Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

He Is My Destiny (1 of 4)


“Oik! Gue mau curhat dong!” teriak Sivia tatkala ia baru tiba di kamar Oik.

Siang itu, Sivia memang akan melakukan ritual mingguan mereka, curhat, di rumah Oik. Kemarin malam mereka sudah membuat janji dan Sivia akan datang ke rumah Oik sekitar jam sebelas siang. Sayangnya, Oik belum terbangun dari mimpi indahnya. Sekarang hari Minggu, wajar kalau Oik masih bergulat dengan bantal dan gulingnya. Bukan salah Oik juga karena Sivia datang terlalu awal dari waktu yang dijanjikan. Alhasil, Oik belum siap. Sudah dari tadi Sivia membangunkan Oik namun tak ada reaksi apapun dari gadis manis itu. Iseng, Sivia mengambil ponsel Oik mengutak-atiknya tanpa sepengetahuan si empunya.

“Gila si Oik, SMS semuanya dari si Cakka. Ckck” gumam Sivia ketika melihat inbox dan outbox di ponsel Oik.

Drrt drrt drrt.. Ponsel Oik bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari.. Cakka. Sivia panik sendiri. Cakka menelpon dan Oik belum bangun, “Oik! Ada telpon nih!” seru Sivia sambil menggoyang-goyangkan tubuh mungil Oik. Oik bergumam tak jelas, menguap sebentar, dan pelan-pelan membuka kedua kelopak matanya. Ia segera mengambil ponselnya dari tangan Sivia. Melirik sekilas ke layar ponselnya dan wajahnya berubah ceria. Ia segera mengangkat panggilan tersebut dan berlari menuju balkon kamarnya, seolah ia tak mau Sivia mendengarkan percakapannya di telepon.

“Ck, si Oik! Gua dikacangin!” dumel Sivia.

Karena bosan, ia segera menuju rak buku di sebelah ranjang Oik. Melihat-lihat sekilas isi dari rak buku tersebut. Pandangannya terantuk pada sebuah album foto bersampulkan tulisan C&O. Sivia segera mengambilnya dan melenggang menuju sofa kamar Oik. Ia memposisikan badannya dengan nyaman dan membuka satu-persatu halaman album tersebut. Orang yang sama di semua foto, satu laki-laki dan satu perempuan. Laki-laki dengan pipi chubby-nya dan lumayan tinggi, Cakka. Perempuan dengan wajah manis dan imut, Oik. Sivia berdecak melihat keseluruhan isi album foto tersebut, “Assoy dah Oik. Punya cowok asyik banget. Gua? Boro-boro punya cowok, gebetan aja ngilang kagak tau ke mane” gumamnya kesal.

Selang sekitar sepuluh menit, Oik kembali memasuki kamarnya dengan raut ceria. Tanpa memerdulikan Sivia, ia segera mengambil pakaian di almarinya dan melenggang menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya. Sebelumnya, ia meletakkan ponselnya terlebih dahulu di atas laci samping ranjangnya. Sivia cengo. Tumben banget nih anak mau mandi, batinnya. Ia segera mengembalikkan album foto tadi di tempatnya dan kembali duduk di sofa sambil memain-mainkan ponselnya. Membuka album foto dan ingatannya melayang pada cinta monyetnya saat SMP. Sekarang, Sivia dan Oik sudah SMA. Kelas sebelas, tepatnya. Mereka berdua bersekolah di SMA yang sama, SMA Victory.

Oik keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan kaos berwarna pink dan celana jeans selutut. Ia berangsur duduk di sebelah Sivia dan merapikan rambutnya sebentar. Tak memperdulikan Sivia yang pandangannya sedang kosong. Sejenak, ia selesai merapikan rambutnya dan menoleh pada Sivia yang duduk tepat di sebelah kanannya. Alisnya bertaut heran melihat Sivia yang sedang melamun. Oik mengageti Sivia dari samping. Sivia terbeliak kaget dan melotot pada Oik. Tawa Oik meledak saat itu juga.

“Haha.. Kok lo ke sininya pagi banget sih? Gua kan masih tidur” ujar Oik pada Sivia dengan sisa-sisa tawanya, ia kembali mengambil ponselnya di atas laci.

“Gue boring di rumah. Ya mending gue ke sini aja” jawab Sivia.

“Oh, ya udah, cepetan aja curhatnya. Ntar jam satu siang gue ada acara soalnya” lanjut Oik.

“Acara? Ma siapa? Bokap nyokap? Tadi gua ga liat mereka tuh di bawah” gumam Sivia bingung.

“Bokap nyokap lagi ke Serang ngejengukkin nenek gue. Beliau lagi ga enak badan. Sama Cakka dong, siapa lagi?” ucap Oik dengan cengiran di akhir kalimatnya tadi.

“Ahelah, tiap Minggu lo jalan gitu ama Cakka? Ck, assoy deh jadi lo” gumam Sivia.

“Udah ah, lo mau cerita apa?” tanya Oik gemas.

“Gue kangen cinta monyet gue deh. Itu tuh, temen kita waktu SMP. Yang namanya Rio. Udah dua tahun ya gue ga ketemu sama dia. Tapi kan sekarang gue lagi PDKT sama kakak kelas kita, namanya Alvin. Gua bingung mau pilih yang mana. Menurut lo, harusnya gue gimana?” celoteh Sivia.

“Itu sih terserah lo aja. Cuman lo yang tau mana yang terbaik buat lo” nasihat Oik, bijak.

Sekian lama, mereka saling cerita tentang persoalan masing-masing. Hingga tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Terdengar ketukan dari pintu kamar Oik. Karena tak dikunci, orang tersebut langsung masuk dan menghampiri Oik yang masih bersama Sivia. Oik kaget dengan kedatangannya, Cakka. Sekilas, ia melirik jam dinding di kamarnya. Ia menepok jidatnya dan memberikan cengiran lebarnya pada Cakka. Ia segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk ganti baju. Ia keluar dengan sudah memakai dress selutut berwarna putih dengan corak bunga-bunga.

“Sivia kok di sini, Ik?” tanya Cakka pada Oik.

“Ih, suka-suka dong! Gue kan sahabatnya” sahut Sivia dari tempatnya duduk seperti tadi.

“Idih, tapi kan gue cowoknya!” lanjut Cakka sewot.

“Ssstt! Udah, ga usah debat! Tadi Sivia ke sini cuman mau ngobrol aja kok. Udah yuk, berangkat sekarang aja” ajak Oik sambil menarik lengan Cakka keluar dari kamarnya.

“Woy, gua gimana?!” teriak Sivia dari dalam kamar Oik.

“Pulang aje lo!” teriak Cakka balik.

Sivia mendengus kesal. Ia segera mengambil tasnya dan berlalu dari kamar Oik. Ia keluar dari rumah Oik dengan kesal. Ini nih ga enaknya punya sahabat yang udah punya cowok, batinnya kesal. Ia terus melangkahkan kakinya menjauhi rumah Oik. Entah ke mana tujuannya saat ini. Yang jelas, ia sekarang berjalan dengan sesekali menndang bebatuan yang tergeletak di atas aspal. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk dari Alvin. Dengan cepat, ia mengangkatnya. Senyumnya mengembang saat itu juga.

***ONTHEPHONE:SIVIA-ALVIN***

A          : “Siv, lagi ada acara ga?”

S          : “Ga kok kak, kenapa emangnya?”

A          : “Mau jalan ga? Gue boring nih di rumah sendirian”

S          : “Boleh..”

A          : “Ya udah, lo di mana? Gue jemput sekarang”

S          : “Lagi di jalan. Di sekitaran kompleks rumahnya Oik, gue baru pulang dari sana”

A          : “Sip. Kebetulan rumah gue deket sama rumah Oik”

S          : “Oke, gue tunggu ya kak”

A          : “Iya, lo jangan ke mana-mana!”

***ONTHEPHONE:END***

Sivia melonjak kegirangan setelah mendapatkan telepon dari Alvin. Ia segera memasukkan kembali ponselnya dan duduk manis di bangku dekatnya. Pikirannya kembali melayang, membayangkan acara dadakannya dengan Alvin siang ini. Tak perlu menunggu lama untuk Sivia mendapati Alvin sudah ada di depannya. Alvin terlihat keren dengan jaket merah dan kaos putihnya. Sivia segera naik di boncengan motor Alvin. Mereka melesat meninggalkan kompleks rumah Oik, menyusuri jalanan Jakarta yang lumayang sepi siang itu.

“Kak, kita mau ke mana?” tanya Sivia dari balik helmnya.

“Ke mana aja boleh.. Lo liat aja ntar” jawab Alvin dengan cuek.

Setelah kurang lebih lima belas menit menempuh perjalanan, mereka berdua sampai di sebuah tanah lapang dengan gubuk reyot yang terbuat dari jerami di tengah-tengahnya. Alvin segera memarkirkan motornya di dekat gubuk itu dan menarik tangan Sivia ke tanah lapang di hadapan mereka. Tanah lapang dengan ilalang yang tumbuh di segala penjurunya. Tepat di dekat gubuk reyot itu, terdapat tanah yang tak ditumbuhi ilalang sedikit pun. Sepertinya memang disengaja dibuat seperti itu.

Alvin duduk bersila di situ, diikuti Sivia yang juga duduk bersila di sebelahnya. Semilir angin membelai lembut mereka berdua. Ga kayak di Jakarta, batin Sivia girang. Alvin menidurkan badannya di sana dan memakai kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya. Sivia mengikuti yang Alvin lakukan. Mereka berdua terdiam sejenak. Membiarkan imajinasi mereka menari-nari di atas pelupuk matanya. Menatap birunya langit siang itu.

“Kak, berasa lagi ga di Jakarta deh” pekik Sivia girang, tetap pada posisinya sebelumnya.

“Iya.. Di sini ga ada asep, udaranya masih seger” sahut Alvin sambil tetap memejamkan matanya.

“By the way, ini tempat apaan sih?” tanya Sivia, ia kini membuka matanya dan melirik Alvin sekilas.

“Sebenernya sih ini tempat punya eyang gue. Niat awalnya mau bikin tempat ini jadi semacam rumah, tapi ga jadi. Gue bilang ke eyang kalo gue lebih suka tempat ini kayak gini. Gue biasa ke sini kalo lagi boring. Udaranya kan seger” celoteh Alvin panjang lebar.

“Oh, segitu sayangnya ya eyangnya kakak ke kakak” gumam Sivia.

Lama mereka mengobrol di sana. Sampai pada akhirnya, langit mulai menunjukkan semburat oranye miliknya yang juga dipadukan dengan semburat ungu. Waktunya matahari berganti tahta dengan bulan dan para pengikutnya, bintang-bintang. Sivia segera bangun dari posisi tidurnya, diikuti Sivia. Di depannya jelas terlihat detik-detik terbenamnya matahari. Sivia berdecak kagum di sebelahnya. Perlahan-lahan matahari mulai menyembunyikan dirinya di balik gelapnya langit. Sang mentari telah berganti tahta dengan sang rembulan.

Bintang-bintang pun mulai menampakkan wujudnya. Kali ini Alvin juga berdecak kagum melihat ciptaan Maha Agung dari Tuhan. Jam sudah menunjukkan pukul enam petang. Alvin segera bangkit dari duduknya dan berjalan santai ke tempat motornya diparkir. Sivia mengikutinya dari belakang. Alvin menyalakan mesin motornya dan Sivia naik ke boncengan. Mereka berdua melesat membelah jalanan Jakarta malam ini.

^^^

“Makasih ya kak udah mau ngajakin gue jalan hari ini” ujar Sivia setelah mereka sampai di rumahnya.

“Iya, sama-sama. Jangan kapok ya gue ajak jalan!” pesan Alvin.

Sivia menganggukkan kepalanya dengan semangat. Sivia tersenyum sekilas padanya. Pelan-pelan, Alvin mulai melesat meninggalkan rumah Sivia dengan motornya. Sivia masih berdiri di depan rumahnya sampai bayangan tubuh Alvin hilang ditelan gelapnya malam itu. Sivia membalikkan tubuhnya dan bergegas memasukki rumahnya. Ia segera menuju ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya. Ia melonjak kegirangan karena Alvin.

Ia lantas mengambil laptopnya yang ia letakkan di atas ranjangnya. Ia segera menyalakan laptopnya dan menyambungkannya ke internet menggunakan modem. Untuk sesaat, ia mengutak-atik laptopnya tersebut. Ia mengklik pada salah satu web browser yang tersedia di laptopnya dan mengketik alamat salah satu jejaring sosial yang sedang populer saat ini. Login dengan menggunakan accountnya. Memasukkan email dan kata sandi.

Ia segera melihat daftar temannya yang online saat ini. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh saja. Matanya terantuk pada salah satu nama account yang sedang online juga. Oik Cahya Ramadlani. Ia segera memulai chating dengan sahabatny itu. Beberapa detik, jemarinya terus menari di atas keyboard laptopnya.

Sivia Azizah: Oik! Tebak deh gue habis ngapain! Haha..

Oik Cahya Ramadlani: Ya mana gua tau! Emang lo abis ngapain sih? Girang banget kayaknya –a

Sivia Azizah: Gue tadi abis jalan sama Kak Alvin! Ini gue baru aja pulang! Seneng banget!! :D

Oik Cahya Ramadlani: Iya deh, ikut seneng kok gue. Lo mau tau ga gue tadi ke mana ? *winkwink*

Sivia Azizah: Ke mana emangnya? Ama Cakka kan lo tadi? Tega lo ngacangin gua! :p

Oik Cahya Ramadlani: Sorry deh cantik.. Tadi gue abis ke resto di daerah Kemang. Ada acara keluarga gitu si Cakka, dia ngajak gue! Gue ketemu ama bonyoknya juga loh~ B-)

Sivia Azizah: Eh, terus-terus? Lo dikenalin ya ama mereka? :-o

Oik Cahya Ramadlani: Iya.. Seneng deh gue! Ternyata mereka semua baik banget sama gue >_<

Sivia Azizah: Asyik deh lo. Nah gua? Sama Kak Alvin aja masih ngegantung!

Oik Cahya Ramadlani: Sabar sayang, semua akan menjadi indah pada waktunya *nyanyi*

Sivia Azizah: Ah, elu mah ngelawak mulu! Ketularan Cakka ye lo?!

Oik Cahya Ramadlani: Eh, udahan ya! Si Cakka udah dateng nih. Dia mau dinner di rumah gue :p

Oik Cahya Ramadlani is now offline

Sivia segera menutup laptopnya setelah terlebih dahulu meng-close web browser dan men-shutdown laptopnya. Ia beranjak dari ranjangnya dan meletakkan laptopnya di meja belajar. Ia segera menuju ke kamar mandi dan mengganti bajunya dengan gaun tidur. Setelah itu, ia melangkahkan kakinya menuju dapur. Rumahnya sudah sepi padahal sekarang masih jam tujuh. Wajarlah, Sivia hanya tinggal bersama om dan tantenya. Tantenya pasti sedang istirahat di kamar dan omnya belum pulang kerja. Ia mengambil beberapa camilan dari kulkas dan kembali lagi ke kamarnya.

Ia merapikan bukunya untuk sekolah besok sambil sesekali mencomot keripik yang tadi ia ambil dari kulkas. Sesekali, ia membuka bukunya sambil meneliti tiap halaman dari buku tulisnya tersebut. Untung saja ia sudah mengerjakan semua tugas yang diberikan oleh gurunya. Setelah selesai merapikan buku, ia mengambil diary yang ia letakkan di sela-sela buku pelajaran di tasnya. Ia membuka halaman dengan tanggal paling baru dan segera menulis di sebelah halaman tersebut.

Dear diary,
Hari ini gue seneng banget deh! Lo tau kan kalo tadi Kak Alvin ngajakkin gue jalan? Sumpah demi apapun deh, gue girang banget! Gue ga bisa ngungkapin senengnya hati gue ini dengan katak-kata! Waktu jalan sama Kak Alvin pun, gue berusaha sekuat tenaga buat ngontrol detak jantung gue. Jantung gue udah lompat ke mana-mana deh tadi. Untung aja Kak Alvin ga ngedenger detak jantung gue..
Diary, gue masih bingung sama perasaan gue. Sebenernya hati gue buat siapa sih? Buat Rio atau buat Kak Alvin? Gue selalu nervous tiap kali ada di deket Kak Alvin. Gue selalu senyum-senyum sendiri waktu keinget memori gue sama Rio. Gue harap, waktu bakalan jawab pertanyaan gue..

Setelah menorehakn tinta dan menumpahkan semua perasaannya di diary kesayangannya, Sivia langsung mengembalikkan diary itu ke tempat semula. Di sela-sela buku pelajaran di tasnya. Ia segera bangkit dari kursi belajarnya dan menuju ke ranjangnya. Sejenak ia melihat ke arah pigora yang ia letakkan di atas laci samping ranjangnya. Sebuah senyuman sedih muncul di bibir manisnya. Matanya berkaca-kaca melihat foto itu. Ia segera mengerjap-erjapkan matanya agar bening kristal itu tak luruh ke kedua pipinya.

“Mama, papa, baik-baik ya di sana. Sivia kangen sama kalian. Good night..” gumam Sivia.

Ia segera menarik selimutnya dan tertidur diiringi isakan kecilnya malam itu. Bening-bening kristal itu mulai luruh dari kelopak matanya. Luruh dengan tak terkendali. Sivia menarik lagi selimutnya dan menyembunyikan wajahnya di balik selimutnya. Berharap tantenya tidak mendengar isakannya. Malam itu, ia tertidur dengan bening-bening kristal yang masih terus luruh ke kedua pipinya.

^^^

Sang mentari baru saja muncul di ufuk timur ketika Sivia membuka kedua matanya. Sisa-sisa air matanya sudah mengering. Ia segera bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Setelah beberapa menit berada di kamar mandi, ia keluar dengan sudah memakai seragam sekolahnya. Kemeja putih sesiku dan rok kotak-kotak selutut berwarna merah yang dipadu dengan sedikit hitam. Ia menuju meja riasnya dan mendapati matanya sedikit sembab. Ia menaburkan banyak bedak ke wajahnya agar sembab di matanya tidak terlalu terlihat. Setelah dirasa cukup, ia segera keluar dari kamarnya dengan menenteng tasnya.

Saat ia tiba di meja makan, om dan tantenya sudah sarapan terlebih dahulu. Sivia duduk tepat di depan tantenya. Dengan cepat, ia mengambil selembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai nanas. Sarapan pagi berlangsung cepat. Setelah selesai sarapan, ia segera berpamitan kepada om dan tantenya. Sivia melenggang keluar dari rumah dengan lesu. Ia berangkat sekolah dengan berjalan kaki. Jarak antara sekolahnya dengan rumahnya memang dekat. Hanya sekitar lima ratus meter saja.

Setelah sampai di sekolahnya, ia segera berjalan menyusuri tiap koridor dengan menunduk. Ia memasukki kelasnya masih dengan menunduk. Sivia meletakkan tasnya di bangku paling belakang, bersama Oik. Ia merebahkan tubuhnya di kursi. Sesaat, ia tak memperdulikan Oik yang memandangnya heran. Ia sibuk dengan pikirannya. Wajahnya kacau pagi ini.

“Siv, lo kenapa?” tanya Oik khawatir.

“Ga kok. Emang kenapa?” jawab Sivia, masih dengan memejamkan matanya erat-erat.

“Kelihatan banget loh kalo mata lo sembab” bisik Oik di telinga Sivia.

“Hah? Emang iya? Perasaan udah gue kasih bedak banyak banget deh!” sahut Sivia, terbeliak kaget.

“Nah kan, berarti bener. Lo kenapa sih?” tanya Oik sambil membenahi posisi duduknya.

“Gue kangen sama nyokap bokap gue” lirih Sivia.

Ucapan Sivia tadi terdengar sampai ke telinga trio jahil. Ozy, Deva, dan Ray. Ketiganya saling bertatapan heran mendengar ungkapan Sivia barusan. Sekejap, muncul sebuah ide jahil di kepala mereka. Dengan senyum mengembang mereka saling berbisik dan berencana melakukan misi mereka kali itu. Untuk saat ini, mereka cukup duduk di tempat mereka sekarang dan mendengarkan dengan seksama pembicaraan Sivia dan Oik. Ketiganya bersama-sama menajamkan pendengaran masing-masing karena koridor sekolah pagi itu sudah cukup ramai, hanya saja kelas mereka masih terbilang sepi.

“Ya udahlah Siv, bokap nyokap lo kerja di Amrik kan juga buat lo. Coba mereka ada di sini, perusahaan mereka yang di sana mau diapain?” hibur Oik sambil mengusap punggung Sivia.

Sivia menghela berat napasnya dan kemudian bangkit dari duduknya, “Anterin gue ke kantin yuk. Laper nih! Tadi cuman sarapan dikit doang soalnya” ajaknya pada Oik.

Oik mengangguk. Berdiri dan menggandeng tangan Sivia menuju kantin. Ozy, Deva, dan Ray baru akan memulai misi mereka. Ozy berjalan menuju pintu kelas, “Sepi! Cepetan!” komando Ozy pada Ray dan Deva. Ray dan Deva segera menuju tempat tas Sivia diletakkan. Perlahan-lahan, Deva membuka tas Sivia dan mengobrak-abriknya. Matanya terantuk pada sebuah buku berwarna pink. Diary Sivia. Deva segera menyerahkannya pada Ray. Ozy berjalan menghampiri mereka. Mereka bertiga sedang mengerubungin diary Sivia. Ray membolak-balikkan halaman diary itu. Halaman pertama diary itu terpaksa membuat mereka melotot kaget.

Dear diary,
Hari ini nyokap bokap gue berangkat ke Amrik. Temen-temen gue pada nanya semua. Gue gengsi kalo kudu ngomong yang sebenernya. Jadilah gue bohong buat nutupin keadaan sebenernya. Gue bilang ke temen-temen gue kalo nyokap bokap gue ngurusin perusahaannya di sana. Nyatanya? Mereka jadi TKI di sana. Di rumah gue cuman ada tante sama om. Gue ngerasa kesepian. Sebelumnya gue udah sering ngebujuk nyokap sama bokap biar kerja di Indo aja. Tapi mereka terlalu keras kepala. Mereka pergi ke Amrik dengan persetujuan atau bahkan tidak dengan persetujuan gue. Gue takut kalo mereka ga bakal balik lagi ke Indo..

Mata ketiganya melotot bersamaan. Tak menyangka kalau ternyata orang tua Sivia hanyalah TKI di Amerika. Setau mereka, Sivia memiliki barang-barang dengan harga yang tak murah. Mulai dari ponsel BlackBerry, iPad, Macbook Pro, sepatu Converse keluaran terbaru, kamera SLR 10MP, motor matic, dan masih banyak lagi barang-barang lainnya. Ingatan mereka berputar saat semua menanyakan ke mana orang tua Sivia kepada Sivia. Dengan gugup Sivia menjawab bahwa orang tuanya memiliki urusan di Amerika dan akan jarang sekali pulang ke Indonesia. Mengurusi perusahaan di sana, dalihnya. Waktu itu mereka percaya-percaya saja. Sekarang, setelah mereka membaca diary Sivia, mereka menganggap bahwa Sivia adalah orang dengan ego tinggi. Tak mau mengakui keadaan asli dari keluarganya. Toh, kalaupun Sivia berkata jujur, mereka tak akan menjauhi Sivia hanya karena status ekonomi saja. Terlalu naif, pikir mereka.

Sebelum Sivia dan Oik kembali ke kelas, ketiganya sudah menutup diary itu dan mengembalikannya ke tempat semula. Ketiganya berjalan meninggalkan kelas. Memang karena Deva cablak atau bagaimana, kabar bahwa orang tua Sivia hanyalah seorang TKI di Amerika cepat sekali menyebar. Hanya dalam hitungan jam, kabar itu sudah diketahui oleh seluruh siswa SMA Victory, termasuk Oik, Cakka, dan Alvin. Sivia sendiri juga telah mengetahuinya.

Sesaat setelah bel istirahat berbunyi, dirinya cepat-cepat keluar dari kelas dan berlari menuju salah satu sudut sekolah yang sangat sepi. Taman dekat lapangan basket. Sivia terduduk di sana dengan air mata bercucuran dari kedua matanya. Dia duduk meringkuk sambil memeluk lututnya. Samar-samar ia mendengar dentingan suara langkah seseorang yang sedang menuju ke sana. Ia segera menghapus air matanya. Sesosok laki-laki datang menghampirinya sambil menyerahkan sapu tangan miliknya. Sapu tangan berwarna merah dengan huruf A sebagai ornamennya. Alvin.

“Gue udah denger soal kabar itu.. ” lirih Alvin sambil beringsut duduk di sebelah Sivia.

“Iya.. Kabarnya emang cepet nyebar” ujar Sivia sambil berusaha menahan air matanya.

“Lo mau nangis kan? Nangis aja di sini..” ujar Alvin dengan melirik bahunya, “Kalo mau nangis ya nangis aja. Ga usah pake gengsi segala. Lo pasti malu kan dengan beredarnya kabar itu? Gue ngerti kok. Bahu gue selalu ada kapanpun saat lo butuh” lanjutnya.

Jadilah, hari itu Sivia menangis sejadi-jadinya di pundak Alvin. Alvin sendiri fine-fine saja meminjamkan bahunya pada gadis itu. Gadis yang sudah sejak lama ia perhatikan. Gadis yang juga sudah sejak lama ia sayangi. Sayang dengan arti Alvin menyayangi bukan sebagai adik, melainkan sebagai wanita spesial di hatinya. Bibirnya mengulum senyum tipis. Ingin sekali ia menyatakan perasaannya ini pada gadis di sebelahnya. Tapi..

“Thanks Kak, lo baik banget” ucap Sivia.

“You’re welcome. Karena gue sayang sama lo” balas Sivia.

Pipi Sivia bersemu merah, “Gue juga sayang sama lo, Kak”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar