Rio dan Oik baru saja sampai di pelataran rumah mereka. Rio pun segera menuju garasi dan memarkirkan motornya di sana. Tepat ketika ia akan turun dari motornya, ia merasa Oik tertidur di punggungnya. Rio menolehkan kepalanya ke balakang dan mendapati Oik benar tertidur di sana.
“Ya elah.. Ini anak kenapa malah tidur? Kan, gue udah bilang kalau gue sama dia kudu ngomong. Ck!” Rio hanya menggerutu kesal.
Sejurus kemudian, ia turun pelan-pelan dari motornya, dan masih dengan Oik yang tertidur, ia menggendong tubuh mungil adiknya itu ke kamarnya. Begitu Rio sampai di kamar Oik, ia langsung membaringkan tubuh adiknya itu ke ranjang.
Rio menatap Oik yang masih tertidur pulas. Ia hanya dapat menghembuskan napas. Setelahnya, ia keluar dari kamar Oik dan menuju dapur. Di dapur ia berpapasan dengan pembantunya. Tanpa banyak bicara, Rio segera mengambil cokelat batangan di kulkasnya.
“Den Rio mau ngapain?” tanya pembantunya.
Rio, yang sedang melelehkan cokelat, melirik pembantunya sekilas dan menyunggingkan senyumnya, “Lagi bikin hot chocolate, bi. Buat Oik. Tapi Oiknya masih tidur” jawabnya singkat.
Pembantunya hanya menganggukkan kepala dan melanjutkan menyapu rumah. Tak sampai lima menit, hot chocolate buatan Rio telah jadi. Ia menuangkannya dalam dua gelas berbeda. Satu untuk Oik dan satunya lagi untuknya. Rio pun kembali ke kamar Oik dengan menenteng kedua gelas tadi.
Setibanya di kamar Oik, rupanya adik kesayangannya tadi telah bangun. Oik menatap kosong ke dinding kamarnya dengan wajah kucel. Rio menghampirinya dan menyodorkan hot chocolate buatannya. Oik menoleh sekilas dan menerima hot chocolate itu.
“Tumben Kak Rio bikini gue hot chocolate” gumam Oik, disela-sela kegiatannya menghabiskan hot chocolate pemberian Rio.
Rio tersenyum simpul, ia segera duduk di samping Oik dan mengacak rambut adiknya itu, “Ga mau, nih? Ya udah, gue ambil lagi aja” godanya seraya berancang-ancang untuk mengambil segelas hot chocolate dari tangan Oik.
Oik menghindar dan memeletkan lidahnya, “Barang yang sudah diberikan tidak dapat diambil kembali” serunya dengan riang. Mau tak mau, Rio tertawa mendengar seruan adik semata wayangnya tersebut.
Keadaan sejenak menjadi hening. Rio kembali teringat dengan ucapannya untuk berbicara serius dengan Oik. Rio meletakkan gelasnya di meja belajar Oik dan membaringkan tubuhnya di ranjang milik Oik. Oik mengikuti apa yang Rio lakukan barusan. Keduanya memejamkan mata masing-masing.
“Ik..”
“Hm? Kenapa, kak?”
“Gue mau nanya, nih”
“Ya udah, nanya aja”
“Tapi lo jangan marah, ya?”
“Ya tergantung, kak, lo mau ngomongin apa”
“Umm, Ik.. Tadi kenapa lo mendadak kucel waktu lihat Cakka sama Acha?”
Oik terdengar menghela napas dengan lesu, “Kak, kok nanya begituan, sih?”
Rio membuka kembali kedua matanya dan menatap Oik yang terbaring di sampingnya, “Oik adikku tersayang, kan tadi gue udah bilang”
“Ya gitu, kak.. Gimana, ya? Hm.. Kayak ga enak aja”
“Emang lo ga kesian sama Alvin?”
“Lah? Emang Alvin kenapa, kak?”
“Ya kan, lo udah sama Alvin, Ik!” seru Rio dengan gemas.
“Udah ah, kak, jangan ngomongin ini dulu. Males banget guenya” keluh Oik.
Rio menegakkan tubuhnya dan melenggang mengambil dua gelas kosong yang tergeletak di meja belajar Oik dan menentengnya keluar kamar Oik. Oik menatap kepergian Rio dengan sendu. Akhirnya ia kembali membaringkan tubuhnya dan terlelap ke alam mimpi.
^^^
Pagi-pagi sekali, Cakka sudah standby di depan rumah Acha dengan menggunakan motornya. Tanpa ia sadari, sepasang mata sipit mengawasinya dari kejauhan. Laki-laki pemilik mata tersebut pun akhirnya meluncur menggunakan motornya, meninggalkan Cakka yang masih menunggu Acha bersiap-siap.
Tak lama kemudian, Acha keluar dari rumahnya dengan raut riang. Ia mengampiri Cakka yang telah menunggunya sekitar lima menit. Cakka pun mengangsurkan sebuah helm kepada Acha disertai dengan senyum termanisnya. Mereka berdua pun melesat menuju SMP Ranvas.
Membutuhkan waktu dua puluh menit untuk mereka sampai di sekolah. Sesampainya di sana, mereka berdua menuju parkiran. Acha menemani Cakka memarkirkan motornya di sana. Di parkiran, mereka berdua bertemu dengan Alvin dan Oik.
“Hey! Oik! Alvin!” Acha menyapa keduanya dengan riang.
Alvin dan Oik menoleh ke arah sumber suara. Mereka mendapati Cakka dan Acha di sana. Alvin membalas sapaan Acha dengan mengangkat tangan kanannya. Sedangkan Oik, hanya menatap tanpa ekspresi ke keduanya.
“Cha, Cakk, gue sama Oik duluan, ya!” pamit Alvin. Acha dan Cakka hanya mengangguk. Cakka terus saja menatap punggung Oik sampai hilang di koridor.
^^^
“Wah, Ik, kayaknya Cakka sama Acha beneran jadian, ya!” seru Alvin senang.
Senang? Jelas saja.. Salah satu saingan terberatnya untuk tetap bersama Oik memang Cakka. Alvin berpikir bahwa kalau Cakka sudah bersama Acha, otomatis Cakka sudah ‘lupa’ dengan Oik. Dan dengan begitu, Oik juga akan lupa dengan Cakka dan tetap akan bersama dirinya.
“Iya, kali. Mungkin ya pas kemarin itu” ujar Oik dengan ketus dan menyunggingkan senyum kecut.
Alvin dan Oik masih berjalan beriringan menuju kelas Oik. Sesampainya di sana, rupanya kelas masih sepi. Baru beberapa saja yang datang. Oik baru saja duduk di bangkunya ketika Sivia berjalan masuk ke dalam kelas dengan riangnya.
“Hay Oik!” sapa Sivia.
Sivia masih terlihat riang sampai akhirnya, ia mengedik ke sebelah Oik. Sudah ada Alvin di sana. Sivia buru-buru mengalihkan pandangannya. Gadis oriental tersebut bergegas duduk di bangkunya dan menutup mulut rapat-rapat.
Alvin tersenyum tipis dan mengacak rambut Oik beberapa detik, “Aku ke kelas aku dulu, ya.. Ntar pas istirahat, aku jemput kamu ke sini. Kita ke kantin bareng. Oke?” Oik menganggukkan kepalanya dengan tersenyum manis sekali.
Sivia terus menundukkan kepalanya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gadis itu terus saja bertingkah aneh jika sedang berada di dekat Alvin dan Oik semenjak beberapa hari yang lalu. Sivia baru kembali mendongakkan kepalanya ketika Alvin sudah menghilang di ambang pintu kelas.
Berani taruhan, saat ini Sivia sedang sibuk sendiri dengan segala pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Dan pasti, itu menyangkut Oik dan Alvin. Untung saja Oik tak menghiraukan ekspresi sahabat dekatnya tersebut.
Rupanya Deva dan Ray sedang asyik mengobrol di belakang Oik dan Sivia. Entah mengapa, Oik sepertinya tahu apa yang mereka obrolkan. Oik terdiam dan berusaha mencuri-curi dengar soal pokok pembicaraan kedua temannya tersebut.
Tak lama kemudian, Cakka dan Ozy datang. Keduanya segera menuju bangku masing-masing. Bedanya, raut wajah Cakka terlihat riang. Sedangkan Ozy, sangat berbanding terbalik dengan Cakka. Ray dan Deva menatap keduanya serba salah.
“Cakk, dari mana aja lo? Tumben jam segini baru nyampek kelas?” tanya Ray dengan hati-hati.
Cakka melirik Ray sekilas. Terlihat Cakka menyunggingkan senyumnya, “Iya, nih, Ray! Tadi ngejemput Acha dulu di rumahnya. Mana si Acha ngaret lima menit. Abis itu, gue anter dia ke kelasnya. Gimana ga ngaret guenya?” celoteh Cakka.
Ozy tersenyum kecut mendengar celotehan Cakka. Ray dan Deva menatap Ozy miris. Deva menepuk pelan lengan sahabat barunya itu, “Be strong, man! Lo pasti bisa!”
^^^
Bel istirahat baru saja berbunyi. Alvin bergegas keluar dari kelasnya dan menuju kelas 9.5, begitu pula dengan Acha. Tapi keduanya memiliki tujuan berbeda. Alvin menjemput Oik, dan Acha menjemput Cakka. Keduanya berpapasan di ambang pintu kelas 9.5.
“Oik, kantin yuk?” ajak Alvin dari ambang pintu kelas.
Oik menoleh ke arahnya dan mengangguk riang. Ia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Alvin, “Eh, ga ada yang mau ke kantin lagi?” tanya Oik kepada Deva, Ray, Ozy, dan Sivia. Keempatnya pun mengangguk dan mengikuti langkah Alvin dan Oik.
Sementara itu, di kelas, Acha tetap menghampiri Cakka, “Hey, Cakka!” sapanya untuk yang kesekian kalinya.
Cakka mendongakkan kepalanya, “Eh, ada Acha.. Ke kantin, mau? Nyusulin yang lain sekalian” tawar Cakka. Acha menganggukkan kepalanya dan keduanya pun bergegas menyusul keenam temannya yang telah terlebih dahulu berangkat ke kantin.
“Eh, ngikut dong!” seru Acha dari kejauhan.
Keenamnya kontan menoleh ke arah Acha dan Cakka. Dilihatnya kedua makhluk tersebut sedang nyengir lebar. Tak ketinggalan pula, tangan kanan Cakka ‘bertengger’ di bahu Acha. Sontak Ozy dan Oik memalingkan wajah dengan malas.
Ray, Deva, dan Sivia hanya dapat menahan napas melihat keakraban Cakka dan Acha. Cakka dan Acha pun seolah tak perduli dengan adanya Ozy dan Oik. Cakka dan Acha bergegas menyusul keenamnya dan mengajak keenamnya ke kantin bersama.
Sesampainya di kantin, mereka langsung mendudukki kursi masing-masing dan memesan makanan. Seperti biasa, Ray dan Deva yang pergi memesan makanan ke salah satu stan kantin. Tak lama kemudian, mereka berdua kembali dengan cengiran lebar.
“Sip.. Ntar dianterin sama si mbaknya ke sini” celetuk Deva seraya mengangkat ibu jarinya.
Tiba-tiba saja, Acha bangkit dari duduknya, “Eh, temen-temen, gue ke toilet dulu, ya!” pamitnya.
Belum sempat ia membalikkan badan, Cakka sudah menahan lengannya, “Jangan lama-lama, ya, Cha!” pesannya, tentu saja dengan sebuah senyuman manis.
Acha hanya mengangguk. Ia langsung melenggang meninggalkan ketujuhnya di kantin. Oik dan Ozy kembali menghela napas dengan lesu. Dan sayangnya, Cakka tak menyadari hal itu. Sebaliknya, Alvin sangat menyadari hal itu.
^^^
Acha bergegas meninggalkan kantin dengan sesekali menoleh ke belakang, sekedar mengawasi kalau salah satu dari teman-temannya membuntutinya. Acha berbelok di koridor. Oh, tunggu! Itu bukan jalan menuju kantin!
Ia kembali berbelok menuju sebuah ruangan dengan plakat bertuliskan ‘Kelas 9.5’. Oh, kelas Cakka, Ray, Deva, Ozy, Sivia, dan Oik. Tepat ketika Acha memasukki kelas tersebut, kelas sedang sepi. Diam-diam ia menghela napas lega.
Acha cepat-cepat mengambil sesuatu dari saku roknya dan berhenti tepat di meja Cakka dan Ozy. Terlihat ia sedang menimbang-nimbang sesuatu.
“Aduh, bangkunya Cakka yang mana? Mana tas mereka berdua kembar, pula! Ah, bodo deh.. Gue taruh sini aja” gumamnya.
Acha meletakkan sebongkah kertas tersebut di kolong meja. Entah meja Cakka atau Ozy. Setelahnya, Acha bergegas keluar dari kelas tersebut dan kembali ke kantin agar teman-temannya tak curiga.
^^^
“Eh, kawan! Maaf, nih.. Gue balik ke kelas bentaran, ya! Dompet gue ketinggalan di tas. Oke? Don’t miss me, guys!” pamit seorang cowok dengan senyum malaikatnya.
Laki-laki tersebut pun bergegas meninggalkan keenam temannya dan berlari cepat menuju kelasnya. Bisa gawat kalau ia telat mengambil dompetnya. Bisa-bisa dompetnya keburu diambil oleh seseorang. Diambil? Ia memang meletakkan dompetnya begitu saja di atas meja, ia ingat betul.
Ia menghela napas lega ketika mendapati dompetnya masih ada di tempat semula. Tepat ketika ia mengambil dompetnya, pandangannya tak sengaja terantuk pada sebuah bongkahan kertas di dekat dompetnya. Tangannya terulur untuk mengambilnya dan membaca tulisan yang tertera di sana.
Gue tunggu di taman deket sekolah, ya, jam tujuh malem! Pake pakaian formal, jangan pake jeans sama T-shirt doang! ;)
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Ia hanya mengangkat bahunya dan melenggang kembali ke kantin. Pasti teman-temannya sudah menunggunya di sana.
^^^
Jarum jam sudah menunjuk angka dua belas dan tujuh. Acha sudah siap dengan gaunnya yang berwarna pink di taman dekat sekolah. Sudah ia siapkan sebuah meja serta dua buah kursi di sana. Tak ketinggalan, menu makan malam pun sudah tersedia di sana.
“Aduh, Cakka mana, sih? gue, kan, bilang kalau dia kudu dateng jam tujuh!” rutuknya.
Lima menit sudah ia menunggu. Akhirnya, ia memutuskan untuk menunggu ‘tamunya’ sambil duduk. Ia melihat sekeliling. Sepi sekali. Hanya ada ia di sana. Makanya ia memilih tempat ini untuk ‘acaranya’.
Dari kejauhan terdengar suara langkah seseorang. Sepertinya orang tersebut berjalan dengan cepat-cepat. Sebuah siluet laki-laki menghampiri Acha yang masih belum menyadari kehadirannya.
“Aduh, sorry banget gue ngaret. Tadi macet soalnya” ujar laki-laki itu. Ia segera duduk di bangku depan Acha sambil membenahi dasinya yang terlalu longgar.
Acha mendongakkan kepalanya dan mendapati yang datang adalah bukan tamunya, “Loh? Kok lo, sih, yang dateng?” pekiknya sambil membelalakkan mata lebar-lebar.
Laki-laki itu pun ikut mendongakkan kepalanya, “Lah? Elo, Cha? Gua kirain siapa yang naruh tuh kertas di atas bangku gue!” seru Ozy, tak kalah kencangnya dengan seruan Acha sebelumnya.
“Ozy, mah! Gua kira itu bangkunya si Cakka! Yah, gagal rencana gue!”
“Oh.. Ini acara khusus buat Cakka? Oke deh.. Gue balik aja” Ozy bangkit dari duduknya dan hendak meninggalkan Acha.
“Eh, jangan dong! Dari pada mubadzir makanannya, ayo deh dinner sama gue” cegah Acha.
Ozy membalikkan badannya dan tersenyum tipis. Ia segera kembali dan duduk di bangku depan Acha. Mereka berdua makan malam dalam diam. Setelah makanan habis, Ozy dan Acha mulai berbincang-bincang dengan akrab. Terlihat, sesekali, wajah Acha bersemu merah.
“Oh iya, Cha.. Lo itu pacaran, ya, sama Cakka?” tanya Ozy dengan hati-hati.
Tiba-tiba saja Acha tertawa lepas. Kontan saja Ozy heran melihatnya, “Cha, kok malah ketawa sih?” tanya Ozy lagi.
“Jadi gini loh, Zy...”
“Cakk, gue sayang sama lo. Lo mau jadi cowok gue?” kalimat tersebut muncul begitu saja dari mulut Acha.
Cakka terlihat menyunggingkan senyumnya, “Lo yakin? Yakin kalau lo beneran sayang sama gue?”
“Yakin, Cakk.. Kenapa? Lo ga percaya?”
“Ga. Coba deh lo pikir lagi..”
“Maksud lo?”
“Maksud gue.. Lo itu, kayaknya, cuman sekedar ngefans sama gue. Bukan sayang, ya! Menurut gue, lo cuman suka sama fisik gue. Tau, kan, kalau gue emang ganteng” ujar Cakka dengan santainya.
“Narsis lo!” cibir Acha, “Eh, tapi iya.. Lo emang ganteng” balas Acha dengan tersipu.
“Lo deg-degan ga kalau ada gue di deket lo?”
“Ga”
“Nah itu.. Berarti lo cuman suka-sukaan biasa sama gue”
“Oh.. Gitu, ya?” tanya Acha dengan tampang super polos.
“Iya, haha.. Lagipula, gue cuman nganggep lo adik kok. Lo mirip sama adik gue yang udah ga ada, sih”
“Yah, maaf loh, Cakk. Aduh, kok bisa mirip, ya?”
“Ya mana gue tau.. Ya udah ya, gue balik dulu. Bye!”
“Nah.. Gitu, Zy, ceritanya” Acha mengakhiri ceritanya dengan tersenyum manis.
“Oh.. Gitu” Ozy hanya manggut-manggut saja.
Setelahnya, heing beberapa saat. Ozy dan Acha sibuk dengan pikiran masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Keduanya masih betah berada di taman tersebut. Sampai akhirnya, Ozy kembali membuka pembicaraan.
“Eh Cha, sorry nih kalau frontal”
“Apanya?”
“Gue ngomongnya”
“Emang mau ngomong apa?”
“Hmm.. Itu.. Gue..Suka sama.. Lo.. Aduh, gimana, ya? Errr, ya gitu deh pokoknya”
Wajah Acha mendadak merah padam, “Ngomong apa tadi, Zy? Gue salah denger, ya?”
“Ga, Cha.. Aduh, gue jadi bingung sendiri”
“Bingung kenapa, Zy?”
“Ga tau, haha. Gue mendadak kacau”
“Sekacau-kacaunya elo, gue kayaknya juga sayang sama lo”
“Hah? Apa, Cha? Kayaknya, sekarang, gue yang salah denger”
“Ih, Ozy mah! Lo ga salah denger, kok!”
“Jadi?”
“Jadi apa?”
“Jadian?”
“Hm.. Ya gitu deh” wajah Acha kembali memerah.
Classmate (Part 18)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar