Oik masih saja memandang Cakka dengan malas. Cakka sendiri, ia hanya memasang wajah bingung. Alvin terus menatap sinis ke arah Cakka. Tak lama, Shilla datang menghampiri mereka bertiga dengan riang. Shilla pun langsung menggelayut di lengan Cakka. Oik kembali memutar bola matanya dan menarik Alvin menjauh dari Cakka dan Shilla. Baru beberapa saat Alvin dan Oik pergi, Cakka sudah mengibaskan lengan Shilla dengan kasar, “Yah, Cakka, kenapa sih?” tanya Shilla dengan manja. Cakka melengos sebal dan langsung menyusul Oik.
Shilla pun segera memasukki kelas dengan kesal. Bisa-bisanya Cakka berlaku kasar dengannya tadi? Amarah Shilla sudah sampai di ubun-ubun. Belum lagi, ia sempat berpapasan dengan Acha di pintu kelas. Shilla makin kesal saja. Acha berlalu dari hadapannya dengan riang. Membawakan Cakka sandwich dan menyuapinya tadi sudah membuat Acha puas. Shilla yang memang tak mengerti insiden tadi pun hanya diam saja. Bagaimana kalau Shilla mengetahui insiden tadi? Sudah pasti ia akan mendamprat Acha habis-habisan.
^^^
Agni yang melihat Cakka berlarian di depan kelasnya pun segera keluar dan menghampiri Cakka. Ia berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Cakka. Susah. Cakka berjalan dengan tergesa-gesa dan sepertinya, Cakka emosi. Emosi untuk apa? Ia sendiri tak tahu. Cakka terus berjalan di belakang Alvin dan Oik serta memandang mereka lekat-lekat. Agni pun mengedarkan pandangannya. Akhirnya ia tau apa yang membuat Cakka jalan dengan tergesa-gesa. Agni berdecak kesal. Lagi-lagi Oik, pikirnya. Cakka masih tak sadar kalau Agni berada di sampingnya.
Cakka terus saja mengikuti Oik dan Alvin. Oik dan Alvin berjalan terus tanpa mengetahui ada Cakka dan Agni di belakang mereka. Oik dan Alvin berhenti di taman sekolah. Cukup ramai di sana. Ada beberapa adik kelas juga di sana. Oik dan Alvin segera duduk di salah satu bangku taman. Oik mendongakkan kepalanya seraya menutup matanya. Alvin hanya diam memandangnya. Tiba-tiba, dua makhluk tak diundang datang menghampiri Oik dan Alvin. Sontak, Oik menoleh ke arah mereka. Oik kembali memasang wajah kesal begitu mengetahui kalau mereka Cakka dan Agni. Oik tak masalah dengan Agni, ia hanya kesal dengan Cakka.
Dengan cepat, Cakka duduk di samping Oik. Oik mengalihkan pandangannya dengan malas. Karena tak dapat tempat, akhirnya Agni memutuskan untuk berdiri saja dengan terus memandang ke arah Cakka dan Oik. Oik masih diam, tak menggubris pertanyaan-pertanyaan yang Cakka lontarkan padanya, “Ik, kenapa sih? Gue punya salah ya sama lo? Ngomong dong! Gue ga kan ngerti.. Kasih tau gue apa salah gue” mohon Cakka. Oik kembali memutar bola matanya. Sedetik kemudian, Oik berlalu dari hadapan Cakka, Alvin, dan Agni.
Cakka berdecak kesal dan segera mengejar Oik, tak memperdulikan Alvin dan Agni. Alvin dan Agni masih diam di tempat. Sesekali pandangan mereka bertemu. Hingga akhirnya, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke kelas. Anehnya, bel pertanda pembelajaran dimulai ak kunjung berbunyi mulai tadi. Sekilas Agni melirik ke arah jam tangan yang bertengger indah di tangannya. Matanya terbelalak kaget, “Udah jam delapan loh, Vin. Kok ga bunyi sih belnya?” pekiknya kaget. Alvin mengangkat bahunya dengan cuek.
^^^
Oik berhenti di dekat gudang sekolah. Ia memang suka menyendiri di sana. Oik menghempaskan tubuh mungilnya di salah satu kursi yang menghadap ke taman sekolah. Pikirannya melayang entah ke mana. Sampai-sampai ia tak kunjung sadar kalau Cakka sudah duduk tepat di sampingnya. Cakka masih asyik memandangi Oik yang sedang melamun sambil memasang wajah polosnya. Entah ada dorongan dari mana, Oik sadar dari lamunannya. Segera ia menengok ke sampingnya. Betapa kagetnya ia ketika mendapati Cakka sudah duduk di sampingnya dengan tenang.
Oik baru saja akan berdiri ketika tangan Cakka menahan lengannya. Berontak? Gagal, cengkeraman Cakka lebih kuat. Akhirnya Oik duduk kembali, dengan terpaksa. Sekils Oik melirik ke arah layar ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih tapi bel belum berdering. Ia kembali menatap Cakka tanpa ekspresi, “Ngapain lo nyuruh gue duduk lagi? Gue mau ke kelas” tanya Oik, ia menatap Cakka tajam saat ini.
Cakka gelagapan, segera ia alihkan pandangannya menuju taman. Beberapa saat mereka kembali terdiam, tenggelam dalam kesepian. Tak lama, pengeras suara di dekat gudang mulai berbunyi. Cakka dan Oik menajamkan pendengaran masing-masing agar dapat mendengar pengumuman yang akan disampaikan tersebut, “Anak-anak, karena sekolah kita akan dipakai untuk rapat seluruh guru SMP di Jakarta, maka kalian akan pulang lebih awal. Terima kasih”
Tepat setelah pengumuman selesai diumumkan, bel berbunyi empat kali, pertanda pulang. Terdengar teriakan nyaring dari setiap penjuru sekolah. Oik lantas berdiri dan melenggang meninggalkan Cakka. Tak lama, Cakka pun berdiri dan mengikuti Oik dari belakang. Oik masih saja mengacuhkan Cakka yang sedari tadi terus memanggil-manggil namanya. Hingga mereka sampai di kelas pun, Oik masih mengacuhkan Cakka. Kelas sudah sepi. Beberapa detik kemudian, Alvin muncul. Acha juga ikut muncul bersama Alvin.
Acha segera menghampiri Cakka dan Alvin menghampiri Oik. Acha masih asyik menggandeng lengan Cakka. Cakka menatapnya tajam. Seolah tak tau, Acha terus saja menggandeng lengan Cakka, “Ik, pulang bareng mau ga?” tanya Alvin, Oik mengangguk cepat. Cakka yang mendengarnya hanya tersenyum masam. Oik dan Alvin pun berlalu dari hadapan Cakka dan Acha, menuju lapangan parkir sekolah. Cakka melepaskan tangan Acha dari lengannya dengan kasar, “Ga usah sok akrab!” bentaknya. Acha merengut.
Cakka pun bergegas meninggalkan kelasnya dan menyusul Oik dan Alvin di lapangan parkir. Acha mengikutinya dari belakang dengan kesal. Tepat ketika mereka berdua sampai di depan Oik dan Alvin, Acha kembali bergelayut pada lengan Cakka. Cakka menatapnya tajam. Acha tak menghiraukan tatapan Cakka dan tetap melihat Oik dan Alvin seraya tersenyum riang, “Kalian pulang bareng ya?” tanya Acha. Oik dan Alvin mengangguk bersamaan. Cakka membuang pandangannya ke arah lain.
Oik segera naik ke boncengan motor Alvin. Cakka segera menahan lengan Oik, “Turun, gue mau ngomong” lirihnya. Alvin menatapnya tajam. Oik melirik Alvin dan kembali melirik Cakka. Menimang-nimang ajakan Cakka barusan. Akhirnya dia mengangguk dan turun dari motor Alvin, “Vin, lo pulang ama Acha aja. Kalian tetanggan kan?” usul Cakka. Acha dan Alvin mengangguk malas, “Oke, biar gue yang nganterin Oik” lanjut Cakka. Cakka dan Oik menunggu Alvin dan Acha pergi terlebih dahulu.
“Mau ngomongin apa lagi sih?” tanya Oik dengan ketus, tepat setelah Alvin dan Acha hilang dari pandangan mereka. Cakka tak menjawab pertanyaan Oik sedikit pun. Ia hanya menarik Oik ke motornya dan melajukan motornya di jalanan Jakarta siang itu. Dalam perjalanan pun Cakka dan Oik tetap saling diam. Karena gengsi masing-masing yang cukup tinggi, mungkin. Cakka masih asyik mengendarai motornya. Oik sendiri tak tau Cakka akan membawanya ke mana, “Cakk, mau ke mana sih?” tanya Oik, memecah keheningan di antara mereka berdua.
Lagi-lagi Cakka tak menggubris pertanyaan Oik. Oik merengut kesal. Karena memang Oik yang terlampau capek atau apa, Oik tertidur di punggung Cakka. Cakka sempat kaget ketika Oik menyandarkan kepalanya di punggungnya. Terukir senyum tipis di balik helm yang ia kenakan. Menyadari Oik yang tertidur, Cakka memperlambat laju motornya. Sepanjang perjalanan, Cakka masih saja tersenyum sendiri.
^^^
Cakka memberhentikan motornya di depan sebuah rumah megah di kawasan Bintaro. Pelan-pelan ia turun dari motornya. Tangan kanannya ia gunakan untuk menahan kepala Oik agar tidak jatuh. Beberapa menit ia perhatikan wajah Oik yang sedang tertidur pulas. Cakka menoleh sekilas ke arah bangunan megah di hadapannya, tampak sepi. Cakka kembali kepada Oik dan menepuk-nepuk pipinya pelan, “Hey, bangun. Udah nyampek” bisiknya, Oik bergumam tak jelas.
Setelah itu, Oik membuka kedua kelopak matanya perlahan seraya menguap lebar. Ketika ia mendapati Cakka sedang berada tepat di hadapannya, cepat-cepat ia tutup mulutnya. Cakka tersenyum geli. Oik mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan mendapati sebuah bangunan megah di hadapannya. Ia menatap Cakka bingung, “Rumah siapa sih? Ngapain ke sini? Kok ga anter gue pulang aja?” tanya Oik beruntun. Cakka kembali tak menjawab pertanyaan Oik, ia menarik Oik memasukki bangunan megah itu.
Cakka bergegas membuka pintu bangunan tersebut, tak terkunci rupanya. Oik mengikutinya dari belakang sambil sesekali mengedarkan pandangannya kesana-kemari. Cakka terus berjalan memasukki bangunan megah tersebut. Berjalan ke bagian belakang bangunan tersebut. Tampak sebuah taman yang cukup luas dengan berbagai tanaman di sana. Ada pula ayunan, perosotan, kolam ikan, dan kolam renang. Oik memandang takjub ke arahnya. Oik segera menghampiri kolam ikan tersebut. Benar saja, puluhan ikan berenang-renang di sana. Oik memandang gemas ke kolam ikan tersebut.
Cakka masih berdiri mematung di belakang Oik sambil tersenyum tipis. Perlahan Cakka maju. Kini, ia berdiri berdampingan dengan Oik. Oik masih asyik dengan kolam ikan di depannya. Cakka pun ikut memandang ke arah kolam ikan tersebut, tak mengerti dengan jalan pikiran Oik. Apa yang membuat gadis di sampingnya ini memandang gemas ke kolam ikan? Entahlah. Cakka merangkul Oik dari samping. Oik sempat kaget dan mendongak ke arah Cakka. Oik tersenyum ke arahnya, “Ikannya lucu!” serunya gemas.
Cakka cengo. Ia pun menarik tangan Oik ke arah ayunan di dekat kolam renang. Ia langsung menyuruh Oik agar duduk di sana dan ia sendiri, duduk di hadapan Oik. Cukup lama mereka saling diam dan hanya bermain ayunan. Mata Oik masih saja menatap ke arah kolam ikan, Cakka hanya gelng-geleng kepala. Perlahan, hujan mulai turun. Tak sampai deras, Cakka menarik tangan Oik agar masuk ke dalam rumah. Oik berontak, “Oik, ayo masuk! Ntar sakit!” teriak Cakka. Suaranya terdengar samar-samar, tertelan oleh suara hujan yang turun.
Oik cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Ia tetap bersikukuh agar ia tak usah masuk ke dalam rumah, “Cakka, gue mau di sini! Udah lama ga hujan-hujan! Mumpung ga ada Kak Rio!” balas Oik, dengan berteriak pula. Akhirnya Cakka membiarkan Oik tetap di taman belakang rumah itu. Cakka menemaninya hujan-hujan. Oik masih asyik hujan-hujan ketika bibirnya mulai memucat. Cakka segera menghampirinya dan mengecek suhu tubuhnya dengan menempelkan punggung tangannya di dahi Oik, “Panas! Demam! Udah, masuk yuk!” ajak Cakka. Kali ini Oik mengangguk setuju. Cakka segera menggeret Oik masuk ke dalam.
Cakka menyuruh Oik duduk di sebuah ruangan. Kamar tepatnya. Di sana ada sebuah kasur, almari pakaian, TV, meja belajar, dll. Oik mengedarkan pandangannya. Serba ungu. Cakka melenggang ke almari pakaian dan mengeluarkan sebuah handuk. Ia mengangsurkannya pada Oik, “Keringin badan dulu gih!” suruhnya. Oik mengangguk pasrah. Ia masuk ke dalam kamar mandi, Cakka masih mengikutinya. Oik membalikkan badannya, “Ngapain ngikutin gue?” tanya Oik.
Cakka cengengesan, “Nemenin lo dong, cantik!” serunya. Oik menempeleng pelan kepalanya dan mendorong tubuh Cakka keluar dari kamar mandi, “Stop di situ! Jangan ngikutin gua! Awas ye lo!” ancamnya. Cakka tersenyum mengejek. Oik kembali masuk ke dalam kamar mandi. Bedanya, kali ini ia memasukki kamar mandi dengan wajah memerah dan ukiran senyum manis di bibir mungilnya.
Lima menit kemudian, Oik keluar dari kamar mandi dengan handuk membalut rambutnya. Ia menghampiri Cakka yang sedang duduk di kasur sambil menonton TV, Oik segera duduk di samping Cakka. Cakka menatapnya sekilas dan menyodorkan setoples keripik ke arahnya. Oik menggeleng pelan, “Ga usah, makasih” tolaknya, “Cakk, ngomong-ngomong nih, ini rumahnya siapa sih? Kok sepi amat?” lanjutnya. Cakka menatapnya sekilas dan mematikan TV. Cakka beranjak ke balkon kamarnya, Oik mengikutinya.
Cakka memejamkan matanya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya, “Rumah gue kok. Sepi? Iya dong, gimana mau rame kalo nyokap sama bokap gue sibuk sendiri-sendiri? Ya gue sendirian aja di rumah” jelasnya. Oik manggut-manggut seraya menepuk pelan bahu Cakka, “Sabar deh, haha. Nyokap sama bokap gue juga kayak gitu kok, sibuk sendiri-sendiri. Jadinya ya gue di rumah cuman sama Kak Rio dan pembantu keluarga gue” lanjut Oik. Cakka kembali menempelkan punggung tangannya di dahi Oik, “Udah, lo tidur aja. Demam tuh” suruhnya. Oik mengangguk pasrah. Mereka berdua kembali memasukki kamar tadi.
Oik cepat-cepat membaringkan tubuhnya di kasur. Cakka mengacak-acak isi lacinya. Senyumnya mengembang. Ia keluar dari kamar sebentar dan kembali dengan segelas air putih. Ia menghampiri Oik yang hampir tertidur. Pelan-pelan ia membangunkan Oik, “Ik, minum obat dulu ya. Biar cepet sembuhnya” lirihnya. Oik mengangguk lemas. Oik segera mengambil segelas air putih dan setablet obat di tangan Cakka, “Udah, tidur lagi aja ya” ujar Cakka, tepat ketika Oik baru saja menelan obatnya.
Oik kembali memberikan gelas tadi pada Cakka. Cakka menerimanya sambil tersenyum. Cakka pun bangkit dan berjalan keluar kamar, “Cakka, mau ke mana?” tanya Oik. Cakka membalikkan badannya, “Mau tidur. Di kamar sebelah? Kenapa? Mau ditemenin?” tanyanya. Wajah Oik memanas. Oik menggelengkan kepalanya sambil tersenyum malu. Pintu pun tertutup. Terdengar derai tawa Cakka di kamar sebelah. Oik pun terlelap dan masuk ke alam mimpinya.
^^^
Oik terbangun dari tidurnya dan mengerjap-erjapkan matanya beberapa saat. Ia menemukan Rio sedang duduk di sofa sambil menatap serius ke arah layar ponselnya, “Loh kak, kok gue di sini sih?” tanya Oik, masih dengan menguap lebar-lebar. Rio menoleh ke arahnya. Segera ia letakkan ponselnya dan mengecek suhu tubuh Oik, “Bagus deh kalo udah ga demam” gumamnya, “Oh itu, tadi Cakka nganterin lo ke sini, lo-nya lagi tidur” lanjutnya. Oik hanya mangut-manggut seraya tersenyum simpul, “Emang kalian abis ngapain? Lo kok sampek demam?” tanya Rio. Oik mengedikkan bahunya seraya tersenyum misterius.
Classmate (Part 4)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar