Ozy, Deva, dan Ray yang menyadari sedang terjadinya ‘perang batin’ dalam diri Alvin dan Acha hanya dapat menelan ludah. Mereka tak mau masuk lebih dalam lagi dalam permasalahan mereka. Cakka dan Oik sendiri masih asyik menundukkan kepala masing-masing dengan wajah semerah tomat.
“Udah, yuk, nunggu apa lagi? Ayo makan!” ajak Deva dengan (sok) asyik.
Oik dan Cakka kembali mengangkat wajah masing-masing. Sedangkan Alvin dan Acha, sudah setengah sadar. Keduanya menghembuskan napas kuat-kuat dengan maksud menyindir Oik dan Cakka. Keduanya kembali jengkel ketika mengetahui Oik Cakka tak merasa disindir sedikitpun.
Sivia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Oik dan berbisik sesuatu di telinga teman semejanya tersebut, “Ssssttt!! Liat noh si Alvin! Udah jealous setengah idup die! Lu, sih, make acara ngambil sambel barengan ama Cakka!”
Oik terkesiap. Ia cepat-cepat memberikan cengiran terlebarnya pada Sivia dan senyum maafnya pada Alvin. Sivia kembali pada posisi semula. Oik cepat-cepat bergeser sedikit ke arah Alvin, “Ga makan?” tanyanya dengan sedikit memiringkan kepalanya.
Alvin mengangguk cuek. Laki-laki berwajah oriental itu hendak berdiri ketika lengannya ditahan Oik, “Mau ngapain? Ngambil apa?” tanya gadis mungil itu. Alvin mengedik ke arah topless berisikan bawang goreng, “Oh.. Aku ambilin, ya?” tawar Oik.
Alvin kembali mengangguk dengan cueknya. Oik berdiri dan Alvin kembali duduk. Oik berjalan menuju meja sebelah dan mengambil topless tersebut, mengangsurkannya pada Alvin. Alvin menerimanya tanpa sepatah kata pun. Wow! Baru kali ini Oik benar-benar merasa dicueki oleh Alvin.
Oik kembali duduk dan menyantap makanannya. Pada saat yang sama, “Wush! Gila! Pedes banget!” ujar dua orang bersamaan. Seorang gadis berambut panjang dan seorang laki-laki dengan senyum malaikatnya segera meminum minumannya.
Sivia, Oik, Alvin, Cakka, Deva, dan Ray cengo. Hey! Kenapa bisa barengan kepedesannya? Keenamnya menatap Acha dan Ozy tanpa berkedip, “Gila! Sumfeh! Hari ini sambelnya pedes banget-bangetan!” seloroh Acha, ia telah menghabiskan minumannya.
Ozy pun begitu. Minumannya sudeh ludes. Makanannya pun juga. Tak jauh berbeda dengan Acha, “Tau, tuh, Cha! Protes, gih, sono ke ibu kantin! Gila aje bikin sambel beginian! Mau bikin kita diare ape gimane?” Ozy berdecak kesal.
Acha menoleh ke keenamnya, “Dor! Ngapain kalian bengong? Sampek cengo, pula! Kenape, sih?” tanyanya.
Sivia, Oik, Alvin, Cakka, Deva, dan Ray kembali ‘sadar’. Keenamnya hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum penuh arti. Acha dan Ozy, yang sudah tidak memperhatikan keenamnya, masa bodoh saja.
“Zy, katanye mau ke ibu kantin. Jadi kagak?” tanya Acha, tepat ketika makanannya telah ludes.
Ozy menganggukkan kepalanya dan hendak bangkit berdiri, “Cha, lo kok masih duduk aje? Jadi kagak, sih? Labil lu, ah!” cemooh Ozy.
Acha memutar bola matanya malas. Gadis imut itu segera berdiri dari duduknya dan berjalan mengejar Ozy ke salah satu stan kantin. Enam orang yang masih duduk di bangku kantin memandang keduanya dengan heran. Tumben-tumbenan sekali Ozy dan Acha kompak begini.
“Eh, nyadar ga kalau Ozy sama Acha mendadak kompak?” koar Ray lebay.
Sivia, Oik, Alvin, Cakka, dan Deva mengangguk bersamaan. Kelimanya kembali menatap punggung Acha dan Ozy yang semakin menjauh, “Iya, nih! Padahal, kan, dulu si Ozy paling ga betah kalau ada Acha!” timpal Sivia.
“Wah, pasti ada apa-apa” seloroh Deva dengan wajah super polos dan menggerak-gerakkan jari telunjuknya di depan kelima temannya.
Oik meletakkan sendok dan garpunya, “Ngerumpi aja, sih? Lanjutin dulu makannya! Belum abis tuh!” gadis mungil itu mengedik sekilas ke makanan teman-temannya yang memang masih banyak.
^^^
Ozy dan Acha berjalan beriringan menuju stan kantin tujuannya. Untung saja stan kantin tersebut sudah sepi. Malas sekali mereka mengantri hanya untuk komplain masalah sambal!
Ozy semakin mempercepat jalannya. Akhirnya mereka berdua pun sampai di depan stan kantin tersebut. Dan rupanya, ibu kantinnya sedang duduk berleha-leha seraya mengawasi pengunjungnya.
“Ibu!” sapa Ozy dan Acha bersamaan.
“Eh, kalian berdua.. Ngapain ke sini? Udah abis belon makanannye?” tanya ibu kantin tersebut, berbasa-basi.
“Udah!” jawab keduanya kompak.
“Terus, ngapain lu pade ke sini? Mau nambah? Mane piring lu yang tadi?” cerocosnya.
Acha dan Ozy memasang tampang sebal. Keduanya menggerutu dalam hati. Ibu kantin satu ini memang senang sekali berbicara ngalor-ngidul semaunya, “Bu, kita itu mau komplain, ya! Bukan mau nambah makanan!” seru Acha keki.
“Iya, ibu ini ngomong mulu, sih! Kita, kan, belum selesai ngomong! Main potong aja!” seru Ozy ikutan keki.
“Emangnye kenape sama dagangan gua? Ga enak?” tanya ibu kantin tersebut, matanya melotot pasti ke arah Ozy dan Acha.
“Bukan ga enak! Sambelnya, tuh! Pedes banget! Kalau kita sakit perut gimana? Kalau kita diare gimana? Kalau kita masuk rumah sakit gimana? Kalau kita sampek koma gimana? Kalau kita meninggal gimana?” cerocos Acha.
Ozy mengangguk saja, ia menimpali dari sebelah Acha, “Nah, itu! Kan, ga lucu, bu, kalau kita berdua meninggal cuman gara-gara makan sambel ibu!”
Pletak! Pletak! Sang ibu kantin menjitak kepala Ozy dan Acha dengan sadisnya, “Lebay lu! Ga bakalan lu mampus cuman gara-gara makan sambel gue! Son lu berdua! Lanjutin makannye!” usir ibu kantin.
Acha dan Ozy pun kembali ke tempatnya dengan wajah ditekuk. Seakan ingat sesuatu, Acha cepat-cepat mencondongkan tubuhnya ke arah Ozy. Tanpa ia sadari, jantungnya sudah berdegup tak karuan, sama seperti Ozy.
“Eh, Ozy! Lu mau bantuin gue kagak?” bisiknya.
Ozy menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut dan, tentunya, jantung yang masih lompat-lompat, “Bantuin ape? Asal lu ga nyuruh gue mampus aje, sih” jawabnya enteng.
“Nah, sip!” Acha mengacungkan ibu jarinya ke arah Ozy, “Bantuin gue biar deket sama Cakka dong! Bikin rencana apa, kek, gitu! Lo tau sendiri, kan, kalau gue itu suka sama Cakka!” lanjutnya.
Ozy memutar bola matanya malas, “Iye deh.. Ga janji tapi gue. Takutnya si Cakka udah tau kalau ini rencana kita” Ozy menyetujuinya, walaupun dengan setengah hati.
“Ah, Ozy baik banget deh!” seru Acha lebay. Sontak, seluruh pengunjung kantin menatap keduanya dengan aneh.
“Maaf, maaf! Aduh, lo, sih, Cha! Lebay banget jadi cewek! Ah, iya, maaf! Kita bercandaan doang!” Ozy dan Acha berjalan kembali ke arah bangkunya sambil menunduk-nundukkan badan.
^^^
“Nah, dateng jugak tuh anak dua. Dari mane aje lu? Lama amat?” teriak Deva kepada Ozy dan Acha.
Ozy segera duduk di tempatnya, begitu pula Acha. Keduanya masih memasang wajah masam. Ray, yang menyadari Ozy sedang sebal, bertanya kepada sahabatnya tersebut, “Zy, kenape lu? Masem amat? Acha jugak.. Kenape?”
Ozy mengedik ke arah Acha, “Masa tadi pas kita komplain ke ibu kantin, kita malah diusir?! Ngeselin, kan? Terus, pas tadi gue bisik-bisik sama Ozy, kan gue teriak tuh sangking girangnya. Eh anak-anak malah ngeliatin gitu! Ngeselin ga sih?!” cerocosnya. Tangan kanannya memain-mainkan rambut panjangnya.
“Ga!” jawab keenamnya bersamaan.
Acha semakin kesal saja, “Ngeselin kalian! Belain gue kek! Gue, kan, temen kalian! Gimana sih?!” ujarnya dengan kesal.
Sivia tersenyum tipis, “Lo, sih, Cha! Teriak sih teriak.. Tapi jangan di depan banyak orang dong! Ya ga salah kalau mereka ngeliatin lo sampek segitunya!”
Ozy menepuk pundak Cakka pelan, “Cakk, ntar sore lo ada acara?” tanyanya, teringat dengan permintaan Acha tadi.
Cakka menggelengkan kepalanya, “Temenin gue, yuk, ke mall. Mau nyari komik baru. Mau, kan?” ajaknya, setengah memaksa.
Cakka menganggukkan kepalanya, “Oke, pulang sekolah langsung apa gimana? Mall mana? PIM aja ya? Lagi pengen ke sana gue”
Ozy hanya mengangguk. Ia menyenggol lengan Acha pelan. Acha, yang memang menguping pembicaraan Ozy dan Cakka tadi, tersenyum berterima kasih pada Ozy. Ozy kembali beralih pada Cakka, membicarakan komik favorit yang baru saja terbit kemarin.
Beralih pada Alvin dan Oik. Rupanya keduanya sudah kembali baikan. Oik yang sedari tadi menatap Alvin sendu, akhirnya dimaafkan juga oleh laki-laki berparas oriental tersebut. Alvin mengacak lembut puncak kepala Oik.
“Vin, mau ga ntar sore jalan? Abis pulang sekolah”
“Ngapain?” dahi Alvin berkerut bingung.
Oik menghela nafas, berpura-pura nelangsa, “Ga usah gitu jugak, kali!” seru Alvin keki.
Keduanya tertawa terbahak, “Ya udah, mau jalan ke mana? Ajak Kak Rio jugak?” tanya Alvin.
Oik menggelengkan kepalanya dengan cepat, “Pulang sekolah langsung aja! Ke PIM, ya? Ga usah ngajak Kak Rio! Ntar aja aku telpon Kak Rio kalau kita udah selesai jalan. Biar aku dijemput Kak Rio, ntar kamu langsung pulang kalau gitu”
“Iya deh, terserah” Alvin kembali memamerkan senyum manisnya.
^^^
Bel pulang baru saja berbunyi. Oik cepat-cepat membereskan buku-bukunya dan melenggang keluar kelas, dengan Sivia mengekornya, “Ik! Oik! Hey! Tunggu!” Sivia mengejar Oik sampai ke gerbang sekolah.
Oik melirik ke arahnya dengan senyum manis, “Kenapa, Siv?” tanyanya lembut.
Sivia masih sibuk mengatur nafasnya setelah tadi ia mengejar Oik dari kelas hingga ke gerbang sekolah, “Buru-buru amat? Mau ke mana? Tumben deh!” tanyanya, dengan nafas yang masih putus-putus.
“Maaf deh. Cepet-cepet, nih! Mau jalan sama Alvin, hehe. Kenapa?” tanya Oik balik.
“Ga kenapa-kenapa, sih” Sivia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ketika menyadari belum ada Alvin di sini, “Loh, Alvinnya mana? Katanya mau jalan?” tanyanya kembali.
Oik mengedik ke arah jam tangannya, “Tau deh si Alvin. Masih ngambil motornya deh kayaknya” jemarinya ia gerak-gerakkan, sekedar untuk menghibur diri dengan belum datangnya Alvin kini.
Tin! Tin! Klakson motor terdengar dari belakang mereka. Sivia, yang memang sangat gampang kaget, melonjak dibuatnya. Gadis cantik itu menoleh ke belakang, “Sialan lo, Vin! Udah tau gue itu gampang kaget! Monyet lu!” hardiknya.
“Haha.. Siapa suruh jadi orang yang gampang kaget?” cemoohnya. Kali ini Alvin beralih pada Oik, “Ayo naik, Ik! Keburu macet takutnya!” ajaknya.
Oik menganggukkan kepalanya. Ia menepuk bahu Sivia sekilas dan berjalan menuju motor Alvin. Ia naik ke boncengan motor Alvin dan mereka berdua melaju meninggalkan Sivia dengan hatinya yang tak karuan.
“Mikir apa, sih, lo, Siv? Udah, ah! Ga boleh mikir macem-macem! Eh, tapi, hati gue ga enak banget rasanya. Urgh! Stuck!” Sivia ngedumel sendiri dan akhirnya, jemputannya telah datang.
^^^
“Ozy, jadi, kan? Ayo, buruan! Macet takutnya!” ajak Cakka.
Ozy masih belibet dengan buku-bukunya. Ia melirik Cakka sekilas, “Udah, lo duluan aja! Lagi pula gue bakalan pulang bentar, duit gue ketinggalan. Lo tunggu di tempat biasa aja. PIM, ya! Jangan lupa!” pesan Ozy.
Cakka berdecak kesal, “Elah! Lu mah! Pake duit gue dulu deh! Gimana? Males banget gue kalau kudu nunggu lo pulang dulu!” tolaknya dengan ogah-ogahan.
Ozy selesai membereskan buku-bukunya dan segala macam alat tulisnya, “Aduh, sorry! Bukannya gue ga mau! Nyokap gue, nih! Sekalian nitip parfum gitu. Gue kudu balik dulu. Gue ga afal parfum nyokap gue!” keluhnya dengan wajah sok melas.
“Yahilah.. Bareng deh! Gue ikut lo aja ke rumah lo bentaran. Oke?” tawar Cakka.
Ozy kembali menggelengkan kepalanya, “Udah! Lo duluan aja! Bye!” Ozy nyelonong pergi ke parkiran dan bergegas memacukan motornya ke rumahnya.
“Ck! Najong lu, Zy! Awas sampek lo ga ngabarin gua!” seru Cakka.
Cakka pun segera berjalan keluar dari kelasnya dan menuju parkiran. Motornya terparkir di sana. Hanya motornya-lah yang masih berada di sana. Ia segera mengambil helm dan melaju menuju PIM seorang diri.
^^^
Cakka baru saja sampai di PIM. Ia tak menyadari bahwa motor yang terparkir di sebelah motornya adalah motor milik Alvin. Ia turun dari motornya dan mengecek ponselnya. Tak ada telpon ataupun SMS dari Ozy! Cakka kembali menyumpahi Ozy dalam hati.
Ia pun berjalan. Ia memutuskan untuk langsung saja menuju toko buku langganan mereka. Rupanya masih sepi. Wajarlah, jam masih menunjukkan pukul dua siang. Pastilah mereka-mereka masih malas keluar rumah karena matahari sedang berada dalam puncak keterikkannya.
Cakka berjalan ke rak-rak khusus komik. Benar kata Ozy, komik favorit mereka sudah terbit. Cakka segera mengambilnya dan berjalan-jalan keliling toko buku sebentar. Ia tak menyadari bahwa Alvin dan Oik juga ada dalam toko buku yang sama dengan dirinya.
“Cakka?” sapa sebuah suara gadis.
Cakka membalikkan badan ke gadis yang memanggilnya tadi. Senyumnya mengambang ketika mengetahui siapa gadis tersebut. Oik dan Alvin yang berada tak jauh dari mereka berdua, hanya diam saja. Oik pikir, Cakka memang janjian dengan gadis itu di toko buku ini. Wajahnya mendadak muram.
Classmate (Part 16)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar