Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

JE T'AIME [03]







            “Kamu Mama antar aja, ya, Ik, berangkat sekolahnya?” Mama Oik memerhatikan gadis mungilnya yang sedang sarapan itu.

            Oik menggeleng cepat, “Ga usah, Ma. Nanti Mama capek. Sekolah aku, kan, jauh!”

            Kali ini ganti mamanya yang menggeleng, “Ga bisa. Nanti kamu bohongin Mama lagi! Bilang naik angkot tapi ternyata dibonceng cowok.”

            Oik memutar otaknya. Bagaimana pun caranya, dia harus berangkat sekolah sendiri. Jangan sampai Mamanya mengatarnya hingga ke sekolah. Ini semua gara-gara tante-tante yang tinggal di ujung kompleks itu. Bermulut besar sekali! Huh!

            “Ya udah, gini aja.. Mama nganterin aku sampai depan kompleks. Nungguin aku sampai dapat angkot juga boleh. Oke, Ma?” tawar Oik.

            Mama Oik pun mengangguk. Paling tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Oik berangkat menggunakan angkot, tidak berboncengan dengan lelaki mana pun lagi. Beliau dapat menghela napas lega sekarang, begitu pula dengan Oik yang masih menyimpan rencananya rapat-rapat dengan senyum tertahan.

            Setelah selesai sarapan, mereka berdua pun beranjak meninggalkan rumah sederhana tersebut dengan terlebih dahulu mengunci pintunya. Mereka berdua berjalan beriringan menuju depan kompleks. Oik masih juga belum menyadari sebuah ‘kesalahan’ kecilnya.

            “Kamu biasa nunggu angkot di mana, Ik?” tanya mamanya ketika mereka berdua telah sampai di depan kompleks.

            “Di sini aja, Ma.” Oik menjawab seraya mengedarkan pandangannya. Tepat ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah siluet laki-laki yang terduduk di atas motornya di bawah pohon akasia, Oik terkesiap.

            “Kenapa, Ik?” tanya mamanya, menyadari putrinya mendadak berkeringat dingin.

            Oik menggeleng perlahan, “Ga kenapa-kenapa, Ma.” Oik kembali mengedarkan pandangannya, menangkap bayangan angkot yang lewat. “Itu, Ma, angkotnya!”

            Oik melangkah ke tepi jalan dengan gelisah, ada Cakka di sana. Angkot itu pun berhenti, mempersilakan Oik masuk. Oik duduk di belakang. Beberapa detik kemudian, angkot pun melaju. Oik dapat melihat mamanya yang perlahan berbalik dan kembali ke rumah, serta Cakka yang mengikutinya menggunakan motor.

            Oik pun buru-buru memberi kode kepada sang sopir angkot begitu menyadari angkot telah berada di sebuah perempatan yang lumayan jauh dari kompleks rumahnya. Angkot berhenti, Oik turun, dan membayar. Oik melangkah menuju motor Cakka yang terparkir di depan sebuah halte.

            “Kka, kamu jemput aku?” tanya Oik, setelah Cakka menyadari kehadirannya dan melepaskan helm.

            Cakka mengangguk dengan bingung, “Iya, lah, Ik. Memang gini, kan, biasanya?”

            Oik kembali gelisah, “Aduh, Kka.. Semalem aku lupa ngasih tau kamu kalau hari ini kamu ga perlu jemput aku.”

            “Lho? Emang kenapa, Ik?”

            “Masalahnya---,” Belum sempat Oik menyelesaikan kalimatnya, sebuah motor berhenti di samping keduanya. Pengendara motor tersebut pun melepaskan helmnya setelah mematikan mesin motornya terlebih dahulu. “Papa...”

            “Mama kamu ga tau kalau kamu mau berangkat dianter Papa, kan, Ik?” tanya pengendara motor tersebut –yang ternyata adalah Papa Oik–.

            Oik menggeleng, “Ga, sih, Pa. Tapi...” Oik menggantungkan kalimatnya, menyenggol rusuk Cakka dengan lengannya.

            “Dia siapa, Ik?” tanya Papa Oik, mengedik ke arah Cakka.

            “Nah itu, Pa!” Oik menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. “Aku lupa ngasih tau Cakka kalau hari ini aku berangkat sama Papa.”

            “Pacar kamu?” tanya Papa Oik, menatap anaknya dengan senyum penuh arti.

            “Jangan marah tapi, Pa..” Oik mengangguk dengan ragu-ragu. Perlahan, Oik meremas tangan Cakka yang sedang menggenggamnya.

            “Kenapa harus marah, Ik?” Papanya mengusap lengan Oik penuh sayang.

            “Kan, Mama ga bolehin aku pacaran. Takutnya Papa juga ga ngebolehin. Makanya aku sama Cakka kalau berangkat sekolah bareng, ya, sembunyi-sembunyi gini, takut ketahuan Mama. Mama kemarin marah waktu tetangga bilang aku berangkat sekolahnya diboncengin cowok, bukan naik angkot.” Oik menjelaskan dengan perlahan.

            Papa Oik mengangguk mengerti, “Ya sudah..” Beliau menepuk bahu Cakka, “Kamu anter Oik sekolah, ya. Saya langsung balik ke Bekasi aja, takut Mama tirinya Oik tau kalau saya ke sini. Jaga Oik, ya.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Papa Oik bergegas kembali melaju dengan motornya, meninggalkan Cakka dan Oik yang terbengong-bengong karenanya.

**

            Bel istirahat baru saja berbunyi. Oik, Pricilla, Ify, dan Sivia sudah duduk manis di salah satu spot paling nyaman di kantin. Oik dan Sivia tetap duduk, sedangkan Pricilla dan Ify kembali bangkit untuk memesan makanan.

            Setelah selesai memesan makanan, Ify kembali dengan membawa sebuah nampan yang terisi penuh oleh menu makan siang mereka berempat. Sedangkan Pricilla masih mengantri minuman. Ify, Oik, dan Sivia belum menyentuh makanan mereka karena masih menunggu Pricilla.

            Lima menit kemudian, Pricilla kembali dengan tiga gelas jus jeruk. Ia segera meletakkannya di meja.

            “Terus minuman lo mana, Pris?” tanya Sivia ketika menyadari Pricilla hanya membawa tiga gelas jus jeruk.

            “Gue pesen jus sirsak, masih dibuatin. Makanya gue mau balik sana lagi.” Pricilla pun kembali ke stan kantin tersebut untuk mengambil jus sirsaknya.

            Jus sirsak pesanan Pricilla telah jadi. Ia kembali berjalan ke arah tiga sahabatnya seraya mengacungkan gelas jusnya tinggi-tinggi dan tersenyum lebar. Ia sudah lama tak minum jus sirsak. Karenanya, ia tidak melihat jalan. Padahal lantai baru saja dipel.

            Bruk!

            Pricilla terpeleset. Jus sirsaknya tumpah-ruah kemana-mana. Kantin mendadak hening. Tapi tak ada seorang pun yang berani menertawakan Pricilla. Wajah gadis imut itu sudah merah padam karena malu.

            Dengan begitu saja, Pricilla meletakkan gelas kaca yang nyaris pecah itu pada meja terdekat. Pricilla hendak berdiri ketika sebuah tangan terulur kepadanya. Gadis itu mendongak, ada Gabriel di sana. Pricilla menatapnya berterima kasih. Pricilla pun menerima uluran tangan Gabriel lalu berdiri.

            “Jus sirsak kamu tumpah. Mau aku ganti?” tawar Gabriel, keduanya pun berjalan ke arah meja Pricilla. Kantin kembali ramai.

            “Boleh. Bener lo mau ganti?” tanya Pricilla tak yakin. Ia kembali menggunakan gue-lo karena ada Ify, Oik, dan Sivia di sampingnya.

            Gabriel mengangguk yakin, “Aku pesenin dulu, ya, Bar---,” Gabriel terkesiap. Hampir saja ia memanggil Pricilla dengan sebutan Barbie! “...Pricilla.” Gabriel pun berlalu. Meninggalkan Pricilla yang mulai disoraki oleh ketiga sahabatnya.

            “Tau, deh, Pris, yang dibantuin sama Pangeran Cupu, mah!” Oik mengedip-edipkan matanya pada Pricilla.

            “Kayaknya dia suka sama lo, deh, Pris!” Sivia tak henti-hentinya menyerang Pricilla dengan hipotesa abalnya.

            Ya iya, lah, dia suka sama gue! Gue, kan, pacarnya! Gimana ceritanya dia ga suka sama pacarnya sendiri?! Pricilla masih terus menggerutu dalam hati.

            Ify menyenggol Pricilla seraya tertawa lebar, “Pangeran Cupu lo, tuh, Pris!”

            Pricilla menggebrak meja dengan sebal, “Apaan, sih, kalian?! Bisa ga berhenti nyorakin gue sama Gabriel? Kita cuman temen!”

            Dan saat itu pula Gabriel datang. Tepat ketika Pricilla mengatakan bahwa dia dan dirinya hanya teman. Gabriel tersenyum sedih. Ia meletakkan segelas jus sirsak untuk Pricilla di meja begitu saja. Pricilla menatapnya dengan perasaan serba salah.

            Maaf, Gab..

            Aku yang harusnya minta maaf, Pris..

            Maaf udah bilang di depan mereka kalau kita cuman temen..

            Iya, ga apa-apa. Seperti kata kamu, kan.. Kita cuman backstreet.

            Jangan marah, Gab..

            Siapa yang marah, sih, Pris? Aku baik-baik aja.

            Aku janji aku bakal bilang ke mereka kalau kita pacaran, kok. Tunggu waktu yang tepat aja.

            Iya, terserah kamu. Yang penting kamu nyaman sama keadaannya aja.

            Makasih, Gab..

            Anything for you, Pris..

            “Heh!” Sivia menyenggol lengan Pricilla dengan ganasnya.

            Pricilla terkesiap, “Eh? Apa?” Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada tiga sahabatnya yang menatapnya judes.

            “Dipanggilin dari tadi malah bengong aja sambil ngelihatin si Pangeran Cupu!” sungut Ify.

            “Eh?” Pricilla memandang mereka bertiga tak mengerti. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada Gabriel. Ternyata lelaki itu telah melangkah pergi dengan kepala tertunduk. Pricilla menatapnya sedih. Maaf..

            “Lo kenapa, sih?” Oik menatap Pricilla lekat-lekat. “Kalau gue juga ga salah lihat, lo tadi mandang Gabrielnya gitu banget, Pris.”

            Pricilla menggeleng lemah, “Gue ga kenapa-kenapa, kok.”

            “Tuh, kan!” Ify memekik jengkel. “Sekarang lo malah ngelihatin punggung Gabriel dengan wajah sedih gitu!” Ify menggelengkan kepalanya tak mengerti.

**

            Ify sedang menunggu taxi yang lewat kala itu. Sekolah sudah sepi tapi tak kunjung ada taxi atau pun angkot yang lewat. Ify menggeram kesal. Pasalnya, Papanya sedang tak bisa menjemput karena lembur. Sedangkan Mamanya sedang di Bandung, ada urusan kata beliau.

            “Fy, belum pulang?” tanya sebuah suara. Ify seperti mengenalinya.

            Ify pun berbalik, “Rio? Shilla? Kalian ngapain?”

            Shilla mendelik pada Ify, “Harusnya gue yang nanya sama lo, Fy. Ngapain jam segini masih di sini?”

            “Nunggu taxi, angkot, gitu..” Ify kembali mengedik pada jalanan yang mulai lengang.

            “Kenapa ga bareng Sivia, Pricilla, atau Oik aja tadi?” tanya Rio.

            Ify mengedikkan bahu, “Mereka udah balik duluan, Yo.”

            “Sahabat macem apa, sih, mereka?” dengus Shilla. “Lo ga ada yang ngejemput, kok, malah balik duluan gitu.”

            Ify menatap Shilla dengan wajah tersinggung, “Kadar kesetiaan sahabat ga cuman diukur dari ini doang, Shill. Mereka, kan, juga punya urusan masing-masing.”

            “Iya, tapi---,”

            Belum sempat Shilla kembali menyelesaikan kalimatnya, Rio telah memotong, “Udah, ah. Intinya, lo mau balik bareng gue sama Shilla ga, Fy?”

            Ify menatap Rio dan Shilla dengan tak enak. Apalagi ketika menyadari kedua orang di hadapannya itu tengah saling bertaut tangan. Ify menggeleng perlahan dan tersenyum tipis, “Ga usah. Jadi kambing congek, dong, gue ntar.”

            “Ga akan, kok!” dengan cepat Shilla menimpali. “Mau, ya?”

            Ify kembali menggeleng, “Ga usah, makasih. Gue pasti ntar ngerecokin kalian berdua aja.” Ify tersenyum tipis diakhir kalimatnya.

            “Ya udah, Shill, ga usah dipaksa.” Rio kembali membuka mulutnya.

            “Tapi Ify kasihan, Yo. Masa dia nunggu taxi sendirian? Mending bareng kita aja, kan?” Shilla menatap Rio dengan wajah memohon supaya lelaki itu membantunya membujuk Ify.

            “Kita tungguin sampai Ify dapet taxi.” Rio menimpali dengan pendek, jelas, dan –tentunya– dapat membuat Ify terbang melayang karenanya.

            Shilla tersenyum lebar. Ketiganya pun duduk di samping pos satpam sekolah. Memandang jalanan dengan waspada, mungkin saja ada taxi lewat di depan mereka. Bukannya taxi, mereka malah mendapati penjual es krim keliling yang lewat.

            Rio pun berdiri, “Bang! Es krim!” panggilnya.

            Penjual es krim itu pun berhenti. Rio dengan segera menghampirinya. Ify dan Shilla saling pandang sesaat sebelum akhirnya mengikuti jejak Rio yang tengah memilih-milih es krim. Ify dan Shilla pun ikut memilih.

            “Mau rasa apa, Shill?” tanya Rio, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan es krim di hadapannya.

            “Apa, ya?” gumam Shilla.

            “Coklat?” tanya Rio.

            Shilla menggeleng kesal dengan wajah cemberut, “Aku ga suka coklat, Yo! Coklat itu rasa favoritnya Ify, bukan aku. Ya, kan, Fy?”

            Ify mengangguk dengan senyum terkembang, “Aku ambil yang itu, deh, Yo..” Ify menunjuk sebatang es krim rasa coklat yang tengah digenggam Rio.

            Rio mengangguk dan menyerahkannya pada Ify. Ia kembali beralih pada Shilla. “Kamu yang mana, Shill?”

            “Terserah, deh..” Shilla mengedikkan bahunya dengan tak acuh.

            “Ngambek!” desis Rio sebal.

            “Kamu, sih! Siapa suruh malah nyebutin rasa favoritnya Ify, bukan aku!” dengus Shilla.

            “Ya mana aku tau, Shill!” balas Rio.

            Ify hanya menatap keduanya dengan melongo hebat. Hanya karena masalah sekecil ini saja Shilla ngambek pada Rio? Harusnya Shilla tau ia tak boleh menyia-nyiakan Rio. Apalagi sampai marah hanya karena hal kecil begini. Shilla beruntung memiliki Rio.

            “Jangan ngambek, dong, Shill. Rio, kan, ga sengaja tadi nyebut rasa favorit gue.” Ify memandang Shilla dengan tersenyum tipis.

            Shilla melengos sebal, “Jangan-jangan kamu suka, ya, sama Ify? Ngaku, deh!”

            “Apaan, sih, Shill?” gerutu Ify. Gadis berbehel itu segera mengalihkan pandangnnya agar kedua orang itu tak melihat wajahnya yang telah merah padam.

            “Yang pacar aku, tuh, kamu, Shill.” Rio menatap Shilla tak mengerti.

            “Udah, ah!” Saat itu pula ada taxi yang lewat. Shilla pun menyetopnya. “Fy, taxinya dateng. Pulang, gih!” suruh Shilla.

            Ify pun mengangguk. Setelah membayar es krimnya, Ify naik ke dalam taxi tersebut. Ia membuka kaca jendelanya dan melambaikan tangan pada Rio dan Shilla. “Duluan, ya!”

            Taxi pun melaju, meninggalkan Rio dan Shilla yang masih saja berdebat.

**

            “Sivia..” terdengar panggilan dari luar diiringi dengan suara ketukan pintu.

            Sivia menggeliat lalu menguap lebar, “Apa, Ma?” tanya Sivia dengan suara parau.

            “Ada tamu. Boleh masuk ga?” tanya Mama Sivia balik.

            “Siapa?” dahi Sivia berkerut heran. Ia merasa tak memiliki janji pada siapapun malam ini. Apalagi ia sedang demam dari sore tadi.

            “Alvin, Siv.” jawab mamanya.

            Dahi Sivia tampak berkerut heran. Untuk apa Alvin kemari malam-malam begini? Ini sudah jam tujuh lewat! Sivia pun menegakkan badannya, “Masuk aja.”

            Pintu pun terbuka. Sivia dapat melihat mamanya yang sedang berdiri berdampingan dengan Alvin. Sivia tersenyum lemah pada keduanya. Alvin pun masuk. Mamanya berlalu entah ke mana.

            “Ngapain ke sini, Vin? Mau nonton DVD lagi? Aduh, kapan-kapan aja, ya!” Baru saja Alvin duduk di kursi meja belajarnya ketika Sivia berceloteh ria.

            Alvin menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Tadi Mama kamu bilang kamu sakit. Sakit apa?”

            “Demam doang, sih.” Sivia nyengir lebar di akhir kalimatnya.

            Alvin bergerak mendekat. Dirabanya dahi dan pipi Sivia. Panas. “Iya, demam..” gumamnya.

            “Gue bilang juga apa!” timpal Sivia. Pipinya sudah semerah tomat kala itu. Siapa suruh Alvin menjadi superperhatian begitu?

            “Eh, iya!” Alvin seakan teringat sesuatu, “Nih, gue bawain ramen. Suka ramen, kan, Siv?” tanya Alvin, ia lalu menyerahkan sebungkus ramen pada Sivia.

            Sivia menerimanya dengan senyum mengembang, “Suka, kok, Vin. Suka banget malah!” tangan Sivia perlahan membuka bungkusan tersebut. “Cuman satu?”

            Alvin mengangguk dengan bingung, “Iya, lah. Emang lo mau berapa? Dua? Satu aja ga kenyang, ya?”

            Sivia mendorong bahu Alvin dengan gemas, “Bukan gitu! Maksud gue, satu aja? Terus lo ga makan, gitu? Lo diem doang sambil ngelihatin gue makan?”

            Alvin membulatkan bibirnya, “Gue udah makan, kok. Buat lo aja itu.”

            Sivia mengangguk mengerti, “Gue makan dulu, ya.”

            Alvin mengangguk. Sivia pun membuka bungkusan ramen tersebut dan memakannya perlahan. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Alvin mengetuk-ketukkan jemarinya pada nakas Sivia dengan gelisah.

            Sivia mendongak menatap Alvin, “Lo kenapa, Vin?”

            Alvin menggeleng, “Ga, kok.”

            Sivia pun kembali melanjutkan makannya. Alvin juga kembali gelisah. Ia terus berpindah-pindah posisi duduk. Membuat Sivia bertanya-tanya dalam hati. Alvin kenapa, sih, hari ini? Aneh banget!

            “Siv, gue mau ngomong. Boleh?” Alvin pun bersuara.

            Sivia terkikik pelan, “Dari tadi, juga, lo udah ngomong, Vin!”

            Mau tidak mau, Alvin pun ikut tertawa garing karena kebodohannya sendiri. “Anu, Siv...”

            “Anu apa?” tanya Sivia santai, tak menyadari kegugupan Alvin.

            “Gue...”

            “Iya, lo kenapa?”

            “Gue suka sama...”

            “Ify? Oik? Pricilla?” tebak Sivia, menyebutkan satu-persatu nama sahabatnya.

            “Bukan, Siv!” Alvin menatap Sivia dengan gemas, seakan-akan Sivia adalah tikus yang harus diterkamnya.

            “Iya, iya!” Sivia pun tertawa kencang.

            “Serius, dong!” Alvin mulai hopeless karena cewek berpipi chubby di hadapannya itu.

            “Sok, atuh.. Katanya mau ngomong.” Sivia segera menghentikan laju tawanya.

            “Gue suka sama lo..” kata Alvin dengan volume sangat kecil. Biarpun begitu, Sivia masih tetap dapat mendengarnya.

            Sivia membeku ketika mendengar pernyataan Alvin. Sumpit yang membawa ramen dan hampir saja masuk ke dalam mulutnya, berhenti di udara. Sivia melongo hebat. Ia memandang Alvin tak berkedip.

            “Siv?” Alvin menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Sivia.

            “Eh?” Sivia pun tersadar. Ia mencoba santai. Ia habiskan ramen tersebut dengan kikuk.

            “Gimana?” tanya Alvin.

            Sivia mendesah keras, “Kok gue ngerasa ini terlalu cepet, ya?”

            “Tapi kalau gue udah nyaman sama lo, mau gimana lagi?” timpal Alvin.

            Sivia menatap Alvin lurus-lurus, “Lo yakin? Lo yakin udah nyaman sama gue? Gue anaknya pecicilan, lho.”

            “Gue nyaman sama lo apapun kondisinya, kok.” Kata Alvin, meyakinkan Sivia.

            “Oke.” Sivia mengangguk dan tersenyum lebar.

            “Kita jadian, nih?” tanya Alvin tak percaya.

            “Ga mau, nih? Gue, sih, bisa aja tarik kata-kata gue..” gumam Sivia, berlagak jual mahal.

            “Ga! Ga! Jangan!” Alvin mengusap puncak kepala Sivia dengan sayang. Akhirnya ia bisa mengatakan kalimat ajaib itu pada Sivia..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BODOH UNTUK SETIA [Sequel of PROSES MELUPAKANMU]


#NowPlaying: Abdul & The Coffee Theory – Bodoh Untuk Setia

**

            Bel istirahat baru saja berbunyi tetapi hampir seluruh penghuni XI IPA 3 telah berbondong-bondong menuju kantin. Hanya menyisakan segelintir siswa saja di sini. Hanya ada aku, Sivia, Ify, dan empat orang lagi.

            Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Dan, tanpa bisa kucegah, pandanganku berhenti bada sebuah bangku di pojok kanan belakang kelas yang hanya terisi oleh satu orang. Biasanya bangku itu terisi oleh dua orang. Tetapi semenjak awal semester dua kemarin, bangku ini hanya terisi oleh Obiet.

            Perasaan apa ini? Kenapa tiba-tiba kesedihan yang telah aku pendam dalam-dalam kembali menyeruak keluar? Tidak. Aku tidak boleh menangis di sini. Sivia dan Ify hanya tahu bahwa aku sudah bisa merelakannya, merelakan seseorang yang biasa duduk bersama Obiet itu.

            “Ik?”

            Aku cepat-cepat menengok ke arah Ify dan Sivia yang duduk di hadapanku. Mereka duduk sebangku dan aku duduk dengan Acha yang kini tengah berada di kantin.

            “Apa, Fy?” tanyaku.

            Ify tidak menjawab. Ia hanya mengedik pada segerombolan gadis-gadis cantik yang sedang mengobrol heboh tak jauh dari bangku kami. Ada Shilla, Febby, dan Zevana di sana. Oh, Shilla. Gadis memuakkan itu lagi. Kapan, sih, dia akan mencapai titik jenihnya untuk menggangguku terus?

            “Iya, Feb, Ze! Cakka udah dapet banyak temen, gitu, di sana. Tiap hari dia ngabarin gue. Kami biasa chat YM sampai malem. Kami ngobrolin banyak hal!” Shilla berseru heboh dengan mata berbinar-binar.

            “Terus? Terus, Shill?” Mata Febby tak kalah berbinarnya dengan mata Shilla.

            “Dia bilang dia baik-baik aja di Spore. Dia betah, sih. Tapi kadang dia masih suka keinget sama... gue.” Shilla terlihat tersipu malu. “Ya udah, gue bilang aja kalau gue juga kangen sama dia. The most beautiful night ever, deh!”

            Aku tertunduk lesu. Bahkan, sampai sekarang pun Cakka tak mengabarkan bagaimana keadaannya di sana kepadaku. Tapi mengapa dia mengabarkan keadaannya pada Shilla? Mengapa dia berkata pada Shilla bahwa dia selalu teringat olehnya? Mengapa mereka bisa sampai chat berdua –sedangkan setiap kali aku online YM, Cakka selalu offline–?

            “Berisik banget, sih, tuh cewek?!” desis Ify.

            “Tenang, Fy..” Sivia tersenyum simpul. Tak berapa lama kemudian, Sivia telah melemparkan sebongkah kertas yang telah ia remas-remas kepada Shilla dkk.

            “Siapa, nih, yang ngelempar?” tanya Shilla, matanya nyalang menatap kami bertiga.

            “Gue!” Sivia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Kenapa lo? Ga suka? Apa mau gue sumpel sekalian mulut lo pake tuh kertas?”

            “Lo!” Shilla mencak-mencak sendiri di tempatnya dengan emosi tertahan. “Lo, nih, pasti yang nyuruh Sivia!” Shilla menunjuk-nunjukkku dengan tidak sopan. “Lo pasti iri karena Cakka ga ngarain lo sama sekali dan dia malah ngabarin gue. Iya, kan?”

            Aku hanya menatapnya dengan datar. Kenapa aku harus marah? Toh, bukan aku yang menyuruh Sivia melemparkan bongkahan kertas itu padanya. Aku melirik Sivia. Sahabatku yang satu itu masih saja berdiri dengan mengacungkan kepalan tangannya pada Shilla. Sementara itu, Ify menarik-narik lengannya agar kembali duduk.

            “Udah, udah.. Jangan ngeladenin Sivia! Lo mau dibantai sama dia?” Zevana menarik-narik lengan Shilla agar keluar kelas bersamanya dan juga Febby.

            “Awas lo!” Shilla masih saja sempat melayangkan tatapan tajamnya padaku saat ia sudah berada di ambang pintu kelas.

            Sivia akhirnya kembali duduk. Ia menepuk-nepuk bahunya seraya tersenyum miring. “Begini, kan, enak. Kelas kembali nyaman dan tenteram kalau ga ada mereka bertiga.”

            Aku kembali menengok ke belakang. Obiet terduduk seorang diri di sana. Baru kali ini Obiet duduk sendiri. Selama hampir tiga tahun ia bersekolah di sini, ia selalu duduk dengan Cakka. Wajar saja kalau ia merasa sangat kehilangan sosok Cakka. Lihat, Obiet –yang hanya sahabat Cakka– saja sebegitu kehilangannya. Apalagi aku, pacarnya? Eh, tunggu! Pacar? Kami sudah putus. Ya, sudah putus. Karena gadis memuakkan itu, Shilla.

            Lalu, tiba-tiba saja Obiet sudah berdiri di sampingku seraya tersenyum. “Ik, lo pasti kuat. Cakka ga lama, kok, di sana. Cuman setahun. Tahun depan, juga, balik.”

            Aku tersenyum kikuk dan mengangguk pelan.

            “Nanti malem gue boleh ke rumah lo?” tanya Obiet. Aku kembali mengangguk. “Oke. See you tonight, Ik!”

            Obiet pun melenggang entah kemana –sepertinya ke kantin–. Aku kembali menunduk. Apa dia bilang? Setahun? Tidak lama? Hey! Dua minggu tidak melihat Cakka saja serasa seperti seabad. Jadi, bagaimana dia bisa berkata bahwa setahun itu tidak lama?

            “Ik, lo ga ada rencana buat.....” Ify menggantungkan kalimatnya, membuatku mengangkat sebelah alis dengan wajah penasaran. “PDKT sama Obiet, kan?”

            “Hah?” Aku melongo hebat karena perkataan Ify barusan.

            “Ya, jadian sama Obiet. Ga ada rencana untuk itu sama sekali, Ik? Gue sama Ify, sih, dukung-dukung aja. Toh, Obiet orangnya baik dan kami berdua yakin kalau dia ga bakalan nyakitin lo kayak Cakka nyakitin lo.” Sivia memandangku dengan lembut.

            Aku hanya tersenyum tipis. Mereka berdua pun kembali sibuk dengan bekal makanan masing-masing. Aku menatap kosong ke arah sandwich tunaku. Sivia dan Ify tak tahu bahwa Cakka tak tergantikan... oleh siapapun itu.

**

            Aku membuka pintu rumahku dan mendapati Obiet sedang tersenyum di teras. Aku pun membuka pintu tersebut lebar-lebar untuknya.

            “Masuk, Biet..” tawarku.

            Obiet menggeleng, “Di luar aja, Ik. Gue ga lama, kok.”

            Aku pun mengangguk. Aku mempersilahkan Obiet duduk di sebuah bangku kayu di teras rumahku. Aku duduk di sampingnya. Obiet terlihat bingung, entah membingungkan apa. Beberapa menit kesunyian menyelimuti kami.

            “Lo mau minum apa, Biet? Biar gue bikinin.” Sebagai tuan rumah yang baik, aku menawarkan mengambilkan minum untuk tamuku.

            Obiet kembali menggeleng, “Ga usah, Ik. Gue cuman... mau ngomong bentar.”

            “Mau ngomongin apa?” tanyaku, menatapnya dari samping.

            Obiet pun kembali memfokuskan pandangannya kepadaku, “Soal Cakka..”

            Aku mengalihkan pandanganku dari sosok Obiet dengan hati yang –entah mengapa– tiba-tiba saja berdenyut sakit, “Bisa ga, sih, kita ga usah ngebahas dia?”

            “Ga bisa, Ik.” Obiet meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. “Justru gue ke sini karena mau ngomongin itu.”

            Aku mengangguk mengerti dan kemudian tersenyum sinis, “Oh, dia ngutus lo kemari buat ngewakilin dirinya minta maaf ke gue? Gitu?”

            “Bukan.” Obiet menggelengkan kepalanya keras-keras. “Ini soal permintaan terakhir Cakka sebelum dia berangkat ke Spore, Ik. Dan itu menyangkut lo. Menyangkut gue juga.”

            “Apalagi?” tanyaku dengan sebal. “Dia nyuruh gue buat bersikap manis ke Shilla? Atau, dia nyuruh gue buat jagain Shilla di sini? Hm, mungkin juga dia nyuruh gue nyampaiin pesannya buat Shilla yang isinya dia udah jatuh cinta setengah mampus sama cewek itu. Jadi, yang mana?” tantangku. Aku menatap Obiet dengan perasaan campur aduk.

            “Bukan, Ik. Ini sama sekali ga ada sangkut-pautnya sama Shilla.” Aku mendengus kesal. “Ini cuman soal gue dan lo.”

            “Terserah lo, deh. Apaan? Cepet! Gue masih punya banyak kerjaan.”

            “Dia nyuruh gue buat jagain lo selama dia belum balik ke Indonesia.” Obiet mengatakannya dengan lembut, menggenggam tanganku dengan semakin erat, dan menatapku lurus-lurus.

            “Apa?!”

**

            Obiet baru saja pulang beberapa menit yang lalu setelah tadi dipaksa habis-habisan oleh Mama untuk dinner bersama kami. Obiet –yang memang sangat tidak bisa menolak permintaan orang– akhirnya menyetujuinya. Kami dinner dengan tenang. Sesekali, Mama dan Papa mengajak Obiet berbicara.

            Mama dan Papa juga baru tahu mengenai aku dan Cakka yang sudah putus malam ini. Obiet yang memberitahu mereka. Dia pikir, kedua orangtuaku telah mengetahuinya. Dan aku menyadari Mama menatapku bingung saat itu.

            Aku benar-benar tak habis pikir dengan Cakka. Untuk apa dia menyuruh Obiet menjagaku? Apakah dia masih peduli denganku? Tidak mungkin. Aku yakin seluruh perhatiannya telah direnggut Shilla dariku. Mengapa juga dia bisa chat bersama Shilla –sedangkan dia sama sekali tidak chat denganku–? Bukankah itu sudah benar-benar membuktikan bahwa dia berpaling dariku?

            “Ik, Mama boleh masuk?” Suara lembut Mama terdengar diiringi dengan bunyi ketukan pada pintu kamarku.

            Aku mengangguk seraya menghela napas dengan lelah. “Masuk aja, Ma.”

            Beberapa detik kemudian, aku telah mendapati Mama berjalan ke arahku. Beliau duduk di bibir ranjangku, sedangkan aku duduk di tengah-tengah ranjangku dengan memeluk boneka lumba-lumba kecil berwarna pink.

            “Kamu putus sama Cakka, Ik?” tanya Mama, beliau memandangku tak percaya.

            Aku mengangguk, “Iya, Ma.” Sebuah senyuman pahit telah terukir di bibir tipisku. “Dia udah sama yang lainnya.”

            “Maksud kamu?”

            Bahkan Mama tidak percaya dengan Cakka yang nyeleweng bersama Shilla. Mama saja –yang tidak setiap hari bertemu Cakka– sampai tak percaya dengan kenyataan yang ada. Apalagi aku? Apalagi aku yang melewati ratusan hari bersamanya? Bahkan, sebelum kejadian itu pun kami baik-baik saja.

            “Waktu kita ambil rapor kemarin, aku ga sengaja lihat dia di taman. Lagi duduk di bawah pohon. Aku ga tau kalau ternyata dia lagi sama... Shilla.” Aku bercerita dengan emosi naik-turun dan perasaan tak menentu.

            “Cakka... selingkuh, maksud kamu?” ulang Mama, masih belum percaya.

            Aku mengangguk tegas, “Iya.” Jeda beberapa detik. “Aku juga lihat Shilla nyium Cakka, Ma. Apalagi namanya kalau bukan selingkuh?” Dan saat itu pula aku memeluk Mama, air mata kembali membanjiri pipiku karena mengingat penyelewengan Cakka.

            Mama membelai rambutku pelan, “Lalu? Kamu ga minta penjelasan Cakka?”

            Aku melepas pelukan Mama, “Penjelasan apalagi, Ma? Oik udah ngelihat dengan mata kepala Oik sendiri waktu mereka lagi berduaan di taman! Dan, bahkan, setelah Oik maki-maki mereka berdua, Cakka sama sekali ga nahan Oik yang udah jalan ninggalin mereka waktu itu.” Aku menjerit frustasi.

            Mama menggenggam tanganku, berusaha mengalirkan energi-energi positif padaku. “Kamu masih sayang Cakka, Ik?”

            Aku menggeleng cepat dengan mata berkilat-kilat karena emosi. “Buat apa sayang sama orang yang udah ngebuang Oik gitu aja?”

            “Kamu yakin? Terus, kenapa sampai sekarang kamu masih sedih? Harusnya kalau kamu udah ga sayang lagi sama Cakka, tinggal kemarahan aja yang ada. Bukannya malah air mata begini.” Mama menatapku dalam dan tersenyum tipis.

            Aku speechless. Benar kata Mama. Seharusnya tinggal amarah saja yang bersisa di hatiku. Tapi kenapa kesedihan lebih mendominasi? Kenapa? Apa karena... aku masih sayang pada Cakka? Jujur, aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya baying-bayang Cakka yang belum lepas seutuhnya dari hari-hariku.

            “Kamu pikirkan baik-baik, ya. Mama ngerasanya kamu masih sayang Cakka, kamu masih cinta dia.” Mama bangkit berdiri dan mengelus puncak kepalaku sekilas. “Kalau memang iya, coba maafkan dia. Coba dengar penjelasan dia. Mungkin kalian hanya salah paham. Cinta itu selalu memaafkan, Ik.”

            Aku kembali terdiam karena perkataan Mama. Haruskah aku masih menyayangi orang yang telah menyia-nyiakanku, menyia-nyiakan perasaanku? Memangnya penjelasan logis apalagi yang bisa Cakka utarakan padaku?

            Cih! Mereka berdua –Cakka dan Shilla– pasti senang karena telah membuatku seperti ini, bimbang di antara dua pilihan. Membenci Cakka atau memaafkannya. Cakka pasti senang karena telah putus denganku. Dan Shilla juga pasti gembira karena tidak ada lagi penghalang hubunganna dengan Cakka.

            Tapi, kenapa aku masih belum bisa menerima semuanya. Semuanya. Cakka yang selingkuh dengan Shilla, putusnya kami berdua, dan kepergian Cakka ke Singapura untuk setahun lamanya. Kenapa juga waktu itu aku berjanji untuk menunggunya kembali setahun lagi? Bodoh! Aku tidak mengerti kenapa orang yang paling aku cintai bisa mematahkan hatiku sedemikian rupa hingga seperti sekarang.

**

            Keesokan harinya, aku nyaris saja terlambat tiba di sekolah. Jalanan macet. Sempat ada kecelakaan di salah satu jalan protokol Jakarta. Dan dampak kecelakaan itu –kemacetan– mengimbas kemana-mana. Aku baru saja melangkah memasukki bangunan utama sekolah ketika bel masuk berbunyi kencang.

            Aku bergegas menuju kelasnya. Koridor masih ramai oleh siswa-siswi yang sedang mengobrol. Tampak dari kejauhan, Obiet sedang berdiri menyandar pintu kelas sambil sesekali memandang jam tangannya dengan gelisah.

            Ketika aku akan melangkah masuk menuju kelas, Obiet tiba-tiba saja menahan lenganku. Aku berbalik. Obiet ternyata sedang menatapku dengan lega. Aku sekilas menengok ke dalam kelas. Ify, Sivia, dan Acha terlihat bingung menatap aku dan Obiet.

            “Ada apa, Biet?” tanyaku langsung.

            “Soal yang kemarin...” Obiet menggantungkan kalimatnya.

            To the point, deh! Gue mau duduk, nih!” aku menatap Obiet dengan kesal.

            Obiet memandangku lurus-lurus, “Gimana? Yang soal permintaan Cakka sebelum dia berangkat itu. Lo mau... jadi cewek gue?”

            “Biet?” Aku memandangnya tak mengerti. “Kalau Cakka pesen ke lo buat jagain gue selama dia ga ada, bukan berarti kalau kita harus jadian!”

            “Ik...” Obiet menatapnya memelas. “Kita coba aja dulu. Ya?”

            Let it flow aja, lah, Biet..” ujarku. Aku kemudian melangkah menuju bangkuku dan duduk. Sekilas aku melihat Obiet yang memandangku dalam dengan wajah sarat akan kekecewaan.

            Aku kembali menengok pada Sivia dan Ify. Keduanya sedang berbincang heboh soal sesuatu –yang aku tak tahu–. Acha juga ternyata telah menenggelamkan dirinya dalam sebuah novel tebal terjemahan yang ia baca. Aku hanya menatap Ify dan Sivia tak mengerti.

            “Gimana, Ik? Lo jadi sama si Obiet?” tanya Sivia.

            “Jadi apa?” tanyaku tak mengerti. Dan, seakan sebuah ide baru saja muncul di otakku, aku mengangguk mengerti. “Oh, itu.. Iya. Tadi malem dia jadi, kok, ke rumah gue.”

            “Bukan itu, Oiiiikkk!!” Ify memandangku dengan gemas. “Maksud kami, kalian berdua jadian?”

            Aku menggeleng tegas, “Ga, Fy, Siv. Gimana bisa...” aku menggantungkan kalimatku seraya menatap kedua sahabatku tak mengerti.

            “Jangan bilang kalau lo masih ngarepin si sialan itu!” Sivia menatapku penuh selidik.

            Aku menggeleng dengan gugup. Hey! Kenapa aku ini? “Ga tau juga..” lirihku.

            “Astaga, Oik!” Ify menatapku tak percaya. “Buat apa, sih, lo masih ngarepin dia? Jelas-jelas dia udah nyampakkin perasaan lo gitu aja dan ninggalin lo tanpa kepastian yang jelas!” sungut Ify.

            “Ga tau, Fy, Siv..” Aku menggeleng putus asa. “Gue ga tau kenapa gue ga bisa ngebenci dia sedikitpun. Tiap kali kebencian itu mulai muncul, kesedihan juga muncul gitu aja begitu inget perselingkuhannya.”

            “Gue bener-bener ga ngerti sama lo, Ik.” Sivia menggeleng tidak percaya. “Ada Obiet, Ik. Gue yakin dia ada rasa sama lo. Gue bisa lihat dari cara dia mandang lo. Kenapa lo ga coba aja sama dia, Ik?” suara Sivia semakin melembut hingga keakhir kalimat.

            “Sebenernya tadi malem Obiet ke rumah gue itu, ya, untuk ngomongin masalah ini.” Akhirnya aku memutuskan untuk jujur pada kedua sahabatku ini.

            “Masalah apa?” Ify tampak sudah mulai terbebas dari emosinya karena mengetahui aku yang masih belum bisa sepenuhnya terlepas dari bayangan Cakka.

            “Dia bilang kalau sebelum Cakka berangkat, Cakka sempet nitipin gue ke dia. Cakka minta dia buat jaga gue selama dia masih di Spore.” Aku terus menunduk, tak berani melihat Ify dan Sivia yang menatapku ganas.

            “Terus?” tanya Sivia.

            “Tadi pagi. Barusan, maksud gue. Dia minta kejelasan. Dia minta gue buat jadi... ceweknya.” Aku masih belum berani menatap Ify dan Sivia.

            “Terus lo jawab apa?” tanya Ify dengan suara tercekat.

            “Gue bilang let it flow aja..” aku menahan napas, menyadari kedua sahabatku akan memberikan reaksi buruk.

            “Astaga..” Ify mendesis tak percaya.

            “Ik? Kok...” Sivia pun sampai kehabisan kata-kata.

            “Gue ga tau, guys.” Akhirnya aku mendongakkan kepala dan menatap Ify serta Sivia satu-persatu. “Meskipun Cakka udah bikin gue sakit hati, gue tetep sayang sama dia.”

            “Lo bego, Ik, nyia-nyiain Obiet.” Sivia menggeleng tak percaya.

            “Kata Mama gue cinta itu memaafkan. Dengan tulus. Apapun kesalahan yang dia perbuat.” Aku tiba-tiba langsung ingat penggalan percakapanku dengan Mama semalam.

            You’re too good enough for him. You don’t have to wait for him. Dia ga worth it, Ik.” Ify memandangku seakan-akan aku adalah mangsanya.

            “Gue emang bego karena ga bisa benci sama dia, Fy, Siv..” Aku menelungkupkan kepalaku di atas meja dengan terisak kecil.

            “Dia bener-bener ga pantes dapetin rasa sayang dan cinta lo yang segini gedenya. Dia ga pantes buat lo cintain. Dia ga pantes buat lo sayangin. Intinya, dia ga pantes buat lo!” Sivia masih memandangku tak percaya.

**

            Sekolah sudah sepi. Aku masih belum juga dijemput oleh Mama. Sepertinya Mama masih berada di toko kuenya. Mungkin toko sedang ramai, maka dari itu Mama membantu para pegawainya melayani para pelanggan.

            Aku pun memutuskan untuk menuju taman sekolah. Begitu sampai di taman sekolah, aku melihat sesosok gadis berambut panjang sedang duduk di bawah pohon seorang diri. Aku pun menghampirinya. Mungkin saja kami bisa menunggu jemputan bersama.

            “Ha––” belum sempat aku menyapanya, dia sudah menengokkan kepalanya kepadaku dan membuatku kaget setengah mati. “Lo?!” pekik gue.

            Gadis berambut panjang itu pun berdiri. Ternyata Shilla, si gadis memuakkan. “Lo ngapain kemari, hah?” tanyanya, dengan nada tinggi.

            “Ini tempat umum! Salah kalau gue kemari?” balasku, tanpa ekspresi.

            Shilla mendorong gue agar pergi dari sini saat ini juga. “Gue ga akan ngebiarin lo ngotorin tempat kenangan gue sama Cakka!”

            Gue memandangnya tajam. “Apa lo bilang? Tempat kenangan lo dan Cakka? Inget, ya.. Ini tempat umum dan siapapun –termasuk gue– berhak kemari!”

            “Udah, deh! Lo masih ngarepin Cakka, kan? Ngaku aja, deh, lo!” Shilla makin mendorongku dengan sekuat tenaga.

            “Bukan urusan lo!” desisku tajam.

            “Percuma!” Shilla tersenyum sinis. “Lo ga bakalan bisa ngambil dia dari sisi gue! Dia udah bosen sama lo. Jangan ganggu hubungan gue dan Cakka! Awas lo!” ancamnya.

            “Ambil aja! Dan, lo tadi bilang apa? Dia bosen sama gue? Oke, berarti ga lama lagi kalau dia bosen sama lo, dia juga bakalan ngebuang lo begitu aja.” Aku memandang Shilla dengan wajah terangkat ke atas.

**

            Dan ternyata, malam ini Obiet kembali berkunjung ke rumahku. Kami kembali berbincang-bincang di teras rumah. Seperti sebelumnya, Obiet juga tak mau aku ambilkan minum. Dia hanya sebentar kemari, dalihnya. Padahal, kami sudah mengobrol sekitar setengah jam.

            “Ik, aku butuh kepastian..” Obiet memandangku dalam, mulai menggunakan aku-kamu denganku.

            Aku berusaha menarik segaris senyum di bibirku, “Kita jalanin yang ada sekarang aja, Biet. Jangan terlalu maksain, nanti jatuhnya jadi ga enak.”

            “Jadi, kamu nolak aku?” Obiet mulai menarik kesimpulan sendiri.

            Aku menahan napas begitu menyadari perubahan sorot mata Obiet yang begitu drastis, “Gue ga bilang begitu, Biet.”

            Obiet tertawa sengau, “Bahkan kamu ga ngikutin aku pakai aku-kamu.”

            “Maaf,” lirihku.

            “Kamu masih belum bisa lupain Cakka, Ik?” tanyanya.

            Aku menggeleng, “Ga tau, Biet.”

            Obiet bangkit dan berdiri di hadapanku. “Kamu kenapa belum bisa lupain Cakka, sih, Ik?” Obiet meremas kedua bahuku dan sedikit menggoncang-goncangkannya. “Padahal dia udah sakitin kamu, ngebuang kamu!”

            Aku memandang Obiet tak percaya. Kenapa dia jadi menyudutkanku seperti ini? Untuk apa pula dia meremas bahuku dan menggoncang-goncangkannya? Kedua bola matanya pun menyorotkan amarah, bukan kekecewaan.

            “Aku udah minta baik-baik sama kamu tapi kamu tolak. Sadar, dong, Ik, aku udah suka sama kamu sejak kita pertama kenal! Aku suka sama kamu jauh sebelum kamu kenal Cakka! Jauh sebelum kalian jadian!” Obiet mulai berteriak seperti orang kesetanan.

            “Tapi maksud Cakka dengan jaga aku di sini bukan berarti jadi pacarku, kan?” aku menatap Obiet takut-takut.

            Obiet melepaskan cengkeramannya pada bahuku dan mulai mengacak-acak rambutnya frustasi, “Omong kosong buat permintaan Cakka! Sebenernya Cakka ga pernah nyuruh aku buat jagain kamu di sini! Itu semua cuman taktikku biar bisa sama-sama sama kamu terus.”

            Aku menatap Obiet tak percaya, “Gue ga nyangka lo selicik ini.”

            “Ini semua demi kamu, Ik!” Dasar keras kepala! Walaupun ia salah, ia masih tetap membela diri dengan mengkambinghitamkan perasaannya padaku.

            “Padahal gue udah ada niat buat mulai ngebuka hati..” lanjutku.

            “Maaf, Ik!” Obiet menggenggam kedua tanganku. Sejurus kemudian, aku melepaskan genggamannya dengan kasar. “Aku janji bakal berubah asal kamu mau buka hatimu lagi untuk aku.”

            Aku tersenyum tipis dan kembali menggeleng. “Kesempatan ga datang dua kali.”

            “Lalu? Buat apa kamu masih mau nunggu Cakka? Kamu sendiri yang bilang kalau kesempatan itu ga dateng dua kali!” Obiet masih bersikukuh untuk menggenggam tanganku.

            “Gue ga nunggu Cakka. Gue nunggu takdir yang bakal bikin kami ketemu lagi. Jodoh ga kemana, Biet. Kalau kita jodoh, perasaan gue ke Cakka bakal hilang dengan sendirinya. Pasti.” Aku mencoba untuk menghibur Obiet.

            “Jadi, aku juga harus nunggu takdir yang bakal bikin kamu mau maafin aku?” tanyanya.

            Aku mengangguk lugas. “Nunggu itu emang ngebosenin. Tapi kalau lo emang bener-bener niat nunggu gue, lo ga bakal ngerasa bosen sedikitpun, kok.”

            Obiet mengangguk lemas. Tanpa mengatakan apapun lagi kepadaku, dia berbalik arah. Pulang. Meninggalkan aku yang terduduk di teras dengan kepala menengadak ke atas, menatap kilauan bintang di angkasa.

            “Bintang, sampaikan ke Cakka, ya.. Aku kangen. Aku nunggu takdir yang bakal mempertemukan kami.” Aku tersenyum tipis.

            Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Ada dua pesan masuk sekaligus. Satu dari Ify dan satu lagi dari Sivia. Aku membukanya satu-persatu. Membacanya, lalu tersenyum simpul karenanya.

From: IfyAlyssa
Maafin gw ya. Gw sdr gw udh slh krn maksa lo buat ngelupain dia.
It semua trsrh sm lo skrg
Gw hargain keputusan lo buat ttp nunggu dia:-)

From: Viaziah
Maaf buat yg td. Gw tw gw slh.
Semua keputusan ada di lo. Ini idup lo n lo yg bkl ngejalanin.
Gw ttp support lo({})

            Aku beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Aku juga beruntung memiliki kedua orangtua seperti Papa dan Mama. Aku beruntung karena sempat memiliki Cakka dan sempat menjadi bagian dalam kehidupannya. Yang jelas, aku mensyukuri semuanya. Semua yang telah terjadi. Itu kehendak Tuhan dan Tuhan tahu apa yang terbaik untukku.

            Mungkin aku dan Cakka sudah tak sejalan lagi. Karena itulah Tuhan memisahkan kami. Tugasku kini hanya duduk manis dan menunggu kehendak Tuhan yang lainnya. Entah itu melupakan Cakka lalu menjalin hubungan dengan Obiet, ataupun bertemu kembali dengan Cakka dan memaafkan segalanya. Jika nanti aku dan Cakka bertemu lagi, ingatlah.. Itu takdir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS