Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 13)

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Agni makin uring-uringan saja. Mama dan papanya sedang membantunya membereskan barang-barang. Sebenarnya Agni ingin tetap di Jakarta. Tapi apa daya? Kepala sekolahnya telah menghubungi kedua orang tuanya dan memberitahu bahwa Agni mendapat beasiswa di Bali.

Kedua orang tuanya terlihat sangat bangga dengan putri semata wayangnya tersebut. Sudah berkali-kali Agni memberikan penjelasan kepada orang tuanya agar ia tetap berada di Jakarta. Tetapi kedua orang tuanya tak menggubris. Mereka tetap akan mengantar Agni ke bandara sore ini juga.


“Agni, ini.. Udah selesai beres-beresnya. Berangkat sekarang aja, ya? Takutnya macet” suara mama Agni terdengar dari dalam kamar Agni. Sedangkan Agni, masih memasang wajah sebal dan duduk di sofa ruang tamu.


Tak ada sahutan dari Agni. Kedua orang tuanya pun bergegas keluar dari kamar Agni. Papanya menggeret sebuah koper besar berisikan seluruh pakaian Agni. Sedangkan mamanya, membawa sebuah tas berukuran sedang yang berisi makanan ringan dan barang keperluan Agni lainnya.


“Udah, yuk? Berangkat sekarang aja, ya?” tanya mamanya lagi.


Agni menoleh malas. Wajahnya masih saja ditekuk, “Oke. Tapi Agni mau ke rumah Cakka dulu. Kalau ga gitu, Agni ga mau berangkat!” sewotnya.


Papanya hanya geleng-geleng kepala. Beliau pun segera keluar dan memasukkan barang-barang Agni ke dalam bagasi mobil. Mama Agni masih membujuknya di dalam rumah, “Ayolah, sayang! Waktunya sudah mepet sekali. Langsung ke bandara aja, ya?” rayunya.


Agni tetap menggelengkan kepalanya. Sudah berkali-kali mamanya membujuk agar mereka langsung ke bandara saja. Agni pun masih ngotot agar mereka mampir sebentar ke rumah Cakka. Mamanya menghela napas sejenak, “Oke oke.. Kita mampir ke rumah temen kamu dulu” mamanya akhirnya menyerah.


Agni bangkit dari duduknya dan berseru senang, “Yes! Ya udah, ayo berangkat!” Agni menarik tangan mamanya agar segera berdiri dan mereka berjalan beriringan menuju mobil.


“Pa, kita mampir ke rumah Cakka!” pesan Agni pada papanya. Beliau menganggukkan kepalanya.


Mesin mobil dinyalakan. Perlahan-lahan, mobil melaju dan meninggalkan rumah Agni. Agni menatap rumahnya dari kaca mobil. Matanya berkaca-kaca.
Bye rumah gue tersayang, gue bakalan balik lagi kok empat tahun lagi. Agni segera menghapus air matanya dan tersenyum pilu.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar berwarna putih. Agni turun dari mobil, tanpa mama dan papanya. Sebelumnya Agni telah berpesan kepada mereka berdua agar mereka tak ikut turun. Ia mau, hanya ia yang bertemu Cakka, terakhir kalinya untuk empat tahun kedepan.


Agni berjalan gontai memasukki pelataran rumah tersebut. Pintu pagarnya memang tak dikunci, makanya ia langsung masuk saja. Rumah itu terlihat sepi. Ia terus melangkahlan kakinya dan berhenti di depan sebuah pintu. Ia mengintip sebentar melalui celah-celah jendela. Terlihat seorang laki-laki sedang duduk di ruang keluarga.


Tok tok tok.. Agni mengetuk pintu rumah tersebut. Tak ada sahutan. Kembali ia ketuk pintu itu untuk yang kedua kalinya. Terdengar sahutan dari dalam. Agni mundur beberapa langkah. Tak lama kemudian, seorang laki-laki membuka pintunya dan menatapnya dengan dahi berkerut.


“Cari siapa, ya?” tanya laki-laki itu, tanpa mempersilahkan Agni masuk.


Agni celingukan. Ia agak melongok ke dalam rumah. Orang yang ia cari tak terlihat rupanya, “Gue Agni, ceweknya Cakka. Cakkanya ada?” tanya Agni, masih mencuri-curi pandang ke dalam rumah tersebut.


Laki-laki itu menoleh sekilas ke dalam rumahnya. Seolah memberi isyarat bahwa tak ada seorang pun di dalam sana kecuali dia sendiri, “Sorry, lo siapa? Ceweknya Cakka? Dia ga pernah nyebut-nyebut nama lo sebelumnya. Dia cuman nyebut nama Oik. Oik siapa, ya?” gumam laki-laki tersebut, ngelantur.


Agni memutar bola matanya malas. Oik lagi, Oik lagi! “Udah deh, ya. Ceweknya Cakka itu gue, bukan Oik! Bacot lu, ah! Cakka ada ga? Gue buru-buru nih!” sungut Agni. Ia sangat sensitif dengan hal-hal yang berhubungan dengan Oik.


Laki-laki itu memandangnya tak suka, “Bisa jaga bacot ga? Ini rumah gue ya, suka-suka gue dong mau bacot atau ga! Sedangkan lo, lo cuman tamu, kan?” sinis laki-laki itu. Ia beranjak dan akan menutup pintu rumahnya kalau saja Agni tak menahannya. Itu pun Agni menahannya dengan terpaksa, hanya karena ia ingin bertemu Cakka.


“Stop! Stop! Gue minta maaf! Iya deh.. gue nanya baik-baik nih. Cakka di mana? Jawaba cepet! Gue buru-buru! Gue take off ga lama lagi!” Agni berkata dengan cepat-cepat. Jam tangannya menunjukkan bahwa sekarang sudah pukul empat kurang lima belas menit. Dan ia akan take off pukul setengah lima!


Elang kembali membuka pintunya, walaupun hanya sedikit. Terlihat sekali kalau ia malas berurusan dengan Agni, “Cakka ga ada. Dia lagi ke rumah sakit, jenguk ceweknya, Oik” jawab laki-laki tersebut dengan singkat.


Agni kembali menggerutu, “Udah gue bilang, ceweknya Cakka itu gue! Bukan Oik! Cakka ga ada? Buang-buang waktu banget gue di sini!” rutuknya.


Agni pun berbalik dan segera masuk ke dalam mobilnya. Berharap bahwa ia akan sampai di bandara tepat waktu sehingga ia tak perlu menunda keberangkatannya menuju Bali.
Bye Jakarta, bye Cakka, see you soon!

Laki-laki tadi masih memandang kepergian mobil Agni dari depan rumahnya. Dia Elang, kakak Cakka, “Tadi dia bilang apa? Agni?  Agni.. Agni.. Agni.. Oh! Cakka pernah cerita soal dia! Hell yeah.. Well, untung dia cepet-cepet pergi dari sini. Coba ga, udah gue apain kali tuh anak orang. Sebel gue! Dia, kan, udah ngapa-ngapain si Oik!”


^^^


Cakka, Ray, Ozy, Deva, Sivia, dan Rio sudah berada di dalam ruang perawatan Oik. Alvin? Ia pulang sebentar untuk berganti pakaian. Dan setelahnya, Alvin berjanji akan kembali menjenguk Oik di sini. Ketujuhnya sedang bersenda-gurau dengan hebohnya. Seolah tak ada kejadian apapun yang baru saja menimpa Oik.


Rio sendiri terlihat biasa-biasa saja dengan Cakka. Padahal sebelumnya, Rio sangat menunjukkan ketidaksukaannya dengan Cakka. Atau mungkin, Rio berusaha menutupinya agar Oik tak stress dan semakin memburuk keadaannya. Dokter juga sempat bilang bahwa besok Oik sudah boleh pulang.


“Eh, Kak Rio, maksud lo buat ngirim Agni ke ‘neraka’ itu apaan, sih? Gue masih ga ngerti deh” tanya Ray sambil memasang wajah polos. Hapir saja teman-temannya kembali tergelak melihat ekspresi Ray.


Rio seakan teringat sesuatu. Begitupula Ozy, Deva, Sivia, Oik, dan Cakka. Kelimanya berseru bersamaan, “Iya! Apaan maksudnya? Kita, kan, pengen tahu”


Rio kembali tertawa. Tak menyangka bahwa adiknya sangat kompak dengan sahabat-sahabatnya, “Oh itu.. Gampang aja, sih. Kan, kampus gue lagi nyari orang buat sekolah khusus basket gitu di Bali. Ya udah, gue cantumin aja namanya Agni buat dapet beasiswa itu” jelas Rio, diakhiri dengan senyum tipisnya.


Ray, Ozy, Deva, Cakka, Sivia, dan Oik hanya manggut-manggut mendengar penuturan Rio. Tak lama kemudian, seseorang masuk ke dalam ruang perawatan Oik, seorang laki-laki. Laki-laki tersebut menyerahkan beberapa tas plastik besar kepada Rio. Tak lupa pula, ia menyerahkan sebuah bil.


“Makanan datang!” seru Oik riang.


Sivia, yang memang duduk di bibir ranjang Oik, segera membekap mulut sahabatnya itu. Ia menunjukkan cengiran terlebarnya pada Oik. Segera, setelah pengantar makanan dari sebuah restaurant fast food terkenal itu keluar dari ruang rawat Oik, Sivia melepaskan bekapannya.


“Sivia ngapain make ngebekep mulut gue, sih?!” seru Oik keki.


Sivia kembali nyengir, “Abisnya, lo sih! Kan, bisa berabe kalau suster-suster di sini tahu lo makan makanan fast food gini. Lo tahu sendiri, kan, kalau lo itu belum boleh makanan kayak gini” jelasnya. Oik hanya mengangguk pasrah.


^^^


Alvin baru saja selesai berganti pakaian. Ia pun keluar dari kamarnya dan mengambil kunci motornya di atas laci, “Mama! Alvin pergi, ya! Mau jenguk Oik!” teriaknya. Mamanya, yang sedang berada di dapur, hanya tersenyum simpul.


Alvin berjalan ke arah ruang tamunya. Baru saja ia membuka pintu rumahnya, sudah ada seorang gadis imut yang membawa sebuah piring penuh kue hendak mengetuk pintu rumahnya. Gadis imut itu hanya cengengesan dan mengangsurkan sepiring kue tadi ke Alvin.


Alvin menerima angsuran sepiring kue dari gadis imut itu dengan dahi berkerut, “Apaan nih?” tanya Alvin seraya memandang gadis imut itu tanpa ekspresi. Alvin menimang-nimang pemberian gadis imut itu beberapa saat.

Gadis imut itu cengo, “Lo ga tahu itu apa? Itu, kan, bolu, Alvin!” seru gadis imut itu keki. Ia sampai-sampai mengentakkan kakinya ke lantai sangking kekinya dengan Alvin.

Alvin menoyor kepala gadis imut itu pelan, “Bego lo! Gue, sih, tauhu, Acha, kalau ini itu bolu. Maksud gue, ada acara apaan lo ngasih beginian ke gue?” tanya Alvin lagi kepada gadis imut itu, Acha. Oh, rupanya Acha salah mengerti soal pertanyaan Alvin.

Acha hanya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum riang, “Ga ada apa-apa. Iseng aja. Tadi gue bikin bolu gitu dan jadinya banyak. Ya udah, gue kasih ke lo aja. Itung-itung tester gitu. Ntar kalau enak, ya, bakalan gue kasih ke Cakka” jawab Acha dengan polosnya.

Alvin manggut-manggut mengerti, “Tunggu bentar, Cha. Gue mau naruh kue lo ini di dapur. Kebetulan ada nyokap gue. Bentar, ya!” Alvin pun masuk ke dalam rumahnya. Di dapur, ia berikan sepiring bolu tadi ke mamanya, “Dari Acha” jawab Alvin, tanpa ditanya terlebih dahulu oleh mamanya.

Alvin kembali berbalik menuju ruang tamu. Acha masih berdiri di sana. Alvin pun menghampirinya dengan bingung, “Ngapain lo masih di sini?” tanya Alvin, tangan kanannya memainkan kunci motornya dengan santai.

Acha melihat Alvin membawa kunci motornya, “Eh, mau ke mana lo?”

“Mau ke rumah sakit, jenguk Oik. Kenape? Mau ikut? Ada Cakka noh di sono” ujar Alvin. Ia berjalan menjauh dari Acha dan menghampiri motornya. Ia sudah menaikki motornya ketika Acha berjalan mendekatinya dengan wajah riang.

“Ada Cakka? Gue ikut, ya! Tunggu bentar, gue mau ganti baju sekalian ngambil bolu buat Cakka. Tunggu gue! Jangan ke mana-mana! Awas lu sampek ninggal! Gue bilangin nyokap lo ntar!” celoteh gadis imut itu.

Alvin hanya mengangguk malas mendengar celotehan Acha yang nyaris tak ada titik-komanya tersebut. Puas melihat Alvin menganggukkan kepalanya, Acha berjalan dengan riang menuju rumahnya. Beberapa menit kemudian, ia kembali menghampiri Alvin dengan sudah menggunakan celana jeans, T-Shirt, wedges, serta menenteng sebuah tas plastik yang pasti berisi bolu buatannya.

Acha segera naik ke boncengan motor Alvin. Keduanya melaju menuju rumah sakit tempat Oik dirawat. Dalam perjalan, mereka awalnya saling diam. Sampai akhirnya, Acha duluan yang memulai pembicaraan.

“Eh, Vin, emangnya Oik kenapa? Kok dirawat di rumah sakit? Sakit, ya, dia?” tanya Acha beruntun.

Alvin menggelengkan kepalanya dari balik helmnya, “Dia ga sakit kok. Kemarin dia ketabrak. Ditabrak lebih tepatnya. Tuh, ditabrak si Agni” jawab Alvin.


Acha tersentak kaget. Tak menyangka kalau ternyata Oik ditabrak oleh Agni. Karena setahunya, Agni adalah orang yang baik. Rupanya ia belum mengenal Agni secara keseluruhan, “Astaga.. Terus, terus? Oik gimana?” tanya Acha lagi.

Alvin tersenyum tipis, “Oik udah ga kenapa-kenapa kok. Dia cuman perlu rawat inap buat beberapa hari aja, kata dokter. Mungkin besok dia udah boleh pulang” balas Alvin. Ia kembali fokus ke jalanan yang terhampar di depannya. Ia kembali menambah laju kecepatan motornya agar cepat sampai di rumah sakit, tak sabar ingin cepat-cepat bertemu Oik.

^^^

Rio cepat-cepat membuka makanan pesanannya. Sivia, Deva, Ozy, Ray, dan Cakka-pun bergerombol mengambil makanan masing-masing. Sedangkan Oik, masih terbaring di ranjangnya. Ia tak boleh banyak bergerak. Lagipula, selang infus masih terpasang di pergelangan tangannya, tak memungkinkan untuk ia berjalan menjauh.

Sivia, Ozy, Deva, Ray, dan Cakka telah selesai mengambil makanan masing-masing. Rio juga telah melahap makanannya. Oik jadi bingung akan meminta tolong kepada siapa, “Umm.. Sivia, boleh minta tolong ambilin makanan gue ga?” tanya Oik ragu-ragu.

Sivia menolehnya sebentar. Sejurus kemudian, ia kembali berkelut dengan makanan pesanannya, “Maaf, Ik. Bukannya ga mau atau apa. Gue udah kelanjur makan soalnya, hehe” tolak Sivia dengan sehalus mungkin.

Oik kini beralih pada Ozy, Deva, dan Ray, “Ozy, Deva, Ray.. Bisa tolong ambilin makana Oik ga? Kalau ga, ga kenapa-kenapa kok” tanya Oik kepada ketiganya.

Ketiganya mengerling ke arah Oik bersamaan dan memamerkan cengiran terlebar masing-masing, “Sorry, Ik. Lagi laper banget soalnya. Ga kenapa-kenapa, kan?” ujar mereka bertiga. Oik menganggukkan kepalanya seraya tersenyum simpul.

Harapannya tinggal Rio. Mana mungkin ia meminta bantuan kepada Cakka? Ia masih canggung dengan temannya yang satu itu, “Kak Rio.. Ambilin makana gue dong. Ya, ya, ya? Gue ga bisa bangun nih” bujuk Oik seraya memasang wajah sok imut.

Rio tertawa renyah, “Sok imut lo, dek! Ga ah.. Gue masih makan ini. Kata orang, kan, pamali kalau makan ditinggal-tinggal” tolak Rio.

Oik menahan napas. Sepertinya memang ia sendiri yang harus mengambil makanannya. Sejenak ia melirik Cakka, tepat ketika Cakka juga sedang meliriknya. Oik segera mengalihkan pandangannya, “Ik, mau ngambil makanan?” tanya Cakka. Oik hanya mengangguk kecil.

Cakka bangkit dari duduknya, “Lo duduk aja. Biar gue yang ambilin” lanjutnya. Cakka segera mengambil makanan Oik dan mengangsurkannya pada Oik. Sejenak, Rio, Deva, Ray, Ozy, dan Sivia memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Oke, makasih” lirih Oik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar