Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

He Is My Destiny (4 of 4)


“Via, jaga diri baik-baik ya di Amerika. Jangan lupain gue ya.. Kalo bisa gue bakalan ke sana kok, jengukin lo. Doain aja biar gue bisa ke sana.. Kalo udah nyampek sana langsung telpon gue ya, jangan lupa!” celoteh Oik. Sekarang, Oik, Cakka, serta om dan tante Sivia sedang mengantarnya ke bandara. Via memutuskan untuk mengikuti papa dan mamanya ke sana. Dia juga akan berkuliah di sana. Papa dan mamanya sudah mendaftarkannya di University of California, Berkeley.

Panggilan kepada penumpang pesawat Northwest Air tujuan Amerika Serikat sudah bergaung sejak beberapa menit yang lalu. Sivia, yang notabenenya adalah penumpang pesawat tersebut, segera berpamitan kepada om, tante, Oik, dan Cakka. Beberapa detik ia berpelukan dengan om dan tantenya. Setelah itu, ia menarik kopernya dan menghilang dibalik kerumunan penumpang pesawat lainnya. Om dan tante Via sudah pulang semenjak Via membalikkan badannya tadi. Cakka dan Oik pun, langsung pulang begitu badan Sivia sudah tertutup oleh badan penumpang lain.

Baru saja Cakka dan Oik akan menaikki mobil Cakka, terdengar seruan dari belakang mereka, memanggil keduanya. Cakka dan Oik menyipitkan mata agar dapat melihat dengan jelas siapa yang telah memanggil mereka. Seorang laki-laki dengan T-Shirt merah dan jeans panjang menghampiri mereka berdua dengan tergesa-gesa, Rio. Sejenak, Rio sibuk dengan napasnya yang masih putus-putus. Cakka dan Oik memandangnya tanpa ekspresi, “Mau ngapain lo?” tanya Cakka, tetap memandangnya tanpa ekspresi.

“Sivia udah take off?” tanya Rio tanpa menjawab pertanyaan Cakka.

Dahi Oik berkerut heran, ngapain nih anak nyariin Via? Batinnya. Tanpa memperdulikan pertanyaan Rio, Oik segera naik ke mobil Cakka. Baru saja Cakka akan menjawab pertanyaan Rio, Oik sudah berteriak kepadanya dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Cakka dan Oik melesat meninggalkan bandara dan Rio yang masih melongo. Dengan kesal, Rio menendang sebuah kerikil, yang kebetulan berada tepat di sebelah kakinya. Pletak! Entah hari ini adalah hari sial Rio atau apa, tendangan kerikil tadi mengenai kaca mobil seseorang. Dengan cepat, Rio berlari menuju tempat motornya diparkir dan melesat meninggalkan bandara.

^^^

Palang besar bertuliskan San Diego International Airport menyambut kedatangan Sivia siang itu. Sivia berlalu sambil menarik kopernya dengan tangan kanan. Dia celingukan ke mana-mana, mencari papa dan mamanya yang katanya, menjemputnya siang ini. Tak ia temukan juga kedua sosok itu, ia berjalan menuju salah satu gerai yang menjual minuman kaleng. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang dan mengangsurkannya pada sang penjual. Ia meminumnya sambil terus berjalan, mencari papa dan mamanya.

Kali ini, pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang bertanya kepada pengunjung lain sambil menunjukkan fotonya. Wajahnya berubah ceria ketika melihat dua sosok itu. Tak menunggu lama, ia langsung berlari ke arah dua sosok itu dan berdiri di hadapan keduanya. Kedua sosok itu, mengalihkan pandangannya menuju Sivia. Mereka mengucapkan terima kasih kepada orang tersebut dan beralih ke Sivia. Sivia menghambur dalam pelukan mereka berdua, “Sivia kangen kalian, mama, papa” bisiknya dalam pelukan mereka, mama dan papanya.

Untuk beberapa menit, mereka bertiga tetap pada posisi seperti ini, berpelukan di tengah-tengah orang yang berlalu-lalang di San Diego International Airport. Setelah itu, mama dan papa Sivia saling lirik, seolah ingin mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat Sivia kecewa. Sivia sendiri, masih sibuk dengan segala barang bawaannya. Tangan kananannya sedang membuka kopernya, sekadar memeriksa keutuhan barang-barangnya. Dan tangan kirinya, sibuk memegangi tas kecil tempat ia menyimpan parfum, ponsel, kaca mata, dan dompetnya.

Setelah mengalami ‘saling pelototan dan saling senggol-menyenggol’ yang cukup lama, akhirnya mama Sivia yang akan berbicara kepada putri semata wayangnya itu. Ia mengusap rambut Sivia pelan dan memposisikan dirinya tepat di depan Sivia. Dahi Sivia berkerut heran. Baru saja Sivia akan membuka mulutnya, mamanya sudah menyelanya terlebih dahulu, “Sayang, papa sama mama mau ngomong. Tapi Sivia jangan marah ya” katanya. Dahi Sivia makin berkerut. Sivia hanya bisa mengangguk penasaran.

Mamanya menghela napas sebentar kemudian kembali melirik papa Sivia yang berdiri di sebelah kanannya. Papa Sivia hanya menganggukkan kepalanya pasrah, “Jadi gini Sivia, kamu ga bisa tinggal sama mama dan papa. Kita berdua udah nyewain satu flat buat kamu. Flatnya ga jauh dari kampus kamu, University of California, Berkeley. Di deket flat kamu juga fasilitasnya lengkap kok. Ada taman, minimarket, traditional market, halte bus, dan yang lainnya. Ga papa kan, sayang?” tanya mamanya. Mama dan papanya sendiri, sedang harap-harap cemas. Takut kalau sampai dirinya tak mau tinggal sendiri di California.

Sivia tergelak. Ia pikir, mama dan papanya akan membicarakan hal yang sangat serius. Nyatanya? Mereka hanya membicarakan tentang tempat tinggal Sivia yang baru. Tidak serumah dengan mereka berdua, tentunya. Sebenarnya, Sivia ingin sekali bisa serumah dengan kedua orang tuanya. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua pun telah menyewakannya sebuah flat yang strategis letaknya. Pasti harga sewanya pun tak murah, “Haha.. Ga papa lagi, ma, pa. Biarpun ga serumah sama kalian kan Sivia masih bisa main ke rumah majikannya mama sama papa” katanya, diselingi dengan tawa renyahnya.

Mama dan papanya tersenyum lega. Mereka kira, Sivia akan ngambek dan memaksa satu rumah dengan mereka. Untungnya tidak. Mereka sadar, Sivia sudah tak seegois dulu. Sivia sudah tidak seegois ketika mereka tinggal ke Amerika enam tahun silam. Kemudian, mengobrol soal kuliah Sivia di sini. Tentunya, besok Sivia sudah mulai bisa masuk kuliah. Dan untungnya, kampusnya hanya berjarak beberapa ratus meter dari flatnya. Sivia dan mamanya berjalan mendahului papanya. Papanya hanya mengekor mereka berdua sambil menggeret koper milik Sivia.

Setelah selesai mengobrol soal Sivia dan berbagai kebutuhannya di California ini, mereka bertiga berjalan menuju parkiran mobil. Papa Sivia duduk di belakang kemudi. Sedangkan Sivia dan mamanya duduk di bangku belakang. Sebenarnya Sivia mengotot agar mamanya duduk di samping papanya, tapi mamanya tetap saja ingin duduk di sebelahnya. Kasian papa.. Ntar dikirain sopir lagi, kata Sivia. Di tengah perjalanan, mereka terus saja mengobrol dan bergurau sampai tak terasa, mereka sampai di flat milik Sivia.

Mereka bertiga turun dari mobil secara bersamaan. Sivia dan mamanya buru-buru menghampiri pemilik flat yang kebetulan sedang menyirami tanamannya di pekarangan depan flatnya. Beberapa menit mereka terlihat mengobrol. Sampai akhirnya, papa Sivia datang sambil membawa koper milik Sivia. Mereka bertiga berpamitan kepada pemilik flat tersebut dan langsung naik ke lantai tiga, flat Sivia. Mereka memasukki flat baru Sivia. Kamar Sivia tepat menghadap ke arah taman di seberang flatnya. Satu sisi positif kamarnya telah Sivia temukan. Gue pasti betah di sini, batinnya.

Setelah selesai membantunya membereskan flat, mama dan papanya pamit pulang. Mereka hanya izin ke majikannya kalau mereka akan pergi sebentar. Kalau dihitung, mereka sudah bersama Sivia selama dua jam. Hanya berharap kalau majikannya tidak akan marah dan memaklumi keadaan. Setelah mama dan papanya pulang, Sivia menyibakkan gorden jendelanya. Ukuran jendelanya lumayan besar. Ia mengambil kursi riasnya dan menempatkannya di dekat jendela, lalu ia duduk di sana.

Kedua mata Sivia menjelajahi setiap aktivitas yang terjadi di luar sana. Mulai dari aktivitas para pejalan kaki, para pengendara motor, sampai para pengunjung taman seberang flatnya. Matanya terantuk pada dua orang yang sedang berada di taman. Seorang perempuan yang duduk di bangku taman dan seorang laki-laki yang duduk di kursi roda tak jauh dari perempuan tersebut. Sivia merasa familiar dengan mereka. Ia berusaha mengingatnya, namun nihil. Ia tak kunjung mengingat mereka berdua.

Seakan teringat sesuatu, ia segera melonjak dan terburu-buru mengambil ponselnya di tas. Sangking terburu-burunya, seluruh barang dalam tasnya tercecer di lantai, termasuk sebuah foto. Sivia mengambilnya perlahan. Ia membalikkan foto tersebut. Dan ternyata, itu fotonya bersama Alvin. Memori antara dia dan Alvin kembali terputar di benaknya. Termasuk saat Alvin kecelakaan setelah membelikannya sebuket mawar merah. Ia merasa sangat bersalah atas kejadian itu. Terlebih lagi, setelah kejadian itu, Alvin sudah tak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Kakaknya pun begitu.

***ONTHEPHONE:SIVIA-OIK***

S          : “Hay, Ik!”

O         : “Hay juga. Udah nyampek?”

S          : “Udah dari tadi, tapi baru sempet nelpon sekarang”

O         : “Oh, gimana? Nyokap sama bokap lo?”

S          : “Ya gitu deh. Mereka sehat-sehat aja kok”

O         : “Terus? Lo serumah sama mereka berdua?”

S          : “Ga dong! Gila aja! Gue nyewa flat.. ”

O         : “Sendirian? Ga takut lo? California woy!”

S          : “Takut apaan? Hantu? Kuno banget!”

O         : “Ape kate lu deh.. ”

S          : “Eh Ik, itu siapa sih? Kok berisik banget?”

O         : “Berisik? Siapa lagi kalo bukan Cakka?”

S          : “Haha.. Masih idup aje die ye”

O         : “Cowok gua itu, Via. Lo malah ngedoain kayak gitu”

S          : “Ye sorry, die resek banget sih ama gue”

O         : “Vi, gue mau ngomong. Jangan ketawa ya tapi!”

S          : “Iye iye, mau ngomong apa sih lo?”

O         : “Bonyok gue sama bonyoknya Cakka nyuruh kita buat.. ”

S          : “Buat ape? Mampus bareng?”

O         : “Ngaco lo! Gue serius nih!”

S          : “Iye iye. Gue juga serius deh”

O         : “Nyuruh kita married”

S          : “Hah?! Sumpah?!”

O         : “Sumpah! Udahan ya.. Bonyoknya Cakka udah dateng”

S          : “Yah, gue ditinggalin”

O         : “Ada calon mertua, bego! Bye!”

S          : “Bye!”

***ONTHEPHONE:END***

Sebel? Banget! Sivia jadi uring-uringan sendiri gara-gara Oik memutus sambungan sepihak. Padahal, dia masih ingin banyak bercerita kepada Oik tentang California. Dan tentang.. Dua sosok yang menarik perhatiannya sore ini di taman seberang flat. Karena memang dia lelah, Sivia tertidur. Ia tertidur di kursinya dengan masih tetap menghadap jendela. Gorden jendela pun belum sempat ia tutup karena ia sudah masuk dalam alam mimpinya. Sekilas, laki-laki di kursi roda itu melihat ke arah kamar Sivia. Ia tersenyum ketika mendapati Sivia tertidur di kursinya sambil melihat ke arah jendela.

^^^

Jam menunjukkan pukul empat dini hari ketika Sivia terbangun dari tidurnya. Dia sendiri bingung dengan keadaannya. Bisa-bisanya dia tertidur di kursi dan masih mengenakan pakaian lengkap? Biasanya, ia tidur dengan mengenakan gaun tidurnya. Gorden jendelanya pun masih terbuka lebar-lebar. Ia melirik sekilas ke arahnya. Laki-laki yang kemarin ia lihat, sedang berada di sana. Duduk di bangku tamansambil menatap kosong ke arah jalanan California yang sepi. Anehnya, ia tak menggunakan kursi roda.

Tak menunggu lama, Sivia langsung mengambil mantel coklatnya dan berjalan keluar flatnya, menuju ke taman seberang flatnya. Laki-laki itu memunggunginya. Sivia segera berjalan dan duduk di sebelahnya. Laki-laki itu menoleh padanya. Dan untuk kali ini, Sivia bisa lebih melihat wajahnya. Mirip dengan.. Alvin! Sivia pun sempat kaget. Tapi ia buru-buru menyembunyikan rasa kagetnya. Mana mungkin Kak Alvin di sini, gerutunya. Sivia lalu mengulurkan tangan kanannnya pada laki-laki itu, “I’m Sivia, and you?” tanyanya.

“Alvin. Are you Indonesian?” tanya Alvin balik.

Sivia benar-benar tak habis pikir. Kenapa bisa ada dua orang di dunia ini yang mirip wajahnya? Namanya pun sama! Alvin! Tapi ia sendiri tak ingin banyak berharap. Siapa tau, Alvin yang ada di sebelahnya sekarang adalah Alvin yang berbeda dengan Alvin dimasa lalunya, “Yes. How about you? Indonesian, right?”

Alvin menganggukkan kepalanya. Sivia makin terbelalak saja. Memiliki wajah yang mirip, nama yang mirip, dan sama-sama orang Indonesia! Mungkinkah kalau Alvin yang ada di sebelahnya ini adalah Alvin Jonathan Sindunata? Sivia segera menghilangkan semua pikiran itu dari otaknya. Akhirnya, Sivia dan Alvin mengobrol lama di sana. Mulai dari pukul empat dini hari sampai pukul enam pagi. Jalanan California pun sudah mulai ramai.

Tampak dari taman, seorang perempuan yang biasa Sivia lihat bersama Alvin sedang membuka gorden kamarnya, cepat-cepat mengambil mantel, dan berjalan keluar flat. Dengan mata berkilat-kilat, sosok perempuan itu menghampiri Alvin dan Sivia yang masih asyik mengobrol di taman. Ia segera menarik lengan Alvin dengan paksa. Alvin kaget. Sosok perempuan itu langsung saja membawa Alvin kembali ke flat mereka. Cewek itu siapanya Alvin sih? Batin Sivia.

Sivia pun segera kembali ke flatnya ketika ia mendapati jam tangannya menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Mampus! Gue kan kuliah jam delapan, gerutunya. Dengan cepat, ia memasukki kamar mandi dalam flatnya. Lima menit kemudian, ia telah keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan pakaian lengkap. Ia segera mengambil tas kuliahnya dan keluar dari flatnya. Kebetulan, flatnya tak jauh dari halte bus. Syukurlah. Ketika Sivia sampai di halte tersebut pun, sudah ada bus yang berhenti di sana. Bus jurusan University of California, Berkeley.

Semua bangku di bus sudah penuh. Hanya satu yang tersisa. Sivia menuju ke sana. Bangku di sebelah seorang perempuan berambut pendek yang sedang membaca sebuah buku. Sivia duduk di sebelahnya. Sejenak, perempuan itu menoleh ke arah Sivia. Wajahnya sekilas mirip dengan orang Indonesia kebanyakan, “Hay, Indonesian, right?” tanya Sivia.

Perempuan itu mengangguk sambil memamerkan senyum manisnya. Buku yang tadi ia baca segera ia tutup dan ia masukan dalam tas ranselnya. Ia menyodorkan tangannya pada Sivia, “Gu Agni, lo?” tanyanya. Sivia membalas jabat tangan Agni dan mengatakan namanya. Mereka berdua terus mengobrol sampai akhirnya mereka sampai di University of California, Berkeley. Dan kebetulan, Agni juga berkuliah di sana. Pertama, Agni mengantarkan Sivia ke Ruang Administrasi dan menemui petugas di sana. Ternyata, Sivia juga sekelas dengan Agni. Mata kuliah yang mereka ambil pun, sama.

Karena jam masuk masih lama, mereka berdua berjalan-jalan keliling kampus terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Agni mengenalkan lingkungan kampus kepada Sivia. Sivia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja, srmentara Agni menjelaskan setiap tempat yang mereka lewati. Agni juga bilang bahwa mahasiswa dari Indonesia yang berkuliah di sana pun juga lumayan banyak. Sayangnya, mereka tak sejurusan dengan Agni dan Sivia. Kebanyakan dari mereka mengambil jurusan seni. Sedangkan Agni dan Sivia, mengambil jurusan kedokteran.

^^^

Bel pertanda jam kuliah selesai, baru saja berbunyi. Seluruh mahasiswa segera membereskan barangnya dan keluar dari kelas. Agni dan Sivia juga keluar dari kelas. Mereka berencana akan pulang bersama karena flat Agni hanya berjarak dua rumah di sebelah kanan flat Sivia. Mereka berdua pulang dengan menggunakan bus, sama seperti ketika mereka berangkat tadi pagi. California siang ini pun tak seberapa panas karena sekarang sedang musim dingin. Tadi malam pun, sempat turun salju di sini. Sivia yang notabene baru pertama kali melihat salju, langsung berbinar-binar.

Mereka berdua sampai di flat Sivia ketika jam menunjukkan pukul dua belas siang. Kebetulan, Sivia masih menyimpan beberapa makanan kaleng di kulkasnya. Langsung saja ia mengambil dua makanan kalengnya. Satu untuknya dan satu untuk Agni. Agni mengucapkan terima kasih. Mereka berdua makan dalam diam. Sivia duduk menghadap jendela dan Agni duduk di kasurnya. Sivia kembali tersenyum ketika melihat ada Alvin dan sesosok perempuan itu di sana.

Agni yang bingung mengapa Sivia senyum-senyum sendiri pun ikut melongok ke arah jendela. Agni manggut-manggut dan kembali duduk di kasur Sivia, “Lo ngeliatin mereka berdua ya? Yang cowok namanya Kak Alvin dan yang cewek namanya Kak Raissa. Kak Alvin itu satu tahun di atas kita dan Kak Raissa empat tahun di atas kita. Mereka kakak-adik, jangan salah sangka ya, mereka emang akrab banget-bangetan gitu kok. Jadi, kalo lo mau ngegebet Kak Alvin ya Kak Raissa ga bakalan marah kok” celoteh Agni.

Sivia baru tau kalau ternyata mereka berdua adalah kakak-adik. Pertamanya, ia mengira kalau Alvin dan perempuan itu adalah sepasang suami-istri yang juga tinggal di flat yang sama dengan dirinya. Tapi ternyata, mereka hanya sebatas kakak-adik. Sebagian diri Sivia bersorak senang ketika mengetahui mereka hanya kakak-adik. Ia kembali tersenyum. Setelah selesai makan, Agni langsung pulang ke flatnya. Mereka mendapat banyak sekali tugas hari ini dan harus dikumpulkan besok. Jadi, semalaman ini, mereka berdua mungkin akan tidak tidur untuk mengerjakannya.

^^^

Tak terasa sudah sekitar tiga tahun ini Sivia terus memandangi Alvin dan Raissa dari jendela kamarnya. Dan sore ini, sepulang kuliah, ia kembali duduk di kursinya. Matanya ia edarkan ke seluruh penjuru taman untuk mencari dua sosok itu, Alvin dan Raissa. Sayangnya, Sivia tak menemukan mereka berdua sore itu. Ia mendesah kecewa. Sivia langsung membongkar tasnya dan mengerjakan tugas yang sudah menumpuk hari itu. Ia ingin melupakan sejenak kekecewaannya karena tidak bisa melihat Alvin dan Raissa di taman itu.

Baru saja ia mencoba untuk berkonsentrasi mengerjakan seluruh tugasnya, ada seseorang yang mengetuk kamarnya dengan keras-keras. Dengan malas, Sivia bangkit dan membuka pintu flatnya. Seorang perempuan dengan kaca mata hitam, mantel pink, jilbab yang menutupi sebagian kepalanya, dan rambut ikalnya berdiri di depan flat Sivia, “Eh, Kak Raissa?” tanyanya. Perempuan itu mengangguk, “Masuk yuk, kak” ajak Sivia. Mereka berdua masuk dan duduk di sofa Sivia. Sivia berlalu ke dapurnya untuk mengambilkan Raissa minuman.

Sivia kembali dengan dua kaleng minuman soda di tangannya. Satu kaleng ia berikan kepada Raissa, “Lo inget gue ga?” tanya Raissa. Sivia mengangguk, “Kak Raissa, kan?” tanyanya bingung. Raissa menggelengkan kepalanya putus asa. Raissa segera melepas mantel pinknya, kaca mata hitamnya, dan jilbabnya. Sivia kembali mengalami deja vu. Sepertinya ia pernah melihat orang ini di Indonesia. Tapi siapa? Batinnya, “Lo belom inget sama gue ya?” tanya Raissa lagi, “Gue bukan Raissa!” lanjutnya.

Dahi Sivia berkerut heran, “Terus? Kalo kakak itu buan Kak Raissa, siapa dong kakak ini?” tanya Sivia. Akhirnya, Raissa menceritakan semuanya pada Sivia. Tentang dia, Larissa Safanah Arif. Atau yang biasa dipanggil Acha (di Indonesia, dulu), kakak perempuan Alvin. Sivia terbelalak kaget. Acha pun memberitahunya pula kalau Alvin, yang selama ini tinggal bersamanya, adalah Alvin Jonathan Sindunata. Sivia makin kaget saja, “Terus, Alvin sekarang di mana, kak?” tanya Sivia cepat.

Wajah Acha berubah murung. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Alvin dirawat. Kondisinya drop lagi” lirihnya, bulir-bulir air mata membasahi wajah cantiknya.

“Drop?! Emang Alvin sakit apa?” tanya Sivia, membentak lebih tepatnya.

“Sebenernya Alvin kena leukimia, kanker darah. Dokter bilang kalo Alvin udah ga bisa diselametin lagi. Kecuali kalo dia dapet donor sum-sum tulang belakang. Itupun harus yang sama dengan milik Alvin” jawab Acha seraya mengangkat kepalanya.

Sivia menggeleng tak percaya. Acha bangkit dari duduknya dan menarik Sivia keluar flatnya, ke suatu tempat. California Hospital. Alvin dirawat di sana. Acha langsung saja mengajak Sivia ke ruang rawat Alvin. Alvin belum sadar. Air mata Sivia luruh ketika ia melihat Alvin terbaring tak berdaya di ranjangnya dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya. Ia segera menghambur ke arah Alvin dan memeluknya. Air matanya semakin deras saja.

Dokter yang menangani Alvin datang. Ia mengajak Acha untuk berbicara mengenai keadaan Alvin di ruangan kerjanya. Acha mengangguk. Acha berpesan kepada Sivia agar Sivia menjaga Alvin sementara dirinya ke ruang dokter. Sivia mengangguk. Tak lama setelah dokter dan Acha keluar, ponsel Sivia berdering. Ia agak menjauhkan dirinya dari Alvin. Ia tak mau Alvin terganggu dengan suaranya. Ia melirik sekilas ke arah layar ponselnya, Rio’s calling.

***ONTHEPHONE:SIVIA-RIO***

R          : “Hay, Via!”

S          : “Hay, Yo. Ngapain nelpon?”

R          : “Gue lagi di California loh! Lo di mana?”

S          : “Serius lo? Gue lagi di California Hospital”

R          : “Eh? Siapa yang sakit? Lo?”

S          : “Bukan. Tapi Alvin yang sakit”

R          : “Alvin? Mantan lo?”

S          : “Kita belom putus!!”

R          : “Oh, sorry sorry. Gimana ceritanya lo ketemu dia?”

S          : “Panjang deh. Gue cuman mau satu hal.. ”

R          : “Apa?”

S          : “Bantu gue cari pendonor buat Alvin ya”

R          : “Pendonor? Pendonor apa?”

S          : “Sum-sum tulang belakang. Alvin kena leukimia”

R          : “Oke, gue bakal bantu kok”

***ONTHEPHONR:END***

Sivia dan Rio sudah mencari pendonor untuk Alvin ke mana-mana. Belum mereka temukan juga pendonor itu. Sampai pada suatu saat, Rio mengusulkan ide gilanya, “Vi, gimana kalo gue aja yang ngedonorin sum-sum tulang belakang buat Alvin?” tanyanya. Awalnya, Sivia tidak setuju dengan ide gila Rio. Sampai akhirnya, Sivia setuju karena Rio terus saja membujuknya. Alvin pun sudah tak bisa menunggu lagi. Kondisinya makin menurun. And luckily, setelah melakukan pemeriksaan, sampel sum-sum tulang belakang milik Rio cocok dengan milik Alvin!

Dokter akan melakukan operasi hari ini. Rio dan Alvin baru saja memasukki ruang operasi. Acha, Agni, dan Sivia menunggu di luar ruang operasi. Setelah melakukan operasi dengan waktu tiga jam, dokter keluar dengan senyum cerahnya. Ia mengatakan bahwa operasinya berhasil. Rio dan Alvin pun sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Acha dan Sivia segera menuju ruang rawat Alvin dan Agni menuju ke ruang rawat Rio.

Belum tau kan kalau Agni dan Rio sudah berpacaran? Beberapa hari yang lalu, tepatnya. Saat itu, Sivia tidak bisa menemani Rio mencari pendonor untuk Alvin. Alhasil, Agni yang menemaninya mencari pendonor. Di tengah pencarian mereka, mereka duduk di salah satu bangku taman. Dan saat itu pula, Rio menyatakan perasaannya pada Agni. Agni menerimanya saat itu juga. Awalnya pun, Agni tak setuju dengan idel gila Rio. Tapi ia tau, kondisi Alvin makin memburuk. Dan dengan berat hati, ia memperbolehkan Rio mendonorkan sum-sum tulang belakangnya pada Alvin.

Setelah menjalani masa pemulihan di rumah sakit beberapa minggu, dokter memperbolehkan Alvin dan Rio pulang. Ketika mereka berlima sedang berada di flat milik Alvin dan Acha, Acha mencetuskan ide bagus, “Gimana kalo kita berlima liburan ke Paris? Ya itung-itung buat syukurannya Alvin sama Rio yang udah puluh kondisinya!” semuanya mengangguk setuju.

Agni segera memesan tiket pesawat ke Paris untuk lima orang. Mereka berlima pun segera bersiap-siap. Mereka berlima akan berangkat ke Paris besok pagi dengan pesawat. Alvin dan Sivia? Hubungan mereka masih menggantung. Pernah sekali waktu, ketika Alvin baru saja sadar, Alvin menanyakan tentang itu ke Sivia. Sivia hanya menundukkan kepalanya dengan wajah memerah. Itu membuat Alvin bingung dengan hubungan mereka. Sivia sendiri, ia ingin mengatakan sesuatu tapi terasa susah. Speechless.

^^^

Cakka, Oik, beserta kedua orang tua masing-masing sedang berada di bandara. Cakka dan Oik akan berlibur ke Paris. Mereka berdua akan take off beberapa menit lagi. Untuk beberapa saat, Oik memeluk mama dan papanya. Cakka hanya melihatnya. Panggilan kepada penumpang pesawat tujuan Paris pun sudah bergema beberapa kali. Oik melepas pelukannya dari mama dan papanya. Ia segera menarik kopernya dan berjalan beriringan dengan Cakka.

^^^

Paris, 18 Desember 2010

Alvin, Sivia, Rio, Agni, dan Acha baru saja tiba di hotel tempat mereka menginap untuk beberapa hari ini. Acha, Agni, dan Sivia di kamar nomor 209. Alvin dan Rio di kamar nomor 210. Kamar mereka saling berhadapan. Setelah sampai, mereka langsung masuk ke kamar masing-masing untuk beres-beres. Waktu baru menunjukkan pukul tiga sore sekarang. Rencananya, mereka berlima akan jalan-jalan ke Eiffel jam tujuh malam nanti.

Setelah selesai beres-beres, mereka semua keluar kamar dan jlan-jalan di sekitaran hotel. Alvin dengan Sivia, Rio dengan Agni, dan Acha dengan Angel. Angel? Teman baru Acha di Paris. Mereka berdua bertemu ketika Acha pergi ke minimarket hotel tadi sore. Angel merupakan orang Indoneisa. Hanya saja, ia berkuliah di Paris. Acha dan Angel cepat sekali akrab. Tak terasa, hari sudah gelap. Mereka berenam langsung menuju ke hotel untuk makan malam bersama.

^^^

Cakka dan Oik baru saja datang di Paris. Mereka berdua langsung menuju ke sebuah hotel beres-beres. Hari sudah gelap ketika mereka berdua datang. Kebetulan, Cakka dan Oik menginap di hotel yang sama dengan hotel Alvin dkk. Kamar mereka pun bersebelahan. Kamar Cakka dan Oik tepat di sebelah kanan kamar Alvin dan Rio, lebih tepatnya. Setelah selesai beres-beres dan makan malam bersama, Oik mengajak Cakka ke Menara Eiffel. Oik bilang, Menara Eiffel sangat indah ketika malah hari. Dihiasi dengan lampu-lampu berwarna kuning-oranye.

Cakka dan Oik berjalan menuju Menara Eiffel. Hotel mereka tidak terlalu jauh dari sana. Hanya sekitar beberapa ratus meter saja. Setelah sampai di sana, mereka melihat enam empat sosok perempuan dan dua sosok laki-laki. Dua sosok perempuan yang mereka kenal dan dua sosok laki-laki yang mereka kenal. Cakka dan Oik bergegas menghampiri mereka berdua, “Sivia! Alvin! Kak Acha! Rio!” sapa Cakka dan Oik kepada mereka berempat.

Sivia, Alvin, Kak Acha, dan Rio pun menoleh ke arah mereka berdua. Jelas saja mereka berempat kaget karena bertemu dengan Cakka dan Oik di sini. Sebenarnya, Oik dan Cakka akan mengunjungi mereka di California selepas mereka dari Paris. Tapi ternyata mereka bertemu di sini. Sepertinya rencana tadi tidak jadi dijalankan. Cakka dan Oik duduk di sebelah Alvin dan Rio. Sivia tampak memincingkan matanya untuk melihat cincin yang dipakai Cakka dan Oik, “Kok cincin kalian sama sih?” tanya Sivia, penasaran.

Cakka dan Oik menghela napas, “Kan gue udah bilang. Dipaksa nyokap ini! Disuruh married” ujar Oik kesal. Cakka hanya menunjukkan cengirannya sambil menggaruk belakang kepalanya. Tawa Alvin, Sivia, Kak Acha, dan Rio meledak. Mereka tertawa terpingkal-pingkal, “Lagian, kok kalian mau aja sih dipaksa gitu?” seloroh Rio.

Cakka dan Oik mati kutu. Mereka berdua hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan rona kemerahan di pipi masing-masing. Setelah dirasa pipinya sudah tak menunjukkan semburat merah, Cakka mengangkat wajahnya. Tersenyum jahil ke arah Alvin dan Sivia, “Lo sendiri, Vin, gimana ama Sivia? Masih jadian?” tanya Cakka. Alvin tergelak. Sivia mati kutu. Ganti Oik yang meledakkan tawanya.

“Tau tuh si Alvin. Masih suka ama Sivia tapi masih ngegantung aja” desis Acha.

Alvin bangkit dari duduknya. Ia menarik tangan Sivia agar bangkit pula dari duduknya. Mereka berdua berdiri di tengah-tengah Acha, Angel, Agni, Rio, Oik, dan Cakka. Perlahan, Alvin membungkukkan badannya di depan Sivia. Tangan kanannya memegang tangan kiri Sivia dan tangan kirinya mengambil sesuatu di saku celananya. Setelah lama mencari, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Ia buka kotak kecil tersebut dan mengacungkannya pada Sivia.

“Would you be my girl, Sivia?” tanya Alvin. Pipi Sivia kembali merona. Ia menganggukkan kepalanya cepat-cepat. Acha, Angel, Rio, Agni, Cakka, dan Oik bersorak heboh. Sampai-sampai beberapa orang melihat mereka dengan tatapan tajam. Alvin segera mengambil cincin dari kotak kecil tersebut dan menyematkannya di jari manis Sivia. Alvin berdiri, “Peluk dong! Ga asyik banget sih?! Ayo peluk!” teriak Oik.

Pipi Sivia dan Alvin merona merah. Mereka berdua berpelukan di bawah cahaya bulan malam itu. Alvin tersenyum jahil ke arah Cakka dan Oik, “Asyik, abis ini gue punya keponakan dari lo! Haha.. ” balas Alvin, telunjuknya menunjuk Cakka dan Oik bergantian. Cakka dan Oik kembali mati kutu, “Kagak! Masih muda ini! Gue masih mau kuliah dulu!” elak Oik, pipinya masih merona akibat selorohan Alvin barusan. Malam itu, Menara Eiffel hangat dengan kehadiran mereka berdelapan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar