Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SESUATU YANG BARU [04] : Here, Where It All Begins

            Ify, Oik, dan Sivia baru saja turun dari rumah pohonnya. Kini ketiganya sedang berjalan beriringan menuju bangunan utama Witchy School of Art untuk siswa-siswi tingkat pertama. Kebetulan, kelas Sivia dan Oik bersebelahan. Hanya kelas Ify saja yang terpencar. Kelas Ify berjarak empat kelas dengan kedua sahabatnya itu.

            “Ini hari pertama kita sekolah. Semangat!” seru Sivia, tangannya mengepal dan meninju udara.

            Ify meliriknya, “Semangat, sih, semangat.. Tapi, kan, ini masih pagi. Masih mengantuk! Apalagi jam tidur kita berkurang gara-gara pembagian kelas itu!” sungutnya.

            “Cuman berkurang sedikit, Fy..” ralat Oik.

            Ify berancang-ancang untuk membantah, “Iya, tapi---”

            “Sudah. Sssssttt! Daripada ribut soal jam tidur, mending kita ngomongin soal kelas. Kelas kita di mana?” celoteh Sivia.

            “Kelas Seni Suara dan Seni Lukis bersebelahan,” sahut seseorang, dari belakang mereka.

            “Kelas Seni Musik ada di ujung,” sahut seorang lagi.

            Ify, Oik, dan Sivia segera menengok ke belakang. Ada Irsyad, Alvin, dan Lintar di belakang. Lintar sendiri, sedang menampakkan cengiran terlebarnya. Rupanya Irsyad dan Alvin yang bersuara tadi.

            “Hey, kalian!” sapa Oik dengan riang.

            “Halo, Oik, Sivia, Ify!” sapa Lintar balik.

            Guten morgen, siswi Kelas Seni Suara!” sapa Irsyad dan Alvin pada Sivia.

            Sugeng enjing, Irsyad, Alvin..” sapa Sivia balik, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju tawanya.

            Alvin hanya mengangguk dan sedikit tersenyum, matanya semakin sipit ketika itu.

            “Bahasa planet mana itu, Siv?” tanya Irsyad.

            “Bahasa planet saturnus,” jawab Ify, wajahnya terlihat sangat meyakinkan.

            Irsyad terbelalak kaget, “Hebat kamu, Siv, bisa tau bahasa planet lain..”

            Ganti Alvin, Sivia, Ify, dan Oik yang kini terbelalak. Irsyad sangat polos rupanya. Keempatnya lantas tertawa nyaring. Hanya Irsyad dan Lintar yang melongo hebat mendengar kenyaringannya.

            “Mereka ini kenapa, Syad?” tanya Lintar, alisnya terangkat sebelah.

            “Jika kamu tanya aku, lantas aku tanya siapa?” tanya Irsyad balik.

            Alvin menepuk pundak Lintar dan Irsyad bergantian. Begitupula dengan Ify, Oik, dan Sivia. Keempatnya lantas kembali berjalan, disusul dengan Irsyad dan Lintar di belakang yang masih kebingungan.

            Sivia menengok ke belakang, sekedar untuk melihat Irsyad dan Lintar. Seketika itu pula, wajah Sivia mendadak memucat. Laju tawanya pun langsung berhenti. Ia menahan napas dan kembali menghadap depan.

            “Kenapa, Siv?” tanya Oik.

            Sivia menggeleng, “Ga. Bukan apa-apa. Hanya..... Pokoknya ga apa-apa, kok,”

            “Yakin?” selidik Ify.

            “Yakin seyakin-yakinnya,” Sivia mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke atas.

            Ify dan Oik hanya mengangkat bahu. Rupanya Sivia belum mau bercerita banyak pada keduanya. Tapi keduanya yakin, seiring berjalannya waktu, Sivia akan bercerita pada mereka. Dan waktu itu, tak akan lama lagi..

            “Sivia kapan check up lagi?” bisik Ify.

            “Nanti sore saja, ya? Kalian bisa?” tanya Sivia, mengedik pada Ify dan Oik.

            “Bisa, kok..” jawab Ify langsung.

            “Ke mana?” tanya Oik.

            Check up, bibir Ify terbuka. Mengisyaratkan sesuatu pada Oik. Tanpa suara sedikitpun. Oik hanya mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya pada Sivia dan tersenyum lebar.

            “Nah! Sudah sampai! Terima kasih sudah mengantar aku!” seru Ify.

            Kelimanya pun mengangguk. Ify segera berbalik dan memasukki kelas tersebut. Sivia dan Oik baru saja akan melongok ke dalam kelas itu ketika wajah seorang gadis tiba-tiba saja muncul di depannya.

            “Hay!” sapa gadis itu.

            “Eh, Zevana.. Hehe,” Sivia dan Oik kembali menarik kepala masing-masing dan nyengir lebar.

            “Kok di sini, Ze?” tanya Alvin, tangannya segera bergerak untuk meraih pinggul Zevana dan merangkulnya.

            “Tadi habis ngantar teman kemari,” jawabnya, wajahnya terlihat berseri.

            “Ya sudah, aku antar ke kelasmu, ya..” ajak Alvin, Zevana pun mengangguk.

            Keduanya segera berbalik dan meninggalkan Oik, Sivia, Lintar, dan Irsyad di depan pintu Kelas Seni Musik. Keempatnya hanya menatap punggung Zevana dan Alvin yang perlahan menjauh, menuju kelas Zevana. Tiba-tiba saja kepala Zevana menengok ke belakang dan tersenyum kepada mereka semua.

            “Kami duluan, ya!” pamitnya dengan riang.

            “Iya!” balas Sivia, tak kalah riangnya.

            Zevana kembali berbalik. Ia dan Alvin pun semakin berjalan menjauh. Sivia, Oik, Irsyad, dan Lintar segera kembali berjalan menuju kelas masing-masing. Kelas mereka berempat searah dan bersebelahan.

            Tak sampai lima menit berjalan, keempatnya telah menemui dua kelas yang berjejeran. Oik dan Lintar segera masuk ke kelas Seni Lukis. Sedangkan Sivia dan Irsyad harus kembali berjalan beberapa langkah menuju kelas Seni Suara.

^^^

            Ify baru saja memasukki kelasnya. Ada empat deret meja di depannya, dengan lima baris ke belakang. Ify melongok, mencari tempat yang kosong. Pandangannya terantuk pada meja paling belakang, di samping seorang gadis berambut pendek. Ify pun melangkah ke sana.

            “Hay! Boleh aku duduk di sini?” tanya Ify.

            Gadis berambut pendek tadi mendongak dan mendapati Ify yang tersenyum ke arahnya, “Boleh.. Kosong, kok,” ia lantas tersenyum pula.

            “Terima kasih,”

            Ify melebarkan senyumannya. Ia pun meletakkan tasnya di atas meja dan mendudukki kursi itu. Ia mengedarkan pandangannya. Kelasnya cukup luas. Tadi, ketika ia masuk ke dalam, ia langsung menyapu bagian timur kelas –tempat bangku-bangku ini berada- dan menghiraukan bagian barat kelas.

            “Wow,” gumam Ify.

            “Ada apa?” tanya gadis itu.

            Ify mengedik padanya, “Tadi aku tidak sempat melihat ke arah sana,” telunjuk Ify mengarah ke bagian barat kelas, “Peralatan di sana lengkap sekali, ya!”

            “Iya,” gadis itu mengangguk, “Kakakku pernah bercerita kalau kelas ini tidak melulu mempelajari soal teori dari musisi-musisi terkenal. Namun juga mempraktikkannya. Dalam sehari, kita pasti menyentuh alat-alat musik itu.”

            Ify mengangguk mengerti, “Jadi, kakakmu siswa di sini juga? Oh! Atau siswi?”

            “Kakakku laki-laki. Dia siswa tingkat kedua sekarang,” jawabnya.

            Ify membulatkan mulutnya, tanda mengerti. Ketika itu juga, masuklah seorang guru dengan jubah hitam pekatnya. Keadaan kelas berangsur-angsur sepi. Tak terdengar lagi celotehan-celotehan seperti sebelumnya.

            “Ah, ya! Kita daritadi sudah mengobrol panjang-lebar tapi aku belum mengetahui namamu,” bisik gadis itu.

            “Aku Ify. Kau?” Ify mengulurkan tangannya.

            “Keke. Salam kenal, Fy!” gadis itu, Keke, menyambut uluran tangan Ify.

            “Oh, ya, Ke.. Itu siapa?” tanya Ify, ia mengedik pada seorang guru di depan sana.

            “Beliau Madam Winda. Ia guru tetap kelas ini..” jelas Keke.

            Lagi-lagi Ify hanya membulatkan mulutnya, “Soal kakak kamu tadi, namanya siapa?”

            “Namanya---”

            “Nona Alyssa, Nona Gabriel.. Kalian berdua tidak diperkenankan berbicara ketika saya berada di depan sini!” suara Madam Winda menggelegar.

            “Iya. Maaf, Madam!” sahut keduanya, berbarengan.

^^^

            “Kau duduk di mana, Ik?” tanya Lintar.

            Kini keduanya sedang terbengong-bengong di depan kelas ketika menyadari kelas ini sudah hampir penuh. Tinggal sebuah bangku di pojok belakang, di depan bangku tersebut, di sampingnya, dan paling depan.

            “Di belakang saja, lah. Kedua dari belakang. Iya,” jawab Oik.

            “Ya sudah. Aku duduk di sini, ya!” balas Lintar, Oik hanya mengangguk.

            Lintar pun bergegas duduk di bangku paling depan. Sedangkan Oik, berjalan ke belakang. Ada dua bangku saling bersebelahan yang kosong, kedua dari belakang. Akhirnya Oik memutuskan untuk duduk di bangku sebelah kanan.

            Oik segera menempati bangku pilihannya tersebut. Ia menelungkupkan kepalanya di atas meja dan menggunakan tasnya untuk sandaran. Tadi ia sempat melihat Nadya sedang duduk di bangku kedua dari depan. Ingin mengajaknya mengobrol untuk membunuh waktu jika saja Nadya sedang tidak bergurau heboh dengan temannya yang lain.

            “Hey! Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?” pekik sebuah suara.

            Oik mendongak. Ia mendapati seorang gadis berambut panjang bergelombang sedang berkacak pinggang di depannya. Oik melongo untuk beberapa saat.

            “Hah?” hanya itu yang mampu Oik ucapkan.

            “Siapa yang menyuruhmu duduk di situ.....” gadis itu memincingkan matanya untuk melihat name tag Oik, “.....Oik Cahya Ramadlani?” pekiknya, sekali lagi.

            Oik menggeleng pelan, “Tidak ada.. Lagipula bangku ini kosong,”

            Bola mata gadis itu membulat sempurna, “Siapa bilang bangku ini kosong, Nona Oik? Tidakkah kau melihat tasku?” telunjuknya mengarah ke kaki Oik, “Dan kau menginjaknya!” pekiknya, lagi.

            Oik menengok ke bawah. Ia melompat kaget. Rupanya benar, ia menginjak tas gadis itu. Oik pun segera mengambilnya dan menepuk-nepuknya, sekedar untuk melenyapkan debu-debu yang menempel di tas itu karena injakannya.

            “Maaf, ya!” kata Oik, ia menyerahkan tas itu pada sang empunya.

            “Hn,” gadis itu merebutnya dengan judes.

            “Maaf juga karena sudah mengambil tempatmu,”

            “Hn,”

            “Aku akan pindah,”

            “Hn,”

            Dengan takut-takut, Oik mengambil tasnya dan kembali meletakkannya di bangku dekat tembok, tepat di depan bangku kosong itu. Oik duduk. Ia mengerling pada gadis tadi. Ia merasa sangat bersalah. Sungguh.

            “Hey.. Kau memaafkan aku, kan?” tanya Oik, ragu-ragu.

            Gadis tadi menengok padanya dan tersenyum paksa, “Tentu saja. Maafkan aku juga, ya, karena tadi sudah memakimu. Aku hanya tidak suka diperlakukan seperti itu,”

            “Baiklah,”

            Oik mengulurkan tangannya yang juga disambut baik oleh gadis berambut gelombang itu. Keduanya saling tersenyum lebar.

            “Aku Oik, kau?”

            “Aku sudah tau kau adalah Oik. Bukankah tadi aku sempat menyebut namamu?” celoteh gadis itu, “Ah, ya! Aku Larissa Safanah Arif dan kau wajib memanggilku Acha!”

            “Baiklah. Salam kenal, Acha!”

            “Salam kenal juga, Ik!”

            Keduanya pun melepaskan jabat tangan masing-masing ketika terdengar teriakan dari depan sana. Keduanya lantas menengok dan mendapati Lintar sedang mengacungkan sebuah kanvas dan berbagai macam peralatan lukis lainnya.

            “Ada apa, Lin?” tanya Oik.

            “Kau sudah mengambil peralatan-peralatan melukis?” tanyanya balik.

            Oik menengok pada Acha, keduanya menggeleng bersamaan.

            “Segera ambil di ruangan sebelum Caffetaria! Sepuluh menit lagi kelas akan dimulai!” katanya.

            Tanpa berkata apa-apa lagi, Oik dan Acha pun bangkit. Keduanya akan menuju ruangan yang dimaksud Lintar tadi. Ketika melewati bangku Nadya, keduanya berhenti sejenak karena Nadya memanggil.

            “Ada apa, Nad?” tanya Oik.

            “Boleh bareng mengambil peralatannya?” Nadya menampakkan wajah memelasnya.

            Oik dan Acha mengangguk, “Tentu saja!”

            Ketiganya pun berjalan beriringan menuju tempat yang dimaksud. Beruntung, jarak kelas mereka ke ruangan tersebut tidak terlalu jauh.

            “Cakka ke mana, Nad? Aku tidak melihatnya sama sekali hari ini,” tanya Oik, tiba-tiba.

            Nadya menatapnya penuh tanya, “Dia ada di kamar. Kebetulan sedang sakit. Sepulah sekolah nanti aku langsung ke sana, rencananya.. Memang kenapa, Ik?”

            “Ga kenapa-kenapa,” jawab Oik langsung.

^^^

            “Bagus! Aku duduk di mana ini?!” dumel Sivia.

            “Di sebelah Aren, mau?” tawar Irsyad.

            “Siapa dia?” tanya Sivia.

            “Ayo, aku kenalkan!”

            Tiba-tiba saja, Irsyad sudah menyeret Sivia pada seorang gadis berambut sebahu dengan behel berkaret hijau muda yang duduk di bangku kedua dari depan pada deret pertama. Rupanya gadis ini yang bernama Aren.

            “Ren, bangku di sampingmu itu kosong, kan?” tanya Irsyad.

            “Kosong, Syad. Kenapa? Kau mau duduk di sini? Apa..... Dia yang mau duduk di sini?” tanya gadis itu, beruntun.

            “Aku duduk di samping Alvin, di depan sana..” kata Irsyad, ia mengedik pada Alvin, “Dia yang akan duduk di sini. Boleh?”

            “Tentu saja!” jawab Aren, dengan riang.

            “Ya sudah, kau duduk di sini, Siv. Aku tinggal dulu. Dah, Ren!” pamit Irsyad, Aren mengangguk bersemangat.

            “Hay! Duduk saja! Sini!” ajak Aren, tangannya menepuk bangku kosong di sampingnya.

            “Permisi,” kata Sivia.

            Sivia pun duduk. Ia disambut dengan senyuman lebar Aren. Keduanya lantas berbincang seru. Tentu saja dengan berkenalan terlebih dahulu tadinya. Mereka terus berbincang sampai seorang guru masuk.

            Morning!” sapa guru tersebut.

            Morning, Madam!” seluruh penghuni kelas berkoor.

            Can we start the lesson? Sure, we can, I think. Now, I want you all to make a group contains five students on it. I give you five minutes. Starts from now!”

            Guru tersebut pun duduk di tempatnya seraya mengawasi seluruh muridnya yang sedang sibuk membuat kelompok. Ialah Madam Eva. Guru tetap di kelas Seni Suara.

            “Kurang satu lagi!” desis Sivia.

            Kini Sivia, Aren, Irsyad, dan Alvin telah duduk mengelompok. Keempatnya beserta ketiga kelompok lain sedang duduk melingkar di lantai kayu yang dikelilingi perabotan nyaman khas anak muda di bagian barat kelas.

            “Lihat! Ketiga kelompok lain sudah beranggotakan lima orang. Tinggal kelompok kita saja,” gumam Irsyad.

            “Berarti ada satu orang yang tidak masuk. Atau, belum datang..” sahut Aren.

            Alvin segera mengangkat tangannya. Dan ketika Madam Eva telah mempersilahkannya untuk berbicara, ia pun berbicara, “Excuse me, Madam. My group isn’t full yet. We need one more. Besides, there’s no one here who hasn’t had a group,”

            Tok tok tok..

            “Maaf, Madam. Saya baru saja dari toilet,” kata seorang siswi.

            “Nah! Silahkan kamu bergabung dengan kelompokmu. Ada Alvin, Aren, Irsyad, dan Sivia di sana..”

            Gadis itu pun segera duduk di antara Irsyad dan Aren. Ia nyengir lebar.

            “Hay! Hehe,” sapanya.

            “Agniiiiiiiiii!!!” sapa Sivia, dengan gemas.

            Sorry, sorry! Tadi aku ke toilet. Biasa, panggilan alam..” lagi-lagi, Agni nyengir lebar.

            “Kalian belum kenalan, kan?” tanya Irsyad, ia menatap Agni dan Aren bergantian.

            “Belum,” jawab keduanya, bersamaan.

            “Aku Agni,”

            “Aren..”

            Keduanya pun berjabat tangan.

            Madam Eva pun berdiri lalu menuju ke tengah-tengah kelas bagian barat, dimana seluruh muridnya sedang berada sekarang.

            “Tugas pertama kalian adalah menyanyikan lagu secara acapella dengan kelompok kalian yang ini. Buat sebagus mungkin. Ini tes. Saya ingin tau seberapa mahir kalam dalam bidang ini. Besok, kita mulai tesnya. Jadi, hari ini kalian full berlatih!”

            Begitu selesai memberikan pengumuman, Madam Eva pun keluar dari kelas. Seluruh siswa-siswinya hanya terbengong-bengong. Kenapa beliau malah meninggalkan mereka? Mereka ini butuh bimbingan!

            “Sudah, sudah! Tidak usah ramai! Cepat berlatih! Ingat, besok kita sudah tes!” lerai Agni.

            “Memangnya siapa yang ramai, Ag? Bukan kami! Itu, kelompok sebelah!” balas Alvin.

            “Ga usah ribut! Cepat cari lagu!” suruh Sivia.

            “iPod mana iPod..” gumam Aren, tangannya mengobrak-abrik tas dengan brutal.

            “Ayo, cari referensi lagu!” gumam Irsyad.

            Kelimanya pun sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, mencari lagu yang cocok untuk mereka bawakan secara acapella keesokan harinya.

            Sepuluh menit berlalu. Kini kelimanya telah menggenggam judul lagu pilihan masing-masing yang akan dirundingkan bersama-sama.

            A Thousand Years,” kata Aren.

            Firework,” kata Irsyad.

            Home is in Your Eyes,” kata Alvin.

            Jar of Hearts,” kata Sivia.

            Jet Lag,” kata Agni.

            “Kalau untuk A Thousand Years, mungkin ga. Terlalu mellow. Kalian tau sendiri kalau lagu mellow itu susah dibawakan secara acapella,” kata Irsyad.

            “Iya juga, sih..” gumam Sivia.

            “Oke. A Thousand Years, dicoret!” kata Aren.

            “Gimana dengan Home is in Your Eyes?” tanya Alvin.

            “Kalau aku pribadi, takut bawain lagu itu. Suara si Greyson sudah melekat banget sama lagunya. Lebih baik, kita bawakan yang lain..” saran Agni.

            Home is in Your Eyes, coret!” kata Aren.

            “Dari tiga yang tersisa, kalau kata aku, mending Jet Lag. Lagipula, itu juga lagu duet. Bukan lagu mellow. Kalau lagu duet, menurut aku, lebih gampang untuk pembagian suaranya saja,” celoteh Alvin.

            “Ya sudah. Deal, ya?” tanya Aren.

            Deal!” seru Sivia, Irsyad, Agni, dan Alvin berbarengan.

            Kelimanya pun lantas membagi bagian masing-masing. Lirik lagunya pun sudah ada. Masing-masing dari mereka telah memegang secarik kertas bertuliskan bagian masing-masing. Agni mendapat bagian intro. Sivia dan Alvin bagian reff. Irsyad dan Aren, sisanya.

            Agni segera menuju sudut ruangan, berlatih sendirian.

            Aren dan Irsyad pun menuju salah satu sofa dan mulai berlatih bersama.

            Sivia dan Alvin memilih untuk tetap duduk di atas lantai kayu tersebut. Mengulang-ulang bagian reff bersama-sama.

            Diam-diam, Sivia mengambil dua carik kertas kecil. Satu untuk Ify, dan satu untuk Oik. Mulai menorehkan tintanya di sana. Pesan yang sama untuk Ify dan juga Oik.

Maaf y! Hr ini kt gk jd check up. Aku ada tgs kelompok. Maaf!:-):-):-)

            Setelahnya, ia pun segera melipat dua carik kertas tersebut lalu menyerahkan pada sang burung mungil. Burung mungil itu pun terbang, menembus kaca cendela dan menuju kelas Oik, lalu kelas Ify.

^^^

            Oik, Acha, dan Nadya baru saja akan memasukki kelas ketika Oik tak sengaja menangkap sosok kakak manisnya sedang berada di seberang sana. Oik membeku seketika. Nadya, yang tidak menyadari perubahan Oik, langsung saja masuk ke dalam kelas. Berbeda dengan Acha.

            “Kamu kenapa, Ik?” tanya Acha.

            Oik hanya menggeleng. Wajahnya telah merah padam melihat kakak manisnya itu. Telunjuknya mengarah ke sana, ke kakak manis itu. Mau tak mau, Acha mengikuti arah pandang Oik.

            “Kamu tau siapa nama dia, Cha?” tanya Oik, suara tercekat.

            Wajah Acha mendadak berubah tak bersahabat, “Tau, Ik..” Acha segera menarik lengan Oik agar masuk ke dalam kelas, “Sudahlah. Ayo kita masuk ke dalam kelas. Sebentar lagi pasti Sir Dave datang!”

            Dengan berat hati, Oik menyeret kakinya masuk ke dalam. Pasalnya, Acha menariknya sangat kuat. Begitu telah sampai di bangku masing-masing, Acha pun melepaskan cengkramannya pada lengan Oik.

            “Kamu, kok, mendadak jadi aneh gini, Cha..” celetuk Oik.

            It’s not the right time for me to tell you about this, Ik..” jawab Acha, lesu.

            Oik hanya mengangguk. Walaupun sebenarnya ia masih sangat penasaran tentang ini. Mungkin nanti Acha akan memberitahunya. Oke. Tinggal bersabar sedikit, Oik..

            “Cha, kamu bilang tadi kalau kamu tau nama kakak manis itu. Benar?” tanya Oik, keantusiasannya terpancar jelas dari kedua bola matanya.

            Acha mengangguk pelan, “Namanya---”

            “Selamat pagi! Saya Sir Dave, guru tetap kalian di kelas ini. Saya tidak suka berbasa-basi, jadi sekarang kalian cepat menuju meja lukis masing-masing yang menurut kalian nyaman dan lukis apapun itu, yang ada di benak kalian. Waktu kalian dua jam, dari sekarang!”

            Kelas mendadak riuh. Seluruhnya segera menuju meja lukis yang menurut mereka paling nyaman dan mulai menyiapkan segala sesuatunya. Meletakkan kanvas pada tempatnya. Mulai mengisi palet-palet dengan cat air yang diinginkan. Dan mulai berkreasi di atas hamparan kanvas putih kecokelatan tersebut.

            Sir Dave mulai berkeliling untuk sekadar mengintip karya anak didik barunya tersebut. Kali ini, Oik kembali duduk berdekatan dengan Acha. Keduanya kembali mengobrol seraya melukis.

            Excuse me! Kenapa ada satu bangku yang kosong?” tanya Sir Dave.

            Cakka’s absent, Sir. Dia sakit,” jawab Oik.

            “Cieeeeeeeeee.....” kelas mendadak rame dengan godaan-godaan untuk Oik.

            “Apakah dia pacarmu, Nona Oik?” tanya Sir Dave.

            Oik cepat-cepat menggeleng, “Bukan, bukan! Dia pacar Nadya!” telunjuknya mengarah pada Nadya.

            Kooran itu berangsur hilang. Dengan tak sengaja, Acha menengok pada Nadya. Ia melihat gadis berambut agak pirang itu tengah menatap Oik dengan sinisnya. Acha mengerjap kaget.

            “O-ow! I think she’s jealous, Ik!” bisik Acha.

            “Siapa, Cha?” tanya Oik, dengan tetap memenuhi kanvasnya dengan bermacam-macam warna.

            “Tuh,” Acha mengedik pada Nadya.

            Oik menengok sekilas kepadanya. Tepat ketika Nadya tengah memasang senyum termanisnya untuk Oik. Mau tak mau, Oik membalas senyuman itu dan kembali menatap Acha dengan wajah bingung.

            See! Dia senyum ke aku, Cha..” bantah Oik.

            “Cepat sekali berubah ekspresinya,” gumam Acha.

            “Sudahlah! Kita bicarakan hal lain saja,” sela Oik, sebelum Acha berbicara yang aneh-aneh lagi.

            “Kau sedang melukis apa, Nona Oik?” tanya Sir Dave, tiba-tiba saja beliau sudah ada di belakang Oik.

            “Abstrak, Sir..” jawab Oik, sekenanya.

            “Mengapa?” tanya Sir Dave lagi.

            “Entahlah. Sepertinya pikiran saya sedang kacau,” kata Oik.

            “Karena Cakka tak masuk hari ini?” goda beliau.

            Oik menepuk keningnya, “Bukan, Sir! Sudah saya bilang, pacar Cakka itu Nadya. Bukan saya!” elak Oik.

            “Baiklah, baiklah..” gumam beliau, beliau pun kembali berkeliling.

            “Jahil sekali Sir Dave,” dumel Oik.

            “Begitulah dia, Ik..” sahut Acha.

            “Sudah! Jangan ikut menggodaku!” ancam Oik, tangannya terkepal erat.

            Acha mengibaskan tangannya, “Siapa bilang aku akan menggodamu? PD sekali!”

            “Kau sudah punya pacar, Cha?” tanya Oik, mengalihkan pembicaraan.

            “Sudah, namanya Ozy. Dia satu tingkat dibawah kita. Dia sedang di Junior High School sekarang. Rencananya, tahun depan, dia akan mendaftar di sini..” Acha menjelaskan tentang pacarnya, tanpa Oik minta.

            Usaha Oik untuk mengalihkan pembicaraan berhasil!

^^^

            Madam Winda sedang memelototi buku absen yang beterbangan di hadapannya, mencari-cari nama yang cocok untuk ia panggil ke depan. Suasana sangat hening. Masing-masing sedang berdoa dalam hati agar namanya tidak disebut.

            “Alyssa Saufika Umari..” panggil beliau.

            Mata Ify membulat, “Saya, Madam?” tanyanya, beliau mengangguk saja.

            “Aduh! Bawain lagu apa aku?” rutuk Ify, ketika dirinya akan bangkit dari bangku.

            “Lagu favorit kamu aja, Fy!” bisik Keke.

            Safe and Sound?” gumam Ify, Keke hanya mengangguk.

            Ify pun berdiri. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Dengan senyum mengembang, ia berangsur maju ke depan kelas. Setelahnya, ia menuju hamparan alat music di bagian barat kelas.

            “Akan memainkan apa, Nona Alyssa?” tanya Madam Winda.

            Can I use this?” tanya Ify, ia menunjuk sebuah piano klasik berwarna putih.

            Sure,” jawab Madam Winda.

            Ify pun segera duduk di kursi tanpa sandaran itu. Jemarinya mulai memencet-mencet asal tuts piano, sekedar untuk pemanasan. Kembali, Ify menghirup napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia tutup kelopak matanya. Jemarinya mulai menari lincah di atas tuts-tuts piano klasik itu. Suaranya ikut mengalun merdu bersamaan dengan lantunan melodi indah yang ia bawakan.

Once upon a time, I believe it was a Tuesday
When I caught your eye
And we caught onto something, I hold on to the night
You looked me in the eye and told me you loved me
Were you just kidding? 'Cause it seems to me

This thing is breaking down, we almost never speak
I don't feel welcome anymore
Baby, what happened? Please tell me
'Cause one second it was perfect
Now you're halfway out the door

And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said, forever and always
Oh, oh

Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always

Was I out of line? Did I say something way too honest
That made you run and hide like a scared little boy?
I looked into your eyes, thought I knew you for a minute
Now I'm not so sure

So here's to everything, coming down to nothing
Here's to silence that cuts me to the core
Where is this going? Thought I knew for a minute
But I don't anymore

And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said forever and always
Oh, oh

Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, I don't think so
Oh, oh

Oh, back up, baby, back up, did you forget everything?
Back up, baby, back up, did you forget everything?

'Cause it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always

Oh, I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when we said forever and always

And it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, you said forever and always

(Forever and Always – Taylor Swift)

            Selesai. Ify menahan napas. Senyumnya perlahan merekah. Ia membuka matanya. Untuk sejenak, ia berusaha memfokuskan pandangannya.

            Ia terlihat kaget ketika melihat reaksi seluruh temannya dan Madam Winda. Mereka semua terbius dengan lantunan melodi dan alunan suara Ify. Senyum gadis cantik itu semakin merekah saja.

            Awesome! Good! Perfect! Well done, Alyssa!” puji Madam Winda.

            Ify pun bangkit dari kursi itu. Perlahan, ia berjalan menuju bangkunya diiringi dengan tepukan tangan yang membahana di Kelas Seni Musik. Sampai-sampai, Madam Winda pun ikut bertepuk tangan.

            “Keren, Fy!” puji Keke, ketika Ify telah duduk kembali di sampingnya.

            “Terima kasih, Ke!” balas Ify, wajahnya merah padam.

            “Oke! Kita istirahat dulu untuk tiga puluh menit kedepan!” seru Madam Winda.

            Kelas kembali riuh ketika Madam Winda tiba-tiba saja hilang dari pandangan mereka. Ify dan Keke pun bangkit. Keduanya berjalan keluar kelas. Niatnya, mereka akan menuju Caffetaria untuk membeli camilan.

            “Ify!” panggil sebuah suara.

            Ify dan Keke menengok pada sumber suara. Wajah Ify mendadak berbinar.

            “Kak Debo!” sapa Ify balik, “Ke, kamu bisa ke Caffetaria sendiri? Aku mau bicara dengan Kak Debo,” Ify beralih pada Keke.

            Keke hanya mengangguk. Ify pun lantas menghampiri Debo. Meninggalkan Keke yang menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS