aku sudah minta pindah ke sekolah lainnya,”

            “Kenapa begitu? Bukannya sekolah ini asyik?” Oik menyipitkan matanya pada Ify.

            “Biasalah, Ik. Ify, kan, orangnya gampang bosan..” Sivia yang menjawab.

            “Nah!” Ify mengangguk beberapa kali dan mengacungkan ibu jarinya pada Sivia.

            “Gampang bosan? Berarti, kalau kamu suka sama seorang cowok itu hanya sebentar. Right?” Oik mengedipkan sebelah matanya pada Ify.

            “Pasti!” gumam Sivia.

            “Sejauh ini, aku belum pernah suka sama seorang cowok..” jawab Ify, polos.

            “SERIUS?!” Oik dan Sivia membulatkan matanya dan berteriak bersamaan pada Ify.

            Ify kembali mengangguk, “Ada yang salah?”

            “Salah banget!” desis Sivia. Gadis berambut pendek itu hanya menggeleng tak percaya, “Kenapa bisa begitu, Fy? Ga ada satupun cowok yang ‘nyangkut’ di hatimu?”

            “You’re kidding us,” celetuk Oik.

            “Karena dari sekian banyak cowok yang memberi ‘sinyal’ ke aku, ga ada satupun yang cocok sama type cowok idamanku,” Ify menjawab dengan enteng.

            Sivia menghela napas kentara, “Dengar, ya, Alyssa Saufika.. Kalau kamu terus-terusan menuruti typemu itu, aku yakin 100% kalau kamu ga akan nemu cowok yang seperti itu,”

            “Right! Apalagi, kalau sampai kamu mematok type yang terlalu tinggi,” Oik menyela.

            “Jalani saja apa adanya, Fy. Forget about your type and, voila! You’ll get a guy who loves you like there’s no another girl around him,”

            Ify tertawa terbahak-bahak, “You’re such a good psycholog!”

            “Eh, ngomong-ngomong soal cowok, gimana cowok-cowok di sini?” tanya Oik, ia kembali mengerlingkan sebelah matanya.

            “Bilang saja, Ik, kalau kamu mau kita ngomongin kakak manis itu!” celoteh Sivia.

            “Kakak manis yang mana?” tanya Oik, pura-pura tak tau.

            Tangan Ify tergerak, ia melemparkan boneka kelinci kecilnya ke arah wajah Oik dengan gemas, “Kakak manis yang itu! Yang suka bikin kamu senyum-senyum sendiri!”

            Pipi Oik mendadak merona, “Oh, kakak yang... Itu.”

            “Iya! Yang itu! Kemarin ketemu dia lagi, Ik?” tanya Sivia.

            Oik mengangguk dengan sangat antusias, “Iya! Dia senyum lagi, Siv, Fy! Dia benar-benar... Manis!”

            Sivia tersenyum kecil, “Lalu? Kamu ngajak dia kenalan?”

            “Ga. Dan, ga akan. Aku ini cewek. Harusnya dia yang maju duluan, bukan aku!” sangkal Oik, kepalanya menggeleng keras dan bibirnya maju beberapa centi.

            “Iya kalau dia juga suka kamu, Ik. Kalau ga?” goda Ify.

            “Kalau ga, ya... Ya... Biarkan saja!” jawab Oik, ia kembali melemparkan boneka kelinci kecil itu pada sang empunya.

            Oik memandang ke arah jendela rumah pohonnya. Tiba-tiba saja, ia teringat sesuatu. Ia mulai merangkai memori-memorinya. Tepat!

            Cowok itu.....

            “Heh! Oik! Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?” tanya Sivia.

            BOAM! Sivia kembali menariknya ke realita. Memori-memori yang tadi telah susah-payah ia rangkai, kembali terhempas. Oik menggerutu dalam hati. Pasalnya, ia sangat payah dalam hal mengingat ‘sesuatu’.

            “Kalian tau? Aku ini payah sekali dalam hal mengingat sesuatu. Dan kamu, Siv.. Kamu mengacaukannya!” teriak Oik dengan gemas.

            “Apa, Ik?” tanya Sivia, tak mengerti.

            “Loot at yourself, Ik! Kamu makin aneh!” ujar Ify.

            Oik menghembuskan napasnya, “Makanya! Kalian diam dulu sebentar. Aku ini lagi nginget-nginget... Sesuatu... Cowok itu...” suara Oik semakin tak terdengar diakhir kalimatnya.

            “Sesuatu apa, Ik? Cowok itu? Siapa lagi?” tanya Ify beruntun.

            Sivia menyilangkan jari telunjuknya di depan bibirnya pada Ify. Ify mengerti. Ia kembali diam. Keduanya fokus kepada Oik yang masih berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Oik menempelkan telunjuknya di dahinya, ia gigit bibir bagian bawahnya, otaknya bekerja keras mengingat ‘itu’ kembali.

            “Cowok itu... Aku beberapa kali memergokinya sedang menatapku... Rasanya aneh. Karena dia... Natap aku dengan... Ekspresi yang ga seharusnya...” gumam Oik.

            “Iya. Cowok itu siapa, Ik?” tanya Ify, lagi.

            “Aku lupa wajahnya, Fy. Dia selalu misterius begitu!” jawab Oik.

            “Okay! Can we end this? Arah pembicaraan kita mulai ga jelas! Lagipula, Oik juga ga inget siapa cowok itu,” ujar Sivia.

            “So, how about you? Is there a guy who has stolen your heart, Siv?” Ify kembali bertanya, kali ini pada Sivia.

            “Ga ada,” Sivia menjawab dengan secuek mungkin.

            “I know you lied,” celetuk Oik.

            “Calon dokter itu?” tebak Ify.

            Sivia tersenyum aneh, “Fifty-fifty,”

            “HAH?!” Ify dan Oik terperangah.

            “I love someone else, too..” lanjut Sivia.

            “Gimana bisa kamu cinta sama dua orang sekaligus dalam waktu yang sama?” tanya Ify.

            “Buktinya, aku bisa..” jawab Sivia, seenteng kapas.

            “Tell us, Siv!” sergah Oik.

            “How could? Karena aku sadar, cowok pertama yang bikin aku jatuh cinta itu ga bisa kasih aku kepastian. Sedangkan cowok yang kedua ini, mungkin dia bisa.”

            “I guess, calon dokter itu cowok kedua..” tebak Ify.

            “Nah!” Sivia tersenyum lebar, mengiyakan tebakan Ify.

            “Oh God! Memangnya ada apa dengan cowok pertama?” tanya Ify, lagi.

            “He’s... Errr... He’s already taken by another girl,” Sivia mengangkat kedua bahunya.

            “Really, Siv? You love someone’s boyfriend? Ckck,” Oik mendesis.

            “Kamu tau itu salah, Siv..” kata Ify.

            “Aku tau kalau cinta sama pacar orang itu salah. Tapi, gimana lagi?” balas Sivia.

            “I don’t know. I’ve never been in you’re your position,” kata Oik.

            Hening.

            Rupanya jam untuk turun dari rumah pohon ini belum tiba juga. Masih tersisa sepuluh menit lagi.

            “Kamu sendiri.. Gimana, Fy?” tanya Sivia.

            “Aku?” Ify menunjuk batang hidungnya sendiri, Sivia dan Oik mengangguk.

            “How’s your love life here?” tanya Oik.

            “Biasa saja,” jawab Ify.

            “Gimana sama kakak pembimbing kita itu?” goda Sivia.

            “I don’t love him..” seru Ify dengan gemas.

            Oik tertawa, “Iya, tapi kamu selalu membela dia di depanku dan Sivia!”

            “Membela seseorang bukan merupakan indikator perasaan cinta, kan?” sergah Ify.

            Sivia menggeleng, “Memang bukan. Tapi, kamu terlalu membela dia. Jangan sampai dia tau, Fy. Dia bisa besar kepala karena dibela cewek secantik kamu, nanti..”

^^^

            Kini Ify, Oik, dan Sivia telah duduk di bangku masing-masing. Begitupula dengan para penghuni kelas kedelapan yang lainnya. Kelas ini semakin riuh saja karena belum datangnya sang kakak pembimbing.

            “Kakak pembimbing kita mana, sih?” dumel Oik.

            Irsyad tertawa mendengarnya, “Sepertinya masih ada di ruangan khusus panitia itu,”

            “Lalu, kenapa kamu tertawa?” tanya Oik dengan sinis.

            “Nothing. Cuman, ekspresi kamu tadi lucu. Banget,” jawab Irsyad.

            Oik menggeram. Tangan kanannya terulur untuk memukul lengan Irsyad. Sebelum itu terjadi, tangannya oleh ditahan dari belakang. Oik menengok ke belakang, rupanya kakak pembimbingnya sudah ada di sana.

            “Begitu saja ngambek?” ledeknya.

            Oik mendesis. Mengucapkan sumpah-serapah dalam hati. Kedua tangannya terkepal. Ingin sekali ia meninju kakak pembimbingnya yang menyebalkan ini.

            “Bisa tolong lepas tangan saya?” tanya Oik pada kakak itu.

            Tanpa berkata apapun, kakak pembimbing itu pun melepaskan cekalannya pada tangan Oik. Sivia dan Ify cekikikan melihatnya. Oik segera melayangkan tatapan menyeramkannya pada Sivia dan Ify ketika kakak pembimbing tadi telah berlalu dari belakangnya.

            “Kakak pembimbing kita baik, ya, ternyata..” kata Ify, disela-sela cekikikannya.

            “Kamu sial banget hari ini, Ik..” timpal Sivia.

            “What the hell you said,” kata Oik.

            Ify dan Sivia masih cekikikan saja ketika terdengar suara dari depan sana.

            “Excuse me!”

            Kelas mendadak hening. Seluruh pasang mata di kelas itu segera tertuju pada kakak pembimbing yang telah berdiri di depan kelas. Kakak pembimbing itu sedang tersenyum ramah pada mereka semua.

            “Kesambet apa dia? Kenapa bisa senyum seramah itu?” bisik Sivia, kesal.

            “Tuh, kan! Dia itu sebenarnya baik, Siv..” sahut Ify.

            Sivia hanya mengangkat sebelah alisnya ketika menatap Ify. Beberapa detik kemudian, ia dan Ify kembali terfokus pada sang kakak pembimbing.

            “Karena hari ini adalah hari MOS terakhir, saya akan memperkenalkan diri saya. Well, nama lengkap saya Andryos Aryanto. Biasa dipanggil Debo. Itulah sebabnya name tag saya bertuliskan AA. Kependekan dari Andryos Aryanto.”

            Irsyad mengangkat tangannya, meminta waktu untuk berbicara. Kakak pembimbing itu mempersilahkannya.

            “Kami panggil kakak Kak Debo saja, ya?” tanyanya.

            “Boleh,” jawabnya, lagi-lagi dengan senyum yang ramah.

            “Tumben amat senyum? Biasanya, juga, cuek-bebek banget. Judes, pula!” desis Sivia.

            Debo mendengarnya. Ia tertawa renyah. Semakin membuat siswa-siswi baru itu kembali terkesima. Pasalnya, tawanya sangat... Bersahabat. Sangat berbanding terbalik dengan imagenya ketika pra-MOS dan MOS.

            “Kalian harus tau, guys.. Kami semua, kakak-kakak panitia, ga benar-benar judes. Itu hanya acting. Semata-mata agar kalian lebih menghargai kami,” jawabnya.

            Oik mengangkat tangannya. Dan tanpa dipersilahkan, ia berbicara, “Itu bukan menghargai, kak. Dihargai dan ditakuti memang hanya beda tipis,”

            Telak!

            “Betul itu!” koor seluruhnya.

            Debo hanya mengangguk mengerti. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan, meminta maaf kepada seluruh adik-adik kelasnya ini.

            “Iya. Kami semua minta maaf atas semuanya,” ujarnya.

            “Tuh, kan! Dia kesambet apa?” desis Sivia, lagi.

            Ify mengelus pundaknya sambil menahan tawa, “Dia itu sebenarnya baik, Siv. Coba lihat matanya. Kamu ga akan nemuin kebohongan di sana. Dan, aku yakin, kamu pasti bisa tau kalau dia baik dari matanya.”

^^^

            Bukit Hijau..

            Seluruh siswa-siswi baru Witchy School of Art telah berkumpul di sana. Tanpa kakak-kakak pembimbing dan tanpa kakak-kakak panitia yang lain. Mereka tak mengelompok dengan kelas sementara masing-masing. Semuanya berbaur, menjadi satu.

            Kebetulan, Ify, Oik, dan Sivia duduk di dalam gerombolan siswa-siswi kelas kedelapan. Bersama Irsyad dan Alvin. Ketiganya sedang mengobrol seru ketika itu.

            Oik mengalihkan pandangannya. Gemas menatap Irsyad yang sedari tadi melemparkan lelucon-lelucon lucu soal sang kakak pembimbing. Ify, Sivia, dan Alvin pun sampai tertawa terbahak-bahak.

            Tiba-tiba saja, pandangan Oik tak sengaja terantuk padanya. Lagi-lagi dia. Oik menghela napas dengan keras. Ia kembali menyatu dengan obrolan keempat kawannya karena ia sudah jengah dipandangi olehnya.

            “Kenapa, Ik?” tanya Ify, sadar akan keanehan pada Oik.

            “Dia lagi. Cowok itu lagi. Udah, ah. Ga penting!” katanya, tangannya mengibas udara.

            “Cowok itu? Siapa?” tanya Irsyad.

            “Biasalah, Syad. Urusan cewek. Ada cowok yang suka mandangi Oik sampai segitunya. Oik sampai bingung sendiri. Masalahnya, Oik tadi pagi lupa bagaimana wajahnya. Jadi, aku dan Ify ga tau orangnya yang mana..” celoteh Sivia.

            Ups! Keceplosan!

            “Siviaaaaaaaaaaa!!!” Oik berteriak gemas, kedua tangannya mencubit pipi Sivia tiada ampun.

            Irsyad dan Ify membiarkannya. Berbeda dengan Alvin..

            Alvin segera menyingkirkan tangan Oik dari pipi Sivia. Dengan susah-payah. Setelah lepas, voila! Lihatlah! Pipi Sivia sudah semerah tomat karena dicubit Oik dengan sangat keras.

            “Alvin! Buat apa dipisahin? Seru ini!” kata Irsyad.

            “Kasihan Sivia. Lihat pipinya, merah!” Alvin mengedik sekilas pada pipi Sivia.

            Irsyad dan Ify hanya membulatkan mulut masing-masing.

            Tiba-tiba saja, terdengar suara dari main building Witchy School of Art. Ah! Rupanya pengumuman! Bukit Hijau mendadak sepi, masing-masing telah menajamkan pendengaran untuk mendengar pengumuman tersebut.

            “...Mohon maaf kepada adik-adik. Saya perwakilan dari panitia menyampaikan bahwa, untuk saat ini, kalian menuju caffetaria saja dan having lunch di sana. Karena kami semua, kakak-kakak panitia, sedang menyusun kelas untuk kalian tempati esok hari. Terima kasih...”

            Terdengar banyak keluhan dari seluruh sudut Bukit Hijau. Hey! Bagaimana mereka tidak mengeluh? Bukit Hijau ini panas! Sang mentari dengan leluasanya memancarkan sinarnya pada mereka tanpa terhalang oleh apapun!

            “Kenapa ga sedari tadi saja ngasih pengumuman?” dumel Alvin.

            “Kenapa, Vin? Takut kulitmu jadi hitam?” tanya Irsyad.

            Alvin mendengus kesal. Ia meninjukan kepalan tangannya pada lengan Irsyad. Irsyad pun mengaduh kesakitan.

            “Mau sampai kapan ada di sini? Ayo ke caffetaria!” ajak Sivia.

            Sivia, Ify, dan Oik pun berdiri. Irsyad berdiri setelah ketiganya. Alvin pun juga.

            “Kalian duluan saja,” kata Alvin.

            “Kenapa?” tanya Ify.

            “Aku mau menjemput Zevana dulu,” jawab Alvin.

            “Okay, dude. See you there!” teriak Irsyad ketika Alvin tengah melangkah menjauhi keempatnya.

            “Sudah? Ayo ke caffetaria! Aku lapar!” ajak Oik, wajahnya terlihat kucel.

            Irsyad pun merangkul Ify dan Sivia. Ketiganya berjalan di belakang Oik. Ify, Sivia, dan Irsyad masih bersenda gurau ketika.....

            “Kok tiba-tiba berhenti, Ik?” tanya Ify, hampir saja ketiganya menabrak tubuh Oik yang berhenti berjalan dengan tiba-tiba.

            Oik menengok ke belakang. Menatap Ify dan Sivia satu-persatu.

            “Ada apa?” tanya Irsyad.

            Oik hanya menggelengkan kepalanya. Ia menundukkan kepalanya sejenak.

            Oh, Tuhan! Tolong enyahkan dia sekarang juga!!! Aku sama sekali ga suka kalau ada yang memandangiku dengan tatapan seperti itu! It’s too full of... Love...

            Oik menarik napas dalam-dalam. Kemudian, ia menghembuskannya perlahan. Ia kembali membalikkan badannya. Oik kembali memandang salah satu sudut Bukit Hijau, tempat di mana tadi ia melihat cowok itu.

            “Ada dia, Ik?” tanya Sivia, Oik hanya mengangguk perlahan.

            Sivia hanya saling pandang dengan Ify. Keduanya mengangkat bahu pertanda tak tau. Keempatnya pun kembali berjalan. Sivia melemas. Ia merutukki dirinya sendiri karena telah tak sengaja melihat cowok pertama itu dengan pacarnya.

            Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh, Siviaaaaaa!!! Untuk apa kamu melihat mereka?! Sudah tau kamu akan sakit hati ketika melihatnya, tapi kenapa matamu tak bisa luput dari merekaaaa??

            Sivia menggelengkan kepalanya dengan mata terpejam, “Kamu itu semacam... Alkohol. Candu yang menyiksa,” ujarnya, entah kepada siapa, dengan volume yang sangat kecil.

            Dahi Irsyad berkerut heran mendengar perkataan Sivia barusan. Ia menyenggol pelan lengan Ify. Member gadis berwajah tirus itu isyarat untuk melihat Sivia. Ify mengerti. Ia pun melihat ke arah Sivia. Gadis itu sedang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

            “Kamu kenapa, Siv?” tanya Ify, memberanikan diri.

            Tak ada jawaban dari Sivia. Irsyad kembali menyenggol lengan Ify. Perhatian Ify pun berpindah padanya.

            “Apa?” tanya Ify.

            “Alkohol. Candu yang menyiksa!” bisik Irsyad.

            “Apa, sih, Syad? Kamu ngomong apa?” tanya Ify, tak mengerti.

            “Tadi Sivia bilang seperti itu,” lagi-lagi Irsyad berbisik padanya.

            “Alkohol? Candu yang menyiksa? Pasti soal cowok pertama itu,” gumam Ify.

            “Cowok pertama? Apa pula itu, Fy?” tanya Irsyad.

            Ify hanya menggeleng.

            Tiba-tiba saja, Ify merasakan ada yang memanggil namanya. Dari belakang. Ia pun menengok. Oh!

            “Alyssa!” panggil suara itu lagi.

            Ify tersenyum lebar pada sang empunya suara dan melambaikan tangan kanannya padanya, “Kak Debo!”

            Dia Debo. Kakak pembimbing mereka. Debo pun mempercepat laju jalannya. Ia segera menyamai langkah Ify, Irsyad, dan Sivia. Ify segera melepaskan rangkulan tangan Irsyad dari bahunya.

            “Ada apa, kak?” tanya Ify.

            “Ga ada apa-apa. Cuman mau bareng saja ke caffetaria. Kebetulan baru selesai persiapan untuk besok,” jawabnya.

            Ify mengangguk mengerti. Ia pun berbincang seru dengan kakak pembimbingnya itu. Di sisi lain, Irsyad masih merangkul bahu Sivia dan mengajaknya berbicara. Menghiburnya. Rupanya Irsyad tau bahwa Sivia sedang ‘patah’.

            Dan tanpa disadari olehnya, cowok pertama yang membuatnya ‘patah’ tadi tengah memperhatikannya dari kejauhan, bersama pacarnya. Matanya membulat sempurna melihat Irsyad merangkulnya. Bibir laki-laki itu tergerak..

            Mereka pacaran??

^^^

            Sivia, Oik, dan Irsyad telah duduk di kursi masing-masing. Mereka telah berada di caffetaria. Di mana Ify? Ia masih berbincang dengan Debo, sambil berdiri. Kelihatannya asyik sekali obrolan mereka. Ify sampai tertawa selebar itu.

            “Ya sudah.. Happy lunch time!” pamit Debo.

            Ify mengangguk seraya melambaikan tangannya pada Debo yang mulai berjalan menuju meja tempat kakak-kakak panitia yang lain berada.

            Ify pun segera duduk. Sivia, Oik, dan Irsyad masih memperhatikannya. Ketiganya masih bingung dengan keakraban Ify dengan kakak pembimbing mereka tadi. Ify hanya memasang tampang tak mau tau soal kebingungan mereka.

            “Kalian kenapa?” tanya Ify, dengan tertawa setelahnya.

            “Kamu akrab, ya, sama Kak Debo,” gumam Irsyad.

            Ify mengangguk bersemangat, “Aku sudah pernah bilang, kan, kalau Kak Debo itu baik?”

            Oik hanya mengangguk malas, “Yayaya..”

            Oik mengedarkan pandangannya. Tak sengaja ia melihat ke arah main entrance caffetaria. Oik menutup mulutnya. Ada cowok itu di sana! Oik segera menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya.

            Ini salah. Ini salah. Ini ga boleh terjadi. You stupid boy!

            Oik sibuk dengan pikirannya sendiri. Berbeda dengan Sivia. Ia hanya terpaku melihat cowok pertama itu sedang mengobrol bersama pacarnya. Sivia mencoba menetralisir perasaannya. Membuang jauh-jauh perasaannya. Dan... Gagal.

            “Hay!”

            Ify, Irsyad, Oik, dan Sivia mendongakkan kepala masing-masing. Mendapati Agni telah duduk di kursinya. Keempatnya tersenyum pada Agni. Mereka pun berhigh five ria.

            “Ke mana kemarin, Ag? Kok ga ikut lunch sama-sama?” tanya Irsyad.

            Agni hanya tersenyum.

            Berbeda dengan Agni, Oik langsung melayangkan jitakannya pada Irsyad, “Lupa, ya? Kemarin, kan, Nadya sudah bilang kalau Agni sakit!”

            “Oh iya,” Irsyad nyengir lebar.

            Tak lama kemudian, datanglah Lintar. Ia terlihat sangat berantakan. Tak menunggu lama, ia pun langsung duduk di samping Agni, kursi yang masih kosong.

            “I’m so tired! Naskah dramanya baru selesai!” celotehnya.

            Kelimanya hanya memandang Lintar dengan kasihan.

            Dua orang lagi datang. Cakka dan Nadya. Keduanya segera duduk. Nadya pun segera mendekatkan kursinya ke Cakka. Keduanya mengobrol. Mengacuhkan keenam orang lainnya. Agni menatap keduanya dengan jengkel.

            “Mereka kelewatan. Kita berenam dianggap patung!” desis Agni.

            ^^^

            Ini hampir tengah malam. Tapi, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman keras dari luar sana. Seluruh siswa-siswi tingkat pertama dari Witchy School of Art segera keluar dari rumah pohon masing-masing dan berdiri di balkon. Bahkan, beberapa dari mereka sampai ada yang turun dari rumah pohon.

            “Lihat ke atas!” teriak sebuah suara.

            Seluruhnya pun segera melihat ke atas. Kembang-kembang api membentuk tulisan Witchy School of Art di atas sana. Tentu saja denga warna yang bermacam-macam.

            “Selamat malam!” sapa sebuah suara.

            Beberapa detik kemudian, suara tersebut telah menjadi fokus mereka semua. Ada kakak-kakak panitia di sana. Di atas sana. Beterbangan di sekitar kembang api tersebut tanpa menggunakan apapun!

            “Maaf mengganggu tidur kalian malam-malam begini,” lanjutnya.

            Ify mendengus kesal. Rupanya kakak-kakak ini telah mengganggu waktu tidurnya. Sangat mengganggu! Karena, kalian tau? Ify ini hobby banget tidur! Ia pun akhirnya bersandar pada dinding rumah pohonnya dengan mata yang hampir tertutup kembali.

            “Kami hanya akan mengumumkan kelas kalian untuk hari pembelajaran pertama besok. Jadi, tetap lihat kemari. Lihat kembang api ini yang akan membentuk nama kalian!”

            Trap!

            Seluruh lampu di area rumah pohon tersebut mendadak padam. Beberapa dari mereka sempat menahan napas karena kaget. Cahaya lampu-lampu tersebut digantikan dengan semaraknya kembang api di atas sana. Seluruhnya pun mendongakkan kepala, menantikan nama mereka tersaji di sana.

            “Kelas Seni Suara,”

            Sang kakak-kakak panitia berkoor. Setelahnya, tersajilah nama-nama di atas sana sebagai penghuni kelas Seni Suara untuk tiga bulan ke depan.

            Agni Tri Nubuwati

            Alvin Jonathan Sindunata

            Alvin meninjukan kepalan tangannya ke udara sembari tersenyum lebar, “Seni Suara!” pekiknya, kegirangan.

            Fakhrul Irsyad

            Kali ini, giliran Irsyad yang bersorak kegirangan. Ia berhigh five dengan Alvin. Sepertinya, Alvin dan Irsyad memang tak terpisahkan. Buktinya, mereka sama-sama berada di kelas Seni Suara untuk tiga bulan ke depan.

            Sivia Azizah

            “Seni Suara, Siv!” pekik Oik, ia memeluk Sivia dengan brutalnya.

            Sivia tertawa nyaring, “Iya, Ik! Akhirnya!”

            Ify hanya tersenyum. Ia masih dilanda rasa kantuk yang teramat sangat. Dan, Ify kembali berada diantara sadar dan tidak karena kantuknya itu.

            Sivia tersenyum miring, entah untuk apa. Ia melambai pada Irsyad dan Alvin di seberang sana. Rumah pohon mereka masih berada dalam radius pandang, jadilah mereka dapat melihat satu sama lain.

            “Kita sekelas, Siv!” teriak Irsyad.

            Sivia tersenyum senang, “See you tomorrow, guys!”

            “Kelas Seni Musik,”

            Pembagian kelas kembali dilanjutkan. Kini, kelas Seni Lukis. Oik harap-harap cemas. Takutnya, ia tak masuk kelas ini. Kalaupun begitu, mau masuk kelas mana ia? Beberapa nama telah disebut, dan nama Oik tak kunjung disebut.

            Nadya Almira Puteri

            Oik manggut-manggut mendengar nama Nadya. Jadi, ia sudah punya kenalan di kelas ini. Ia tak perlu berlagak pendiam karena tak ada yang ia kenal. Oik menahan napas ketika...

            Oik Cahya Ramadlani

            Oik lompat-lompat kegirangan. Ia terlihat sangat gembira karena dapat masuk ke kelas Seni Lukis. Ini memang keinginannya semenjak dulu. Tujuan utamanya bersekolah di Witchy School of Art.

            “Satu kelas sama Nadya, Ik..” kata Ify, ia terlihat menahan senyum.

            Oik mengangguk, “Yap!”

            Cakka Kawekas Nuraga

            Oik melotot kaget. Rupanya ia juga satu kelas dengan Cakka. Harapannya pupuslah sudah. Mana mungkin ia dapat berteman dengan Nadya jika ada Cakka juga di kelasnya? Pastilah keduanya akan sangat lengket, seperti biasanya.

            Halilintar Mahaputra Edi Morgen

            “Untung kamu juga sekelas sama Lintar, Ik..” celoteh Ify.

            Oik menengok padanya dengan wajah bingung, “Memangnya kenapa?”

            “Itu berarti kamu bakalan ada teman. Kamu tau sendiri, Nadya dan Cakka seolah ga menganggap orang lain ada ketika mereka lagi berdua,” jelas Ify.

            Pembagian kelas terus berlanjut. Hingga pada kelas Seni Tari, nama Zevana disebut. Alvin terlihat sedikit kecewa karena tak sekelas dengan Zevana. Apalagi, kelasnya dan kelas Zevana relatif tidak dekat.

            “Seni Musik,”

            Ify kini telah ‘sadar’ sepenuhnya. Matanya tak berkedip, menatap satu-persatu nama penghuni kelas Seni Musik. Hingga akhirnya...

            Alyssa Saufika Umari

            “Seni Musik! That’s my biggest dream, guys!” Ify bergerak maju dan memeluk Sivia dan Oik.

            “Congrats, dear!” kata Sivia.

            “You, too..” balas Ify.

            Beberapa menit kemudian, pembagian kelas pun selesai. Seluruh lapu di area rumah pohon tersebut kembali menyala. Kakak-kakak panitia juga berangsur turun dari atas sana. Semaraknya kembang api beberapa menit yang lalu pun sudah tak berbekas adanya.

            “Oke, good night! Tidur yang nyenyak, adik-adik. Besok adalah hari pertama kalian bersekolah. Prepare all your things well. Thanks!”

            Kakak-kakak panitia pun perlahan hilang ditelan gelapnya malam. Para siswa-siswi baru pun segera masuk ke dalam rumah pohon masing-masing dengan kelegaan karena, akhirnya, mereka telah mendapat kelas. Seluruhnya kembali kea lam mimpi masing-masing..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS