Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

The True Love

    “Oik! Sini deh!” panggil Sivia pada Oik. Oik yang baru saja datng di rumah Sivia langsung meletakkan tasnya di kamar Sivia dan berlari menghampiri sahabatnya yang lain di halaman belakang rumah Sivia. Sahabatnya yang lain sudah datang ternyata. Oik menebarkan senyumnya pada ketiga sahabatnya. Oik pun segera duduk di sebelah Sivia. Mereka berempat duduk melingkar di gazebo, “Ada apaan, Siv?” tanya Oik pada Sivia.

    “Ini nih Ik, kita bertiga mau camping gitu” ujar Sivia, masih dengan snack di mulutnya. Zevana, sahabat Oik lainnya, hanya geleng-geleng kepala melihat Sivia tak henti-hentinya makan snack. Akhirnya ia yang meneruskan penjelasan Sivia, “Kita mau camping di Puncak. Ga jauh-jauh kok, hehe” lanjut Zevana, ditutup dengan cengiran khasnya. Pletak! Jitakan dari Agni sukses mendarat di jidat Zevana, “Apaan sih lo?! Main jitak aje!” sungut Zevana.

    “Lo sih! Masa lo bilang Puncak itu deket?! Mabok ye lu! Deket itu ya masih di kawasan Jakarta!” seru Agni gemas. Zevana kembali nyengir. Oik jadi bingung sendiri. Ketiga sahabatnya sedang asyik dengan aktivitas masing-masing. Sivia dengan snack-nya, Agni dengan ponselnya, dan Zevana dengan jidatnya yang baru saja dijitak Agni, “Kalian ngacangin gue!” celetuk Oik, “Mau apa sih kalian sebenernya?” lanjut Oik.

    Ketiga sahabatnya kompak nyengir ke arah Oik. Oik geleng-geleng kepala. Agni segera meletakkan ponselnya, “Ini Ik, lo mau kan ikut kita camping?” tanya Agni. Oik tampak masih menimbang-nimbang tawaran ketiga sahabatnya tersebut. Selang beberapa detik, Oik mengangguk lugas. Ketiga sahabatnya berseru heboh. Oik cengo. Ternyata sahabatnya cukup lebay. Oik ikut tersenyum melihat para sahabatnya bersorak heboh.

    “Ah, senyum kalian mengalihkan dunia gue deh. Makan yuk, gue laper!” seru Agni, ga nyambung. Sivia, Zevana, dan Oik mengangguk kompak. Keempatnya lantas berlalu menuju ruang makan keluarga Sivia, “Nih, makan dulu yuk.. Sebelum nyokap gue pergi tadi udah disiapin makanannya” kata sivia.

    Keempatnya makan dengan diselingi banyolan dari Agni dan Zevana. Mereka berdua memang yang paling konyol diantara keempatnya. Setelah selesai makan, mereka berempat bergegas menuju kamar Sivia. Kebetulan kemarin Sivia membeli beberapa DVD baru. Jadilah seharian ini mereka akan menonton seluruh DVD baru Sivia.

    “Eh ya, kalian ngajak siapa aja nih camping? Ga lucu deh kalo kita cuman berempat, ga ada cowoknya. Ntar kalo ada yang ribet-ribet kan kita juga yang repot” seloroh Oik. Sivia, Zevana, dan Agni saling pandang sesaat, “Woy! Jangan bengong aje! Jawab pertanyaan gue kek!” seru Oik keki. Sivia, Zevana, dan Agni masih asyik saling pandang. Oik makin keki aja.

    Setelah melewati ‘rapat-dengan-cara-saling-pandang’, Agni memutuskan untuk berbicara kepada Oik, “Kita berdelapan kok ntar” ujarnya. Oik memasang wajah bingung. Seolah dia menanyakan siapa lagi empat orang itu, “Gue, lo, Sivia, Zevana, Rio, Cakka, Alvin, Gabriel” lanjut Agni. Oik cengo. Zevana, Sivia, dan Agni menelan ludah.

    Oik tampak berpikir, “Rio? Dia itu kan yang..” gumam Oik, menggantung.

***FLASHBACK:ON***

    Oik baru saja keluar dari kelasnya. Barusan gurunya memintanya untuk mengambilkan berbagai buku di perpustakaan sekolah. Oik berjalan sambil memandangi daftar buku apa saja yang harus diambilnya itu dari gurunya. Ada delapan buku yang harus ia bawa. Dan tentunya, semua bukunya tebal-tebal. Sivia, Zevana, dan Agni sempat menawarkan bantuan Oik. Tapi ternyata gurunya tak mengizinkan. Jadilah Oik pergi sendirian ke perpustakaan sekolah.

    Kebetulan juga, perpustakaan sedang sepi. Penjaganya pun tak tau ke mana. Tak ada seorang pun di sana kecuali Oik. Oik mendesah cukup keras. Baru saja Oik akan mengitari perpustakaan untuk mencari buku-buku tersebut, ada yang memegang pundaknya dari belakang. Oik segera membalikkan badannya. Oik menghela napas lega. Ia kira yang memegang pundaknya tadi adalah hantu. Hantu? Sekolah ini memang sedikit angker. Laki-laki itu masih memegang pundak Oik seraya tersenyum. Pelan-pelan, Oik melepaskan tangan laki-laki itu dari bahunya.

    “Ngapain, Ik, ke sini?” tanya laki-laki itu, masih tetap tersenyum ke Oik. Oik tak langsung menjawab pertanyaan laki-laki itu. Ia berjalan menuju rak buku dan sibuk mencari buku-buku yang gurunya perlukan. Laki-laki itu mengekor Oik. Sekilas melirik ke arah catatan Oik, “Ik, buku IPA bukan di situ tempatnya. Tapi di sana” serunya, jari telunjuknya mengarah ke rak buku di salah satu sudut perpustakaan. Oik segera berlalu ke sana, laki-laki itu tetap mengekor Oik, “Ngapain sih lo ngikutin gue mulu?” tanya Oik ke laki-laki itu.

    Laki-laki itu gelagapan sendiri. Oik masih terus mencari delapan buku tadi. Sedangkan laki-laki itu, berusaha membantu Oik mencari bukunya. Setelah menemukan kedelapan bukunya, Oik hendak kembali ke kelasnya. Tangan laki-laki itu mencekal lengan Oik, “Biar gue bantuin, pasti berat kan” ujarnya. Laki-laki itu lantas mengambil lima buku dari tangan Oik. Sisanya, tiga buku, Oik sendiri yang membawanya.

    Mereka berdua keluar dari perpustakaan berbarengan. Oik dan laki-laki itu masih sibuk tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Di sepanjang koridor pun mereka masih saling diam. Ketika mereka hampir tiba di kelas Oik, Oik kembali membuka mulutnya, “Kok lo masih mau aja sih ngebantuin gue?” tanya Oik lagi. Pertanyaannya yang tadi memang tak digubris sama sekali oleh laki-laki di sebelahnya itu.

    Mereka baru saja sampai di depan kelas Oik. Laki-laki itu lantas menyerahkan kelima buku yang tadi ia bawa kepada Oik, “Makasih” gumam Oik. Laki-laki itu berlalu dari hadapan Oik begitu saja. Belum jauh laki-laki itu berjalan, ia kembali lagi. Ia berdiri tepat di hadapan Oik, “Karena Rio suka sama Oik” ujar laki-laki itu, Rio. Oik terbelalak kaget. Oik memberikan senyum termanisnya pada laki-laki itu dan berangsur masuk ke dalam kelasnya, meninggalkan Rio yang masih berdiri terpaku di depan kelas Oik.

***FLASHBACK:OFF***

    “Iya, hehe. Rio yang itu yang kita maksud” sahut Agni seraya tersenyum lebar. Oik menghela napas pasrah. Sivia mengusap pelan punggung sahabatnya itu, “Ya kalo lo ga suka sama Rio sih ga papa. Asal jangan jadi canggung aja hubungan kalian. Rio sebenernya baik kok” timpal Agni. Oik tersenyum pasrah.

    “Oh ya.. Terus, Cakka? Temen sekelas kita yang..... ‘Itu’ kan?” tanya Oik. Ketiga sahabatnya mengangguk semangat. Pikiran Oik kembali melayang ke beberapa hariyang lalu.

***FLASHBACK:ON***

    Pagi itu Oik terpaksa berangkat pagi-pagi sekali ke sekolah. Mama dan papanya memaksanya agar berangkat pagi. Mereka bilang, sekalian mengantar sepupu Oik ke bandara. Sepupu Oik akan berangkat ke Australia, kuliah di sana. Oik jadi keki sendiri. Jam masih menunjukkan pukul enam tepat ketika ia datang di sekolah. Sekolah masih sangat sepi. Hanya satu atau dua orang saja yang sudah datang. Wajar karena sekolah Oik masuk pukul tujuh tepat. Oik berjalan gontai ke kelasnya.

    Ketika ia sampai di kelasnya, baru satu orang saja yang datang, Cakka. Cakka, siswa Elwes School yang sama sekali tak populer. Cakka yang cupu, Cakka yang tidak pernah bersosialisasi dengan orang di sekitarnya, dan Cakka yang ternyata..... Oke, lupakan! Oik berjalan ke arah bengkunya. Cakka masih meringkuk di bangkunya sambil menulis-nulis sesuatu. Oik tersenyum kecil ke arahnya. Oik pun meletakkan tasnya dan duduk di kursinya. Matanya tertuju pada sebuah kertas berwarna cokelat dengan tinta hitam yang berada di lacinya. Ia ambil kertas tersebut dan mulai membaca isinya.

If you are alone,
I’ll be your shadow.
If you want to cry,
I’ll be your shoulder.
If you’re not happy,
I’ll be your smile.
If you need me,
I’ll always be there.


    Puisi singkat berbahasa Inggris itu mampu membuat mood Oik baik kembali. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Sudah beberapa kali ini ia mendapat puisi semacam itu. Sepasang mata menatap Oik dengan senyum merekah di bibirnya, Cakka-lah orangnya. Oik pun menghampiri Cakka karena ya, hanya Cakka yang baru datang. Perlahan, Oik duduk di sebelah Cakka. Cakka segera menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Cakk, lo tau ga siapa yang ngirim ini?” tanya Oik langsung.

    Cakka menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Dahi Oik berkerut heran, “Ya udah, makasih ya” lanjut Oik. Oik pun bangkit dari duduknya dan kembali ke bangkunya. Oik terus saja menimang puisi tadi seraya tersenyum simpul. Cakka yang melihatnya pun ikut tersenyum lebar. Oik masih bingung dengan siapa pengirim puisi-puisi itu. Setiap kali ia datang, puisi-puisi semacam itu sudah ada di laci bangkunya. Siapa lagi sih? Cakka, yang biasa datang paling awal pun tak mau memberitahunya siapa pengirim puisi itu.

***FLASHBACK:OFF***

    “Pernah ga sih, Ik, lo mikir kalo yang biasanya ngirimin lo puisi-puisi itu tuh si Cakka?” cetus Zevana. Sivia dan Agni pun menganggukkan kepalanya. Kalau dipikir-pikir pun, perkataan Zevana tadi ada benarnya. Yang biasa datang pagi-pagi sekali hanya Cakka. Dan, kejadian tadi, hanya Cakka yang berada di kelas ketika itu. Puisi tadi pun sudah nangkring di laci Oik, “Gue juga sempet mikir gitu sih. Tapi lo tau sendiri kan Cakka itu gimana? Mana mungkin dia suka sama gue?” keluh Oik.

    “Alvin.. Lo inget Alvin ga?” tanya Sivia. Pikiran Oik kembali melayang ke saat itu.
.
***FLASHBACK:ON***

    Dug dug dug.. Suara bola basket yang memantul menggema di sana, Lapangan Basket Indoor Elwes School. Oik, Sivia, Zevana, dan Agni duduk tribun. Keempatnya memandang serius ke arah orang yang sedang men-dribble bole itu, Alvin. Dug dug dug.. Dan, masuk! Three point! Elwes School keluar sebagai juara sparing kali ini. Seluruh siswa Elwes School bersorak gembira. Para anggota tim basket pun segera saling berpelukan di tengah-tengah lapangan basket indoor.

    Tim lawan memberikan selamat pada tim basket Elwes School. Setelah itu, tim lawan pun membubarkan diri, kembali ke sekolahnya. Kapten basket putra, Alvin, memegang trophy kemenangan mereka dengan peluh yang terus-menerus turun dari dahinya. Para anggota tim basket putra pun ikut bersorak senang. Alvin lantas mengambil microphone, Lapangan Basket Indoor Elwes School mendadak sunyi.

    Sambil tetap memegang trophy dan microphone, Alvin berjalan ke arah tribun, “Kemenangan ini, buat lo” seru Alvin, tangannya menunjuk ke arah gadis manis dengan rambut sebahu yang duduk bersama ketiga sahabatnya di tribun. Gadis itu cengo asli. Alvin terus berjalan ke arahnya, “Lo yang bikin gue semangat.. Karena lo, gue dapet gelar ini, MVP” lanjut Alvin. Gadis itu makin terbelalak. Sebegitu besar arti dirinya bagi Alvin? “Oik.. ” ujar Alvin kemudian.

    Oik bangkit dari duduknya. Kini ia berdiri tepat di depan Alvin, “Oik, be my girl please” mohon Alvin. Oik menggelengkan kepalanya perlahan. Alvin memasang wajah kecewa. Karena takut dirinya makin membuat Alvin malu, Oik berlari keluar dari sana. Diikuti Agni dan Zevana. Sivia masih sibuk menenangkan Alvin. Sivia mengajak Alvin untuk duduk. Ia hibur Alvin. Alvin menyandarkan kepalanya di bahu Sivia, tak mau orang lain melihat wajah kacaunya. Pipi Sivia bersemu merah.

***FLASHBACK:OFF***

    “Sivia, jangan ngingetin gue sama kejadian itu deh! Gue masih ngerasa bersalah sama Alvin” sungut Oik. Sivia tersenyum masam. Ia membenamkan wajahnya ke bantal Sivia. Sejujurnya, dulu Oik memang pernah menyimpan rasa pada Alvin. Tapi, rasa itu perlahan sirna dengan datangnya laki-laki itu dikehidupan Oik. Oik kembali tersenyum sendiri ketika ia ingat akan laki-laki itu.

    “Ik, inget Gabriel? Haha.. Gue suka ngakak sendiri loh kalo inget gimana dia” celetuk Zevana. Sivia dan Agni berpandangan sesaat. Sampai akhirnya, tawa mereka berdua meledak. Mengingat bagaimana Gabriel ketika itu.

***FLASHBACK:ON***

    Oik baru saja membuka matanya. Hari ini ketiga sahabatnya sedang menginap di rumahnya. Rupanya ketigasahabatnya masih asyik bergulat dengan mimpi masing-masing. Jadilah Oik bengong sendiri di kamarnya. Karena bosan, Oik berlalu ke ruang tamu dan membuka pintu. Awalnya, ia bermaksud untuk menyirami tanamannya tapi tampaknya rencananya gagal. Berbagai macam bingkisan tertata indah di depan pintunya.

    Dengan bingung, Oik segera mengambil secarik kertas yang tertera di sana. Bola matanya bergerak menyusuri setiap tulisan di secarik kertas tersebut. Matanya terbelalak kaget ketika ia mengetahui siapa pengirim semua bingkisan itu. Cepat-cepat ia bawa seluruh bingkisan itu ke dalam kamarnya. Takut kalau-kalau sepupunya melihat seluruh bingkisan itu. Bisa disorakin abis-abisan gue, batinnya.

    Karena tangannya penuh dengan bingkisan-bingkisan tersebut, Oik memutuskan untuk membuka pintu kamarnya dengan cara menendangnya. Duk! Bunyi yang ditimbulkan pun terbilang keras. Ketika ia memasukki kamarnya, ketiga sahabatnya menatapnya dengan tampang bingung. Ia tak memperdulikan tatapan aneh ketiga sahabatnya itu. Segera ia jatuhkan seluruh bingkisan di tangannya itu ke atas kasur. Zevana, Sivia, dan Agni terlihat kaget dengan bingkisan yang banyaknya tak kira-kira itu, “Dari siapa, Ik?” tanya Agni, mewakili Zevana dan Sivia.

    Oik mengangkat kedua bahunya seraya melemparkan secarik kertas tadi ke arah tiga sahabatnya. Sesaat, ketiga sahabatnya sibuk membaca setiap kata yang tertera di sana. Sampai akhirnya, tawa ketiganya meledak, “Dari Gabriel, Ik? Dia pake bilang kalo dia suka tuh sama lo!” seloroh Sivia. Oik makin manyun saja.

***FLASHBACK:OFF***

    “Hahaha.. ” tawa keempatnya meledak ketika mereka mengingat penggalan kejadian tersebut. Sampai-sampai, mata keempatnya berair karena terlalu banyak tertawa, “Udah ah, pulang gih sono! Siap-siap ye buat besok!” seru Sivia. Kontan Zevana, Agni, dan Oik menghentikan laju tawa mereka. Mereka bertiga segera mengambil tas masing-masing dan berjalan beriringan keluar dari kamar Sivia. Sivia mendesah kesal. Beginilah nasib jadi tuan rumah.. Kamar berantakan!

^^^

    Tin tin tin.. Bunyi klakson terdengar nyaring dari dalam rumah Oik. Oik pun segera mengambil tas ranselnya dan berpamitan kepada kedua orang tuanya. Setelah itu, ia berlari mengeluari rumahnya. Sebuah mobil kijang berwarna hitam sudah ada di depan rumahnya. Oik tersenyum samar. Ia segera berlari ke arahnya dan masuk ke dalam mobil tersebut. Sudah lengkap ternyata. Gabriel yang menyetir, Zevana duduk di sebelahnya. Alvin, Rio, dan Cakka duduk di bangku belakang. Sedangkan Sivia, Agni, dan Oik duduk di bangku tengah.

    “Hay!” sapa Oik kepada mereka semua. Semuanya mengangguk seraya tersenyum. Oik pun meletakkan tasnya dan menyenderkan punggungnya. Tepat di belakangnya, Cakka duduk dengan masih memandangi Oik. Alvin dan Rio yang menyadari hal itu hanya melirik sinis ke arah Cakka. Cakka gelagapan sendiri. Mobil Gabriel pun melaju menuju Puncak.

^^^

    Mereka sampai ketika hari sudah sore. Mereka memutuskan untuk camping di daerah yang tidak terlalu sepi dan tidak terlalu ramai. Mereka camping di sebuah bukit pinggiran Puncak. Alvin, Cakka, Gabriel, dan Rio sibuk mendirikan tenda. Agni, Oik, Sivia, dan Zevana sibuk mencari air dan membuat makan malam untuk mereka semua. Tepat ketika para perempuan selesai membuat hidangan makan malam, para laki-laki pun selesai mendirikan dua buah tenda. Tentu saja tenda untuk laki-laki dan perempuan dipisah.

    Zevana menggelar sebuah tikar di dekat api unggun, tepat di depan dua buah tenda tersebut. Matahari pun sudah berganti tahte dnegan sang rembulan. Mereka berdelapan makan dalam diam. Karena hari yang juga sudah malam dan udara yang semakin dingin, mereka semua memutuskan untuk masuk ke dalam tenda masing-masing. Agni, Oik, Sivia, dan Zevana ke dalam tenda berwarna merah. Alvin, Cakka, Gabriel, dan Rio ke dalam tenda berwarna biru.

    Ketika di dalam tenda pun, Oik merasa bosan. Ia sama sekali belum mengantuk. Sedangkan ketiga sahabatnya sudah tertidur pulas. Sekilas ia melirik ke arah jam tangannya. Pantas saja. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Karena tak ingin mengganggu ketiga sahabatnya yang sudah tertidur, akhirnya Oik memutuskan untuk keluar dari tenda. Baru saja ia keluar dari tenda, ia melihat sesosok laki-laki sedang memeluk gitarnya dan duduk di dekat api unggun. Oik menghampirinya dan duduk di sampingnya.

    “Hay.. ” sapa Oik seraya tersenyum simpul. Segera ia alihkan pandangannya agar laki-laki di sebelahnya itu tak menyadari perubahan warna pada pipinya. Yeah, laki-laki itu-lah yang bisa membuat pipi Oik bersemu merah dalam sekejap.

    Laki-laki tadi menoleh kepada Oik dan segera menundukkan kepalanya dalam-dalam. Pipinya pun bersemu merah, “Hay juga.. ” balasnya, “Belum tidur, Ik?” tanyanya.

    Oik menggelengkan kepalanya, “Lo bisa main gitar, Cakk?” tanya Oik pada laki-laki itu, Cakka. Cakka menganggukkan kepalanya cepat, pipinya masih saja bersemu merah. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Cakka mulai memetik gitarnya.

Mimpikah aku kau ada disampingku
Yang selama ini jauh dari genggamanku
Aku pesimis merasa ini takkan mungkin
Berharap ini bukan cinta sesaatmu

Mungkin aku tak setampan romeo
Aku juga tak bergelimang harta
Namun tak ku sangka dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang juliette

Engkau kini bagaikan putri yang terindah
Menghiasi bunga ditaman jiwaku
Ku sadari banyak yang inginkan kamu
Berharap kamu untuk aku selamanya

Mungkin aku tak setampan romeo
Aku juga tak bergelimang harta
Namun tak ku sangka dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang juliette

Mungkin aku tak setampan romeo
Aku juga tak bergelimang harta
Namun tak ku sangka dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang juliette

Mungkin aku tak setampan romeo
Aku juga tak bergelimang harta

Mungkin aku tak setampan romeo
Aku juga tak bergelimang harta
Namun tak ku sangka dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang juliette

Namun tak ku sangka dapatkan dirimu
Yang lebih indah dari seorang juliette


    Oik bertepuk tangan ketika Cakka selesai melantunkan lagu tersebut. Cakka sendiri, masih asyik menatap Oik. Pipi Oik kembali bersemu merah saat ini, “Kok ngeliatin gue sampek segitunya sih?” tanya Oik. Cakka pun segera mengalihkan pandangannya, “Karena.. Gue sayang sama lo” gumamnya. Oik terbelalak kaget, menatapnya tak percaya, “Ngomong apa lo tadi?” tanya Oik, memastikan apa yang barusan ia dengar tadi.

    Cakka kembali menatapnya. Oik mati kutu, “Maaf, gue emang cupu, tapi hati gue yang milih lo. Gue sayang sama lo” lirih Cakka. Oik tersenyum simpul ke arahnya. Cakka jadi bingung sendiri, “Kok lo malah senyum sih?” tanya Cakka.

    “Hehe.. Soalnya gue juga sayang sama lo” kata Oik, masih dengan senyumannya.

    “Jadi?”

    “Apa?”

    “Kita jadian?”

    “Iya, hehe”

    Cakka pun memeluk Oik sangking senangnya. Oik tertawa renyah. Membuat seluruh temannya bangun karena tawanya. Agni, Sivia, dan Zevana masih terpaku di dalam tenda ketika melihat kejadian tersebut. Alvin, Gabriel, dan Rio segera keluar dari tenda dan berlari menuju sebuah pohon yang cukup besar. Tanpa basa-basi, Agni, Sivia, dan Zevana menghampiri ketiga laki-laki tersebut.

    “Ngomong-ngomong, kok kamu bisa sayang sama aku? Kenapa bukan Alvin yang cakep, Gabriel yang tajir, atau Rio yang baik?” tanya Cakka, seraya melepaskan pelukannya pada Oik.

    “Kalau aku sayang sama Alvin karena dia cakep itu berarti aku nafsu

    “Kalau aku sayang sama Gabriel karena dia tajir itu berarti aku matre

    “Kalau aku sayang sama Rio karena dia baik itu berarti sebagai wujud rasa terima kasihku ke dia

    “Dan kalau aku sayang sama dan aku ga tau kenapa bisa sayang sama kamu, itu baru cinta sejati” celoteh Oik. Cakka kembali memeluknya.

    Alvin, Gabriel, dan Rio masih ditenangkan oleh Sivia, Zevana, dan Agni.

    “Berarti, cakep aja ga bisa buat Oik sayang sama gue” lirih Alvin, Sivia mengusap bahunya pelan.

    “Berarti, tajir aja ga cukup buat Oik cinta sama gue” lirih Gabriel, Zevana menepuk bahunya pelan.

    “Dan berarti, baik aja ga cukup buat Oik suka sama gue” lirih Rio, Agni mengusap-usap puncak kepalanya pelan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar