Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Kami, Di Jalur Gaza

Malam menjelang. Cakka kembali dari pantry rumahnya dan berjalan santai ke arah ruang keluarga. Tangan kanannya membawa segelas cokelat panas. Baru saja ia membuatnya sendiri. Kebetulan bundanya sedang tak enak badan, pembantunya pun sedang pulang kampung. Cakka duduk di sofa ruang keluarganya, masih dengan memegang erat-erat segelas cokelat panas buatannya. Pikirannya melayang. Bosan, sepi. Selalu ia rasakan. Jam segini pasti bundanya sedang istirahat. Kakak laki-lakinya pun masih bekerja. Kebetulan, bulan ini kakaknya sedang mengambil shift malam. Sedangkan ayahnya, belum pulang bekerja. Ayahnya adalah seorang kontraktor di salah satu Perseroan Terbatas yang bergerak dalam bidang pembangunan terkemuka di Jogja.

Cakka meraba-raba tempat di sampingnya. Ia segera mengacungkan benda berbentuk persegi panjang tersebut ke arah televisi di depannya. TV menyala. Dan tak sengaja sedang menampilkan sebuah berita. Berita tentang kerusuhan Mesir mengenai Mubaraak. Cakka mendengarkan berita tersebut dengan seksama. Rupanya keadaan di Mesir sedang panas-panasnya. LSM tempat Cakka bekerja juga sedang berencana akan berangkat ke sana membawa beberapa relawan. Acara berita selesai. Digantikan dengan sinetron-sinetron jaman sekarang yang tak bermutu. Cakka menyeruput sedikit cokelat panasnya dan mematikan televisi di depannya. Ia berjalan gontai ke arah kamarnya.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia lirik sekilas layar ponselnya. Cakka segera meletakkan segelas cokelat panasnya di dekat komputernya dan mengangkat panggilan tersebut yang ternyata berasal dari atasannya di LSM tempat ia bekerja.

“...Iya, Pak, ada apa menelpon malam-malam begini?...”

“...Oh, ke kantor sekarang?...”

“...Baik, Pak. Saya ke sana sekarang. Selamat malam...”

Tak menunggu lama, Cakka segera berganti pakaian. Ia hiraukan begitu saja cokelat panas buatannya. Setelah berganti pakaian, ia segera berlari ke arah kamar bundanya. Bundanya rupanya belum tertidur. Ia hampiri pelan-pelan wanita paruh baya tersebut.

“Bunda...” panggilnya. Wanita paruh baya tersebut menoleh ke arahnya seraya tersenyum lemah.

“Kenapa, Cakka?” sahutnya dengan lemah.

“Ga kok, Bunda. Cakka mau pamit aja. Barusan atasan Cakka di LSM telpon. Beliau minta Cakka buat ke kantor sekarang” jawabnya.

“Ya sudah, kamu ke sana saja. Sebentar lagi ayah kamu pasti datang” balas bunda.

“Ya udah, Cakka berangkat ya. Assalamu’alaikum...” pamitnya, tak lupa ia mencium punggung tangan sang bunda.

Setelah izin dengan bundanya, Cakka segera keluar dari kamar dan mengambil kunci motornya di ruang keluarga. Cakka langsung menuju garasi rumahnya. Di halaman rumah, Cakka berpapasan dengan ayahnya yang baru saja pulang bekerja. Beliau terlihat heran melihat Cakka mengeluarkan motornya malam-malam begini. Cakka memakai pakaian formal pula.

“Cakka, mau ke mana, nak?” tanya ayahnya sambil membenahi dasinya.

Cakka menoleh sekilas ke arah ayahnya, “Mau ke kantor, Yah. Tadi atasan Cakka nelpon, minta Cakka ke kantor sebentar” jawabnya. Tak lama, Cakka sudah melaju meninggalkan rumahnya. Ayahnya mengangkat bahu pasrah dan bergegas masuk ke dalam rumah.

^^^

Seorang wanita tua sedang memandang serius ke arah televisi di depannya. Dua orang remaja mendampinginya. Ketiganya masih memandang serius acara yang disiarkan stasiun televisi tersebut. Mengenai kerusuhan Mesir. Sang wanita tua terlihat sangat cemas, tak berbeda jauh dengan dua remaja di sampingnya.

“Aduh, Nduk, bagaimana ini kakak kalian? Dia masih kuliah di Mesir” keluhnya, tepat ketika siaran berita tersebut habis.

“Sudah toh Ma’e, Kak Oik pasti ndak apa-apa. Kita berdoa saja” hibur salah seorang remaja tersebut.

Wanita tua itu memandang sayu ke arah sebuah bingkai foto yang terpasang indah di tembok rumah tersebut. Seorang gadis dengan senyum manisnya terbingkai indah di foto tersebut. Wanita tua tersebut berjalan menghampirinya dan mengambil foto tersebut. Memeluknya beberapa saat. Rindunya pada gadis di foto tersebut sangat membuncah. Beberapa tetes air mata jatuh dari kedua bola matanya. Wanita tua itu pun masuk ke kamarnya. Tidur dengan foto tersebut di pelukannya.

“Kak Okta, Ma’e gimana ini? Kak Oik juga belum ngasih kabar. Tahu sendiri kan, kak, suasana di Mesir sedang seperti apa” lirih remaja yang satunya. Matanya memandang pilu ke arah pintu kamar wanita tua tadi.

Remaja satunya berdiri, mengusap sekilas puncak kepala remaja barusan, “Sudah, Ngel, Kak Oik pasti ndak apa-apa. Kita sholat aja, ya? Doa supaya Kak Oik tetap aman di sana” sarannya.

Angel dan Okta pun beranjak. Berwudlu di kamar mandi dan sholat bersama di mushola rumah mereka.

^^^

Langit Cairo masih berwarna biru. Sebuah flat yang tak jauh dari pinggiran Nil masih berdiri dengan kokohnya. Salah seorang penghuni flat yang berada di lantai 8 adalah Oik, mahasiswi Al-Azhar University yang berasal dari Indonesia. Ia tak tinggal sendirian di sana. Ia tinggal bersama dua orang mahasiswi asal Indonesia lainnya. Sivia dan Acha.

“Siv, Cha, gimana ini? Keadaan di luar masih kacau. Bagaimana bisa kita ke bandara dan pulang ke Indonesia?” Tanya Oik. Ia mengawasi keadaan di luar sana melalui jendela flatnya.

Acha masih mondar-mandir di depan Sivia, “Aku ga tahu, Ik! Aku mau pulang! Kasihan orang tuaku di Jakarta, mereka pasti khawatir” ujarnya gusar.

Sivia bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Oik. Dirinya ikut melihat keadaan di luar sana. Sivia berdecak, ”Mati deh kita! Gimana bisa ngasih kabar ke orang tua? Kalian tahu sendiri, kan, kalau sambungan telpon maupun internet sedang ada gangguan?” lirihnya.

Acha berjalan menghampiri kedua teman flatnya. Memeluk keduanya dari belakang dengan erat sekali. Masing-masing dari mereka berharap Kedutaan Besar Indonesia di Mesir akan segera menghubungi mereka dan mengevakuasi mereka ke tempat yang lebih aman. Atau, kalau mungkin, mereka ingin pulang ke Indonesia.

^^^

Cakka baru saja tiba di LSM tempat ia bekerja. Di parkiran ia bertemu dengan Alvin. Rupanya laki-laki oriental tersebut juga baru datang. Keduanya saling tersenyum ketika pandangannya beradu.

Cakka mematikan mesin motornya. Sambil melepas helmnya, ia berjalan dan mensejajarkan langkahnya dengan langkah Alvin. Keduanya ber-highfive ria. Tawa renyah terdengar dari mulut keduanya.

“Cakk, kira-kira ngapain, ya, si bos nyuruh kita malem-malem ke sini?” tanya Alvin, dirinya masih sibuk dengan kunci motor miliknya.

Cakka membenahi tatanan rambutnya ketika mereka berdua berjalan di depan Nova dan Angel, anggota LSM tersebut juga, “Ga tau nih, Vin. Tumben-tumbenan aja bos manggil kita jam segini” sahutnya.

Alvin menoyor kepala Cakka pelan. Cakka mengaduh. Nova dan Angel langsung panik. Cakka langsung berlari meninggalkan ketiganya. Takut kalau-kalau Nova dan Angel akan memberikan perhatian lebih kepadanya.

Alvin segera berlari menghampiri Cakka. Berusaha menghiraukan berbagai pertanyaan yang Nova dan Angel lontarkan mengenai Cakka. Cakka dan Alvin sendiri tahu bahwa kedua gadis manis tersebut menaruh rasa pada Cakka. Cakka enjoy saja. Sedangkan Alvin, berusaha membuat Angel dan Nova sedikit lebih ‘menyingkir’ dari teman karibnya itu.

Cakka berjalan sendirian di lorong LSM. Tiba-tiba Alvin mengagetkannya dari belakang! Cakka terlonjak kaget, “Sialan kamu, Vin!” hardiknya.

Alvin kembali tertawa. Mereka berdua berjalan memasukki ruang rapat LSM bersamaan. Alvin membuka pintunya. Terlihat seluruh anggota LSM sedang berkumpul. Eh, tunggu. Hanya anggota laki-laki saja yang berkumpul. Tak ada seorang pun anggota LSM perempuan di sana. Cakka dan Alvin menelan ludah. Sudah mengerti apa yang akan rapat kali ini bicarakan.

“Silahkan duduk, Cakka, Alvin” ujar sang bos, pemimpin LSM yang berwibawa. Gabriel namanya. Gabriel duduk di kursi paling depan, memimpin.

Cakka dan Alvin kemudian duduk di sebelah Ozy. Dua kursi tersisa di sana. Gabriel memulai rapat ketika Cakka dan Alvin sudah duduk manis di kursinya.

“Baiklah.. Kalian semua pasti sudah mengerti, kan, kenapa saya panggil malam-malam begini?” tanya Gabriel.

Seluruh anggota LSM, kecuali Cakka dan Alvin, mengangguk mantap. Alvin segera mengangkat tangannya, “Maaf, Pak, saya belum mengerti mengapa Anda memanggil saya ke sini”

Gabriel tersenyum penuh wibawa, “Oh, maaf. Saya memanggil Anda ke sini untuk menghadiri rapat LSM kita. Kita akan mengirim beberapa relawan ke Mesir. Cairo lebih tepatnya”

Setelah berlangsung sekitar satu jam, rapat selesai. Cakka dan Alvin mampir sebentar ke sebuah coffe shop yang tetap buka malam-malam begini. Keduanya memarkirkan motor dan beriringan masuk ke dalam coffe shop. Coffe shop masih ramai. Sebagian besar pengunjungnya memang remaj-remaja yang sedang bercengkrama bersama teman-temannya.

Alvin berjalan menuju meja pesanan. Sedangkan Cakka, langsung mencari tempat duduk. Ia lebih memilih tempat di pojokan coffe shop. Yang hanya dipisahkan sebuah kaca bening dengan lingkungan luar. Cakka dan duduk seraya menatap Alvin lekat.

Alvin berjalan kembali dari meja pesanan dengan dua buah kopi panas di tangannya, “Nih, Cakk” ujarnya. Mengangsurkan salah satunya kepada Cakka. Cakka menerimanya dengan senang hati.

“Jadi, gimana, Vin? Kamu jadi, kan, ikut ke Mesir?” tanya Cakka, menyeruput sedikit kopi panasnya.

“Iyalah, Cakk! Bos sendiri yang minta. Gila aja aku nolak permintaan bos!” serunya. Bibirnya tertarik ke kanan dan ke kiri, terlukis sebuah senyuman manis di sana.

“Iya deh. Kalau begitu, aku juga bakal ikut ke Mesir. Tapi mesti minta izin ayah sama bunda dulu. Takutnya ga boleh”

“Aku juga bakalan minta izin sama oma kok. Tenang aja. Pasti boleh” Alvin menepuk-nepuk bahu Cakka pelan.

^^^

Keadaan di Cairo makin kacau saja. Para aktifis anti-Mubaraak masih saja berdemo di jalanan. Distrik-distrik di Kairo mulai penuh sesak dengan para anti-Mubaraak dan pro-Mubaraak. Mereka saling melempar batu satu sama lain. Oik memperhatikannya dari balik jendela flat.

Sudah tiga hari berlalu sejak awal bentrok anti-Mubaraak dan pro-Mubaraak. Oik, Sivia, dan Acha pun semakin cemas. Tak ada seorangpun anggota Kedutaan Besar Indonesia di Mesir yang dating ke flat mereka maupun menghubungi mereka.

“Ik, Siv, kita harus gimana? Keadaan di luar sana makin kacau” ucap Acha dengan cerat hati. Selama ini memang dia yang paling tabah.

Oik dan Sivia berpandangan sesaat, “Tenang aja. Kedutaan Besar Indonesia ga akan ngebiarin kita ga aman kok. Beberapa hari lagi pasti mereka mengevakuasi kita” nasihat Sivia dengan bijaknya.

“Ya udah, kalian berdua tidur aja. Ganti aku yang jaga” saran Oik.

Sivia dan Acha beranjak ke kamar masing-masing. Sedangkan Oik, tetap duduk di sofa. Mengamati keadaan di luar sana. Matanya menerawang. Ia teringat kedua adiknya dan neneknya di Indonesia. Cepat-cepat ia hapus butiran air mata yang mulai berjatuhan dari kedua bola mata beningnya.

^^^

Mentari baru saja menampakkan dirinya. Cakka segera bangun dan berjalan lemas keluar kamar. Di ruang keluarga ia bertemu dengan ayah dan bundanya. Hari Minggu. Pantas saja ayahnya tidak berangkat bekerja. Kakak laki-lakinya pun ada di sana. Sedang berbincang hangat dengan ayah dan bunda.

Cakka berjalan menghampiri mereka bertiga dengan wajah yang masih kusut. Ia duduk di sebelah bundanya.

“Cakka, baru bangun ya?” tanya bundanya dengan sebuah senyum di bibir. Cakka mengangguk malas.

Tiba-tiba saja Cakka ingat akan permintaan bos-nya dalam rapat semalam. Ia ingin sekali membicarakan soal ini sekarang. Tapi ia takut kalau-kalau kedua orang tuanya tak memberinya izin untuk berangkat. Masalahnya, ia akan berangkat besok bersama beberapa teman-temannya.

“Ayah, bunda, Cakka mau ngomong” lirihnya.

Dalam sekejap, kedua orang tuanya beserta kakak laki-lakinya memandang dirinya lekat-lekat dengan wajah bingung. Tak biasanya Cakka meminta izin dulu jika ingin membicarakan sesuatu.

“Jadi gini ayah, bunda, Mas Elang.. Atasan Cakka di LSM minta Cakka buat ke Mesir. Mengevakuasi para mahasiswa Indonesia di sana” jelasnya.

Ayah, bunda, dan kakaknya terlihat shock. Cakka sudah menduganya. Cakka pun sudah bersiap-siap untuk mendengar penolakan dari kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya berpandangan sesaat. Sampai akhirnya, keduanya mengangguk.

“Makasih. Cakka berangkat ke sana besok pagi” ujarnya riang.

^^^

Rombongan LSM baru saja tiba di Mesir. Cairo lebih tepatnya. Mereka tiba ketika hari sudah mulai malam. Mereka berdelapan segera mencari kendaraan umum dan melaju menuju flat. Keesokan harinya barulah mereka akan membantu Kedutaan Besar Indonesia di sini untuk mengevakuasi warga Indonesia yang berada di sini.

Kendaraan umu tersebut berhenti di pelataran sebuah flat kokoh di pinggiran Nil. Untuk semalam mereka akan menginap di sini. Cakka pun membayar ongkosnya dan berjalan masuk ke dalam flat, diikuti yang lainnya.

Cakka menemui sang penjaga flat dan berbicara sebentar dengan beliau. Tak lama kemudian, Cakka berjalan menghampiri Alvin, Gabriel, Ozy, Ray, Deva, Rio, dan Obiet di lobby flat.

“Ayo ke flat. Waktunya istirahat. Besok baru kita akan membantu mereka” ajaknya.

Mereka semua mengangguk lemas dan menggeret koper masing-masing, mengekor ke mana Cakka berjalan. Mereka menaikki lift. Cakka menekan tombol bertuliskan angka delapan. Ya, mereka menginap di lantai delapan. Hanya flat tersebut yang tersisa.

Lift berhenti dan pintunya terbuka. Mereka berdelapan segera keluar. Hanya ada dua flat di sana. Flat yang satunya pun sudah terisi. Cakka membuka pintu flat mereka. Ada empat kamar. Sekamar untuk dua orang.

“Di sini ada empat kamar. Jadinya tidurnya berdua. Aku dan Alvin di kamar pertama, Ray dan Deva di kamar kedua, Gabriel dan Rio di kamar ketiga, Obiet dan Ozy di kamar keempat” jelasnya.

Seluruh teman-temannya pun segera memasukki kamar masing-masing. Tapi tidak dengan Cakka. Sepanjang perjalanan tadi ia sudah tertidur. Jadinya sekarang ia tak mengantuk sama sekali. Ia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar flat.

Bruk! Cakka tak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis yang baru saja keluar dari flat seberang flatnya. Keduanya terjatuh ke lantai.

“Oh, I’m sorry” kata Cakka. Ia tak begitu mahir dalam Bahasa Arab.

“Yeah, no problem” ujar gadis tersebut dengan sunggingan senyum tipis di bibirnya. Cakka terpana sesaat.

“Okay. I’m sorry” ujar Cakka lagi.

“No problem, boy. I’m fine”

“Hmm.. Where will you go? It’s nine o’clock, right?”

“Yeah.. Just feel bored in my room. Wanna go out, how about you?”

“Same with me.. Wanna go out with me?”

“Sure. But, I just wanna go to the balcon. There’s a bif sofa. We can sit on it”

“Okay.. ”

Keduanya berjalan beriringan menuju balkon. Cakka merasa sudah akrab dengan gadis tersebut. Cakka teringat sesuatu. Ia belum berkenalan dengan gadis tadi! Ia menepuk jidatnya sendiri.

“Hey hey, why are you?” tanya gadis tersebut.

Mereka pun duduk di sofa. Pemandangan yang indah. Malam-malam begini dengan lampu-lampu berkelip di sepanjang Sungai Nil. Cakka berdecak kagum.

“Oh, huh? I’m fine”

“Hey, I don’t know your name. Who are you?”

“I’m Cakka, and you?”

“Oik”

“Egyptian?”

“No, no. I’m Indonesian. I school at Al-Azhar”

“Oh! Aku juga orang Indonesia”

“Haha.. Ga nyangka ya aku ketemu orang Indonesia di sini. Oh ya, kalau boleh tahu, sedang apa kamu di sini?”

“Aku dari salah satu LSM di Jogja. Membantu Kedutaan Besar Indonesia di sini untuk mengevakuasi. Sepertinya aku juga akan mengevakuasi kamu” canda Cakka.

“Ya, aku dan kedua temanku sangat tak tenang berada di sini. Setiap beberapa menit pasti terdengar bunyi senapan. Oh, sangat membuat cemas” ujar Oik.

Keduanya pun mengobrol dengan hangat hingga tengah malam.

^^^

Pagi-pagi sekali Cakka sudah terjaga dari tidurnya. Ia menyadari sesuatu. Keadaan di luar sana semakin kacau! Segera saja ia bangunkan seluruh tamannya. Kebetulan juga, kendaraan untuk mengevakuasi sudah dikirim oleh Kedutaan Besar Indonesia.

Sementara teman-temannya sedang bersiap-siap, Cakka keluar dari dari flatnya.

“Cakka, mau ke mana kamu?” teriak Ray dari dalam dlat, tak Cakka hiraukan teriakan Ray barusan.

Cakka segera mengetuk pintu flat di seberang flatnya dengan cemas. Pintu terbuka. Terlihat seorang gadis mungil nan manis dengan baju tidurnya. Ia menguap lebar-lebar di depan Cakka.

“Oik, cepat bangunkan teman-temanmu! Keadaan di luar semakin kacau! Kita pergi dari sini sekarang juga!” suruh Cakka.

Mata Oik terbuka lebar. Gadis itu segera masuk ke dalam flatnya dan membangunkan kedua temannya. Cakka juga kembali ke dalam flatnya, membantu teman-temannya yang lain beres-beres.

Tak sampai lima belas menit, mereka sudah berkumpul di lobby flat. Untung saja kendaraan yang dikirim oleh Kedutaan Besar Indonesia sangat besar. Mereka semua segera masuk ke dalam kendaraan tersebut. Gabriel yang menyetir.

Ternyata bnar, keadaan memang semaking kacau. Korban-korban bergeletakkan di jalanan. Oik, yang duduk di sebelah Cakka, tak tega melihatnya. Sudah menjadi kebiasannya untuk menggenggam tangan orang di sampingnya ketika perasaannya tak tenang.

Wajah mereka memerah sesaat, “Maaf” gumam Oik. Cakka tersenyum simpul.

“Kita juga harus mengevakuasi warga Indonesia yang sekarang ada di sekitaran Jalur Gaza. Kita mampir ke sana sekarang” seru Gabriel.

Mereka sampai di sekitaran Jalur Gaza tak lama kemudian. Mereka semua turun, kecuali Acha dan Sivia. Keduanya terlampau takut untuk hanya sekedar membantu mengevakuasi.

Tak diduga, kendaraan penuh! Dua orang harus tinggal di sini untuk sementara.

“Biar aku aja yang nunggu di sini” ujar Cakka dan Oik berbarengan.

“Oke, kalian beneran ga apa-apa?” tanya Ozy, keduanya mengangguk mantap.

“Ya udah. Gabriel, ayo cepat!” teriak Obiet.

“Kita berangkat ya” pamit Rio.

“Cakk, kita bakalan balik lagi kok” timpal Alvin.

Cakka dan Oik terduduk di dekat sebuah bangunan yang hampir roboh. Keduanya duduk dengan menyandar pada dinding bangunan yang tampak rapuh. Mereka beristirahat sejenak. Sekedar membunuh waktu untuk menunggu seluruh temannya kembali kemari dan menjemput mereka.

Benar-benar tak diduga! Para pro-Mubaraak dan anti-Mubaraak berlarian di depan mereka! Beberapa dari mereka ternyata membawa senapan. Cakka dan Oik tersentak kaget.

Cakka segera menarik Oik agar lebih dekat dengannya. Oik sudah menangis ketakutan. Bunyi-bunyi senapan sudah terdengar di telinganya. Cakka pun semakin merapat pada Oik. Ia tarik gadis mungil tersebut ke dalam pelukannya.

“Tenang aja, kita berdua. Kamu ga sendiri” hibur Cakka.

Oik tersenyum lemah.

Tak lama, bunyi-bunyi senapan terdengar semakin mendekat! Cakka menangkap bayangan seseorang sedang mengarahkan meriam ke arah bangunan yang sedang ia dan Oik tempati.

Cakka memejamkan matanya, semakin ia eratkan pelukannya pada Oik.

“Kenapa, Cakka?” tanya Oik.

“Ada yang mengarahkan meriam ke bangunan ini” katanya.

BOAM! Meriam meletus. Bangunan tersebut ambruk. Cakka dan Oik tertimpa reruntuhannya. Jiwa mereka melayang menjauh dari raganya. Seulas senyum terukir dari keduanya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar