Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 24)

Oik, Rio, Dea, dan kedua orang tua Oik serta Rio baru saja selesai makan siang bersama. Rencana berubah total! Rencana awal, mereka akan makan siang di salah satu kedai favorit Oik. Tapi ternyata kedai tersebut tutup. Jadilah mereka makan siang di rumah saja.

Setelah selesai makan siang, kelimanya berpindah ke ruang keluarga dan duduk di sofa. Oik sendiri, ia masih ribet dengan ponselnya. Berkali-kali ia menengok layar ponselnya. Pasalnya, sedari tad ia belum mendapat SMS dari Alvin.

“Kenapa, Ik?” tanya mamanya dengan wajah bingung.

Oik menoleh sekilas dan kembali ribet dengan ponselnya, “Eh? Itu, ma.. Alvin belom SMS. Padahal tadi udah janji bakalan SMS Oik kalau udah sampai rumahnya” jawab Oik spontan. Dan, ia melupakan satu hal..

“Alvin siapa kamu, Ik?” tanya papanya dengan alis berkerut.

“Alvin? Pacar Oik, pa” jawab Oik, lagi-lagi dengan spontannya.

Wajah kedua orang tuanya menegang sesaat. Keduanya menatap Oik tajam. Oik sendiri, tak menyadari tatapan itu. Rio dan Dea hanya dapat menghela napas pasrah. Oik terus saja melihat layar ponselnya. Sampai akhirnya...

“Rio, Dea, kalian masuk ke kamar masing-masing saja. Papa sama mama mau bicara serius dengan Oik” suruh papa Rio dan Oik.

Oik mendongak menatap kedua orang tuanya dengan wajah bingung. Rio dan Dea pun kembali ke kamar masing-masing dengan wajah prihatin. Mereka cepat-cepat menutup pintu kamar dan bersandar padanya, menguping pembicaraan Oik serta kedua orang tuanya dari dalam kamar.

“Oik, letakkan dulu HP-nya!” benta papanya keras.

Karena kaget, Oik hampir saja menjatuhkan ponselnya. Segera ia letakkan ponselnya di meja dekat sofa yang ia dudukki. Mamanya segera bergeser dan duduk tepat di samping kanannya. Berbeda dengan papanya yang langsung berdiri di hadapan Oik dengan berkacak pinggang.

“Alvin itu pacar kamu?” tanya papanya lagi, Oik mengangguk polos.

^^^

Rio dan Dea yang sedari tadi menguping dari kamar masing-masing hanya dapat mengelus dada. Sudah hampir satu jam lamanya Oik ‘berbicara’ dengan kedua orang tuanya.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua mendengar derap langkah seseorang yang terdengar semakin dekat. Setelahnya, terdengar suara pintu yang dibuka kemudian ditutup dengan kasar. Rio dan Dea sampai terlonjak kaget. Mereka sadar betul dengan keadaan semacam ini.

Setelah mendengar kalau kedua orang tuanya telah masuk ke kamar, Rio segera membuka pintu kamarnya dan bergegas ke kamar Oik. Di depan kamar adiknya itu, Dea sudah berdiri seraya mengetuk pelan pintu kamar Oik. Rio pun mengikuti apa yang Dea lakukan.

“Ik, buka pintunya, dong! Ini Kak Rio, sama Dea juga. Buka, dong, Ik!” ujar Rio dari luar kamar Oik.

“Iya, Ik! Nyokap sama bokap lo udah masuk kamarnya, kok!” lanjut Dea.

Tak lama, pintu terbuka. Muncul Oik dengan wajah memerahnya, rambut acak-acakkan, dan linangan air matanya. Setelah membukakan pintu untuk kedua orang tersebut, Oik kembali tengkurap di ranjangnya dan kembali menangis.

Dea dan Rio segera menghampiri ranjang Oik. Rio berdiri di samping ranjang Oik. Sedangkan Dea, ia duduk di tepi ranjang Oik seraya mengusap-usap punggung Oik dengan lembut. Masih terus terdengar isakan Oik.

“Ik, bangun! Jangan nangis mulu. Come on! Duduk sini, kita ngomong yuk” bujuk Rio, ia pun segera duduk pula di tepi ranjang Oik.

Rupanya tangisan Oik lumayan mereda. Gadis manis itu segera duduk di atas ranjangnya, menghadap Rio dan Dea dengan wajah yang tetap saja memerah karena baru saja menangis. Dea mengangsurkan sekotak tissue yang ia ambil dari meja belajar Oik.

“Makasih, De” lirih Oik.

Beberapa menit berikutnya, Oik sibuk dengan berlembar-lembar kertas tissue di hadapannya untuk menghilangkan jejak-jejak air matanya. Akhirnya ia merasa tenang kembali.

“Jadi, gimana?” tanya Rio dengan kikuk.

“Gimana apanya?” sahut Oik, super polos.

“Aduh! Ya lo sama Alvin, dong! Masa lo sama Cakka?” ceplos Dea.

Wajah Oik kembali memerah. Kali ini karena ia malu. Semburat kemerahan tersebut segera ia sembunyikan dari kedua manusia di hadapannya itu dengan cara menundukkan kepala dalam-dalam.

“Ya mau gimana lagi? Apa putus aja, ya?” gumamnya.

Rio dan Dea tersentak kaget dengan gumaman Oik barusan, “Yakin lo, Ik? Lo bakalan mutusin Alvin? Lo ga kasihan sama dia?” tanya Rio beruntun.

Oik mengambil boneka teddy bear besar di dekatnya dan segera memukulkannya ke Rio dengan sebal, “Lo makin bikin gue ngerasa bersalah aja, kak! Kasih saran, kek!”

“Ya sorry! Kasih saran apa gue? Lo tau sendiri kalau gue paling ga bisa ngasih saran buat orang!” balas Rio sewot, ia manyun setelah mendapat pukulan telak dari Oik.

“Ah, kan! Makin ngerasa bersalah gue sama Alvin!” teriak Oik frustasi.

Dea kembali bingung dengan ucapan Oik, “Makin? Makin ngerasa bersalah? Emang, lo bikin berapa salah sama Alvin?” tanya Dea, sukses membuat Oik mati gaya.

Baru saja Oik akan menjawab, ponselnya sudah berbunyi. Ia segera mengambil ponselnya dan melihat ke layarnya. Rupanya orang yang sedari tadi ia tunggu SMS menelponnya sekarang! Segera saja ia angkat panggilan tersebut.

“.....Halo?.....”

“.....Hah? Kenapa? Parau? Kayak orang abis nangis? Ga, kok!.....”

“.....Serius, deh! Ini aja aku lagi ngobrol sama Dea sama Kak Rio.....”

“.....Iya, tuh! Kamu ke mana aja, sih? Aku tungguin telponnya, juga!.....”

“.....Lowbat? Beneran? Ga berduaan sama Sivia?.....”

“.....Iya deh, iya.....”

“.....Eh ya, besok kamu ga usah jemput aku, ya! Aku mau bareng Kak Rio aja.....”

“.....Iya, sama Dea juga. Ga pa-pa, kan?.....”

“.....Oke, bye!.....”

Oik segera memutuskan panggilan tersebut dan melemparkan ponselnya ke sembarang arah. Ia menelungkupkan wajahnya ke boneka teddy bear miliknya. Hal tersebut cukup membuat Rio dan Dea kembali memasang wajah bingung.

“Kenape lagi, Ik?” tanya Dea, berhasil mendahului Rio yang juga akan bertanya seperti itu.

“Alvin! Nelpon gue barusan! Makin bikin gue ngerasa bersalah, aja, itu anak!” serunya dari balik boneka teddy bear tersebut.

Rio mengusap-usap puncak kepala adiknya tersebut dan tersenyum kecil. Ia pun menyingkirkan boneka teddy bear itu dari wajah Oik, “Kasih tau gue, deh, kenapa lo bilang kalau Alvin makin bikin lo ngerasa bersalah” suruhnya.

Oik menggelengkan kepalanya cepat, “Alah! Lo udah tau, kak!” sahut Oik, keki.

“Tapi gue belum!” jawab Dea dengan wajah sok polosnya.

“Ih! Kalian ngeselin! Dea bohong! Lo, kan, udah tau soal ‘itu’!” seru Oik.

^^^

Sang mentari baru saja terbit di ufuk timur. Kediaman Oik ternyata sudah ramai sepagi itu. Oik dan Dea sedang sibuk menyiapkan buku-buku sekolahnya. Sedangkan Rio dan kedua orang tuanya sudah sarapan dengan santainya di ruang makan.

Oik dan Dea keluar dari kamar masing-masing secara bersamaan. Keduanya tertawa sejenak. Tapi tetap tak bisa dipungkiri kalau mata Oik masih sembab, bahkan kedua mata bening gadis manis itu berkaca-kaca.

Keduanya segera menuju ruang makan berbarengan. Berbeda dengan Dea yang langsung duduk di kursi makannya, Oik segera ke teras dan memakai sepatunya. Untuk sementara, ia tak ingin bertemu dengan kedua orang tuanya terlebih dahulu.

“Oik! Ga makan lo?” teriak Rio dari dalam.

“Ga usah! Masih kenyang gue! Lo sama Dea makannya rada cepetan aja! Gue ada tugas yang belum gue selesaiin! Mau gue selesaiin di sekolah!” balas Oik, tentu dengan berteriak pula.

Rio dan Dea hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Oik. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang masa bodoh dengan anak bungsunya tersebut. Tanpa dikomando, Dea mengambil selembar tissue dan meletakkan sebuah roti isi di dalamnya untuk Oik.

“Kak Rio! Tadi gue lihat matanya Oik masih sembab! Berkaca-kaca, pula! Mendingan kita cepetan berangkat, deh!” bisik Dea pada Rio.

Rio menganggukkan kepalanya. Ia segera melahap roti isinya, meminum susunya, dan berpamitan kepada kedua orang tuanya. Begitu pula Dea. Keduanya pun beriringan menuju teras rumah Rio. Oik terduduk di sana sambil memainkan ponselnya.

“Woy! Ayo berangkat!” seru Rio pada Oik, Oik sampai melonjak kaget.

Ia pun segera bangkit dari duduknya dan membawa tasnya menuju mobil Rio. Kebetulan, Rio juga sedang kuliah pagi terus dalam satu semester ini. Ketiganya pun naik ke mobil dan melesat menuju SMP Ranvas.

“Ik, makan dulu! Nih gue bawain roti isi. Gue tau kalau lo laper tapi lo males ngeliat bokap nyokap lo” kata Dea, ia mengangsurkan sebuah roti isi yang terbungkus selembar tissue kepada Oik.

Oik menerimanya dengan mata berbinar, “Makasih! Tau aja lo, De!” ungkapnya.

^^^

Tak sampai lima belas menit, ketiganya telah sampai di depan gerbang SMP Ranvas. Oik dan Dea segera turun. Rio kembali melanjutkan perjalanannya menuju kampusnya. Dea pun segera masuk ke kelasnya.

Oik melangkah gontai di koridor utama SMP Ranvas. Ia menoleh ke belakang. Tak sengaja ia melihat Alvin yang baru saja memarkirkan motornya di sana. Matanya makin berkaca-kaca saja. Cepat-cepat ia langkahkan kakinya menuju kelasnya, tak ingin Alvin melihatnya.

Setelah sampai di kelasnya, ia segera menjatuhkan tubuh mungilnya di bangku yang biasa ia tempati. Rupanya kelasnya masih kosong. Hanya ada dirinya, Sivia, dan Cakka. Hey, di mana Shilla? Bukankah sekarang Cakka harus mengantar-jemput Shilla?

Sivia masih terpaku dengan kondisi sahabatnya tersebut. Dilihatnya kondisi Oik yang super kacau. Ia usap-usap punggung sahabatnya tersebut. Cakka sendiri masih bingung dengan kedatangan Oik yang tiba-tiba dan betapa kacaunya keadaan gadis manis itu.

Oik pun mengangkat wajahnya dan menatap Sivia yang duduk di samping kanannya, “Sivia!” panggilnya dengan suara parau, ia pun memeluk sahabatnya tersebut.

“Hey! Hey! Lo kenapa, sih? Kok nangis gitu?” tanya Sivia sambil membalas pelukan Oik.

Dari bangkunya, Cakka mencoba mendengarkan obrolan kedua gadis tersebut, yang pastinya akan membicarakan soal sebab-sebab Oik menangis. Cakka menajamkan telinganya untuk mendengar.

“Jangan di sini.. Di toilet aja. Ke toilet, yuk! Sekalian gue cuci muka” ajak Oik, Sivia mengangguk.

Keduanya pun bangkit dan melenggang menuju toilet. Cakka berdecak kesal. Ia terlajur menajamkan pendengerannya eh ternyata dua gadis tersebut memilih untuk berbicara di toilet!

Cakka oun segera berlari menuju toilet. Untung saja toilet putra dan putri dekat. Begitu ia melihat Sivia dan Oik masuk ke dalam toilet. Ia segera merapat di dinding toilet, berharap ia dapat mendengarkan percakapan keduanya.

“Alvin, Siv! Nyokap sama bokap gue ga ngebolehin gue pacaran dulu. Mereka nyuruh gue putus sama Alvin” cerita Oik disela-sela isak-tangisnya.

Cakka terperanjat kaget ketika mendengar nama Alvin disebut-sebut. Dan sayangnya, ia keburu emosi. Cepat-cepat ia berlari ke kelas Alvin dan menggeret laki-laki berwajah oriental tersebut ke lapangan basket yang memang lokasinya cukup terpencil.

Cakka meluapkan emosinya di sana. Berkali-kali ia memukul pipi Alvin hingga memar. Alvin sendiri hanya diam. Ia bingung dengan tingkah Cakka. Seingatnya, ia tak pernah berbuat salah kepada Cakka.

“Ngapain lo mukul-mukul gue?!” teriak Alvin begitu emosi Cakka sedikit mereda.

“Lo apain Oik, hah?! Dia sampek nangis, tau ga!” teriak Cakka balik.

Alvin memasang wajah bingung. Memang ia tak tau perihal Oik yang menangis itu, “Maksud lo? Gue ga ngerti! Pagi ini aja gue ga bareng Oik ke sekolah!” serunya.

^^^

Sivia dan Oik sudah berada di kelas kembali. Tiba-tiba saja, muncul Dea dengan tergopoh-gopoh. Ia segera menghampiri Sivia dan Oik, “Hey! Kenapa?” tanya Sivia.

“Cakka sama Alvin! Berantem! Di lapangan basket! Mereka nyebut-nyebut nama lo, Ik! Mendingan lo cepet ke sana sebelum mereka berdua makin bonyok!” ujarnya terputus-putus.

Oik dan Sivia melotot kaget. Ketiganya pun cepat-cepat manghampiri Cakka dan Alvin di lapangan basket. Keadaan seperti ini kembali membuat mata Oik berkaca-kaca.

^^^

“Belaga ga ngerti, lagi! Mending lo putusin Oik aja, deh!” suruh Cakka.

Alvin menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Coba ceritain kenapa Oik nangis!”

“Dia nangis sama Sivia, dia curhat sama Sivia! Dia bilang kalau dia abis dimarahin bokap sama nyokapnya abis-abisan gara-gara dia ketauan pacaran sama lo!” jelas Cakka, tetap dengan mencoba membuat Alvin babak belur.

“Terus, apa bedanya gue sama lo?! Kita sama-sama bikin Oik nangis! Malahan, lo lebih sering bikin dia nangis!” sentak Alvin dengan wajah memerah, menahan marah.

“Maksud lo apa, hah?! Gue ga pernah bikin Oik nangis!” sangkal Cakka.

Alvin menyingkirkan tangan Cakka dari kerah seragamnya, “Asal lo tau! Dia sering nangis gara-gara lo! Pertama, gara-gara lo deket sama Agni. Kedua, gara-gara lo deket sama Acha. Dan ketiga, gara-gara lo deket sama Shilla!”

Cakka terperangah kaget, “Ngapain dia nangis gara-gara itu?”

Alvin seakan tak percaya dengan pertanyaan Cakka, “Bego lo! Itu gara-gara dia sayang sama lo!” teriaknya, tepat di telinga Cakka.

“Cukup!” teriak sebuah suara, keduanya menoleh ke sumber suara. Ada Oik, Sivia, dan Dea di sana. Tapi mereka yakin bahwa tadi adalah suara Oik.

Oik berlari menghampiri mereka dan menjauhkan Cakka dari Alvin, “Ngapain berantem? Gara-gara gue? Udah, deh! Cakka, jauh-jauh lo dari cowok gue!” bentak Oik. Sebenarnya ia tak sampai hati untuk membentak Cakka.

“Terus? Kalau lo tau Oik sayangnya sama gue, kenapa ga lo putusin si Oik?” tanya Cakka pada Alvin, seolah tak menghiraukan ucapan Oik barusan.

“Siapa bilang gue sayang sama lo, hah?!” bentak Oik pada Cakka. Dea dan Sivia hanya mampu menatap ketiganya tanpa berbuat apapun.

“Ik, bilang sama aku kalau kamu sayang sama aku!” pinta Cakka memelas.

Oik menggelengkan kepalanya, “Please, Ik! Kalau ga, aku bakalan sama Shilla” mohon Cakka lagi.

Oik tetap menggelengkan kepalanya dengan berat hati. Ia tak mau melukai perasaan Alvin yang telah sangat berbaik hati kepadanya. Cakka bergerak mendekati gadis manis tersebut dan menahannya dalam pelukannya.

“Lepas, Cakk!” lirih Oik.

“Ga mau” lirih Cakka, “Bilang kalau kamu sayang sama aku, Ik” pintanya untuk yang ketiga kalinya.

“Aku sayang kamu, Cakk” ujar Oik dengan suara sangat pelan, ia tak mau Alvin mendengarnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar