Alvin berhenti sejenak. Tetap diam di tempat dan tak menengok ke belakang sedikitpun. Sivia pun juga berhenti. Ia masih sibuk mengatur napasnya. Sivia mendongak sedikit dan menemukan Alvin sudah ada tepat di hadapannya. Rupanya, Alvin menghampirinya.
“Ngapain manggil gue?” tanya Alvin, dingin.
Sivia menatapnya memelas, “Gue mau ngomong, tapi ga di sini.. Ke sana aja, ya?” ajak Sivia, jemarinya menunjuk salah satu stan ice cream di dekat mereka.
Alvin menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun jalan beriringan ke sana. Suasana mendadak sunyi. Keduanya mengatupkan mulut rapat-rapat. Alvin, karena memang suasana hatinya yang sedang kacau. Dan Sivia, karena ia bingung bagaimana memulai pembicaraan.
“Mau yang rasa apa, Siv?” tanya Alvin, ketika keduanya telah sampai di gerai ice cream tersebut.
“Vanilla aja..” jawab Sivia. Singkat, jelas, dan padat. Bukan apa-apa, ia masing canggung saja.
“Vanilla dua, mbak” pesan Alvin kepada pramusaji gerai tersebut.
Pramusaji tadi menyiapkan pesanan Alvin dan Sivia sejenak. Sivia melirik Alvin dari sudut matanya. Ia masih merasa bahwa laki-laki di sampingnya ini adalah ‘pacar’ dari sahabatnya. Ia masih tak enak pada Oik.
“Ngapain lirik-lirik?” tanya Alvin langsung. Sivia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.
Bego! Ngapain pakai ngelirik Alvin segala? Udah tau Alvin itu moody! Kadang baik, kadang judes! Pas banget, sih, kalau hari ini dia lagi judes? Ngomong apa ini gue, Tuhan? Sivia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri ketika sang pramusaji memberikan pesanannya.
Alvin menyenggol lengannya pelan. Sivia tergagap dan mengedik pada laki-laki sipit di sampingnya, lalu kembali menatap pramusaji dan mengambil alih pesanannya, “Makasih..” desisnya.
Keduanya berjalan menjauh dari gerai ice cream tersebut dan berjalan menuju parkiran, “Mau ngomong apa lo tadi?” tanya Alvin lagi, ketika keduanya telah sampai di parkiran.
“Ngomong sambil duduk bisa ga?” tanya Sivia sambil menatap Alvin tajam, Alvin mengangguk.
“Duduk situ?” tanya Alvin, mengedik pada sekumpulan bangku yang dinaungi paying berukuran besar di salah satu sudut lapangan parkir.
Sivia mengangguk dan segera menyeret Alvin ke sana. Keduanya duduk. Saling berhadapan. Sivia berkali-kali berdehem dan curi-curi pandang kepada Alvin. Alvin masih duduk santai dan bersandar pada punggung kursi sambil menatap Sivia lekat-lekat.
“Jangan ngeliatin mulu, dong!” tegur Sivia, tangan kanannya ia kibaskan di depan wajah Alvin.
Alvin tersenyum kecil sejenak, “Abisnya lo, sih, katanya mau ngomong malah diem begini..”
“Ye! Ya jangan nyalahin gue, dong!” sungut Sivia, Alvin kembali tersenyum kecil, “Ape lo senyum-senyum?!” tegur Sivia lagi.
“Terus gue kudu nyalahin siapa? Gue sendiri, gitu? Kan, lo sendiri yang ngajak gue ke sini!” jawab Alvin telah, Sivia beringsut.
“Aduh, gini ya.. Gue cuman mau ngomong kalau gue itu sayang sama lo. Oke?” kata Sivia langsung. Selesai. Gadis oriental itu segera bangkit dari duduknya dan berlalu.
Alvin masih terpaku dengan perkataan Sivia sebelumnya, “Hah? Apa? Dia? Sivia? Sayang sama gue?” tanya Alvin beruntun, entah kepada siapa.
Alvin pun tersadar dan segera bangkit pula dari duduknya. Ia segera mengejar Sivia. Untungnya, Sivia belum jauh. Sivia juga ternyata hanya berjalan santai. Jadi, mudah bagi Alvin untuk menyusulnya.
Alvin menahan lengan kanan Sivia dari belakang, “Apa?” tanya Sivia jutek, seakan tau siapa yang menahan lengannya.
“Tadi bilang sayang, sekarang jutek. Ckck..” sindir Alvin, Sivia melengos malas.
“Terus mau lo apa?” tanya Sivia, agak melunakan nada bicaranya.
“Kalau gue juga sayang sama lo, gimana?” tanya Alvin balik, pipi Sivia mendadak merona merah.
“Gue ga bisa percaya omongan lo gitu aja. Takutnya, lo cuman jadiin gue pelampiasaan aja..” jawab Sivia serius, Alvin menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Jadi?” tanya Alvin lagi.
“Itu tadi cuman pernyataan, bukan pertanyaan. Dan gue cuman mau bilang aja. Gue tadi ga bilang kalau lo kudu jadi cowok gue. Semuanya butuh proses dan itu ga segampang yang lo pikir. Masih banyak waktu kalau lo mau ngeralat omongan lo tadi” jelas Sivia.
Setelahnya, Sivia kembali meninggalkan Alvin. Bener-benar meninggalkan Alvin. Terlihat Sivia yang naik ke dalam sebuah taxi kosong dan melaju entah ke mana, pulang ke rumahnya, mungkin.
^^^
Oik, Dea, dan Cakka masih berada di dalam J.Co. Oik termenung, menatap kosong ke arah meja di hadapannya. Dea sibuk dengan ponselnya. Cakka menatap Oik sambil sesekali mendengus dan tersenyum tipis.
“Ik, nanti Kak Rio yang jemput kita di sini” kata Dea sambil mengintip Oik dari balik layar ponselnya, Oik hanya mengangguk kecil.
“Sivia sama Alvin ga balik lagi?” tanya Cakka polos.
Oik menggelengkan kepalanya cepat, “Pulang, kali” jawabnya, ia mengangkat kedua bahunya.
Dea merangkul gadis mungil itu dari samping, “Kenapa lo? Sedih?” tanyanya, Oik menggelengkan kepalanya, “Terus?” tanya Dea lagi.
Oik mendesah keras dan menoleh pada Dea, “Ga tau..” jawabnya, menggantung.
“Harusnya lo udah bisa lega, dong. Kan, lo udah putus sama Alvin. Jadi lo ga ngerasa bersalah lagi sama dia. Iya, kan?” Dea mengernyit menatap gadis mungil di sampingnya.
Oik kembali mengangkat bahunya, “Perasaan gue ga enak aja. Kayaknya bakalan ada something bad terjadi abis ini..” ujar Oik, mengeluarkan uneg-unegnya.
“Perasaan lo aja, kali.. Tenang aja, semuanya udah selesai. Senin besok kita udah UNAS, Ik. Fokus, dong!” ujar Dea, berusaha untuk menenangkan Oik.
“Belum selesai! Masih ada nenek sihir yang nempel terus sama gue!” sela Cakka dengan sinis.
Kedua gadis di hadapannya menengok padanya, “Emangnya kenapa, sih, sama Shilla? Udahlah, Cakk.. Biarin aja dia nempel mulu sama lo. Kesian, tau!” seru Oik.
“Ngapain pakai kesian sama dia? Cuman gara-gara dia sakit, gitu? Umurnya udah ga panjang lagi, gitu? Karena dokter udah memperkirain kalau umur dia tinggal beberapa hari setelah UNAS, gitu?” tanya Cakka beruntun dan dengan nada yang tak bersahabat.
“Ssstt! Udah! Cuman gara-gara Shilla aja kalian tengkar?” tanya Dea, menengahi.
“Udah sering!” jawab Oik sinis dan melengos sebal ke arah yang lain.
^^^
Deva sedang membuka akun Twitter miliknya sambil tiduran di atas kasur empuknya. Sejenak, ia hanya membaca updates dari teman-temannya yang tertera di Time Line. Deva mengubah posisinya menjadi duduk.
“Oh iya! Kenapa ga gue ajak aja mereka belajar bareng di sini?!” seru Deva riang.
Deva pun mulai mengetik sesuatu di kolom update dengan senyum mengembang. Kebetulan, sekarang sudah hari Jumat. Dan tiga hari lagi, UNAS untuk siswa-siswi SMP akan dimulai. Deva pun berinisiatif untuk mengajak teman-temannya belajar bersama.
devaekada15: @oikcahya_r @deaaaCA @azizahsivia @RaissaArifII @cakkaNRG @Rayprasetya22 @AlvinJonathanS7 @ozyadriansyah besok belajar bareng di rumah gue, ya! Jam 9 pagi udah kudu dateng! ;)
Selesai. Deva pun segera memutus sambungan internet dan mematikan laptopnya. Ia bergegas menuju kamar mandi dengan sebuah handuk di bahu kanannya. Sesekali, terdengar siulan riang dari mulutnya.
^^^
Shilla dan Nova sedang berada di kamar Nova. Shilla menemani Nova yang sedang mengerjakan tugasnya. Keduanya hanya beda satu tahun. Sesekali Shilla mengintip pekerjaan Nova dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Shilla kembali berkutat dengan BlackBerry Gemini di tangannya. Oh, rupanya ia sedang berselancar di dunia maya. Twitter. Situs jejaring sosial yang diklaim oleh para ABG bahwa situ jejaring sosial tersebut adalah milik mereka.
“Kak, emangnya lo ga belajar?” tanya Nova, sambil tetap menekuni buku tulisnya.
Shilla menggelengkan kepalanya dengan santai, “Ga.. Ngapain?” tanya Shilla balik.
Nova memutar kursi belajarnya dan menghadap Shilla yang sedang duduk bersila di atas ranjangnya, “Buat apa? Senin besok, kan, lo UNAS! Ga takut nilai jelek terus dapet sekolah yang jelek juga?” tanya Nova lagi.
Shilla meliriknya sekilas dan memutar bola matanya malas, “Tinggal nyuruh bokap sama nyokap nyogok sekolah manapun yang gue mau..” jawab Shilla sinis.
Nova hanya geleng-geleng kepala, “Terserah lo, deh, kak” Nova pun kembali memutar kursi belajarnya untuk menghadap pada meja belajarnya.
Suasana kembali hening. Shilla tetap terpekur dengan BlackBerry miliknya. Nova berkelut dengan tugas-tugasnya yang segung. Sesekali Nova melirik kakaknya dan tersenyum kecut. Gadis berkulit hitam manis itu kembali fokus dengan tugasnya.
“Nov! Nova! Nova!” panggil Shilla dengan riang.
Nova memutar bola matanya malas dan kembali memutar badannya, “Apa, kak?” tanyanya.
“Kita bisa ngelaksanain rencana selanjutnya!” pekik Shilla girang dan tanpa mengenal volume. Untung saja keduanya hanya sendirian di rumah. Kedua orang tua mereka sedang mengunjungi sanak saudara di Jawa Tengah.
“Maksud lo, kak?” tanya Nova, belum mengerti arah pembicaraan mereka.
Shilla menghela napas keras, “Rencana kita! Soal gue yang kena kanker rahim! Yang nyangkut Cakka! Kita bisa laksanain rencana itu! Besok pagi!” jelas Shilla menggebu-gebu.
“Terserah lo, deh, kak! Gue ngikut aja..” jawab Nova sinis, ia segera kembali pada tugasnya.
“Ye! Gitu amat, sih, lo?!” sewot Shilla.
“Gue lagi ngerjain tugas, kak! Mendingan lo balik ke kamar lo sendiri, deh! Belajar, kek, sono!” sungut Nova sebal.
Shilla pun segera bangkit dari ranjang Nova dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Tak lupa, ia menutup pintu kamar Nova dengan keras. Nova hanya menghela napas dan segera memasang headset di kedia telinganya.
^^^
Pagi menjelang. Seluruh insan di bumi pertiwi telah membuka kelopak mata masing-masing dan memulai untuk melakukan aktivitas masing-masing di weekend kali ini. Ray, yang baru saja bangun, cepat-cepat mengecek BlackBerry miliknya.
Lampu LED-nya terus berkedip-kedip. Ia segera membuka aplikasi UberSocial miliknya dan membuka halaman mention. Benar saja, ada mention dari Deva di sana. Ray membacanya dengan cepat dan melirik jam dindingnya.
“Astaga! Udah jam delapan! Mampus! Si Deva, kan, nyuruh datengnya jam Sembilan!” teriak Ray kaget.
Laki-laki berambut gondrong tersebut segera mengambil pakaian asal-asalan dari dalam almari dan berlari ke kamar mandi. Selama beberapa menit, ia berada di dalam. Sepuluh menit kemudian, ia sudah siap dengan kaos berwarna merah dan jeans panjang.
Ray segera memasukkan buku-buku Bahasa Indonesia ke dalam tasnya dan mengambil BlackBerry serta kunci mobilnya. Cepat-cepat ia melenggang menuju garasi dan tancap gas menuju rumah Deva ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh lima menit.
^^^
Rio, Oik, dan Dea sedang berada di dalam mobil milik Rio. Seperti biasa, Rio mengantar Oik dan Dea ke mana pun kedua gadis itu ingin pergi. Kali ini, Rio harus rela weekend-nya ‘dirampas paksa’ oleh Oik dan Dea.
Dengan formasi seperti biasa, Rio dan Dea duduk di bangku depan. Dan Oik duduk di bangku belakang. Oik sedang mendengarkan lagu menggunakan headset melalui iPod-nya ketika ketiganya sudah sampai di depan rumah Deva.
Oik melirik kediaman Deva sejenak. Rumah bergaya Bali. Ternyata, sudah ada dua motor terparkir di pelataran rumah Deva. Motor milik Ozy dan Cakka. Cakka sedang berada di teras rumah Deva ketika Oik dan Dea sampai.
Cakka segera berjingkat menuju mobil Oik dan membukakan pintu belakang untuk Oik dengan tersenyum manis, “Silahkan turun..” Oik membalasnya dengan senyum kaku.
Keduanya pun jalan beriringan memasukki rumah Deva. Dea dan Rio hanya menahan senyum melihat Cakka dan Oik. Baru saja Dea akan membuka pintu, Rio sudah menahan tangan kanannya.
“Apa, kak?” tanya Dea.
“Gimana, ya, ngomongnya?” tanya Rio balik.
Dea melongo kaget, “Hah? Emangnya mau ngomong apa?” tanya Dea lagi.
“Aduh.. Gue tau kita itu beda umurnya lumayan jauh. Empat tahun. Tapi, gue harus ngaku kalau ternyata.. Gue itu suka sama lo” ungkap Rio, agak terbata-bata di akhir kalimatnya.
Dea tersenyum tipis, “Itu tadi pertanyaan atau pernyataan?” tanya Dea.
“Pertanyaan, sih..” jawab Rio gugup.
“Kalau Kak Rio mau nunggu gue sih gue mau. Gue mau fokus ku UNAS dulu, kak. Ga pa-pa, kan?” tanya Dea, memastikan.
Rio tersenyum senang dan menganggukkan kepalanya bersemangat, “Oke.. Gue turun, kak” pamit Dea, lagi-lagi Rio mengangguk bersemangat.
Dea pun segera turun dan melenggang masuk ke dalam kediaman Deva. Rio belum juga mengemudikan mobilnya. Dea hilang di balik pintu ala Bali di kediaman Deva. Barulah Rio kembali menancap gas.
^^^
“Udah rame ternyata..” gumam Dea ketika memasukki rumah Deva.
Sudah rame? Terang saja.. Sudah ada Dea, Oik, Cakka, Ozy, Acha, dan tentunya Deva sendiri di sana. Deva baru saja meletakkan berbagai camilan di meja ruang tamunya ketika Dea datang. Deva tersenyum padanya.
“Iye, De.. Kurang Ray, Alvin, sama Sivia doang ini” balas Deva ramah.
Tiba-tiba saja, terdengar suara mesin mobil dimatikan. Deva melongok melalui jendela ruang tamunya dan mendapati sebuah mobil sudah terparkir di depan rumahnya. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki gondrong dengan tasnya yang tergesa-gesa masuk ke dalam kediamannya.
“Ray..” ujar Deva, seolah memberitahu kepada teman-temannya siapa yang datang.
Tok tok tok.. Deva segera membuka pintunya. Benar saja, ada Ray di sana. Ray segera masuk dan terduduk lemas di sofa Deva.
“Kenape lo, Ray?” tanya Ozy.
“Hah? Gue bangun kesiangan! Gue baru baca mention Deva tadi pagi. Gue belum sarapan, tau!” sungut Ray berapi-api.
“Salah sendiri.. Siapa suruh jadi tukang molor?” sindir Acha dari samping Ozy.
Ray menghiraukan sindiran Acha dan beralih pada Deva, “Dev, gue laper” ujarnya dengan wajah dipolos-poloskan.
Deva mengedik pada berbagai macam camilan di meja. Ray segera melahapnya satu-persatu. Oik, Dea, Acha, Deva, Cakka, dan Ozy sampai terbengong-bengong melihat Ray. Ray nyengir lebar pada mereka.
“Sivia sama Alvin mana?” tanya Cakka pada mereka semua.
“Sivia, kan, kebo. Masih molor, kali!” jawab Oik asal.
“Dev, lo nge-mention Alvin?” tanya Ozy, Deva mengangguk, “Kenapa ga SMS aje? Alvin, kan, jarang on Twitter!” seru Ozy gemas.
Kali ini, terdengar suara mesin motor dimatikan di pekarangan rumah Deva, “Pasti Alvin!” koor mereka semua, berbarenga.
Lalu, dua sosok muncul dari pintu rumah Deva. Alvin dan.. Sivia. Ketujuh pasang mata di ruang tamu kediaman Deva pun melotot bersamaan. Hey! Alvin dan Sivia? Datang bersamaan? Setau mereka, taka da suara mobil berhenti di depan rumah Deva..
“Hay!” sapa Alvin dan Sivia ramah. Ketujuhnya hanya mengangguk.
“Dateng bareng apa berangkat bareng?” tanya Ray menggoda.
“Berangkat bareng..” jawab keduanya dengan polos. Ketujuhnya hanya tersenyum penuh arti.
Classmate (Part 28)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar