Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

YOUR KNOW AT ALL GUARDIAN ANGEL [Cerpen]

            Sebuah motor sport baru sajaberhenti di pekarang rumah yang asri. Sang gadis yang tadinya duduk diboncenganmotor segera turun dan melepaskan helmnya, mengembalikan benda itu kepada sangempunya.
            “Thanksfor today,” gadis itu bercicit pelan dengan senyum malu-malu.
            Sang pengendara motor –seoranglelaki bermata sipit– tersenyum miring. “You’rewelcome, my angel.”
            “Udah malem, nih. Kamu cepetanpulang, gih. Ntar dicari oma.”
            Lelaki itu mengucek pelan puncakkepala gadisnya dan kemudian menutup kaca helm. Dalam hitungan detik, motor itutelah kembali melaju dengan suara mesin yang lumayan memekakkan telinga.
            “Hati-hati, Vin!” teriak gadis itu.
            Gadis mungil itu pun memasukkirumahnya setelah memastikan motor yang dikendarai Alvin –lelaki itu– sudahhilang dibalik tikungan. Ia berjalan melewati ruang keluarga dengan riang. Takia hiraukan kakaknya yang tengah membaca majalah di ruang keluarga.
            “Ditungguin temen lo tuh, daritadi!” ujar kakaknya seraya menatapnya heran.
            Tak ada respon dari gadis mungil itu.Ia tetap bersenandung ceria sambil melepaskan gladiator sendals-nya.
            “Oik!” kakaknya pun memanggil dengannada tinggi.
            Gadis mungil itu terperanjat danmenengok kearah kakaknya dengan wajah ditekuk. “Kak Ify apaan, sih? Ngagetingue aja!”
            “Elo sih, nggak ngedengerin gue!Udah ditungguin temen lo daritadi, tuh. Cepetan gih, ampirin di kamar lo.” Ifymenatap adiknya dengan sebal.
            Oik mengangguk-angguk malas danberlalu meninggalkan Ify yang masih mengomel tak jelas di ruang keluarga. Oikberjalan menuju kamarnya yang tepat menghadap ke dapur. Ia pun akhirnyaberbelok ke dapur untuk mengambil camilan dan sekotak susu fermentasi untukmenemaninya mengobrol bersama temannya. Entahlah, siapa yang mengunjunginyamalam-malam begini. Mungkin Acha, atau Pricilla.
            Setelah itu, Oik pun kembali kekamarnya. Ia mendapati seorang lelaki sedang berbaring diranjangnya serayamembaca salah satu koleksi novelnya. Oik meletakkan camilan dan susu fermentasi–yang tadi ia ambil di dapur– diatas meja belajarnya.
            “Cakka!” teriak Oik nyaring,memanggil lelaki itu.
            Tanpa permisi, Oik melemparkantubuhnya ke samping Cakka dan merebut novel yang tengah Cakka baca. Cakkatertawa, menyadari gadis di sampingnya itu sedang ingin bercerita. Cakkamemiringkan badannya sehingga ia dan Oik kini berhadapan.
            “Kenapa, Peri Kecil?” tanyanyadengan senyum tertahan.
            “Gue abis nge-date sama Alvin! Ih, seneng banget! Tadi Alvin ngajak gue ke café favoritnya dia, terus.....”
            Perkataan Oik hilang tertelan olehlamunannya sendiri. Membayangkan Oik yang menghabiskan seluruh waktunya hariini bersama Alvin membuatnya merasakan ngilu pada ulu hati. Sampai kapan iaharus bersembunyi dibalik topeng sahabat?
            “Ya, intinya... hari ini gue capekbanget! Seneng sih, tapi. Abis Alvin sweetbanget, Kka!” Oik menerawang menatap langit-langit kamarnya. Pipinya meronamerah.
            Cakka tersenyum dan kemudian bangkitdari ranjang Oik. “Lo capek? Ya udah, istirahat aja. Besok kita ke sekolahbareng, ya.”
            “Iya!” Oik mengangguk cepat.“Selimutin gue dong, Kka,” rengeknya.
            Cakka tertawa pelan tapi akhirnyamenuruti permintaan sahabatnya. Ia mengambil selimut Oik dan menariknya agarmenutupi tubuh Oik sampai ke bahunya. Terakhir, ia mengusap puncak kepala Oik.
            “Istirahat, gih. Besok lo lanjutincerita lo soal date kalian, ya,”
            “Nggak mau!” Oik menggeleng. “Iturahasia antara gue sama Alvin. Lo nggak boleh tahu.”
            Cakka mengangkat bahunya tak acuh.“Terserah lo, deh. Night, PeriKecil.”
            Cakka pun melangkah keluar darikamar Oik setelah mematikan lampunya. Cakka menghambuskan napasnya dengan susahpayah. Seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya sehingga ia sulit bernapas.

**

            Bel pulang sudah berbunyi sejaksepuluh menit yang lalu dan Cakka baru saja selesai menyalin tulisan Bu Windadari papan tulis kebuku catatannya. Kini ia memasukkan seluruh buku dan alattulisnya kedalam tas dengan brutal. Kemudian ia berlari keluar kelas, menujukelas Oik.
            Dengan napas yang tak beraturan, iamemasukki kelas Oik. Sudah kosong. Lalu kemana peri kecilnya? Cakka mengacakrambutnya dengan sebal. Ia berjalan keluar dari kelas Oik dan melangkah mencarigadis mungil itu.
            Cakka melangkah melewati lapanganbasket dan mendapati tim basket putra tengah berlatih disana. Juga ada seoranggadis berambut pendek yang duduk membelakanginya dan meneriakkankalimat-kalimat semangat untuk salah satu anggota dari tim basket.
            “Alvin! Ayo! Semangat latihannya!”teriak gadis itu.
            Cakka berhenti melangkah dan kembalimenengok kearah lapangan basket. “Sivia?” desisnya, tak percaya.
            “Sivia!” Cakka berteriak memanggilgadis itu dari koridor.
            Gadis berambut pendek itu punmenengok kearahnya dan tersenyum tipis. “Hai, Kka!”
            “Lo nggak balik? Ngapain?” teriakCakka lagi.
            “Nungguin Alvin latihan, nih. Guebalik sama dia, Kka.”
            Cakka mengangguk mengerti danmelambaikan tangannya pada Sivia. “Gue balik duluan, Siv! Ati-ati!”
            Cakka pun kembali berlalu setelahmendapatkan lambaian tangan balik dari Sivia. Cakka menggelengkan kepalanya takmengerti. Sivia menunggui Alvin berlatih? Lalu... Oik? Kemana peri kecilnyaitu? Bukannya Oik yang harusnya menunggui Alvin berlatih?
            “Taman! Ah, ya! Mungkin Oik lagi ditaman!” Cakka pun melangkah menuju taman sekolah.
            Dan, benar saja. Ia menemukan Oiktengah terduduk seorang diri dibangku taman tak jauh darinya. Cakka berjalanmenghampiri Oik dan duduk di sampingnya. Gadis itu tengah melamun, rupanya.
            “Gue cariin keliling sekolahternyata lo disini,” gumam Cakka.
            “Pusing nih, gue. Makanya ngademdisini.” Oik melirik Cakka dari ekor matanya.
            Cakka menegang. “Ayo, kita pulangsekarang.”
            “Nggak! Gue nungguin Alvin selesailatihan basket dulu. Dia janji mau nganterin gue pulang!” tolak Oikmentah-mentah.
            Cakka berdecak. “Ngapain lo nungguinAlvin latihan disini? Kenapa nggak di lapangan basket aja?”
            “Nggak tahu. Alvin yang nyuruh guenunggu disini.”
            Itukarena Sivia juga disini, Oik! Sivia nungguin Alvin latihan! Dan Sivia bilangAlvin bakalan balik sama dia, bukan sama elo!
            “Ayo, balik!” Cakka berdiri danmenyeret Oik untuk pulang. “Udah waktunya lo minum obat. Makanya lo pusing.Belum minum obat, sih.”
            “Nggak mau, Cakka!” Oik merontahebat. “Gue mau nunggu Alvin! Gue balik sama dia aja! Abis ini dia selesailatihan, kok!”
            “Nggak! Lo balik sama gue!” tegasCakka.
            Iya,Alvin emang abis ini selesai latihan. Tapi dia balik sama Sivia, Ik! Dia bakalnganterin Sivia dulu, baru balik kesini dan nganterin elo pulang! Gue beranitaruhan... lo pasti udah pingsan mimisan waktu Alvin nyampai sini buatnganterin elo.
            Cakka dapat merasakan Oik yang sudahtidak meronta di belakangnya. Sayup-sayup Cakka mendengar isakan di balikpunggungnya. Cakka mengutuk Alvin yang sudah membohongi peri kecilnyamentah-mentah dan membuat menangis sesenggukan begini.
            “Cakka? Kok nggak lewat lapanganbasket aja?” tanya Oik takut-takut.
            Cakka menggeleng. Gue nggak mau lo nangis kejer karenangelihat Alvin lagi sama Sivia.
            “Cakka, jangan marah,” rengek Oik.
            “Gue marah karena gue sayang samalo.”
            Harusdengan cara apalagi sih, Ik, gue nunjukin rasa sayang gue ke elo? Gue sayangsama lo... lebih dari sahabat. Harus dengan cara apa juga gue bilang ke elokalau Alvin nggak baik buat lo? Ad ague, Ik. Ada gue.

**

            Sorenya, ketika Cakka telah selesaimandi, ia pun langsung melangkah menuju rumah Oik yang hanya berjarak tigarumah dari rumahnya. Ia melihat sebuah sedan terparkir di pekarangan rumah Oik.Sedan milik Pricilla.
            Cakka melangkah masuk ke dalam rumahOik dan segera menuju kamarnya. Rumah Oik sepi. Kedua orangtuanya masih belumpulang dari kantor dan Ify –kakak Oik– pasti masih berada di kampusnya. Cakkatahu Oik kesepian.
            Begitu memasukki kamar Oik, Cakkamelihat Oik beserta kedua sahabatnya yang lain tengah sibuk dengan kegiatanmasing-masing. Cakka pun ikut duduk diatas karpet lembut kamar Oik danmemperhatikan ketiganya. Cakka terperanjat ketika menyadari obat dinakas Oikmasih belujm tersentuh.
            “Kalian ngapain?” tanya Cakka denganwajah datar.
            “Acha sama Pricilla bantuin guengebikin scrapbook.” Oik menyahutsambil memotong kertas daur ulang ditangannya menjadi beberapa bagian.
            “Scrapbookbuat apa?” tanya Cakka tak mengerti.
            “Hadiah buat Alvin. Besok lusa Oiksama Alvin anniv tiga bulan.” Achamenjawab dengan sebuah senyum hambar.
            Cakka menatap Acha dan Pricillacuriga. Kemudian ia kembali menatap Oik. “Segitunya ya, buat Alvin? Sampai-sampaiobat sendiri dilupain.” sindirnya.
            Oik meringis lebar. “Iya, iya..Maaf! Kelupaan!” dalihnya.
            “Kelupaan apa emang sengaja lupa?”Cakka bergerak mengambil obat Oik dan segelas air putih di dekatnya kemudianmeletakkannya di hadapan Oik. “Minum dulu, baru abis itu lanjutin lagi bikin scrapbook-nya.”
            Oik memutar bola matanya malas.Dengan terpaksa, Oik menghentikan aktivitasnya dan meminum beberapa pil obatjatahnya sore ini.
            “Ik, gue haus.” Cakka menatapnyamemelas.
            “Ya, terus? Ambil aja sendiri!” Oikberkata dengan sewot.
            “Ambilin, kek! Gue kan, tamu disini.Kebangetan banget deh, elo! Acha sama Pricilla juga nggak elo ambilin minum,”tukas Cakka.
            Tanpa berkata apa-apa lagi, Oikbangkit dari duduknya dan berlalu keluar kamar. Cakka memperhatikan Oik daricelah pintu yang terbuka. Gadis itu tengah sibuk membuat empat gelas es sirup.
            “Kalian berdua udah tahu kan, soalhal ini?” todong Cakka.
            “Tahu apa sih, Kka?” tanya Pricillabalik. Gadis itu langsung mengalihkan pandangannya.
            “Alvin sama Sivia. Pasti kalian udahtahu.” Cakka menatap kedua gadis di hadapannya dengan tajam.
            “Kita nggak ngerti!” Acha memelankansuaranya seraya memelototi Cakka.
            “Bohong! Gue lihat ekspresi lo waktubilang ini untuk hadiah annivmereka!” Cakka balik memelototi Acha.
            “Fine!”Pricilla mengangkat tangannya pertanda menyerah. “Kita berdua emang udah tahusoal ini. Sejak awal.”
            “Lo berdua tega,” desis Cakka.
            “Ini demi Oik juga, Kka!” ujar Achagemas.
            “Demi Oik apanya? Ini yang kalianbilang demi Oik? Ngebohongin Oik mentah-mentah?” Cakka mulai tersulut emosinya.
            “Kenapa, sih? Lo jealous? Lo nggak suka Oik bahagia samaAlvin? Lo sayang Oik lebih dari sahabat?” gerutu Pricilla.
            Cakka sudah akan menjawab gerutuanPricilla ketika terdengar bunyi pintu yang berderit terbuka. Cakka mengurungkanniatnya. Tubuh Oik menyembul dari balik pintu. Gadis itu membuka nampan berisiempat gelas es sirup dan meletakkannya di tengah-tengah mereka berempat. Cakka,Acha, dan Pricilla pun menghentikan percakapan rahasia mereka.
            “Nih, minumnya..” Oik tersenyum dankembali pada aktivitasnya.
            “Lo sayang banget sama Alvin, Ik?”tanya Cakka tiba-tiba.
            “Tentu!” jawab Oik tanpa pikirpanjang. Senyum malu-malu pun terukir dibibirnya.
            Lagi-lagi Cakka merasakan sesuatumenikam ulu hatinya. Rasanya ia ingin menangis saja melihat senyum malu-maluitu. Cakka tak mengerti bagaimana semesta ini menjadi sebegini bermusuhannyadengannya.
            Dulu semesta mempertemukannya denganOik sebagai tetangga barunya. Dulu semesta membuatnya bersahabat dengan Oik hinggakini. Dulu semesta membuatnya jatuh kepada kepolosan Oik. Dulu semestamembuatnya menghabiskan seluruh waktunya bersama Oik. Ya, dulu.
            Sekarang semesta memusuhinya. Oikjatuh cinta kepada  Alvin. Oikmenghabiskan seluruh waktunya bersama Alvin. Oik sedikit menjauh darinya. Oiktidak lagi mau berbagi dengannya. Oik tidak lagi menceritakan hari-harinyakepadanya.
            Guehancur begitu tahu Alvin nggak sungguh-sungguh sama lo. Kenapa bukan gue sih,Ik? Gue bisa gantiin Alvin. Gue bisa jadi cowok lo. Gue bisa jadi the one yang nggak brengsek kayak Alvin.

**

            Bel istirahat telah berbunyi. Cakkacepat-cepat melangkah menuju kelas Oik dan mendapati gadis mungil itu tengahterduduk seorang diri di kelasnya. Cakka menghampirinya kemudian menghempaskantubuhnya di samping Oik.
            “Sendirian aja, Ik?” tanyanya.
            Oik meliriknya sekilas danmengangguk. “Iya.”
            “Acha sama Pricilla kemana?” tanyaCakka lagi.
            “Merekaberdua ke kantin, cari makan. Mereka bilang mereka laper.”
            “Terus lo nggak laper, gitu?” Cakkabertanya sembari menatap kekacauan dimeja Oik. Kertas daur ulang, kain flanelberbentuk bunga, pita warna-warni, foto-foto Alvin dan Oik. Cakka menghembuskannapasnya berat.
            “Scrapbookgue belum selesai dan besok gue sama Alvin annivtiga bulan. Gue nggak sempet makan, Cakka.” Oik mulai panik sendiri.
            Cakka menatap Oik tak suka. “Tapitadi pagi lo udah minum obat, kan?”
            “Udah. Untung aja Kak Ify ngingetingue.”
            Cakka terus memperhatikan Oik yangtenggelam dalam dunianya sendiri. Memotong fotonya bersama Alvin, menempelkannyapada lembaran scrapbook, mencoretkantulisannya pada ruang yang tersisa dengan kata-kata manis, membubuhkan sebuahkain flanel berbentuk bunga disudut lembaran.
            “Lo tahu gue sayang sama lo kan,Ik?”
            “Ya, gue tahu.”
            “Lo tahu gue nggak mau lo drop kan, Ik?”
            “Ya, gue tahu.”
            “Lo tahu gue selalu ada disini buatlo kan, Ik?”
            “Ya, gue tahu.”
            “Lo tahu gue cuman mau yang terbaikbuat lo kan, Ik?”
            “Ya, gue tahu.”
            Cumansatu yang nggak lo tahu, Ik. Sayang gue ke lo... lebih dari sekedar sahabat.
            Cakka mengalihkan pandangannyakeluar kelas Oik. Ia melihat bayangan Alvin dan Sivia yang tengah berjalanberiringan seraya menebar senyum. Cakka terpekur di tempat. Ia tak dapatmembayangkan reaksi Oik jika melihat ini.
            “Lo ngelihatin apa, sih? Seriusamat?” Oik menatap Cakka bingung dan kemudian menengok keluar kelas.
            Sudah dipastikan Oik akan melihatAlvin dan Sivia jika Cakka tidak menepuk pipinya untuk kembali melihatkearahnya. Cakka bisa bernapas lega karena Oik tidak sempat melihatnya. “Nggaklihat apa-apa, kok.”
            “Oh,” Oik mengangguk mengerti dankemudian kembali tenggelam dalam dunianya.
            “Lo selesaiin scrapbook-nya, ya. Gue ke... toilet dulu!” Cakka menepuk pelanpuncak kepala Oik dan berdiri.
            “Oke!” Oik mengacungkan jempolnyadan Cakka berlalu pergi.
            Alvinbrengsek! Maki Cakka dalam hati.
            Cakka keluar dari kelas Oik denganlangkah berderap. Ia pun mengikuti Alvin dan Sivia. Cakka memotong jalankeduanya dan menatap Alvin tajam.
            “Gue pinjem Alvin bentar ya, Siv?”ujar Cakka, tanpa melirik Sivia sedikit pun.
            “Bo...leh,” Sivia menjawab dengankening berkerut.
            Cakka pun menyeret Alvin ke sudutkoridor yang sepi. Cakka menghempaskan tangan Alvin yang ia seret danmerapatkan tubuhnya pada tubuh lelaki bermata sipit itu. Tatapan keduanyabertemu. Cakka dengan tatapan tajamnya dan Alvin dengan tatapan menantangnya.
            “Mau lo apa, sih?” desis Cakka.
            “Harusnya gue yang tanya kayak gituke elo!” balas Alvin.
            Cakka berdecak. “Lo sadar nggak sih,lo abis lewat depan kelasnya Oik bareng Sivia? Gimana kalau Oik ngelihat loberdua? Gimana kalau dia langsung down?Gimana?!”
            “Oh,” Alvin tersenyum miring. “Maujadi pahlawan kesiangan?”
            Cakka melayangkan tinjungankepelipis Alvin. Tak ia hiraukan pekikan kaget Sivia dan tatapan bertanyaseluruh teman-temannya yang tak sengaja melihat.
            “Lo ngeduain Oik, hah?”
            “Gue udah lebih dulu sama Siviadaripada sama Oik.”
            “Dan Sivia nggak tahu lo juga jalansama Oik?” tanya Cakka tak percaya.
            “Nggak.” Alvin menggeleng dantersenyum miring. “Buat apa? Toh, gue sama Oik juga cuman main-main.”
            “Apa?!” Cakka kembali melayangkatinjunya pada pelipis Alvin.
            “Gue tahu Oik sakit. Dasarpenyakitan. Gue jadian sama dia juga karena Acha sama Pricilla yang mohon-mohonke gue. Kata mereka cuman gue yang bisa bikin Oik semangat untuk sembuh.”
            “Jadi Acha sama Pricilla yang ngatursemuanya? Keterlaluan!”
            “Kenapa? Lo nggak terima?” tanyaAlvin dengan senyum mengejek.
            “Gue peringatin sama lo.” Cakkamenunjuk Alvin dengan jarinya. “Jangan bikin Oik sedih. Jangan bikin Oik down. Oik terlalu berharga buat losakitin!”
            Setelahnya, Cakka mundur beberapalangkah. Ia meninggalkan Alvin yang masih tersenyum mengejek. Ia melewati Siviayang memandangnya takut-takut. Sayup-sayup ia mendengar Alvin yang berteriakkepadanya.
            “Kenapa? Lo suka sama Oik? Bilangaja, bro! Gue bakal dengan senanghati ngelepas cewek penyakitan itu buat elo!”
            Cakka meninju tiang penyangga disampingnya dan kembali berlalu. Tak ia hiraukan rasa sakit yang berdenyut ditangannya. Hanya ada Oik dipikirannya, juga bagaimana cara agar gadis itu tidakmengetahui masalah ini. Oik tidak boleh down.Tidak.
            Losalah pilih orang, Ik..

**

            “Cakka, rasanya sakit banget!” Oikmasih sesenggukan dalam pelukan Cakka semenjak sejam yang lalu.
            “Iya, gue tahu.” Cakka mengusap punggungOik dengan lembut.
            “Gue nggak nyangka kalau semuanyabakal berakhir secepet ini,” ujar Oik disela-sela isakannya.
            “Udah jadi kehendak Tuhan, Ik. Maugimana lagi?”
            “Tapi gue nggak nyangka aja kalaubakalan putus sama Alvin di-annivkami yang ketiga bulan, Kka!” Oik kembali merengek dalam dekapan Cakka.
            “Ambil hikmahnya aja. Kalau lo nggakputus sama Alvin pasti lo bakalan tetep jadi simpenannya Alvin.”
            “Gue bego banget ya, Kka?” Oikmendongak menatap wajah Cakka. “Bisa-bisanya gue nggak tahu kalau Alvin samaSivia udah jadian sejak setahun yang lalu. Aduh, gue bego banget!”
            “Udah, udah.. Jangan sedih dong,Peri Kecil!” Cakka mengusap bekas air mata Oik dipipinya dan tersenyum lembut.
            “Iya, iya. Gue nggak bakal sedihlama-lama, kok. Tapi kan, tetep aja gue patah hati, Cakka!” rengek Oik lagi.
            Cakka tertawa dan kembalimenenggelamkan Oik kedalam pelukannya. “Iya, nggak apa-apa. Nangis aja lagi.”
            “Pokoknya Oik harus bangkit. Oiknggak boleh terpuruk lama-lama cuman karena Alvin... dan Sivia. Oik kan, kuat.Iya kan, Kka? Peri kecil lo ini sebenernya kuat, kok. Strong!”
            “Gue nggak tahu kalau lo sedewasaini, Ik.” Cakka tertawa kecil.
            “Ih, tapi gue tetep bete!” teriakOik sebal.
            “Pukul gue, deh.” Cakka melepaskanpelukannya pada Oik dan menatapnya sungguh-sungguh.
            “Boleh?” tanya Oik ragu-ragu.
            “Apa sih, yang nggak buat lo?” Cakkamengedipkan sebelah matanya dengan jenaka.
            “Lo nggak bakalan bales, kan?” tanyaOik lagi.
            “Nggak.” Cakka mengangguk mantap.
            Oik pun mulai menyerang Cakka denganmembabibuta. Ia memukul dada Cakka dengan sebal, menumpahkan segala kesedihanserta kekecewaannya pada Alvin melalui pukulan tersebut. Cakka menggigitbibirnya, meredam nyeri karena pukulan Oik.
            “Gue sedih! Gue sebel! Gue bego!Alvin ngeselin! Sivia juga! Semua orang ngeselin! Gue bete karena gue terlalubego buat nyadarin hubungan Alvin dan Sivia selama ini! Gue nyesel karena udahnerima Alvin tiga bulan yang lalu!”
            “Terus, Ik. Tumpahin semua emosi lo.Gue... nggak apa-apa, kok.” Cakka kembali meringis kesakitan.

**

            Sekolah sudah sepi. Hanya menyisakansegelintir siswa saja disini. Beberapa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler,beberapa belum dijemput, dan beberapa lagi masih ingin bersendagurau denganteman-temannya.
            Cakka dan Oik masih berada di kantinsekolah. Cakka sengaja menunggui Oik. Rencananya Oik akan memberikan scrapbook tersebut kepada Alvin setelahlelaki itu selesai berlatih basket. Cakka sudah mati-matian menahannya untukberlalu munuju lapangan basket karena Cakka tahu betul Sivia juga ada disana.
            “Kenapa sih, nggak sekarang ajangasih Alvin? Udah sore, nih! Lagipula gue juga mau ngasih kejutan ke Alvin!”celoteh Oik heboh.
            Cakka menggeleng tegas. Lo nggak ngerti, Oik!
            “Ah! Elo mah, ngeleng mulu daritadi! Nggak ngasih alesan yang jelas!” sewot Oik.
            Oik pun berdiri seraya menggendongtas sekolahnya dan menenteng scrapbookuntuk Alvin. Gadis mungil itu melangkah meninggalkan kantin tanpa bisa dicegahlagi oleh Cakka. Langkahnya berderap menuju lapangan basket.
            Cakka cepat-cepat mengambil tasnyadan mengikuti langkah Oik. Oik berdiri tercenung di koridor tak jauh darilapangan basket. Cakka berhenti melangkah dan berdiri di samping Oik. Iamengikuti arah pandang Oik. Ada Sivia disana. Di pinggir lapangan basket. Didekat tumpukan tas anggota tim basket.
            “Kok ada Sivia ya, Kka?” gumam Oik.
            Tuh,kan! Gue bilang juga apa!
            Oik mengangkat pundaknya tak acuhdan kembali melangkah dengan riang menuju lapangan basket. Ia berhenti dibelakang Sivia. Sivia dan anggota tim basket lain masih tak menyadari kehadirannyabeserta Cakka disana. Cakka berdiri dengan waswas di samping Oik.
            “Alvin! Semangat!” teriak Siviacentil dari tempatnya duduk.
            Oik terpaku. Apa tadi Sivia bilang?Alvin? Sivia meneriakkan nama Alvin?
            Breaklatihan. Alvin menghampiri Sivia. Sivia segera menyodorkan sebotol minumanisotonik kepada Alvin. Alvin merangkulnya seraya menenggak minuman tersebut.Oik kembali terpaku. Cakka menutup matanya rapat-rapat. Tak sanggup melihatekspresi terluka Oik.
            “Alvin? Sivia?” lirih Oik.
            Cakka menghembuskan napasnya dengansusah payah. Ia genggam erat-erat tangan Oik. Tangan Oik terasa dingin dalamgenggamannya.
            Alvin dan Sivia menengok kearahnya.Sempat tergambar kekagetan dari wajah keduanya. Tetapi keduanya dengan cepatmengatasi suasana.
            “Kalian...?” Oik tak sanggupmenyelesaikan kalimatnya.
            Ray –anggota tim basket yang lain–berjalan menghampiri keempatnya dan menepuk lengan Alvin. “Gue tunggu traktiranlo berdua! Besok lusa lo berdua annivsetahun, kan?” Ray menatap Alvin dan Sivia bergantian.
            Bagai disambar petir disiang bolong,Oik terperanjat. Air mata jatuh dari matanya diiringi dengan deraian tawa yangdipaksakan. Ia meremas tangan Cakka yang menggenggamnya.
            “Kalian besok lusa... anniv setahun? Selamat, ya!” ujarnya.
            “Makasih,” Sivia mengangguk denganbingung melihat ekspresi Oik.
            Oik tahu bahwa ia yang menjadi orangketiga. Makadari itu, ia memilih untuk diam saja.
            “Oh, ya..” Oik menyerahkan scrapbook itu kepada Alvin. “Gue ngebuatitu susah payah, Vin. Jadi, mohon diterima. Sebenernya itu sebagai hadiah anniv kita yang ketiga bulan... tapisekarang ngerangkep sebagai hadiah perpisahan.” Oik tersenyum miris.
            Alvin membuka mulutnya, “Ik, gue––”
            Oik mengangkat bahunya dancepat-cepat mengusap air mata yang kembali leleh. “Nggak apa-apa, kok. Guengerti. Kita masih bisa jadi... temen. Longlast,Vin, Siv!”
            Oik pun berlalu meninggalkan mereka.Ia berjalan dengan langkah terseok-seok dan air mata yang meleleh tanpa adahentinya. Cakka menatap punggungnya sedih. Lelaki itu beralih pada Alvin danSivia.
            “Lo berdua keterlaluan! Udah puasngelihat Oik nangis?” desisnya.

**

            Oik sudah kembali berada dalampelukan Cakka. Sejak pulang sekolah tadi, keduanya berada di kamar Oik. Oikmengunci pintu kamarnya dari dalam. Ify –yang ternyata sudah berada di rumah–hanya memaklumi tingkah adiknya itu.
            Cakka menengok kearah jendela kamarOik. Hari sudah malam. Matahari sudah terbenam semenjak sejam yang lalu tetapiOik masih belum bosan menangisi Alvin. Cakka mengusap pelan punggung Oik. Iamasih bisa mendengar isakan kecil Oik dalam pelukannya.
            “Lo lebih baik istirahat, deh.”
            Cakka melepaskan pelukannya padaOik. Ia menangkup wajah Oik dalam telapak tangannya dan mengusap bekas air mataOik denga ibu jarinya. Cakka tersenyum lembut untuk menenangkan Oik.
            “Lo butuh istirahat. Lo pasti capekbanget.” ujar Cakka.
            Cakka membantu Oik untuk berbaringdiranjangnya dan menaikkan selimut hingga menutupi tubuh Oik hingga bahunya.Cakka berjongkok di samping ranjang Oik dan mengecup pelan kening peri kecilnya.
            “Tungguin gue dulu disini sampai guetidur,” rengeknya.
            Cakka tersenyum dan mengabulkanpermintaan Oik. Ia berpindah ke sisi ranjang Oik yang satunya dan duduk disana.Ia mengusap rambut Oik untuk sekedar me-ninabobok-kannya.
            “Andai aja wajah lo diganti samawajahnya Alvin, gue pasti seneng banget. Rasanya jadi kayak Alvin yang nungguingue.” Oik tertawa kecil diakhir gurauannya.
            Cakka tertawa miris. Dalam keadaanseperti ini pun Oik masih mengharapkan Alvin. “Udah, deh. Ayo, tidur. Tubuhsama pikiran lo butuh istirahat, Oik!”

**

            Sabtu malam itu, Cakka mengajak Oikpergi ke sebuah pantai di sudut Jakarta yang masih sepi. Cakka tak tega melihatOik yang termenung sendiri di teras rumahnya seraya menatap kosongtanaman-tanaman di pekarangan rumah Oik.
            Dan disinilah mereka berdua.Berjalan menyusuri bibir pantai yang sepi dengan bergandengan tangan. Alas kakimereka pun hanya ditenteng karena kaki mereka tergoda untuk berjejak pada pasirpantai yang berwarna putih tersebut.
            “Lo seneng gue ajak kesini?” tanyaCakka, melirik Oik dari sudut matanya.
            “Seneng!” Oik memeluk Cakka sekilasdan tersenyum. “Makasih! Lo emang sahabat terbaik gue.”
            Cakka tersenyum miris. Hanya sahabat. “Duduk sana, yuk?” ajak Cakka,menunjuk sebuah tempat dibawah naungan pohon kelapa yang menjulang tinggi.
            Oik mengangguk. Cakka pun segeramenuntunnya berjalan kesana. Keduanya duduk bersandar pada dahan pohon kelapa.Mata mereka menadang ombak yang bergulung-gulung di depan sana dalam diam.Hanya ada suara deburan ombak yang memecah keheningan.
            Perlahan Cakka membaringkan badannyadiatas pasir pantai, menggunakan kedua lengannya sebagai penopang kepala. Oikmeliriknya dan ikut membaringkan badannya di samping Cakka.
            Keduanya menatap langit yang cerahmalam itu. Bintang-bintang berkerlip samar di atas sana. Rembulan punmelengkapi cerahnya langit. Tiba-tiba mata keduanya menangkap sebuah bintangjatuh yang gemerlapnya menyilaukan mata.
            “Bintang jatuh, Kka!” pekik Oik.
            “Makea wish, Ik! Ayo, cepet!” suruh Cakka.
            SemogaOik sembuh dari penyakitnya. Semoga dia sadar kalau ada gue disini.
            Semogague bisa nemuin penggantinya Alvin.
            “Amin!”
            Keduanya saling lirik kemudiantertawa lepas.
            “Lo minta apa tadi, Ik?” tanyaCakka.
            “Kalau lo minta apa?” tanya Oikbalik.
            “Rahasia!” keduanya menjawabbersamaan dan kembali tertawa menyadari kekompakan mereka.
            “Eh, lihat, deh.” Cakka menunjukrasi bintang di atas sana.
            “Apa?” tanya Oik tak mengerti,mengikuti arah yang ditunjuk Cakka.
            “Rasi bintang itu.” Cakka mulaimenghubungkan rasi bintang yang satu dengan yang lain. “Mereka ngebentuk wajahorang yang lagi senyum.”
            “Iya.” Oik mengangguk setelahmenyadari kebenaran ucapan Cakka. “Terus?”
            Cakka menengok kearah Oik dantersenyum lembut. “Itu karena mereka juga mau lihat lo senyum lagi, kayakdulu.”
            Oik tertawa dan mengangguk mengerti.“Nih, gue udah senyum. Ketawa, malah! Puas lo? Aduh, serius lo gombal banget,Cakka!”
            Cakka tersenyum lembut menyadari Oikyang sudah kembali tertawa lepas, tanpa beban. Rasanya usahanya tak sia-sia.Perlahan, ia akan membuat Oik melupakan Alvin dan menunjukkannya arti cintayang sesungguhnya. Ya, dia janji.
            Tatapan mata Cakka melembut padaOik. Oik menyadari dan tersenyum malu. Keduanya saling mendekat hingga tak adalagi jarak di antara mereka. Bibir mereka bersentuhan. Cukup lama hingga merekadapat merasakan waktu yang seperti berhenti berjalan.
            Ican show you I’ll be the oneYes,I wanna be your only one, Oik..

**

            Minggu sore, Cakka kembali bermainke rumah Oik. Cakka mendapati Oik yang tengah menyirami tanaman di pekaranganrumahnya seraya bersenandung riang. Cakka menyentuh bibirnya, kembali mengingatkejadian tadi malam dan tersenyum tipis.
            Cakka mengendap-endap memasukkipekarangan rumah Oik. Begitu sampai di belakang Oik, Cakka mengageti Oik dengancara berteriak keras-keras ditelinga gadis mungil itu.
            “OIIIIIKKK!!!!!!”
            “Huaaaaa!!!!!” Oik berbalik kagetdan mengarahkan slangnya menuju Cakka. “Eh, Cakka!” Oik cepat-cepat mematikankran air dan memukul sebal pundak Cakka. “Lo ngagetin aja, sih?! Rese lo!”
            “Aduh, maaf!” Cakka tertawa danmenangkupkan kedua tangannya didepan dada.
            Oik melemparkan slangnya begitu sajadan mengajak Cakka untuk duduk di teras. Keduanya diam dan tenggelam dalampikiran masing-masing.
            Cakka menggigit bibir bagian bawahnya.“Soal yang kemarin––,”
            “Iya, nggak apa-apa.” Oik tersenyumgaring. “Gue ngerti, kok. Lo pasti cuman kebawa suasana aja.It’s okay. Gue juga sih, sebenernya.”
            No! Gue nggak kebawa suasana Oik! I really meant it!
            “Oh, ya! Gue ada rencana untuk mulaingelupain Alvin, nih.” ucap Oik tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan dari topiksebelumnya.
            “Ya?” Cakka menengok kearahnyadengan wajah penasaran.
            Bilangkalau lo mau nyoba jalan sama gue, Oik! Bilang!
            “Kenalin gue sama salah satu temenlo, dong. Yang nggak brengsek, tentunya.” Oik mengutarakan permintaannyaterang-terangan hingga membuat Cakka mendadak lupa bagaimana cara bernapas.
            “Hah?!”
            “Iya.” Oik menatap Cakka serius. “Lopunya temen yang nggak brengsek, kan?”
            “Punya.” Cakka mengangguk ragu. Satu-satunyateman yang dapat ia percaya. “Dia goodlooking, dia bisa main piano, diabisa main gitar, suaranya bagus, jago main basket, dia nggak brengsek. Dandia... Gabriel.”
            “Oke.” Oik mengangguk setuju.“Kenalin gue sama dia, ya. Besok. Mumpung kita ada libur seminggu karena anakkelas dua belas pada ujian.”
            Cakka mengangguk lemas. Harapantinggalah harapan. Oik masih belum menyadari perasaannya yang sesungguhnya.Harus berapa lama lagi ia menunggu? Sebulan? Setahun? Atau... selamanya?

**

            Pagi itu, Cakka dan Oik dudukberdampingan di sebuah sudut taman kota. Oik terus saja bergerak gelisahsedangkan Cakka sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Kini Cakka tengahmenemani Oik untuk menunggu kedatangan Gabriel.
            Oik memakai croptee berwarna merah marun dan legging hitam semata kaki. Rambutnya ia kuncir tinggi-tinggi tanpapolesan make-up sedikit pun. Dan Cakka harus mengakui bahwa Oik terlihat sangatmanis pagi itu.
            “Gabriel pasti dateng kan, Kka?”tanya Oik untuk yang kesekian kalinya.
            “Iya, Oik.” Cakka menggeram sebal,mencoba untuk bersabar.
            Oik menepuk lengan Cakka sehinggalelaki itu menengok kearahnya. “Gue udah oke kan, Kka? Nggak jelek kan, gue?”
            Cakka mengangguk sebal. “Udah. Nggakusah over deh, Ik.”
            Oik memberengut sebal dan kembalipada posisinya semula. Keduanya duduk berdampingan tanpa saling bicara lagi. Oikkesal karena perkataan Cakka dan Cakka... cemburu, mungkin?
            “Hai!” sebuah suara menyapa keduanyadari belakang.
            Cakka dan Oik pun menengok ke balakang.Mereka mendapati seorang lelaki bertubuh tinggi dengan kulit kecokelatan hasildari berlatih basket disiang bolong dan senyum yang membuat Oik meleleh saatitu juga.
            Cakka berdiri, sedikit menggeretOik, dan menghampiri Gabriel.
            “Gab, ini Oik. Ik, ini Gabriel.” Cakkamemperkenalkan keduanya secara resmi.
            “Gabriel.”
            “Oik.”
            Keduanya berjabat tangan cukup lamadan saling melemparkan senyum sehingga Cakka nyaris muntah dibuatnya. Cakka berdeham.Keduanya pun saling melepaskan genggaman masing-masing walaupun masih tetapsaling tersenyum.
            “Gabriel ini temen les gue, Ik. Gab,Oik ini sahabat gue dari kecil.” Cakka menjelaskan status masing-masing.
            “Lo mau jalan kemana, Ik?” tawarGabriel.
            “Terserah lo aja.” Oik menjawabdengan senyum sumringah.
            “Ya udah,” Cakka menepuk pundakGabriel dan Oik bergantian. “Gue tinggal dulu. Have fun, ya. Gab, janganlupa pulangin Oik sebelum jam tujuh malem, ye. Gue bisa disemprot kakaknyakalau lo bawa pulang sampai malem.”
            “Sip!” Gabriel mengacungkan ibujarinya.
            Cakka tersenyum sekilas kepada Oikdan berbalik meninggalkan keduanya. Cakka kembali merasakan ulu hatinya yangberdenyut menyakitkan. Baiklah, ini sudah keberapa kalinya ia merasakandenyutan menyiksa itu? Ah, andai saja Oik tahu.

**

            Jam sudah menunjukkan pukul lima danOik belum juga pulang. Cakka khawatir, tentu saja. Perasaannya mendadak takenak. Bagaimana kalau nanti ketika Oik pulang ia mengabarkan bahwa ia sudahjadian dengan Gabriel? Tuhan, tolong.. Jangan biarkan Cakka merasakan sakitdihatinya lagi.
            Sudah cukup Cakka gusar seharianini. Sudah cukup ia berharap suara motor yang lewat di depan rumahnya adalahsuara motor Gabriel. Sudah cukup ia menyibak tirai kamarnya hanya untukmemeriksa siapakah yang baru saja lewat. Cukup.
            Cakka pun memutuskan untuk berlaluke rumah Oik. Rumah Oik sepi. Cakka mendengar suara mixerdari teras rumah Oik. Cakka pun menuju dapur dan mendapatiIfy yang tengah bergelut dengan adonan kue disana.
            “Kak Ify!” sapa Cakka.
            Ify mendongak menatap Cakka dantersenyum. “Hai, Kka!”
            Cakka pun duduk di dekat Ify danmemperhatikannya mengolah adonan kue. “Oik belum pulang, Kak?” tanyanya.
            “Belum.” Ify menggeleng. “Gue kiradia pergi sama lo, Kka.”
            “Nggak, Kak.” Cakka menggelengsebal. “Dia pergi sama Gabriel dari pagi tadi. Dia minta dikenalin sama temengue buat ngelupain Alvin. Ya udah, gue kenalin aja sama Gabriel. Gue yakin Gabrielbaik, nggak seperti Alvin.”
            Ify mengangguk mengerti. “Lo bisabantuin gue?”
            “Apa, Kak?” tanya Cakka balik.
            “Ambilin loyang yang udah guelapisin mentega diatas kulkas, dong.”
            Cakka pun mengambil benda yangdimaksud Ify dan meletakkannya di hadapan gadis berdagu tirus itu. “Bikinapaan, Kak Ify?”
            “Caramelcake. Oik suka banget sama kue ini.” ujarIfy seraya menumpahkan adonan berwarna coklat itu kedalam loyang.
            Setelah itu, Ify pun bergerak menujuoven dan memasukkannya kedalam sana setelah mengatur suhu. Ify mengambilsekotak jus dalam kemasan berukuran besar dan dua gelas lalu meletakkannya dihadapan Cakka. Ify menuangkan jus jeruk itu kedalam gelas dan mengembalikankemasannya kedalam kulkas. Lalu, ia duduk di samping Cakka.
            “Thanks,Kak.” Cakka melirik segelas penuh jus jeruknya.
            Ify mengangguk dan menenggaknya. Setelahitu, ia melirik Cakka. “Gue tadi ke kamarnya Oik. Niatnya sih, mau ngambilinbaju kotor biar dibawa bibi ke tempat laundry.Eh, gue nemuin obat Oik yang belum kesentuh sama sekali. Pagi ini dia nggakminum obat berarti.” Ify tersenyum sedih.
            “Serius lo, Kak?” tanya Cakka. Ia melirikjam tangannya cemas. Sudah jam enam lewat sedikit. “Berarti Oik juga nggakminum obat siang ini.”
            Tepat saat itu, Oik muncul denganwajah pucatnya. Ia segera duduk di samping Cakka dan mengistirahatkan kepalanyadipundak Cakka.
            “Hai! Capek banget, nih. Gue abisdari Dufan sama Gabriel.” Oik bercerita dengan suara lemah.
            “Lo nggak minum obat dari pagi,”geram Cakka.
            “Lupa!” sahut Oik datar.
            Cakka menggeleng tak mengerti. “Lo––,”
            “Cakka! Oik pingsan!” teriak Ify panik.
            Cakka menengok kepundaknya danmendapati Oik yang telah tak sadarkan diri dengan darah yang mengalir derasdari hidungnya. “Telepon rumah sakit, Kak!” perintah Cakka.
            Ify berlalu untuk menelepon rumahsakit. Cakka terdiam di tempatnya. Tubuhnya kaku melihat darah Oik yang takberhenti mengalir dari hidungnya. Cakka menggenggam erat kedua tangan Oik. Hatinyaberdebar memikirkan kemungkinan terburuk.
            “Udah gue bilang, Oik.. Leukimia itubukan penyakit biasa. Lo nggak boleh terlalu capek. Lo juga harusnya ikutkemoterapi. Lo bandel banget, sih?” Cakka mulai terisak.
            Please, jangan pergi. Jangan tinggalin kami semua secepet ini. Kami sayang elo,Oik. Sembuh. Gue mohon. Gue akan turutin semua permintaan lo kalau lo sembuh. Guesayang lo, Oik..

**

            Cakka terduduk lemas disampingranjang Oik. Ia mengenakan sebuah pakaian khusus berwarnatosca untuk masuk kesini. Ia genggam tangan Oik yang terasa dingin.Oik koma. Dan Cakka merasakan dunianya runtuh karena itu.
            “Sadar, Ik..”
            Tes. Air mata Cakka meleleh jugaakhirnya.
            “Ini udah hari ketiga lo nggakngebuka mata lo.”
            Tes.
            “Gue kangen sama lo, Oik.”
            Tes.
            “Gue janji gue nggak akan sewot lagikalau lo minta dikenalin sama temen-temen cowok gue. Gue janji.”
            Tes.
            “Gue bakal ajak lo jalan-jalan kepantai tiap malem kalau lo sadar.”
            Tes.
            “Gue bakal beliin lo novel terbitanbaru. Janji!”
            Tes.
            “Gue belum sempet bilang kalau guesayang sama lo, Ik.”
            Tes.
            “Lo bisa denger gue, kan?”
            Tes.
            “Gue sayang sama lo, Oik CahyaRamadlani.”
            Tes.
            “Lebih dari sahabat..”
            Tes.
            Cakka menghapus air matanya. Ia menengokkearah pintu yang berderit terbuka. Kepala Ify menyembul dari luar,memberikannya isyarat agar menghampirinya di luar. Cakka mengangguk. Dengan berathati, Cakka melangkah meninggalkan Oik yang tengah terbaring koma. Satu yangCakka tak tahu, air mata Oik menetes mengiringi keluarnya ia dari ICCU.
            “Kenapa, Kak?” tanya Cakka langsung.
            Ify menepuk-nepuk ruang kosong disampingnya. Cakka pun menghampirinya dan duduk di sebelahnya. “Oik kritis. Dia butuhdonor sumsum tulang belakang secepatnya.”
            “Udah dapet pendonornya, Kak?” tanyaCakka lagi.
            Ify menggeleng. “Gue, mama, samapapa masih mau tes dulu. Kali aja salah satu dari kami bertiga ada yang cocoksama Oik.”
            “Gue ikut!” tandas Cakka.
            “Apa?” tanya Ify tak mengerti.
            “Gue ikut tes juga, Kak.”
            Ify menggeleng. “Jangan. Kemungkinannyakecil. Kalian bukan saudara. Lagipula orang yang udah ngedonorin sumsum tulangbelakangnya bisa meninggal, Kka.”
            “Meskipun kecil tapi kemungkinannyatetep ada, Kak.” Cakka tetap bersikukuh.
            “Terserah lo, deh.” Ify akhirnyamenyerah.
            Meskipundengan mendonorkan sumsum tulang belakang gue buat lo, gue bisa aja meninggal..Gue rela. Karena gue sayang sama lo. Dan gue baru sadar, gue sayang sama lomelebihi gue sayang sama diri gue sendiri.

**

            Jam baru menunjukkan pukul empatdini hari tapi kesibukan jelas terlihat disana. Sebuah ranjang dengan gadismungil terbaring koma diatasnya baru saja masuk ke dalam ruang oprasi. Disusul dengansebuah ranjang lagi dengan seorang lelaki terbaring diatasnya.
            “Andai aja gue yang sumsumnya cocoksama Oik, Kka. Pasti gue yang ada diranjang ini sekarang.” Ify mengusap airmatanya yang kembali meleleh.
            “Nggak apa-apa, Kak. Gue ikhlas,kok.” Cakka tersenyum tipis.
            “Tapi lo bisa aja meninggal karenaini!” pekik Ify histeris.
            Cakka kembali tersenyum tipis. “Kalausampai itu bener-bener kejadian, sampaiin ke Oik kalau gue sayang sama dia. Tolongbilang ke dia kalau sayang gue melebihi sahabat buat dia, Kak.”
            Ify mengangguk lemas. Ia menyaksikanranjang Cakka bergerak masuk ke dalam ruang oprasi. Ia menyaksikan pintu ruangoprasi yang perlahan mulai tertutup. Ia menyaksikan lalu-lalang dokter dansuster yang membantu proses oprasi tersebut.
            Ify terduduk disebuah kursi panjangdi depan ruang oprasi.
            Loharus tahu kalau Cakka mau yang terbaik buat lo, Ik. Lo harus sadar. Demi dia. Demigue. Demi mama. Demi papa. Demi Acha. Demi Pricilla. Demi semuanya.

**

            Ify mendorong kursi roda itumemasukki area pemakaman. Seminggu telah berlalu semenjak oprasi tersebut. Salahsatu dari mereka telah dipanggil menghadap Yang Kuasa. Ify beserta keduaorangtuanya menangis tiada henti karenanya.
            “Maaf. Gue nggak bisa jaga dia. Dia udahdipanggil sama Tuhan.” Ify bercicit pelan.
            Ify berhenti mendorong kursi rodatersebut dan memberhentikannya di depan sebuah tanah yang masih basah. Ify membantunyauntuk bangkit dari kursi roda dan terduduk lemas di samping gundukan tanah itu.
            “Maaf.” Ify kembali bercicit pelan.
            Ify merangkulnya yang sudah menangishebat. “Kenapa dia pergi ninggalin gue, Kak?”
            “Karena dia... pingin nyelametinelo, Oik!”
            “Lo tega banget sih, Kka, ninggalingue sendirian?” lirih Oik.
            “Gue mau nyampaiin pesannya Cakkabuat lo,” ujar Ify.
            “Pesan apa, Kak?” tanya Oik dengansuara parau.
            “Dia sayang sama lo. Lebih darisekedar sahabat.”
            Dan runtuhlah sudah semuapertahanannya. Oik menangis hebat, tersedu-sedu. Kepalanya terkulai lemasdipundak Ify. Perlahan tapi pasti suara isakannya mulai terdengar samar-samar. Ifypikir, adiknya sudah bisa menerima kenyataan. Ia tersenyum tipis menatap nisanCakka.
            Pengorbananlo nggak sia-sia, Kka..
            Ify menengok kearah pundaknya. Ia terperanjatketika mendapati mata Oik yang tertutup dan tubuh Oik yang sudah terkulailemas. Takut-takut, Ify meraba denyut nadi Oik dilehernya. Ify menunduk,merasakan air matanya yang luruh tak terkendali.
            “Kalian berdua pergi... ninggalingue.” Ify menutup matanya. Hatinya sakit begitu menyadari tak ada lagi denyutnadi Oik yang tersisa.
            “Gue yakin kalian pasti ketemudisana, di Surga. Jangan berantem disana, ya. Cakka, jagain Oik baik-baik. Tunggugue, mama, sama papa disana, Ik.”

THEEND

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar