Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 26)

Shilla terkesiap seketika ketika menyadari Cakka mulai menggumam pelan. Cepat-cepat ia singkirkan tangannya dari tangan Cakka dan berpura-pura memainkan ponselnya. Cakka pun terbangun dan mengedarkan pandangannya.

Shilla menoleh padanya seraya tersenyum tipis, “Udah bangun, Cakk?” tanyanya.

“Hmm..” sahut Cakka malas-malasan, “Punya mata, kan, lo? Udah jelas-jelas gue udah bangun benini kok masih nanya aja” lanjutnya ketus.

Shilla mendumel dalam hati. Merutukki laki-laki di dekatnya ini, “Oh.. Mau pulang? Tuh, tas lo ada di meja situ” kata Shilla seraya mengedik kecil pada kedua tas di atas meja di dekatnya.

Cakka menoleh kaget pada tasnya dan tas Shilla yang tergeletak rapi di atas meja, “Tadi siapa yang nganterin?” tanyanya, beralih pada gadis di atas ranjang tersebut.

“Oik..” jawab Shilla enteng dan diam-diam menyunggingkan senyum kemenangannya.

Cakka mendengus kesal dan cepat-cepat bangkit dari duduknya, “Kenapa ga lo bangunin gue pas Oik ke sini?” tanyanya keras, ia melotot kesal pada Shilla dan segera mencengklak tasnya dan berlalu pergi dari hadapan Shilla.

Shila sendiri masih tertegun dengan pertanyaan Cakka tadi yang lebih pantas disebut bentakan, “Lo bisa ngebentak gue gara-gara cewek itu?! Ngebentak gue yang jelas-jelas sohib lo dari SD?! Ngebentak gue yang sayang sama lo?! Cuman gara-gara cewek macem Oik?! Ck!” Shilla menyertai kepergian Cakka dengan tersenyum tak percaya.

Tak lama, terdengar deru motor menjauh. Motor Cakka. Cakka benar-benar meninggalkannya tanpa mengingatkannya minum obat sebelumnya. Who cares, sih?! Lagi pula gue juga ga bener-bener sakit, kan?!

Tak lama kemudian, terdengar kembali deru motor. Bedanya, kali ini deru motor tersebut seakan mendekat. Shilla bisa menebak bahwa motor tersebut adalah motor Nova. Rupanya adiknya itu benar-benar melaksanakan permintaannya untuk tidak pulang dulu ke rumah sebelum Cakka keluar dari rumahnya.

“Kak Shilla!” panggil suara dari luar sana.

Shilla menoleh pada pintu kamarnya yang terayun membuka dan menampakkan gadis berkulit hitam manis, “Apa, Nov?” tanyanya.

“Gimana rencananya, kak?” tanya gadis hitam manis itu balik, Nova, adik Shilla.

Shilla tersenyum sinis, “Berhasil. Meskipun setelahnya Cakka ngejutekkin gue!” jawabnya.

“Terus, kapan kita ngelaksanain rencana kedua?” Nova kembali bertanya dari pintu kamar Shilla yang terbuka setengahnya.

Shilla mengangkat bahunya, “Ga tau. Lihat ntar aja. Gue bakalan ngabarin elo, kok. Mungkin nunggu Cakka ada jadwal belajar bareng sama siapapun itu” ujarnya.

Nova mengangguk samar dan kembali menutup pintu kamar kakaknya. Ia melangkah menuju kamarnya sendiri dan merebahkan tubuhnya di sana, ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

^^^

Oik, Dea, dan Rio baru saja sampai di kediamannya. Cepat-cepat Rio memarkirkan mobilnya di garasi dan melangkah masuk ke dalam istananya dan mengikuti langkah Oik serta Dea. Ia kembali berdecak kesal ketika mengingat Oik yang keluar dari rumah Shilla dengan wajah memerah menahan tangis.

Rupanya kedua gadis tersebut memasukki kamar Oik. Rio pun ikut masuk ke dalam dengan diiringi tatapan bingung dari pembantunya, “Den Rio, Non Oik kenapa nangis?” tanya pembantunya peduli.

Rio hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Ga kenapa-kenapa, kok. Oh ya, bi, buatin tiga jus strawberry terus anterin ke kamar Oik, ya?” suruh Rio sopan yang dibalas dengan anggukkan dari pembantunya.

Rio melihat Oik yang masih menghapus sisa-sisa air matanya dengan tissue di sofa kamar gadis manis itu. Dea duduk di sampingnya sambil melotot kesal pada lantai di bawahnya. Ia membayangkan bahwa lantai tersebut adalah Shilla. Puaslah ia memelototi gadis semampai itu.

Rio berangsur menghampiri keduanya dan duduk di tepi ranjang Oik, “Lo kenapa, Ik? Kok pas keluar dari rumah Shilla langsung nangis begitu?” tanya Rio lembut.

Oik mendongakkan kepalanya menatap Rio, “Cakka jahat! Shilla apalagi!” serunya tertahan.

Dea menatapnya bingung, begitupula Rio, “Hah? Cakka jahat kenapa? Bukannya tadi pagi dia.....” ujar Dea menggantung seraya melirik Rio dari ekor matanya.

“Cakka ngapain tadi pagi?” sambar Rio langsung.

Akhirnya Dea pun menceritakan kejadian tadi pagi di lapangan basket tersebut kepada Rio. Rio mengangguk-angguk mengerti menanggapinya, “Terus, Ik? Cakka emang ngapain tadi sama Shilla?” tanya Rio lagi.

“Cakka megang tangan Shilla. Dia nungguin Shilla” jawab Oik, tangisnya kembali pecah.

“Hah? Megang tangan gimana? Sudi amat Cakka megang tangan tuh nenek sihir?” tanya Dea setengah melotot, kaget dengan penuturan Oik.

“Eh, maksud lo itu Shilla yang kena kanker rahim itu?” tanya Rio yang dijawab anggukkan kepala Dead an Oik, “Dasar, ya! Umur tinggal beberapa minggu aja masih bisa bikin kesel orang” dumel Rio gemas.

“Gue juga ga tau. Tadi gue cuman lihat kalau Cakka lagi tidur sambil megang tangannya Shilla. Ya abis itu gue langsung aja keluar dari tempat terkutuk itu” jelas Oik masih dengan sesenggukan.

Rio mengangguk mengerti, “Positive thinking aja. Kali aja itu emang Shilla yang nyuruh Cakka megang tangannya dan Cakka ga enak buat nolak” nasihat Rio bijak.

Oik mengangguk dan beralih pada Dea yang duduk di sampingnya, “Oh ya, bukannya tadi lo mau ngomong sama gue?” tagihnya, Dea mengangguk ingat.

“Ga, sih. Cuman mau nanya aja. Lo tau Sivia suka sama siapa?” tanya Dea mengambang.

Oik menggelengkan kepalanya, “Ga tau. Dia ga pernah cerita sama gue. Emang kenapa?”

Dea menelan ludah ngeri, “Bukannya gue berburuk sangka sama temen sebangku lo itu, cuman aja... Kayaknya, sih, dia suka sama Alvin” ujar Dea takut-takut.

Rio terbelalak kaget. Oik pun begitu, ia seakan tak percaya mendengar ‘racauan’ Dea, “Hah? Tau dari mana lo? Masa, sih? Kok dia ga pernah cerita sama gue?” tanyanya beruntun.

Dea mengangkat bahunya, “Ya man ague tau kenapa dia ga pernah cerita sama lo. Kayak, sih, dia ga enak mau cerita sama lo. Kan, lo udah jadian sama Alvin”

Oik menggeleng-geleng tak percaya, “Terus? Gue harus gimana?”

“Putusin aja Alvin! Toh, lo ga beneran sayang, kan, sama dia?” jawab Rio telak.

Oik melempar bantal sofanya pada Rio, “Gila lo! Masa kudu gue yang mutusin? Ga tega, ah, gue!” seru Oik keki.

“Yeh! Kalau mau nunggu lo jadi tega, juga, ga bakalan nyampai! Sekarang gue tanya, kapan lo bisa tega mutusin Alvin?” tanya Dea, Oik menggelengkan kepalanya, “Nah kan! Mending tega-tegaan aja!” serunya bersemangat.

“Iya, Ik. Apalagi, kan, minggu depan lo udah UNAS. Selesaiin sekarang aja. Ya minimal lo mutusin Alvin dulu” saran Rio, Oik hanya mengangkat bahunya bingung.

^^^

Sivia masih saja berguling-guling di ranjangnya dengan mata menerawang. Sesekali ia melihat bingkai foto di laci tempat tidurnya sambil memasang mimic berpikir keras. Bingkai foto yang menunjukkan dirinya dan Oik yang tersenyum senang dilatarbelakangi pemandangan pegunungan di Puncak.

“Aduh! Pusing gue! Makin rumit aja, sih! gara-gara gue, nih! Mana minggu depan gue udah UNAS! Gimana, dong?!” serunya sebal, “Masa gue suka sama Alvin, sih? Ga boleh!” lanjutnya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk. Ia cepat-cepat membuka SMS tersebut yang rupanya dari Alvin.

Siv, ketemuan, yuk! Mau ga? Pengen cerita-cerita, nih, gue!

Sivia terbelalak kaget membaca SMS dari Alvin. Cepat-cepat ia ketikan balasan untuk menyetujuinya dengan menyebutkan salah satu nama mall di dekat rumahnya dan menyebutkan waktunya.

Selesai. Masih ada sekitar tiga puluh menit lagi untuk beberes dan berangkat menuju mall tersebut dan bertemu dengan Alvin di sana. Ia pun segera menuju kamar mandinya dan mandi dengan cepat.

^^^

Alvin cepat-cepat berganti pakaian, tanpa mandi terlebih dahulu, dan segera menaikki motornya menuju tempat yang Sivia sebutkan. Kebetulan, rumahnya terbilang jauh dengan mall tersebut. Rencananya, ia akan bertemu dengan Sivia di foodcourt mall tersebut.

Nah! Benar saja! Ia membutuhkan dua puluh menit untuk sampai di mall ini! coba kalau ia mandi terlebih dahulu, pasti ia akan terlambat. Tak enak jika harus menyuruh Sivia menunggu padahal ia yang mengajak bertemu.

Ia segera parkirkan motornya dan dan bergegas menuju foodcourt mall tersebut. Ia memincingkan matanya ketika melihat seorang gadis oriental berjalan tak jauh di depannya, “Sivia!” panggilnya.

Gadis oriental tadi pun menoleh dan tersenyum padanya, “Alvin!” balasnya.

Alvin mempercepat langkahnya dan berjalan beriringan dengan gadis oriental tadi, Sivia, “Mau duduk di mana?” tanya Alvin pada Sivia. Sivia menunjuk salah satu tempat yang dekat dengan keduanya kini. Mereka pun duduk di sana.

“Mau makan apa?” tanya Alvin lagi.

Sivia menggelengkan kepalanya, “Ga usah. Kalau ada froyo, gue froyo aja. Pakai topping Choco Chips” pesannya, Alvin mengangguk dan berlalu pergi.

Sivia menatap punggung Alvin yang menjauh tersebut dengan menopang dagu. Ia menghela napas berat dan tersenyum masam, “Lo mau cerita apa, sih? Pasti oik lagi!” gumamnya ngilu.

Beberapa menit kemudian, Alvin kembali dengan dua froyo di tangannya. Ia mengangsurkan satu yang ber-topping Choco Chips kepada Sivia dan menyimpan satu yang ber-topping kiwi untuknya sendiri.

Sivia menerimanya dengan senyum berterima kasih, “Jadi, mau cerita apa lo?” tanyanya sambil menyendokki froyo di tangannya.

Sekarang giliran Alvin yang menghela napas berat, “Gue mau minta saran lo dong. Soal..... Oik”

Sivia mengangguk mengerti, “Saran soal apa?” tanyanya lagi.

“Menurut lo, gue harus gimana? Kan, elo yang paling ngerti Oik” tandas Alvin.

Sivia Nampak berpikir sebentar, “Gini deh, menurut lo Oik itu sayangnya sama siapa?” tanya Sivia balik, Alvin mengerutkan keningnya pertanda ia sedang bingung.

“Cakka, mungkin” jawab Alvin mengambang.

“Kenapa lo bisa menyimpulkan begitu? Kenapa lo ga jawab kalau Oik sayangnya sama lo?” cecar Sivia sambil memandangnya tepat di manik matanya.

“Yak arena gue ngerasanya begitu” jawab Alvin enteng.

“Kalau lo ngerti, harusnya lo bisa nebak sendiri apa yang harus lo lakuin” ujar Sivia lembut.

“Mutusin Oik, maksud lo?” kaget Alvin. Sivia mengangguk pasrah, “Tapi gue sayang sama dia!”

“Mau gimana lagi, Vin? Cinta ga bisa dipaksa, kan? Mending lo putusin dia aja. Kayaknya dia sama tersiksanya sama lo. Selesaiin secepetnya, ya. Minggu depan, kan, kita udah UNAS. Jangan sampai hal-hal kayak gitu itu ngerusak konsentrasi lo sama Oik pas UNAS nanti” jelas Sivia.

“Ga tau, Siv. Kayaknya gue bakal pikir-pikir dulu” gumam Alvin.

“Pikir-pikir yang bener. Jangan egois dengan hanya mikirin perasaan lo sendiri. Minimal, lo mikirin perasaannya Oik, yang jelas-jelas terlibat langsung dalam ini. Lo ga perlu, kok, mikiran perasaannya siapapun itu. Termasuk Cakka. Cukup lo pikirin perasaan lo sama Oik nanti”

^^^

Cakka mendengus kesal sambil melirik beberapa kantong belanjaan di tangannya. Tadi, sepulangnya dari rumah Shilla, bundanya memintanya untuk membelikan beberapa barang di pusat perbelanjaan ini. Maklum, pembantunya sedang pulang kampung.

Ia pun berjalan dengan terseok-seok menuju parkiran. Belum juga ia berada di pintu keluar mall tersebut, matanya tak sengaja terantuk pada dua orang berbeda gender dengan wajah oriental sedang duduk berdua di foodcourt mall.

Cakka memincingkan matanya untuk meyakinkan bahwa ia begitu mengenal kedua sosok tersebut. Cakka menggeleng kaget ketika mendapati bahwa ia benar-benar mengenali keduanya. Alvin dan Sivia.

“Gue musti pulang dan cepet-cepet ngasih tau Oik soal ini!” gumamnya yakin.

Secepat kilat ia berjalan menuju parkiran dan mengendarai motornya menuju rumahnya. Di jalan, ia tak habis pikir dengan kedua sosok tadi. Berduaan di mall tanpa mengajak Oik, yang notabenenya adalah pacar Alvin? Ckck..

Begitu ia sampai di rumah, ia segera menyerahkan seluruh pesanan bundanya kepada beliau dan bergegas menuju kamarnya. Ia cepat-cepat merebahkan diri dan mengambil ponselnya lalu membuka aplikasi BlackBerry Messanger.

Cakka Nuraga: Oiiiiiikkk!!

Oik Ramadlani: Apaan, sih?!

Cakka Nuraga: Ketus banget? Lo lupa sama yang tadi pagi di lapangan basket?

Oik Ramadlani: Ga usah ngingetin gue soal itu, deh! Mau ngomong apa lo?

Cakka Nuraga: Tadi gue lihat Alvin sama Sivia berduaan di mall!

Oik Ramadlani: Hah? Ngapain?

Cakka Nuraga: Berduaan! Di foodcourt!

Oik Ramadlani: Jangan ngarang, deh, lo!

Cakka Nuraga: Swear, Ik! Makanya, putusin Alvin aja! Kan, ada gue :)

Oik Ramadlani: B-U-L-L-S-H-I-T

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar