Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [04]

            Sore itu, Oik sudah membuat janji dengan Cakka dan Shilla di apartemennya. Oik menunggu keduanya sambil mengobrol dengan Gabriel di depan pintu apartemen laki-laki jangkung itu. Karena galeri Oik sedang dibenahi dan Alvin sedang mengurus kamera, akhirnya Oik membutuskan untuk mengundang Cakka dan Shilla ke apartemennya.

            “Jadi, lagi sibuk sekarang lo, Gab?” tanya Oik. Keduanya baru saja selesai membicarakan soal spot-spot menarik di pinggiran Jakarta untuk objek foto Oik dan Alvin.

            “Lagi sibuk nyari seseorang, Ik,” jawabnya, matanya menerawang jauh entah kemana.

            Oik mengernyit bingung, “Temen lama?”

            Gabriel menggeleng pelan dan tersenyum hambar, “She was my everything... until that accident happened. Gue nyesel banget waktu itu. Gue gagal ngejaga dia. And now, she’s around me but I feel like she’s different now. So much different.”

            “Lambat laun dia pasti berubah jadi dia yang dulu, kok, Gab. Itupun kalau lo mau bantu dia untuk berubah.” Oik mengusap lengan Gabriel, tak tega melihat teman barunya itu terguncang seperti ini.

            Gabriel tersenyum tipis. Semoga, Ik.. batinnya. Gabriel termenung, menyadari sengatan aliran listrik yang menjalari tubuhnya ketika tangan Oik menyentuhnya tadi. Gabriel pun tenggelam dalam imajinasinya.

            “Oik?”

            Suara lembut seorang wanita kembali menarik Gabriel kedunia nyata. Gabriel mendongak, begitu pula Oik, dan menengok ke arah sumber suara. Oik tersenyum tipis, melambai pada sang empunya suara.

            “Shilla?” suara Gabriel tercekat di tenggorokan.

            Shilla terkesiap begitu menyadari kehadiran Gabriel, “Gabriel? Lo...”

            Shilla mendadak pucat pasi. Ia menengok pada Oik yang terlihat sangat akrab dengan Gabriel. Shilla menggeleng tak percaya. Ga boleh.. Ga boleh.. Ga akan terjadi.. Gue ga bakalan rela..

            “Bisa mulai sekarang, Ik? Gue masih ada jadwal recording setelah ini.” Shilla memusatkan fokusnya pada Oik, mengabaikan Gabriel yang sedang menatapnya tajam.

            “Bisa,” Oik mengangguk lalu beralih pada Gabriel, “Gue masuk duluan, Gab. Jangan nyerah! Tetep cari temen lama lo itu, ya. Bantuin dia balik jadi dia yang dulu.” Oik menepuk-nepuk pundak Gabriel sejenak lalu masuk ke dalam apartemennya bersama Cakka dan Shilla. Meninggalkan Gabriel yang termangu hebat.

**

            Oik duduk pada sebuah kursi kayu. Ia terus berteriak-teriak memberikan arahan pada anak buahnya pagi itu. Oik beralih menatap Alvin. Rupanya laki-laki itu sedang mengatir kameranya pada sebuah tripod. Oik tersenyum melihatnya. Lalu, pandangannya beralih pada Cakka dan Shilla.

            “Lama banget, sih, mulainya? Anginnya kenceng, nih! Gue bisa masuk angin lama-lama!” Shilla terus menggerutu sejak tadi.

            Oik menatapnya tak suka, “Gue, kan, udah bilang.. Pake kostum biasa aja! Angin pantai pagi itu dingin, kenceng. Lo aja yang ga ngedengerin gue!”

            “Tap––,” Shilla sudah hendak protes lagi ketika Cakka menahan lengannya dengan lembut.

            “Maafin Shilla, Ik..” kata Cakka. Oik hanya mengangguk tak acuh.

            Tak lama kemudian, Alvin menghampiri mereka bertiga dengan senyuman lebar, “Kameranya udah selesai gue setting. Lo berdua cepet ke tepi, biar gue potret sekarang. Anginnya makin kenceng soalnya.”

            Shilla mengangguk. Ia segera menggamit lengan Cakka, menarik lengan calon suaminya itu agar berjalan beriringan ke tepi. Keduanya sudah berdiri dengan kaku di tepian, menghadap ke Alvin dan kameranya.

            Oik berdecak kesal, “Jangan diem doang! Shill, lo artis, kan? Gaya, dong! Pose! Apa bedanya, sih, pemotretan ini sama pemotretan lo biasanya? Payah!” teriak Oik dari tempatnya duduk.

            Shilla tak menyahut. Ia sudah berkonsentrasi agar tetap terlihat cantik di depan kamera. Cakka sudah terlihat lebih santai, walaupun tak kunjung terukir senyum di bibirnya. Alvin menggeleng pada Oik. Kalau begini caranya, harus Oik sendiri yang turun tangan.

            Oik bangkit dari duduknya. Dengan setengah berlari, ia menghampiri ketiga orang di tepian itu. Oik berkacak pinggang menatap Cakka dan Shilla. Matanya menatap kedua sosok itu lurus-lurus. Berpikir pose apa yang cocok untuk kedua orang itu.

            “Gini aja deh..” Oik bergerak maju. Tangannya mendorong Cakka agar lebih dekat dengan Shilla, mempersempit jarak keduanya. Oik juga meletakkan kedua tangan Cakka di pinggang Shilla. Tak lupa, ia menyuruh Shilla memeluk leher Cakka. “Lihat ke arah matahari, jangan lihat ke kamera!” Cakka dan Shilla menurut. Oik mengangguk puas. “Vin..”

            Tanpa ba-bi-bu, Alvin segera memotret Cakka dan Shilla. Setelahnya, Oik kembali mengatur pose lalu Alvin memotretnya. Begitu seterusnya hingga Alvin mengangguk puas menatap hasil jepretannya.

            Kini, keempatnya sedang duduk-duduk di sebuah warung tepi pantai seraya melihat-lihat hasil jepretan Alvin. Seperti biasa, Alvin duduk bersebelahan dengan Oik dan berhadap-hadapan dengan Cakka serta Shilla. Sebuah es kelapa muda tersaji di depan masing-masing dari mereka.

            Softcopy pemotretan hari ini bisa lo kirim ke email gue ga?” tanya Shilla, menatap Alvin dan Oik bergantian.

            Alvin mengangguk, “Bisa. Ntar biar Ify yang ngirim.”

            “Hey!” Oik menyenggol pelan lengan Alvin dan menatapnya bingung. “Kamu lupa Ify masih ambil cuti, bareng Rio? Mereka masih honey moon, Vin!”

            “Oh, iya,” Alvin bergumam lirih. “Ya udah, biar nanti gue atau Oik aja yang ngirim.”

            “Oke,” Shilla tersenyum tipis pada keduanya.

            “Tunggu,” Cakka segera mengobrak-abrik tasnya dan mengeluarkan empat batang SilverQueen dari dalamnya. “Untung belum leleh,” desahnya lega. Kemudian, dibagikannya cokelat batangan itu pada Shilla, Oik, Alvin, dan –tentunya– dirinya sendiri. Cakka menyeringai menatap Shilla dan Oik.

            Thanks,” kata Oik dengan cueknya.

            Cakka membuka cokelatnya sembarangan lalu melahapnya perlahan. Ia terus memperhatikan Shilla dan Oik dari sudut matanya. Kedua gadis itu telah membuka kemasan cokelatnya masing-masing dan bersiap melahapnya.

            Cakka terkesiap begitu melihat Shilla langsung melahap cokelat tersebut. Berbeda dengan Oik... gadis mungil itu membuang terlebih dahulu kacang mede yang terkandung di dalamnya. Kenapa ga dari dulu aja gue ketemu dia? Kenapa ga dari kemarin-kemarin aja?

            “Lala...” Cakka bergumam lirih.

            Shilla –yang merasa nama kecilnya disebut– segera menengok ke arah Cakka, “Kenapa, Kka? Tumben kamu manggil aku Lala.”

            Cakka menatap Shilla tajam, “Ga. Bukan apa-apa.”

**

            Gadis berambut pendek itu berjalan di antara gundukan tanah liat bernisan dengan membawa sebuket mawar putih di tangan kanannya. Ia mengenakan pakaian serba hitam, selendang hitam, dan kaca mata hitam.

            Ia berhenti di depan sebuah gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Andryos Aryanto. Gadis berambut pendek itu jatuh terduduk dengan air mata yang mengucur deras dari kedua bola matanya. Perlahan, diletakkannya buket mawar putih itu di dekat nisan.

            “Hay, Deb..” sapanya. Ia menyeka air matanya sejenak. “Apa kabar kamu di Surga sana?” senyum getirnya pun muncul.

            “Maaf, ya, aku baru bisa kemari hari ini. Sebenernya kemarin aku mau ke sini. Kamu ingat, kan? Kemarin tepat sepuluh tahun kamu pergi.”

            Angin berhembus pelan, membantu gadis itu mengeringkan air matanya. Walaupun begitu, kristal-kristal itu masih terus luruh tak terkendali.

            “Aku kangen kamu, Debo,”

            Gadis itu menunduk dalam. Mengingat kembali kejadian sepuluh tahun lalu. Debo –sapaan akrab Andryos Aryanto– pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya tanpa berpamitan dulu kepadanya. Rindunya pada laki-laki berwajah kalem itu sudah membuncah. Juga dendamnya pada seseorang yang –ia anggap– membunuh Debo.

**

            Seorang lelaki dan seorang gadis sedang bersitegang di teras sebuah kediaman mewah. Terlihat sang gadis yang terus berkeras kepala dan tak mendengarkan ucapan lelaki di hadapannya. Tak ketinggalan, sang lelaki pun juga berkeras kepala menuntut sang gadis menuruti perkataannya.

            “Lo harus berhenti! Berhenti lakuin ini semua!” sang lelaki kembali melancarkan aksi memaksanya.

            Gadis itu menggeleng keras, “Ga akan! Jangan mimpi lo! Sampai kapanpun, gue ga akan turutin perkataan lo itu! Lo gila!”

            “Lo yang gila!” lelaki itu mulai kehilangan kontrol. “Lo mau berhenti dan mundur teratur atau gue buka semuanya? Pilih!”

            “Ga dua-duanya!” desis gadis itu. “Gue ga akan begitu aja mundur! Dari awal gue udah janji kalau gue ga akan ngelepasin gitu aja.”

            Lelaki itu menatapnya tak percaya, “Lo sadar ga, sih, kalau lo udah bikin keadaan jadi kacau?!”

            Gadis itu tertawa sengau, “Salah? Gue cuman berusaha buat ngerebut balik semuanya yang harusnya udah gue miliki sejak dulu!”

            “Kalian itu sahabat!”

            “Stop! Gue bilang stop!” Gadis itu tiba-tiba saja mengeluarkan sebilah pisau dari balik punggungnya lalu mengacungkan benda tajam itu pada lelaki di hadapannya. “Kalau lo masih berani-berani ngusik urusan gue, pisau tajem ini yang bakalan bikin lo diem. Untuk selamanya.”

            Tangan lelaki itu menepis pisau yang hampir mendekati pipinya dengan gusar, “Psycho! Dasar!”

            Lelaki itu pun angkat kaki dari kediaman mewah sang gadis dengan perasaan campur aduk. Sang gadis tersenyum sinis. Pisau di tangannya segera ia buang jauh-jauh. Ia bisa membeli yang baru nanti jika lelaki itu masih saja mencampuri urusannya.

**

            Alvin sedang membereskan berkas-berkas di ruang utama Oicagraph ketika gadis berwajah riang itu datang dan memeluknya dari belakang dengan sangat erat seraya terkekeh pelan. Alvin tersenyum lebar.

            “Kenapa baru dateng, sih?” tanya Alvin, badannya sudah berputar dan sekarang ia tengah berhadapan dengan gadis berwajah riang itu.

            “Aku beliin kamu ini dulu, Vin,” jawabnya, ia mengacungkan sebuah tas plastik dari kedai restoran Jepang di dekat sini. “Aku tahu kamu pasti belum makan.”

            Alvin tersenyum lembut dan mengecup pipi gadis itu, “Thanks, dear.”

            Gadis itu balas tersenyum. Ia membimbing Alvin untuk duduk di sebuah kursi lalu mengeluarkan makanan untuk lelaki itu, meletakkannya di meja. Setelahnya, ia pun duduk di hadapan Alvin.

            Dragon roll? Kamu memang yang paling ngerti aku,” gumam Alvin seraya tersenyum. Ia pun segera melahap sushi di hadapannya.

            “Laper apa doyan, Vin?” tanya gadis itu, kembali terkekeh pelan.

            “Laper karena belum sempet makan dari pagi. Doyan karena kamu yang ngebeliin,” rajuk Alvin. “Kamu ga makan?” tanya Alvin balik.

            “Tadi aku makan di kedainya sama Mama.” Gadis berwajah riang itu tersenyum lembut pada Alvin.

            Alvin menggerakkan sumpitnya, mengambil sepotong dragon roll, lalu mengarahkannya pada bibir gadis di hadapannya. “Nih..”

            “Aku sudah makan, Vin,” tolaknya.

            Alvin menggeleng tak mau tahu. “Makan atau aku cium lagi?”

            Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia pun melahap sushi suapan Alvin dengan menahan senyumnya. Setelahnya, ia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Hujan sedang turun dengan lebatnya rupanya.

            “Udah malem, Vin. Cepet beresin, deh. Abis itu pulang. Kasihan pacar kamu nanti nungguin.” Gadis itu berkata setengah bercanda.

            “Pacar aku? Siapa?” tanya Alvin sambil kembali melahap sushinya.

            “Oik,” jawabnya.

            “Pacar aku cuman kamu.” Alvin menatap gadis di hadapannya dengan penuh sayang.

**

            Oik sedang menonton televisi di ruang apartemennya ketika hujan turun dengan derasnya. Ia menatap gusar ke arah jam dinding. Sudah pukul delapan lewat tapi Alvin tak kunjung kembali dari galeri. Ke mana dia? Pergi bersama gadis berwajah riang itu? Sungguh, membayangkannya saja Oik sudah panas-dingin sendiri.

            Tiba-tiba saja, terdengar ketukan dari pintu apartemennya. Oik bangkit dan menuju pintunya dengan riang. Itu pasti Alvin. Ya. Siapa lagi kalau bukan Alvin? Tidak mungkin, kan, kalau itu––,

            “Cakka?!” pekik Oik heran.

            Begitu pintu terbuka, sosok Cakka segera memeluk Oik dengan erat. Ia terus meracau. Oik terbengong-bengong sendiri dalam pelukan Cakka.

            “Lala! Kamu pasti Lala! Iya, kan, Ik? Kamu Lala. Iya, aku yakin.” Cakka kembali meracau.

            Oik berusaha melepaskan pelukan Cakka, “Lo apa-apaan, sih, Kka?! Malem-malem dateng ke apartemen gue, hujan-hujanan, main peluk pula! Gue basah, Kka! Dingin!” bentak Oik.

            Cakka melepaskan pelukannya pada Oik lalu mengecup keningnya lama. “Aku tahu kamu itu Lala. Iya, kan? Jangan ngelak, Ik. Aku yakin kamu itu Lala.”

            Oik menengok pada koridor apartemen. Sepi. Dengan segera, Oik menarik Cakka masuk ke dalam apartemennya lalu menutup pintu apartemennya. Tak lupa, ia kunci rapat-rapat pintu tersebut. Oik membimbing Cakka agar duduk di sofa.

            “Aku rela hujan-hujanan ke sini demi kamu, La. Cuman demi kamu. Cakka kangen Lala,” racau Cakka. Dalam sekejap, Oik sudah kembali berada dalam pelukan lelaki itu.

            Oik mendesah putus asa. Ia mendorong dada Cakka agar melepaskan pelukannya. “Lo ngapain, sih, Kka? Gue Oik, bukan Lala! Lala ada di rumahnya. Lala itu Shilla, bukan gue. Nama gue ga ada Lala-Lalanya sama sekali!”

            Cakka melepaskan pelukannya lalu memegang bahu Oik dan menatap gadis mungil itu lekat-lekat. “Jangan bohong, Ik. Aku tahu kamu itu Lala.”

            “Berhenti meracau, Kka!” Oik memegang kedua pipi Cakka dan menatap lelaki itu tepat pada manik matanya. “Dengerin, gue ini Oik. Bukan Lala.”

            Oik bangkit. Ia meraba dahi Cakka. “Panas,” desisnya.

            Oik pun membawa Cakka ke kamar mandinya. Mendorong Cakka agar masuk ke dalam. “Lo keringin badan lo dulu. Suhu badan lo panas. Setelah itu, lo minum obat.”

            Setelah itu, Oik meninggalkan Cakka. Ia segera berjalan menuju kamarnya. Dimana lagi Cakka akan beristirahat sejenak setelah meminum obatnya selain di kamarnya? Kamar di apartemennya hanya ada satu. Mana tega ia membiarkan orang sakit tidur di sofa?

            Begitu Cakka kembali sepuluh menit kemudian –dengan badan yang sudah kering–, Oik telah selesai menyiapkan obat dan makanan di kamarnya. Oik pun mengantarkan calon suami Shilla itu ke kamarnya dan mendudukkannya di ranjangnya. Ia duduk berhadapan dengan Cakka.

            “Lo makan dulu, baru minum obat,” kata Oik.

            Cakka terduduk di ranjang Oik. Punggungnya bersandar pada dinding. Oik segera menyelimuti sebagian tubuh Cakka dengan selimutnya.

            Oik memperhatikan Cakka dalam diam. Setelah selesai makan dan minum obat, Cakka mulai menidurkan badannya. Oik bangkit, hendak menuju sofa dan tidur di sana. Tapi, tangan Cakka sudah lebih dulu menahan lengannya.

            “Apa lagi?” tanya Oik dengan nada yang tidak bersahabat.

            “Duduk sini,” pinta Cakka, ia menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Dengan terpaksa, Oik duduk di sampingnya. “Aku mau nanya sesuatu. Boleh?”

            “Tanya aja,” lagi-lagi Oik membalas dengan jutek.

            “Kamu Lala, kan?” tanya Cakka.

            Oik menatap Cakka sebal. “Sudah berapa kali gue bilang, sih, kalau gue ini bukan Lala? Lo ngotot banget, sih! Gue ini Oik, Cakka!”

            “Nama galeri kamu –Oicagraph– diambil dari nama kita berdua, kan? Oica, Oik-Cakka.” Cakka pentang menyerah, ia kembali menanya-nanyai Oik.

            “Jangan GR!” dengus Oik. “Oica itu Oik Cahya. Itu nama gue. Sama sekali ga ada sangkut-pautnya sama nama lo.”

            “Tapi kamu punya banyak kesamaan sama Lala, Ik.” Cakka berkata lirih.

            Oik menatap Cakka tak percaya. “Maksud lo apa, sih? Itu bisa aja cuman kebetulan. Udah, deh, Kka, jangan mikir macem-macem! Lo masih demam. Semakin cepat lo sembuh, semakin cepat lo bisa angkat kaki dari apartemen gue!”

            “Kamu ga suka aku ada di sini, La?” tanya Cakka, ia menatap Oik sendu.

            “Stop!” Oik berteriak. “Stop panggil gue Lala! Gue ini Oik!”

            Cakka menggenggam kedua tangan Oik dan meremasnya lembut. “Aku tetap yakin kamu ini Lala, Ik. Aku yakin Lala itu kamu, bukan Shilla.”

            Oik menepis genggaman Cakka dengan kasar. “Lo ini calon suaminya Shilla. Jangan pegang-pegang tangan gue!”

            “Aku bisa ngebatalin pernikahan aku dan Shilla, Ik.” Cakka menatap mata Oik dengan yakin.

            Oik menggeleng. “Lo gila.”

            “Kalau kamu mau ninggalin Alvin, aku akan ninggalin Shilla.”

            “Lo itu demam, Cakka. Jelas-jelas lo lagi meracau sekarang ini. Lo istirahat aja, deh. Besok lo pasti udah sembuh dan ga perlu meracau ga jelas gini lagi.”

            Oik bangkit. Kembali membenarkan selimut yang menyelimuti tubuh Cakka. Lagi-lagi, Cakka menahan lengannya.

            “Apa lagi, sih, Kka?” tanya Oik dengan jengkel.

            “Temenin aku di sini,” Cakka menatap Oik dengan wajah memelas.

            Oik menahan kekesalannya dalam hati. Ia pun menyingkap selimut Cakka, berbaring di samping lelaki itu, dan menyelimuti tubuh keduanya dengan selimutnya. Oik berbaring membelakangi Cakka. Perlahan, lengan Cakka mulai melingkari pinggang Oik. Bukannya tak sadar, Oik hanya membiarkannya. Karena, tiba-tiba, rasa nyaman menjalari setiap inchi tubuhnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

JE T'AIME [03]







            “Kamu Mama antar aja, ya, Ik, berangkat sekolahnya?” Mama Oik memerhatikan gadis mungilnya yang sedang sarapan itu.

            Oik menggeleng cepat, “Ga usah, Ma. Nanti Mama capek. Sekolah aku, kan, jauh!”

            Kali ini ganti mamanya yang menggeleng, “Ga bisa. Nanti kamu bohongin Mama lagi! Bilang naik angkot tapi ternyata dibonceng cowok.”

            Oik memutar otaknya. Bagaimana pun caranya, dia harus berangkat sekolah sendiri. Jangan sampai Mamanya mengatarnya hingga ke sekolah. Ini semua gara-gara tante-tante yang tinggal di ujung kompleks itu. Bermulut besar sekali! Huh!

            “Ya udah, gini aja.. Mama nganterin aku sampai depan kompleks. Nungguin aku sampai dapat angkot juga boleh. Oke, Ma?” tawar Oik.

            Mama Oik pun mengangguk. Paling tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Oik berangkat menggunakan angkot, tidak berboncengan dengan lelaki mana pun lagi. Beliau dapat menghela napas lega sekarang, begitu pula dengan Oik yang masih menyimpan rencananya rapat-rapat dengan senyum tertahan.

            Setelah selesai sarapan, mereka berdua pun beranjak meninggalkan rumah sederhana tersebut dengan terlebih dahulu mengunci pintunya. Mereka berdua berjalan beriringan menuju depan kompleks. Oik masih juga belum menyadari sebuah ‘kesalahan’ kecilnya.

            “Kamu biasa nunggu angkot di mana, Ik?” tanya mamanya ketika mereka berdua telah sampai di depan kompleks.

            “Di sini aja, Ma.” Oik menjawab seraya mengedarkan pandangannya. Tepat ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah siluet laki-laki yang terduduk di atas motornya di bawah pohon akasia, Oik terkesiap.

            “Kenapa, Ik?” tanya mamanya, menyadari putrinya mendadak berkeringat dingin.

            Oik menggeleng perlahan, “Ga kenapa-kenapa, Ma.” Oik kembali mengedarkan pandangannya, menangkap bayangan angkot yang lewat. “Itu, Ma, angkotnya!”

            Oik melangkah ke tepi jalan dengan gelisah, ada Cakka di sana. Angkot itu pun berhenti, mempersilakan Oik masuk. Oik duduk di belakang. Beberapa detik kemudian, angkot pun melaju. Oik dapat melihat mamanya yang perlahan berbalik dan kembali ke rumah, serta Cakka yang mengikutinya menggunakan motor.

            Oik pun buru-buru memberi kode kepada sang sopir angkot begitu menyadari angkot telah berada di sebuah perempatan yang lumayan jauh dari kompleks rumahnya. Angkot berhenti, Oik turun, dan membayar. Oik melangkah menuju motor Cakka yang terparkir di depan sebuah halte.

            “Kka, kamu jemput aku?” tanya Oik, setelah Cakka menyadari kehadirannya dan melepaskan helm.

            Cakka mengangguk dengan bingung, “Iya, lah, Ik. Memang gini, kan, biasanya?”

            Oik kembali gelisah, “Aduh, Kka.. Semalem aku lupa ngasih tau kamu kalau hari ini kamu ga perlu jemput aku.”

            “Lho? Emang kenapa, Ik?”

            “Masalahnya---,” Belum sempat Oik menyelesaikan kalimatnya, sebuah motor berhenti di samping keduanya. Pengendara motor tersebut pun melepaskan helmnya setelah mematikan mesin motornya terlebih dahulu. “Papa...”

            “Mama kamu ga tau kalau kamu mau berangkat dianter Papa, kan, Ik?” tanya pengendara motor tersebut –yang ternyata adalah Papa Oik–.

            Oik menggeleng, “Ga, sih, Pa. Tapi...” Oik menggantungkan kalimatnya, menyenggol rusuk Cakka dengan lengannya.

            “Dia siapa, Ik?” tanya Papa Oik, mengedik ke arah Cakka.

            “Nah itu, Pa!” Oik menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. “Aku lupa ngasih tau Cakka kalau hari ini aku berangkat sama Papa.”

            “Pacar kamu?” tanya Papa Oik, menatap anaknya dengan senyum penuh arti.

            “Jangan marah tapi, Pa..” Oik mengangguk dengan ragu-ragu. Perlahan, Oik meremas tangan Cakka yang sedang menggenggamnya.

            “Kenapa harus marah, Ik?” Papanya mengusap lengan Oik penuh sayang.

            “Kan, Mama ga bolehin aku pacaran. Takutnya Papa juga ga ngebolehin. Makanya aku sama Cakka kalau berangkat sekolah bareng, ya, sembunyi-sembunyi gini, takut ketahuan Mama. Mama kemarin marah waktu tetangga bilang aku berangkat sekolahnya diboncengin cowok, bukan naik angkot.” Oik menjelaskan dengan perlahan.

            Papa Oik mengangguk mengerti, “Ya sudah..” Beliau menepuk bahu Cakka, “Kamu anter Oik sekolah, ya. Saya langsung balik ke Bekasi aja, takut Mama tirinya Oik tau kalau saya ke sini. Jaga Oik, ya.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Papa Oik bergegas kembali melaju dengan motornya, meninggalkan Cakka dan Oik yang terbengong-bengong karenanya.

**

            Bel istirahat baru saja berbunyi. Oik, Pricilla, Ify, dan Sivia sudah duduk manis di salah satu spot paling nyaman di kantin. Oik dan Sivia tetap duduk, sedangkan Pricilla dan Ify kembali bangkit untuk memesan makanan.

            Setelah selesai memesan makanan, Ify kembali dengan membawa sebuah nampan yang terisi penuh oleh menu makan siang mereka berempat. Sedangkan Pricilla masih mengantri minuman. Ify, Oik, dan Sivia belum menyentuh makanan mereka karena masih menunggu Pricilla.

            Lima menit kemudian, Pricilla kembali dengan tiga gelas jus jeruk. Ia segera meletakkannya di meja.

            “Terus minuman lo mana, Pris?” tanya Sivia ketika menyadari Pricilla hanya membawa tiga gelas jus jeruk.

            “Gue pesen jus sirsak, masih dibuatin. Makanya gue mau balik sana lagi.” Pricilla pun kembali ke stan kantin tersebut untuk mengambil jus sirsaknya.

            Jus sirsak pesanan Pricilla telah jadi. Ia kembali berjalan ke arah tiga sahabatnya seraya mengacungkan gelas jusnya tinggi-tinggi dan tersenyum lebar. Ia sudah lama tak minum jus sirsak. Karenanya, ia tidak melihat jalan. Padahal lantai baru saja dipel.

            Bruk!

            Pricilla terpeleset. Jus sirsaknya tumpah-ruah kemana-mana. Kantin mendadak hening. Tapi tak ada seorang pun yang berani menertawakan Pricilla. Wajah gadis imut itu sudah merah padam karena malu.

            Dengan begitu saja, Pricilla meletakkan gelas kaca yang nyaris pecah itu pada meja terdekat. Pricilla hendak berdiri ketika sebuah tangan terulur kepadanya. Gadis itu mendongak, ada Gabriel di sana. Pricilla menatapnya berterima kasih. Pricilla pun menerima uluran tangan Gabriel lalu berdiri.

            “Jus sirsak kamu tumpah. Mau aku ganti?” tawar Gabriel, keduanya pun berjalan ke arah meja Pricilla. Kantin kembali ramai.

            “Boleh. Bener lo mau ganti?” tanya Pricilla tak yakin. Ia kembali menggunakan gue-lo karena ada Ify, Oik, dan Sivia di sampingnya.

            Gabriel mengangguk yakin, “Aku pesenin dulu, ya, Bar---,” Gabriel terkesiap. Hampir saja ia memanggil Pricilla dengan sebutan Barbie! “...Pricilla.” Gabriel pun berlalu. Meninggalkan Pricilla yang mulai disoraki oleh ketiga sahabatnya.

            “Tau, deh, Pris, yang dibantuin sama Pangeran Cupu, mah!” Oik mengedip-edipkan matanya pada Pricilla.

            “Kayaknya dia suka sama lo, deh, Pris!” Sivia tak henti-hentinya menyerang Pricilla dengan hipotesa abalnya.

            Ya iya, lah, dia suka sama gue! Gue, kan, pacarnya! Gimana ceritanya dia ga suka sama pacarnya sendiri?! Pricilla masih terus menggerutu dalam hati.

            Ify menyenggol Pricilla seraya tertawa lebar, “Pangeran Cupu lo, tuh, Pris!”

            Pricilla menggebrak meja dengan sebal, “Apaan, sih, kalian?! Bisa ga berhenti nyorakin gue sama Gabriel? Kita cuman temen!”

            Dan saat itu pula Gabriel datang. Tepat ketika Pricilla mengatakan bahwa dia dan dirinya hanya teman. Gabriel tersenyum sedih. Ia meletakkan segelas jus sirsak untuk Pricilla di meja begitu saja. Pricilla menatapnya dengan perasaan serba salah.

            Maaf, Gab..

            Aku yang harusnya minta maaf, Pris..

            Maaf udah bilang di depan mereka kalau kita cuman temen..

            Iya, ga apa-apa. Seperti kata kamu, kan.. Kita cuman backstreet.

            Jangan marah, Gab..

            Siapa yang marah, sih, Pris? Aku baik-baik aja.

            Aku janji aku bakal bilang ke mereka kalau kita pacaran, kok. Tunggu waktu yang tepat aja.

            Iya, terserah kamu. Yang penting kamu nyaman sama keadaannya aja.

            Makasih, Gab..

            Anything for you, Pris..

            “Heh!” Sivia menyenggol lengan Pricilla dengan ganasnya.

            Pricilla terkesiap, “Eh? Apa?” Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada tiga sahabatnya yang menatapnya judes.

            “Dipanggilin dari tadi malah bengong aja sambil ngelihatin si Pangeran Cupu!” sungut Ify.

            “Eh?” Pricilla memandang mereka bertiga tak mengerti. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada Gabriel. Ternyata lelaki itu telah melangkah pergi dengan kepala tertunduk. Pricilla menatapnya sedih. Maaf..

            “Lo kenapa, sih?” Oik menatap Pricilla lekat-lekat. “Kalau gue juga ga salah lihat, lo tadi mandang Gabrielnya gitu banget, Pris.”

            Pricilla menggeleng lemah, “Gue ga kenapa-kenapa, kok.”

            “Tuh, kan!” Ify memekik jengkel. “Sekarang lo malah ngelihatin punggung Gabriel dengan wajah sedih gitu!” Ify menggelengkan kepalanya tak mengerti.

**

            Ify sedang menunggu taxi yang lewat kala itu. Sekolah sudah sepi tapi tak kunjung ada taxi atau pun angkot yang lewat. Ify menggeram kesal. Pasalnya, Papanya sedang tak bisa menjemput karena lembur. Sedangkan Mamanya sedang di Bandung, ada urusan kata beliau.

            “Fy, belum pulang?” tanya sebuah suara. Ify seperti mengenalinya.

            Ify pun berbalik, “Rio? Shilla? Kalian ngapain?”

            Shilla mendelik pada Ify, “Harusnya gue yang nanya sama lo, Fy. Ngapain jam segini masih di sini?”

            “Nunggu taxi, angkot, gitu..” Ify kembali mengedik pada jalanan yang mulai lengang.

            “Kenapa ga bareng Sivia, Pricilla, atau Oik aja tadi?” tanya Rio.

            Ify mengedikkan bahu, “Mereka udah balik duluan, Yo.”

            “Sahabat macem apa, sih, mereka?” dengus Shilla. “Lo ga ada yang ngejemput, kok, malah balik duluan gitu.”

            Ify menatap Shilla dengan wajah tersinggung, “Kadar kesetiaan sahabat ga cuman diukur dari ini doang, Shill. Mereka, kan, juga punya urusan masing-masing.”

            “Iya, tapi---,”

            Belum sempat Shilla kembali menyelesaikan kalimatnya, Rio telah memotong, “Udah, ah. Intinya, lo mau balik bareng gue sama Shilla ga, Fy?”

            Ify menatap Rio dan Shilla dengan tak enak. Apalagi ketika menyadari kedua orang di hadapannya itu tengah saling bertaut tangan. Ify menggeleng perlahan dan tersenyum tipis, “Ga usah. Jadi kambing congek, dong, gue ntar.”

            “Ga akan, kok!” dengan cepat Shilla menimpali. “Mau, ya?”

            Ify kembali menggeleng, “Ga usah, makasih. Gue pasti ntar ngerecokin kalian berdua aja.” Ify tersenyum tipis diakhir kalimatnya.

            “Ya udah, Shill, ga usah dipaksa.” Rio kembali membuka mulutnya.

            “Tapi Ify kasihan, Yo. Masa dia nunggu taxi sendirian? Mending bareng kita aja, kan?” Shilla menatap Rio dengan wajah memohon supaya lelaki itu membantunya membujuk Ify.

            “Kita tungguin sampai Ify dapet taxi.” Rio menimpali dengan pendek, jelas, dan –tentunya– dapat membuat Ify terbang melayang karenanya.

            Shilla tersenyum lebar. Ketiganya pun duduk di samping pos satpam sekolah. Memandang jalanan dengan waspada, mungkin saja ada taxi lewat di depan mereka. Bukannya taxi, mereka malah mendapati penjual es krim keliling yang lewat.

            Rio pun berdiri, “Bang! Es krim!” panggilnya.

            Penjual es krim itu pun berhenti. Rio dengan segera menghampirinya. Ify dan Shilla saling pandang sesaat sebelum akhirnya mengikuti jejak Rio yang tengah memilih-milih es krim. Ify dan Shilla pun ikut memilih.

            “Mau rasa apa, Shill?” tanya Rio, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan es krim di hadapannya.

            “Apa, ya?” gumam Shilla.

            “Coklat?” tanya Rio.

            Shilla menggeleng kesal dengan wajah cemberut, “Aku ga suka coklat, Yo! Coklat itu rasa favoritnya Ify, bukan aku. Ya, kan, Fy?”

            Ify mengangguk dengan senyum terkembang, “Aku ambil yang itu, deh, Yo..” Ify menunjuk sebatang es krim rasa coklat yang tengah digenggam Rio.

            Rio mengangguk dan menyerahkannya pada Ify. Ia kembali beralih pada Shilla. “Kamu yang mana, Shill?”

            “Terserah, deh..” Shilla mengedikkan bahunya dengan tak acuh.

            “Ngambek!” desis Rio sebal.

            “Kamu, sih! Siapa suruh malah nyebutin rasa favoritnya Ify, bukan aku!” dengus Shilla.

            “Ya mana aku tau, Shill!” balas Rio.

            Ify hanya menatap keduanya dengan melongo hebat. Hanya karena masalah sekecil ini saja Shilla ngambek pada Rio? Harusnya Shilla tau ia tak boleh menyia-nyiakan Rio. Apalagi sampai marah hanya karena hal kecil begini. Shilla beruntung memiliki Rio.

            “Jangan ngambek, dong, Shill. Rio, kan, ga sengaja tadi nyebut rasa favorit gue.” Ify memandang Shilla dengan tersenyum tipis.

            Shilla melengos sebal, “Jangan-jangan kamu suka, ya, sama Ify? Ngaku, deh!”

            “Apaan, sih, Shill?” gerutu Ify. Gadis berbehel itu segera mengalihkan pandangnnya agar kedua orang itu tak melihat wajahnya yang telah merah padam.

            “Yang pacar aku, tuh, kamu, Shill.” Rio menatap Shilla tak mengerti.

            “Udah, ah!” Saat itu pula ada taxi yang lewat. Shilla pun menyetopnya. “Fy, taxinya dateng. Pulang, gih!” suruh Shilla.

            Ify pun mengangguk. Setelah membayar es krimnya, Ify naik ke dalam taxi tersebut. Ia membuka kaca jendelanya dan melambaikan tangan pada Rio dan Shilla. “Duluan, ya!”

            Taxi pun melaju, meninggalkan Rio dan Shilla yang masih saja berdebat.

**

            “Sivia..” terdengar panggilan dari luar diiringi dengan suara ketukan pintu.

            Sivia menggeliat lalu menguap lebar, “Apa, Ma?” tanya Sivia dengan suara parau.

            “Ada tamu. Boleh masuk ga?” tanya Mama Sivia balik.

            “Siapa?” dahi Sivia berkerut heran. Ia merasa tak memiliki janji pada siapapun malam ini. Apalagi ia sedang demam dari sore tadi.

            “Alvin, Siv.” jawab mamanya.

            Dahi Sivia tampak berkerut heran. Untuk apa Alvin kemari malam-malam begini? Ini sudah jam tujuh lewat! Sivia pun menegakkan badannya, “Masuk aja.”

            Pintu pun terbuka. Sivia dapat melihat mamanya yang sedang berdiri berdampingan dengan Alvin. Sivia tersenyum lemah pada keduanya. Alvin pun masuk. Mamanya berlalu entah ke mana.

            “Ngapain ke sini, Vin? Mau nonton DVD lagi? Aduh, kapan-kapan aja, ya!” Baru saja Alvin duduk di kursi meja belajarnya ketika Sivia berceloteh ria.

            Alvin menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Tadi Mama kamu bilang kamu sakit. Sakit apa?”

            “Demam doang, sih.” Sivia nyengir lebar di akhir kalimatnya.

            Alvin bergerak mendekat. Dirabanya dahi dan pipi Sivia. Panas. “Iya, demam..” gumamnya.

            “Gue bilang juga apa!” timpal Sivia. Pipinya sudah semerah tomat kala itu. Siapa suruh Alvin menjadi superperhatian begitu?

            “Eh, iya!” Alvin seakan teringat sesuatu, “Nih, gue bawain ramen. Suka ramen, kan, Siv?” tanya Alvin, ia lalu menyerahkan sebungkus ramen pada Sivia.

            Sivia menerimanya dengan senyum mengembang, “Suka, kok, Vin. Suka banget malah!” tangan Sivia perlahan membuka bungkusan tersebut. “Cuman satu?”

            Alvin mengangguk dengan bingung, “Iya, lah. Emang lo mau berapa? Dua? Satu aja ga kenyang, ya?”

            Sivia mendorong bahu Alvin dengan gemas, “Bukan gitu! Maksud gue, satu aja? Terus lo ga makan, gitu? Lo diem doang sambil ngelihatin gue makan?”

            Alvin membulatkan bibirnya, “Gue udah makan, kok. Buat lo aja itu.”

            Sivia mengangguk mengerti, “Gue makan dulu, ya.”

            Alvin mengangguk. Sivia pun membuka bungkusan ramen tersebut dan memakannya perlahan. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Alvin mengetuk-ketukkan jemarinya pada nakas Sivia dengan gelisah.

            Sivia mendongak menatap Alvin, “Lo kenapa, Vin?”

            Alvin menggeleng, “Ga, kok.”

            Sivia pun kembali melanjutkan makannya. Alvin juga kembali gelisah. Ia terus berpindah-pindah posisi duduk. Membuat Sivia bertanya-tanya dalam hati. Alvin kenapa, sih, hari ini? Aneh banget!

            “Siv, gue mau ngomong. Boleh?” Alvin pun bersuara.

            Sivia terkikik pelan, “Dari tadi, juga, lo udah ngomong, Vin!”

            Mau tidak mau, Alvin pun ikut tertawa garing karena kebodohannya sendiri. “Anu, Siv...”

            “Anu apa?” tanya Sivia santai, tak menyadari kegugupan Alvin.

            “Gue...”

            “Iya, lo kenapa?”

            “Gue suka sama...”

            “Ify? Oik? Pricilla?” tebak Sivia, menyebutkan satu-persatu nama sahabatnya.

            “Bukan, Siv!” Alvin menatap Sivia dengan gemas, seakan-akan Sivia adalah tikus yang harus diterkamnya.

            “Iya, iya!” Sivia pun tertawa kencang.

            “Serius, dong!” Alvin mulai hopeless karena cewek berpipi chubby di hadapannya itu.

            “Sok, atuh.. Katanya mau ngomong.” Sivia segera menghentikan laju tawanya.

            “Gue suka sama lo..” kata Alvin dengan volume sangat kecil. Biarpun begitu, Sivia masih tetap dapat mendengarnya.

            Sivia membeku ketika mendengar pernyataan Alvin. Sumpit yang membawa ramen dan hampir saja masuk ke dalam mulutnya, berhenti di udara. Sivia melongo hebat. Ia memandang Alvin tak berkedip.

            “Siv?” Alvin menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Sivia.

            “Eh?” Sivia pun tersadar. Ia mencoba santai. Ia habiskan ramen tersebut dengan kikuk.

            “Gimana?” tanya Alvin.

            Sivia mendesah keras, “Kok gue ngerasa ini terlalu cepet, ya?”

            “Tapi kalau gue udah nyaman sama lo, mau gimana lagi?” timpal Alvin.

            Sivia menatap Alvin lurus-lurus, “Lo yakin? Lo yakin udah nyaman sama gue? Gue anaknya pecicilan, lho.”

            “Gue nyaman sama lo apapun kondisinya, kok.” Kata Alvin, meyakinkan Sivia.

            “Oke.” Sivia mengangguk dan tersenyum lebar.

            “Kita jadian, nih?” tanya Alvin tak percaya.

            “Ga mau, nih? Gue, sih, bisa aja tarik kata-kata gue..” gumam Sivia, berlagak jual mahal.

            “Ga! Ga! Jangan!” Alvin mengusap puncak kepala Sivia dengan sayang. Akhirnya ia bisa mengatakan kalimat ajaib itu pada Sivia..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS