Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [06]

            Matahari baru saja tenggelam diufuk barat dan Alvin masih tetap setia duduk diatas motornya di pelataran tempat kos Oik. Matanya menatap jendela kamar Oik. Sudah sejam lebih ia memandang jendela tersebut dan ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa Oik ada di dalam.
            “Mas, cari siapa?” tanya sebuah suara dari belakangnya.
            Alvin cepat-cepat menengok ke belakang dan mendapati seorang gadis mungil berkulit sawo matang tengah menatapnya curiga. “Oiknya ada?” tanya Alvin balik.
            “Ada,” jawab gadis itu dengan alis berkerut. “Mas ini siapa?”
            Alvin segera turun dari motornya dan mengulurkan tangannya pada gadis itu. “Aku Alvin. Teman kuliah Oik. Kamu teman kos Oik?”
            Gadis itu mengangguk sambil menerima ulura tangan Alvin. Keduanya berjabat tangan untuk beberapa detik. “Aku Osa. Mari, Mas..” Osa memberi kode pada Alvin untuk mengikutinya berjalan menuju teras.
            “Sa, Oiknya ada?” tanya Alvin lagi.
            Osa duduk pada sebuah kursi kayu di teras kosnya. “Ada, Mas. Tadi sekitar jam sembilan Oik udah pulang kuliah. Tapi keadaannya berantakan.”
            Alvin –yang telah duduk di hadapan Osa– menghela napasnya dengan lesu. “Dia belum keluar kamar dari pagi tadi?”
            “Belum, Mas,” Osa menggeleng kecil. “Dia tadi pagi belum sarapan juga sebelum berangkat kuliah. Mungkin tadi siang dia juga nggak makan. Kan, Oik nggak keluar kamar sama sekali. Ibu kos tadi juga tanya tapi nggak saya jawab, saya nggak tahu.”
            Alvin bangkit dari duduknya. “Kamu coba bujuk Oik keluar kamar, ya. Aku minta tolong. Aku keluar dulu, carikan makan buat Oik.”
            Osa mengangguk patuh dan Alvin pun melangkah meninggalkannya. Setelah melihat Alvin yang berlalu menggunakan motornya, Osa pun berdiri hendak menuju kamar Oik. Pintu kamar Oik masih tertutup rapat.
            “Oik, kamu kenapa lagi?” gumamnya sedih.
            Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar Oik. Sudah hampir lima menit ia mengetuk pintu kamar Oik tapi tak ada jawaban dari dalam. “Oik! Buka pintunya, dong. Aku tahu kamu di dalam.”
            Osa berhenti mengetuk pintu kamar Oik setelah menyadari jemarinya telah memerah karena mengetuk daun pintu di hadapannya. “Ik, buka pintunya. Aku nggak bisa ketuk pintu kamu lagi, tanganku udah merah-merah karena ketuk pintu kamu terus dari tadi.”
            Osa mendengar bunyi benda jatuh dari dalam, disusul dengan suara saklar lampu yang ditekan. Ia dapat melihat cahaya lampu berpendar dari celah-celah pintu kamar Oik. Benar. Oik ada di dalam.
            “Ik, buka, dong. Tadi ada temanmu kesini. Namanya Alvin. Kamu kenapa, Ik?”
            Pintu mendadak dibuka dari dalam. Muncul Oik dengan rambut berantakan dan mata yang berair serta memerah. “Alvin kesini, Sa?” tanyanya dengan suara serak.
            “Iya.” Osa mengangguk. “Ayo, cuci muka dulu.”
            Osa menuntun Oik menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang rumah kos tersebut. Oik membasuh wajahnya dengan air, merapikan penampilannya, lalu keluar dari kamar mandi. Rupanya Osa masih menungguinya.
            “Alvin sekarang mana, Sa?” tanya Oik lagi.
            “Udah ada di dalam kamarmu. Barusan dia sampai waktu kamu di dalam. Aku suruh masuk ke kamarmu tadi.”
            Keduanya pun berjalan menuju bangunan utama rumah kos tersebut. Osa berhenti di depan pintu kamarnya dan segera masuk, meninggalkan Oik yang berjalan menuju kamarnya seorang diri. Ia melihat pintu kamarnya terbuka.
            “Vin?” sapa Oik pada seorang lelaki yang tengah duduk diatas ranjangnya.
            “Sini, Ik..” Alvin menepuk-nepuk tempat di sampingnya, menyuruh agar Oik duduk di situ. Oik melangkah dan duduk di sebelah Alvin.
            “Kamu kenapa kesini?” tanya Oik sambil menatap Alvin bingung.
            “Aku khawatir sama kamu.” Alvin menyerahkan sebuah kantung plastik berwarna hitam pada Oik. “Ini nasi padang kesukaan kamu. Kamu makan dulu, ya.”
            Oik mengangguk. Ia membuka bungkusan makanan tersebut dan mulai melahapnya. Ia melirik Alvin yang tengah berdiri menatap seluruh penjuru kamarnya. Tak ia hiraukan lelaki itu yang mulai berceloteh mengenai betapa berantakannya kamarnya.
            “Kamu makan aja, biar aku yang bereskan kamarmu.”
            Alvin mulai dengan mengumpulkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan dilantai kamar Oik. “Aku tadi udah ngomong dengan Pricilla. Dia bilang dia sama sekali nggak tahu soal perjodohannya dengan Gabriel.”
            Oik menelan nasi padangnya. “Iya. Jangan salahkan Pricilla seperti tadi lagi, Vin. Aku sadar perjodohan itu sepenuhnya orangtua mereka yang ngatur, bukan Gabriel dan Pricilla sendiri.”
            Alvin tersenyum. Ia membuang seluruh bungkus makanan ditangannya pada sebuah tong sampah di sudut kamar Oik. “Pricilla juga minta maaf soal ini. Dia masih belum berani bilang ke kamu langsung, takut kamu histeris, katanya.”
            “Sampaikan ke dia kalau aku juga minta maaf.” Oik tersenyum tipis, pandangannya menerawang.
            Alvin menepuk bahu Oik sambil terkekeh. “Jangan ngelamun terus, Oik. Ayo, lanjutkan makannya!” perintahnya.
            Oik pun kembali melahap makanannya, sedangkan Alvin kembali merapikan kamar Oik. Lelaki itu kini tengah merapikan meja belajar Oik yang dipenuhi buku-buku dalam keadaan berantakan.
            “Kamu ngobrol apalagi sama Pricilla, Vin?” tanya Oik penasaran.
            Alvin menghentikan aktivitasnya. “Tadi Pricilla langsung telepon Mamanya...”
            “Iya. Terus?” tanya Oik gemas. Pasalnya Alvin tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Instingnya mengatakan Alvin akan mengatakan sesuatu yang akan membuatnya sakit hati lagi.
            “Beliau bilang pertunangan Gabriel dan Pricilla akan dilaksanakan secepatnya. Mungkin bulan depan.” Alvin membalikkan badannya, melihat reaksi Oik.
            Oik telah selesai melahap nasi padangnya. Ia kemudian membuang bungkus makanannya pada tong sampah dan kembali duduk diatas ranjang. “Aku udah coba merelakan Gabriel buat Pricilla tapi itu bukan berarti aku sanggup datang ke acara pertunangan mereka.”
            Alvin tersenyum tipis. Dalam sekejap Alvin sudah berada dalam pelukannya. Alvin mengelus puncak kepala gadis itu dengan sayang. “Kamu kuat, Ik. Kamu bener-bener kuat. Dan kamu memang harus kuat.”
            “Rasanya lega, Vin. Aku memang belum merelakan mereka sepenuhnya tapi, paling nggak, aku udah merelakan keputusan Gabriel untuk putus. Itu pun rasanya udah lega banget. Seperti ada beban yang diangkat.”
            Alvin melepaskan pelukannya, membiarkan Oik kembali bernapas setelah sebelumnya –ia yakin– gadis itu sulit bernapas karena dekapan eratnya. “You’re fine, aren’t you?”
            “Aku baik-baik aja,” ujar Oik seraya tersenyum ragu-ragu. “No. I’m not fine at all.”
            Alvin sudah berancang-ancang akan kembali memeluknya jika saja Oik tidak menahannya. “Stop, Vin. Berhenti peluk aku. Aku susah napas!” serunya lalu terkekeh pelan.
            Alvin ikut tertawa karena Oik sudah bisa tertawa kembali. Lelaki itu kembali mengusap puncak kepala Oik. Dan Oik, senang sekali diperlakukan begitu oleh Alvin. Entah mengapa, Oik senang jika ada yang mau mengelus puncak kepalanya. Itu seperti mengalirkan energy tersendiri padanya.
            “Vin,” panggil Oik, suaranya mulai terdengar serius. “Jangan salahkan Pricilla seperti tadi, ya. Aku nggak mau para sahabatku jadi musuhan cuma gara-gara aku.”
            Alvin mengangguk mantap. “Aku janji aku nggak akan menyalahkan Pricilla seperti tadi. Kamu bisa pegang janjiku, Oik.”
            Oik bergerak-gerak gelisah di tempatnya. Ia sudah memikirkan hal ini dari tadi pagi tapi ia tak punya cukup keberanian untuk menanyakannya langsung pada Alvin. Ia takut hal ini benar adanya.
            “Kenapa, Ik? Mau ngomong sesuatu?” tanya Alvin. Oik menggeram, Alvin terlampau mengenal dirinya.
            “Aku mau tanya sesuatu..” Oik melirik Alvin takut-takut. Melihat Alvin yang mengangkat sebelah alisnya –mempersilahkannya untuk melanjutkan perkataan–, Oik pun kembali berujar. “Kenapa reaksi kami sebegitu marahnya begitu tahu Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?”
            Alvin terdiam di tempat. Tak menyangka pertanyaan macam itu terlontar dari bibir mungil Oik. Alvin segera mengalihkan pandangannya dari Oik. “Aku...”
            “Selama ini kamu anggep aku apa, Vin? Cuma sahabat, kan? Nggak lebih, kan? Ataupun kalau lebih, kamu anggap aku sebagai adik kamu. Iya, kan?” cecar Oik. Rupanya gadis itu telah menemukan keberaniannya untuk mengemukakan hal yang berkecamuk dihatinya.
            “Aku...” Alvin tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengatakannya pada Oik.
            “Kamu nggak menyimpan rasa buat aku, kan?” tanya Oik. Kali ini tepat menohok ulu hati Alvin.
            “Aku anggap kamu adik,” ujar Alvin dalam satu helaan napas. Rasa nyeri langsung menyergap hatinya.
            “Untung aja perkiraanku sejak tadi pagi salah.” Oik tersenyum senang dan segera menghambur dalam pelukan Alvin. “Aku nggak ngebayangin gimana jadinya kalau kamu nyimpen rasa buat aku, Vin.”
            “Iya.” Alvin mengangguk dengan berat hati. “Lagipula, kita berdua beda. Sama seperti kamu dan Gabriel. Nggak akan pernah jadi satu.”
            “Iya!” Oik mengangguk dengan bersemangat. “Pasti reaksi Oma kamu sama seperti reaksi kedua orangtua Gabriel jika tahu kita berpacaran. Sama sekali nggak lucu.” Oik tertawa geli.
            Alvin benci perbedaan. Alvin benci ada sekat pembeda yang menghampar abstrak tetapi tak tertembus antara dia dan Oik. Alvin benci perbedaan karena hal itulah yang memaksanya untuk berbohong pada Oik. Alvin benci perbedaan karena perbedaan itu membuat Alvin mengingkari perasaannya sendiri selama ini. Sungguh, Alvin ingin menghapus perbedaannya dengan Oik jika ia bisa.
            “Iya, aku cuman nganggap kamu sebagai adik. Nggak lebih.” Alvin bergumam seraya memeluk Oik. Ia menujukan gumaman tersebut lebih kepada dirinya sendiri, bukan kepada Oik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [07]

            Pagi itu, Oik sudah siap dengan blouse biru muda dan celana jeansnya. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam shoulder bag berwarna senada, Oik melangkah keluar dari apartemennya. Ray dan Gabriel sudah menunggu di apartemen mereka.
            Setelah memastikan ruang apartemennya terkunci, Oik bergegas menuju apartemen Ray dan Gabriel. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ray muncul dengan kemeja kotak-kotaknya. Lelaki berambut cepak itu pun segera memanggil Gabriel. Ketiganya melangkah menuju basement dengan beriringan.
            “Lo mau jenguk siapa, Ik?” tanya Ray dengan alis bertaut bingung. Semalam Oik sudah mengiriminya sebuah pesan singkat berisi alamat tujuan mereka saat ini.
            “Saudara, Ray. Lo kaget?” tanya Oik balik.
            Ray menggeleng seraya mengangkat bahunya. “Nggak juga. Gue pernah kesana sebelumnya. Lo harus tahu, Ik.. Salah satu dokter disana ada yang cantik banget!” seru Ray dengan semangat.
            “Serius lo?” Oik tertawa. Matanya melirik Gabriel yang berjalan di sebelah kanannya –sementara Ray di sebelah kirinya–. “Lo kok, diem aja?”
            Gabriel terkesiap. Ia menatap Oik dari ekor matanya dan segera menunduk, menghalangi bertatap mata langsung dengan gadis itu. “Nggak. Nggak apa-apa. Cuman... ngantuk aja.”
            Ketiganya telah sampai di samping mobil Oik. Oik segera mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan melemparkannya pada Ray. “Lo aja yang nyetir. Gabriel masih ngantuk.”
            Setelah melihat Ray mengangguk dan membuka kunci mobilnya, Oik segera masuk ke dalam mobil. Ia duduk di bangku belakang, membiarkan Gabriel untuk duduk di depan menemani Ray. Tak lama kemudian, Ray sudah mengendarai mobil Oik menuju sebuah tempat. Gabriel bergerak-gerak gelisah di tempatnya.

**

            Alvin baru saja kembali dari dapur untuk membuat kopi ketika ia melihat ponselnya yang tergeletak diatas sofa ruang tengah bergetar. Ia segera meletakkan secangkir kopinya diatas meja dan beralih pada ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk.

     From: Honeyy
     Maaf, vin. Aq gk bs skrg.
     Mnddk dimintain tlg bwt gntiin dkter yg jaga pg.
     Gnti ntar mlm aj ya? :-)

            Alvin menghela napasnya, kecewa. Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin dan gadis itu membatalkannya begitu saja. Dengan perasaan yang berangsur memburuk, Alvin membalas pesan singkat tersebut.

     To: Honeyy
     Ok. Nnti mlm km lsg ke tmpt jnjian qt aj ya.
     Aq tkt oik tw kl km ke apartmnku dl.

            Alvin melirik sebuah kotak beludru yang tergeletak diatas meja–di samping kopinya. Ia mengambilnya lalu membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni menyilaukan mata Alvin. Namanya terukir dalam cincin tersebut.
            Alvin menatap tangan kirinya. Sebuah cincin tersemat dijari manisnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan cincin dalam kotak beludru tersebut. Hanya satu perbedaannya. Dalam cincin yang dipakai Alvin, nama yang terukir adalah... nama gadis itu. Alvin tersenyum menatapnya.

**

            Cakka terlambat bangun pagi ini. Ini semua gara-gara Bundanya yang tak kunjung pulang dari Solo bersama Ayahnya. Cakka berjalan menuju kamar Agni sambil merapikan kemejanya. Dasi tak berbentuk tergantung dilehernya.
            “Mbak Agni!” panggil Cakka. Tangannya bergerak membuka pintu kamar Agni.
            Cakka terdiam diambang pintu kamar Agni. Kakaknya itu berdiri mematung di hadapan meja yang berisikan berbingkai-bingkai foto. Fokus matanya tertuju pada satu bingkai. Bingkai foto dengan sosok dua orang bocah kecil yang masing-masing menggenggam sebuah lollipop dan tersenyum pada kamera.
            Cakka berjalan pelan menghampiri Agni. “Mbak..” Cakka menepuk bahu Agni dari belakang.
            Agni terkesiap kaget. Ia menengok ke belakang dan memijit keningnya begitu mengetahui Cakkalah tersangka utama yang membuatnya terkesiap. “Apa, Kka?” tanyanya dengan nada lelah.
            “Dasi..” lirih Cakka. Ia melirik dasi yang tergantung sembarangan dilehernya.
            Agni tersenyum tipis dan maju selangkah, tangannya mulai merapikan dasi Cakka. Membentuk simpul-simpul –yang menurut Cakka– rumit. Beginilah keseharian Cakka bila tak ada Bundanya. Ia belum bisa memasang dasinya sendiri.
            “Kangen Mas Debo, Mbak?” tanya Cakka. Matanya menatap tajam mata Agni yang seperti menghindarinya.
            Agni menggeleng kecil. “Sudah sarapan?”
            “Mbak, nggak perlu mengalihkan topik pembicaraan.” Cakka mulai menatap Agni lembut. Kedua tangannya ia letakkan dibahu Agni. “Mbak Agni, kangen Mas Debo?”
            “Iya,” jawab Agni singkat. “Selalu.”
            Cakka menghembuskan napasnya berat. “Mbak Agni masih nggak bisa terima kematian Mas Debo? Udah hampir dua puluh tahun, Mbak.”
            “Debo nggak mati, Kka.” Agni mengangkat wajahnya dari dasi Cakka. Ia menatap Cakka tajam. Nada bicaranya mendadak dingin begitu Cakka menyinggung soal kematian Debo enam belas tahun silam.
            “Terima kenyataan, Mbak! Mbak Agni nggak bisa hidup dalam masa lalu terus. Hidup ada untuk dijalani, Mbak.” Cakka benci melihat kakaknya rapuh. Cakka benci melihat Agni yang seolah ikut mati jika seseorang membicarakan kematian Debo.
            “Mbak masih dendam... dengan gadis kecil itu?” tanya Cakka ragu.
            “Itu sudah jelas. Lo nggak perlu tanya lagi.” Agni telah selesai memasangkan dasi Cakka. Gadis itu berbalik, memunggungi Cakka. Ia tak ingin Cakka meneruskan pembicaraan mengenai hal ini.
            Cakka kembali menghela napas. “Gue ngantor, Mbak,” pamitnya.

**

            Plang besar bertuliskan RS Khusus Jiwa Dharma Graha menyambut kedatangan Oik, Ray, dan Gabriel pagi itu. begitu memasuki area parkir mobil dan mendapatkan tempat kosong, Ray langsung memarkirkan mobil Oik disana. Setelah itu, ketiganya turun dari mobil.
            “Saudara lo namanya siapa, Ik?” tanya Gabriel dengan suara tercekat.
            Oik bergumam tidak jelas kemudian berlari-lari kecil, meninggalkan Ray dan Gabriel di belakangnya. Gadis itu tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang suster di belakang meja resepsionis. Gabriel memandang Ray dengan tatapan yang sulit diartikan.
            “Gab...?” tanya Ray bingung. “Maksud lo... yang ini?”
            Gabriel mengangguk lesu. “Iya.”
            Tak lama kemudian, Oik kembali menghampiri keduanya bersama dengan seorang suster. “Ayo! Kita bakal dianter suster ini ke ruang rawat saudara gue.” Oik menarik-narik lengan Ray dan Gabriel agar cepat-cepat mengekor suster tersebut yang sudah memasukki lorong-lorong rumah sakit.
            “Saudara lo? Kakak? Adik? Sepupu?” tanya Ray penasaran.
            “Adik gue sih, sebenernya. Namanya Raissa Safanah Arif. Gue biasa panggil dia Acha.” Oik mulai bercerita sambil berjalan mengikuti suster tersebut.
            Ray mengangguk mengerti. Ia kembali melirik Gabriel yang hanya menatap lurus ke depan–kearah suster tersebut. “Kenapa dia bisa masuk sini?”
            Oik tersenyum miris. “Gara-gara pacarnya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Gue sama Acha juga ada disana waktu itu. Kami berdua juga kecelakaan bareng pacarnya Acha. Tapi keadaan pacarnya Acha waktu itu parah banget. Dia meninggal di tempat.”
            Tiba-tiba suster tersebut berhenti di depan sebuah ruang rawat yang pintunya tertutup. Ada sebuah papan kecil bertuliskan nama pasien yang tergantung dipintu. Nama Acha terukir disana, beserta penjelasan keadaannya secara singkat.
            Suster itu perlahan membuka pintu kamar Acha dan melongokkan kepalanya, melihat keadaan di dalam. Lalu ia kembali menatap Oik beserta Ray dan Gabriel. “Tunggu sebentar, ya. Nona Raissa masih diperiksa dokter. Nanti setelah sarapan, kalian boleh jenguk. Takutnya Nona Raissa mengamuk lagi seperti tadi malam.”
            “Acha ngamuk?” tanya Gabriel dengan napas tertahan.
            “Iya.” Suster di hadapannya mengangguk. “Tadi malam ada suster baru disini. Waktu suster itu mengantarkan Nona Raissa untuk tidur, suster itu lantas juga mengambil boneka beruang yang selalu ia peluk.”
            Oik mengangguk mengerti. “Jadi kita tunggu di lobby aja?”
            “Iya. Mari, saya antar ke lobby lagi.”
            Ketiganya kembali melangkah menuju lobby, beserta sang suster. Baru saja ketiganya berjalan beberapa langkah, terdengar suara pintu dibuka kemudian ditutup dan disusul suara lembut seseorang. “Sus!”
            Sang suster menengok ke belakang dan mendapati dokter yang tadi memeriksa Acha. “Kalian bertiga ke lobby saja duluan. Tahu jalannya, kan?” Setelah mendapat anggukan dari Ray, suster itu berbalik badan untuk menemui sang dokter.
            Sementara Oik, Ray, dan Gabriel kembali ke lobby, suster tersebut berbincang dengan dokter muda itu. “Siapkan sarapan untuk pasien Raissa, ya. Saya periksa pasien yang lainnya dulu.”
            Oik berhenti melangkah. Ia menengok ke belakang, penasaran seperti apa wajah dokter yang senantiasa memeriksa adiknya. Tapi yang didapatinya ketika ia telah menengok ke belakang hanyalah siluet seorang dokter wanita yang tengah memasukki ruang rawat lainnya.

**

            “Bagaimana keadaannya?”
            “Baik. Sudah nggak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian itu. Sudah nggak pernah bertanya-tanya juga.”
            “Bagus. Tetap jaga dia. Jangan sampai orang itu kembali masuk kedalam kehidupannya. Saya nggak mau itu terjadi.”
            “Kenapa?”
            “Saya nggak mau dia menderita lagi. Seperti dulu. Orang itu nggak baik.”
            “Tapi menurut penglihatan saya, dia baik-baik saja.”
            “Turuti ucapan saya!”
            “Baik.”
            “Satu lagi. Jangan ceritakan apapun dulu padanya.”
            “Itu pasti.”

**

            Udara Bandung sore itu terbilang sejuk. Seorang gadis yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar, tengah meniup-niup soap bubbles di pekarangan rumahnya yang luas. Deru suara kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalanan depan rumahnya sama sekali tak ia hiraukan.
            “Lala! Lala!”
            Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkannya. Gadis kecil itu segera meletakkan botol beserta peniup soap bubblesnya disebuah meja di teras rumahnya dan berjalan menghampiri sumber suara, seorang lelaki beserta gadis kecil lainnya yang berdiri di belakang pagar rumahnya.
            “Aga? Cila? Kalian lulus juga, kan?” tanya Lala sembari membuka pagar rumahnya.
            Lelaki kecil di hadapannya mengangguk dengan bersemangat. “Iya! Kita berdua juga lulus. Kamu mau lanjut sekolah dimana, La?”
            “Aga!” Gadis kecil di samping lelaki itu mulai merajuk. “Aga nggak boleh panggil dia Lala lagi! Lala itu aku, Ga. Nggak boleh ada Lala lainnya.”
            “Tapi kamu nama kamu kan, Cila... bukan Lala.” Lala –yang merasa namanya disebut-sebut– ikut angkat suara. Ia menatap Cila sebal. “Lala itu aku!”
            Kedua gadis kecil itu mulai berdebat –lebih tepatnya, bertengkar– hanya karena masalah sepele. Aga mulai kebingungan memisah kedua gadis itu. Dengan paksa, ditariknya lengan Cila menjauh dari Lala.
            “Cil, kita pulang aja, yuk?! Aku nggak suka kamu bertengkar cuman karena nama aja,” Aga menatap Cila sebal kemudian beralih pada Lala. “La, kami pulang dulu. Dadah!”
            Setelah kembali menutup pagarnya, Lala mendengar kedua orangtuanya memanggilnya. Dengan berlari, gadis itu masuk ke dalam rumah. Seluruh barang-barang sudah masuk kedalam kardus. Kedua orangtuanya juga sudah siap.
            “Kita berangkat sekarang, Ma, Pa?” tanya gadis kecil itu dengan raut wajah sedih. “Aku mau disini aja. Nggak mau pindah. Lala udah punya banyak teman disini.”
            “Papa nggak nyaman tinggal disini. Kita pindah ke rumah yang lebih besar, dekat kebun teh. Mau, ya?” bujuk Papanya. Akhirnya gadis itu hanya dapat mengangguk pasrah.

**

            Sudah lima belas menit terduduk bosan di sofa lobby tetapi sang suster tak kunjung memperbolehkan mereka menjenguk Acha. Sudah tak terhitung Oik menguap berapa kali selama menunggu di lobby. Kebosanan dan kantuk menyergapnya.
            Ketika Oik telah mendongakkan kepalanya, ia melihat siluet seorang gadis yang mengenakan jas putih bersih tengah berdiri membelakanginya–bercakap-cakap dengan seorang suster. Oik merasa mengenali siluet tubuh tersebut.
            “Sus, saya keluar sebentar, ya. Nanti sebelum makan siang saya pasti kembali lagi. Pasien Raissa juga sudah selesai sarapan. Ada yang mau jenguk dia, kan?” celoteh gadis itu.
            “Iya, Dok. Tadi ada tiga kerabatnya mau menjenguk.”
            “Ya udah, saya pamit dulu.”
            Gadis itu berbalik, hendak keluar menuju area parkir. Sekelebat, Oik dapat melihat wajahnya. Wajah itu sangat dikenalnya. Oik mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Ray dan Gabriel menarik lengannya untuk mengikuti suster tersebut menuju ruang rawat Acha.
            Nggak mungkin. Itu... gadis yang biasa gue lihat sama Alvin, kan? Jadi.. Dia dokter? Dan dia kerja disini? Dan dia sebut-sebut nama Acha? Itu berarti... dia dokter yang merawat Acha.
            Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Ini pasti salah. Tidak mungkin gadis yang biasa ia lihat di sekitar Alvin itu adalah dokter. Terlebih lagi, dokter yang merawat Acha. Dunia memang selebar daun kelor.
            “Kenapa, Ik?” bisik Gabriel. Ia menangkap gelagat aneh Oik semenjak beberapa menit yang lalu.
            Oik menggelengkan kepalanya. “Sus?” panggilnya pada suster yang berjalan di depannya.
            “Ya?” Suster tersebut menengok kepada Oik dengan alis terangkat sebelah.
            “Itu tadi dokter yang ngerawat Acha?” tanya Oik ragu-ragu.
            “Iya. Dia dokter muda tapi sudah dipercaya para senior untuk merawat Nona Raissa. Dia dokter muda kesayangan para senior.” Suster tersebut tersenyum dan kembali menghadap depan.
            Oik merasakan dunianya mendadak runtuh.

**

     From: Honeyy
     Vin, aq otw ya.
     Ini sdh bs keluar RS. Tp sbntr aj.
     Sblm jm mkn siang aq sdh hrs kmbli.

     To: Honeyy
     Ok. Km ke apartmnku aj. Kbtln oik gak ada.
     Dy ke rmh skt, jnguk acha. Km smpt ktmu dy?

**

            Gadis berwajah riang itu baru saja turun dari mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartemen Alvin. Ia pun bergegas memasuki bangunan apartemen megah di hadapannya. Setelah tersenyum pada seorang satpam paruh baya yang berjaga dipintu masuk, gadis itu segera berlari menuju lift.
            Tak sampai lima menit, ia telah sampai di depan pintu ruang apartemen Alvin. Akhirnya ia bisa leluasa berada dalam apartemen lelaki bermata sipit itu karena Oik sedang tidak ada. Ia patut menghela napas lega karena itu.
            Secarik kertas yang menempel pada pintu ruang apartemen Alvin menyambutnya. Tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas yang hanya tertempel seadanya dengan selotip tersebut. Ia tersenyum. Itu tulisan tangan Alvin.

     Masuk aja. Pintu nggak dikunci :-)

            Gadis itu mendorong pintu di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berada dalam ruang apartemen Alvin. Keadaan di dalam benar-benar gelap. Tak ada penerangan dari apapun. Begitu pintu ditutup, semakin gelaplah ruangan itu.
            “Vin?” panggil gadis itu. Tak ada sahutan.
            Gadis itu melangkah. Tiba-tiba saja kakinya mengantuk sesuatu. Ia berjongkok, mengambil barang yang telah mengantuk kakinya. Sebuah senter kecil dan –lagi-lagi– secarik kertas. Ia menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya pada secarik kertas itu.

     Jalan terus, ke kamarku ya.
     Jangan lupa arahkan terus senternya ke dinding di sebelah kanan kamu ;-)

            Gadis itu tersenyum. Jadi ini yang dimaksud Alvin dengan kejutan?
            Menuruti kata-kata Alvin dalam secarik kertas barusan, ia menyorotkan cahaya senter yang digenggamnya pada dinding di sebelah kanannya. Hal pertama yang ia lihat adalah foto. Fotonya bersama Alvin. Ia menyorotkan senternya pada sepanjang dinding menuju kamar Alvin. Ada dua puluh tiga foto yang tertempel disana. Masing-masing dengan tagline yang berbeda pada pojok bawah kiri foto.
            Seluruhnya adalah fotonya bersama Alvin. Mulai dari perayaan anniversary satu bulan hubungan mereka, hingga bulan ke-dua puluh tiga. Tak terasa, sudah dua puluh tiga bulan ia menjalin hubungan bersama Alvin–tanpa sepengetahuan Oik.
            Akhirnya ia pun tiba di depan pintu kamar Alvin. Ada secarik kertas yang tertempel didaun pintu tersebut. Gadis itu kembali menyorotkan cahaya senternya pada tulisan tangan Alvin yang tertera disana.

     Matikan aja senternya ;-)

            Gadis itu kembali menurut. Ia mematikan senternya. Setelah itu, ia membuka pintu kamar Alvin perlahan-lahan. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya didepa dada. Merasa tersanjung dengan perlakuan Alvin padanya.
            Kamar Alvin telah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang tadinya hanya berisi bantal, guling, dan selimut kini telah penuh dengan kelopak bunga mawar merah. Jalan menuju ranjang Alvin pun telah dilengkapi dengan lilin.
            Gadis itu menundukkan kepalanya. Ada barisan lilin di kanan dan kirinya yang membimbingnya menuju ranjang Alvin. Dengan wajah merona bahagia, ia mengikuti cahaya lilin tersebut dan duduk diatas ranjang Alvin.
            “Alvin?” panggilnya lagi.
            Tiba-tiba saja terdengar derap langkah pelan seseorang. Siluet tubuh seorang lelaki kini berada di hadapan gadis itu. Dengan bantuan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil itu, gadis itu dapat mengenali bahwa lelaki di hadapannya kini adalah Alvin.
            Siluet lelaki di hadapannya itu tengah membawa sebuket bunga mawar pada tangan kanannya dan sesuatu –entah apa– ditangan kirinya.
            “Happy two years anniversary, Sayang..” ujar Alvin seraya menyerahkan buket bunga mawar tersebut pada gadis berwajah ceria itu.
            Lalu, tiba-tiba saja, Alvin berjongkok. Ia memindahkan sesuatu yang ternyata sebuah kotak beludru itu ketangan kanannya. Perlahan, ia membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian itu kini telah berada dalam tangan Alvin.

            “Would you marry me, Sivia?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [06]

            Sore hari yang cerah. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua tengah duduk disebuah bangku dekat tempat bermain anak-anak. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya dengan badge kelas 4 SD.
            Ia menengok ke samping. Adiknya –yang hanya berbeda satu tahun dengannya– rupanya tengah bermain perosotan dengan teman-temannya. Ia mendengus kesal karena tak diajak bermain bersama dengan adiknya.
            “Halo!”
            Gadis itu menengok cepat ke samping dan menemukan seorang lelaki kecil seumuran dengannya telah duduk manis. Gigi ompong lelaki itu membuat sang gadis kecil terkekeh pelan. Tiba-tiba saja rasa kesal kepada adiknya hilang entah kemana.
            “Kamu dari mana aja, sih?” tanya gadis kecil itu dengan sedikit merajuk. “Aku nggak punya temen, tau!”
            “Tadi Mama bilang nggak boleh kesini dulu. Disuruh nunggu sebentar. Mama lagi bikin ini,” Lelaki kecil itu menyodorkan sebuah kotak makan pada gadis di sampingnya. “Mama bikin buat kamu.”
            Gadis kecil itu meliriknya sekilas dan tanpa basa-basi membuka kotak makan yang telah berada dalam genggamannya. “Sandwich isi tuna?!” pekiknya gembira.
            “Iya.” Lelaki kecil di sampingnya mengangguk.
            Dengan lahap, disantapnya sandwich-sandwich tersebut. “Kamu mau main perosotan juga?” tanya gadis kecil itu dengan mulut penuh makanan.
            Lelaki itu menggeleng lesu. “Nggak, deh. Kayaknya habis ini hujan.”
            Sang gadis kecil mendongak menatap langit. Gumpalan awan kelabu menggantung diatas sana. “Oh, iya! Lagi mendung, ya!” serunya dengan suara cempreng khas anak kecil.
            “Gimana kalau kita pulang aja? Nanti kita kehujanan, lho!” Wajah sang lelaki kecil mendadak panik membayangkan ia aka terserang flu berhari-hari hanya karena kehujanan. Seperti beberapa minggu yang lalu.
            “Tapi adikku gimana? Dia masih main perosotan sama temen-temennya,” gadis kecil itu mengedik pada sekumpulan anak kecil lainnya yang tengah mengantri bermain perosotan.
            “Udah, biarin aja. Biarin mereka nanti pilek soalnya kehujanan!” sungut sang lelaki kecil.
            “Yang udah, deh,” Sang gadis kecil hanya mengangguk pasrah.
            Keduanya pun bangkit berdiri lalu menyusuri jalanan taman dalam diam. Sang gadis kecil menyantap sandwich isi tunanya sambil berjalan. Tangan kirinya menggenggam erat sebuah kotak makan dan tangan kanannya menggenggam sandwich isi tuna yang sudah tinggal setengah bagian.
            Begitu sampai di pinggir jalan, keduanya diam sejenak. Melihat gadis kecil berambut pendek yang tengah gelisah di seberang jalan sana, keduanya saling pandang bingung. Gadis di seberang jalan berancang-ancang untuk menyebrang.
            “Hey! Kamu kenapa?” tanya sang lelaki kecil.
            Gadis kecil di seberang jalan menatap sang lelaki kecil dengan sedih. “Kalungku hilang. Mungkin jatuh.” Suaranya bergetar, seperti ingin menangis.
            “Jatuh dimana?” tanya sang gadis kecil yang baru saja menelan bulat-bulat sandwich isi tuna yang belum sempat ia kunyah.
            “Nggak tahu,” gadis kecil berambut pendek itu merajuk, seperti ingin menangis. Ia kembali menengok ke kanan dan ke kiri, mengambil ancang-ancang untuk menyebrang.
            “Eh! Kamu mau nyebrang?” tanya sang lelaki kecil. Begitu gadis di seberang sana mengangguk, ia tersenyum senang dan beralih pada gadis kecil di sampingnya. “Aku mau bantu dia nyebrang dulu, ya! Kamu tunggu sini aja!”
            Gadis kecil di sampingnya menggenggam kuat-kuat kotak makan. “Hati-hati ketabrak motor atau mobil, ya!”
            Lalu lelaki kecil itu tersenyum mantap dan berlari ke tengah jalan raya. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, menyuruh segala macam kendaraan untuk berhenti sejenak. Begitu melihat sudah tak ada lagi kendaraan yang akan melintas, ia menengok pada gadis kecil berambut pendek dan memberikan kode agar segera menyebrang.
            Dengan takut-takut, gadis kecil berambut pendek itu menyebrang jalan. Begitu ia telah sampai di seberang, ia melambaikan tangan pada sang lelaki kecil. Lelaki kecil itu berlari kencang menuju kearah dua gadis kecil.
            “Debo awaaaaaassss!!!!!” pekik sang gadis kecil yang tengah menggenggam sebuah kotak makanan.
            BRAK!

**

            Cakka dan Shilla baru saja tiba di pelataran Oicagraph. Keduanya segera turun dari mobil dan masuk ke dalam galeri. Ada Alvin, Oik, Rio, dan Ify yang tengah berkumpul di meja Ify. Aroma mie kuah langsung menyergap hidung mereka.
            Suara derap langkah keduanya menarik perhatian Ify. “Hay!” sapanya.
            Cakka dan Shilla mengangguk sopan dan segera menghampiri keempatnya. Rupanya Alvin dan Oik tengah makan semangkuk berdua. Hal itu membuat Cakka menautkan alisnya, mengingat apa yang terjadi semalam di apartemen Oik.
            “Kita duduk mana, nih?” tanya Shilla dengan tersenyum kikuk. Pasalnya, dua bangku yang biasanya diperuntukkan pada tamu di depan meja Ify kini tengah didudukki Alvin dan Oik.
            “Oh, iya. Bentar, Shil. Gue sama Alvin pindah aja.” Oik segera meletakkan sendok yang digenggamnya diatas mangkuk dan hendak berdiri jika saja suara Rio tidak menahannya.
            “Nggak usah! Lo duduk aja, Ik. Pamali makan sambil berdiri. Biar gue ambilin kursi di belakang.”
            Beberapa detik setelahnya, Rio datang dengan membawa dua buah kursi plastik yang ia ambil dari dapur Oicagraph. Ia meletakkannya di samping meja Ify. Cakka dan Shilla mengangguk berterima kasih dan segera duduk.
            “Makan dulu, Kka, Shill,” seru Alvin. Ia mengangkat mangkuknya sedikit, menawarkan pada Cakka dan Shilla. “Mau? Biar gue suruh office boy bikin.”
            “Nggak usah. Makasih.” Tolak Shilla halus. Ia harus mengontrol asupan makanannya jika ingin suara indahnya tetap terkontrol. Ia hanya makan makanan rumahan yang dimasak oleh Mama atau pembantunya saja, atau –sekali-kali– makanan resto mahal.
            Cakka tertarik untuk bertanya makanan apa yang sedang Alvin dan Oik santap ketika melihat keduanya sangat menikmati makanan tersebut. “Makan apa, Vin, Ik?”
            “Mie kuah,” jawab Oik singkat.
            Cakka kembali mendapatkan sentakan keras dalam hatinya. Pikirannya kembali berkecamuk. Satu lagi fakta yang yang mengganggu pikirannya. Apalagi ini?
            Mie kuah? Lala sama sekali nggak suka mie instant, apalagi mie kuah.

**

RADAR BANDUNG ––– 28 September 2008
REM BLONG, YAARIS MASUK JURANG

Satu Penumpang Tewas, Empat Luka

     BANDUNG – Kecelakaan maut terjadi di Ciburial, Kabupaten Bandung, kemarin (27/9). Sebuah Toyota Yaaris bernomor polisi B 5413 AI yang berisi empat penumpang dan satu sopir masuk ke dalam jurang sedalam 20 meter karena remnya blong. Akibat kecelakaan itu, satu penumpang meninggal di lokasi.
     Korban tewas adalah Nur Wachid Hidayat, 18. Sementara itu, empat penumpang mobil lainnya selamat. Yakni, Dadang Iskandar (sopir) beserta ketiga penumpang lainnya yang belum diketahui identitasnya. Semua adalah warga Bandung.
     Radar Bandung (Jawa Pos Group) melaporkan, kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.00. Udin, salah seorang saksi, mengungkapkan, kecelakaan bermula saat Yaaris melaju dari arah utara. Sesampai di jalan berkelok turun, kecepatan mobil tidak menurun. Tak ayal, mobil pun jatuh ke jurang karena oleng.
     Camat setempat menyatakan, pihaknya prihatin atas kecelakaan tersebut. Apalagi, itu bukan yang pertama. “Sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan di jalan berkelok ini sejak 2005.” ujarnya.

**

            Alvin dan Oik tengah berjalan menuju lobby apartemen ketika senja menjelang. Mereka baru saja selesai membantu Rio dalam proses editting foto pukul lima tadi. Dengan lesu, keduanya jalan beriringan menuju lift.
            “Mau makan malam di luar atau aku masakin?” tanya Oik sambil melirik Alvin.
            Alvin merangkul pinggang Oik dan tersenyum tipis. “Kamu aja yang masak. Udah lama kamu nggak masak buat aku.”
            “Oke,” Oik mengedikkan bahunya cuek. “Kamu mau makan apa? Biar aku ke minimarket dulu.”
            Keduanya berhenti di depan lift. Alvin melepaskan rangkulannya dan memencet tombol panah ke atas. Ia menatap anga empat di atas pintu lift. Menyadari lift masih berada di lantai empat, Alvin kembali menghadap Oik.
            “Terserah kamu aja,” ujarnya sambil memencet pelan ujung hidup Oik.
            Oik tersenyum malu-malu dan menyingkirkan telunjuk Alvin yang masih bertengger di telunjuknya. “Nasi goreng jamur aja, ya? Aku lagi malas masak yang macem-macem.”
            Alvin mengangguk.
            Kemudian pintu lift terbuka. Alvin mengusap puncak kepala Oik sejenak dan mencium sekilas kening gadis itu dan masuk ke dalam lift. Oik masih terbengong-bengong di tempatnya dengan wajah bersemu merah.
            “Alvin! Jahil banget?!” seru Oik dengan suara tertahan, membuat Alvin terkekeh.
            Pintu lift mulai tertutup. Oik seakan teringat sesuatu. Ia segera menyelipkan tangan kirinya pada ruang sisa pintu lift, mencegah agar pintu lift tak tertutup sekarang. Sedangkan tangan kanannya membongkar isi tas, mencari-cari sesuatu.
            “Ngapain, Ik?” tanya Alvin bingung.
            Oik bergumam tak jelas. Lalu, ia menyodorkan kartu apartemennya pada Alvin. “Kamu langsung ke apartemenku aja. Buatkan aku coklat hangat, ya.”
            Alvin mengangguk mengerti dan menerima kartu apartemen Oik. Pintu lift pun tertutup. Alvin seorang diri berada dalam lift. Ia menimang-nimang kartu apartemen Oik sambil bersiul. Begitu lift tiba di lantai apartemennya dan Oik, Alvin melangkah keluar.
            Lelaki bermata sipit itu melangkah menyusuri koridor apartemen. Pada persimpangan jalan, Alvin berbelok kanan. Ia berhenti pada pintu apartemen keempat di sebelah kiri–apartemen Oik. Setelah menempelkan kartu apartemen Oik pada sensor pintu, ia masuk ke dalam.
            Alvin segera menuju pantry. Ia menemukan sebuah teko untuk memanaskan air tergeletak diatas kompor. Ia segera mengambilnya dan berjalan menuju dispenser. Setelah mengisinya hingga penuh, Alvin kembali meletakkannya diatas kompor dan menyalakan kompr tersebut.
            Tiba-tiba saja ponsel dalam saku celananya bergetar. Alvin berdecak kesal begitu melihat notifikasi bahwa baterai ponselnya telah habis. Dengan menggerutu, ia berjalan ke kamar Oik. Dinyalakannya lampu tidur pada night stand dan ia duduk dibibir ranjang Oik.
            Alvin membuka laci night stand dan mencari-cari charger ponsel Oik, meminjamnya. Begitu menemukan benda yang dicari, Alvin segera mengambilnya. Ketika ia hendak mematikan lampu tidur Oik, matanya terantuk pada sebuah wristband berwarna biru yang tergeletak diatas night stand. Tangan Alvin terulur untuk mengambilnya.
            Setelah mematikan night stand, Alvin segera keluar dari kamar Oik. Begitu ia akan melangkahkan kaki menuju dapur, terdengar ketukan pintu. Alvin memutar tubuhnya dan membukakan pintu. Ia mendapati Oik yang tengah membawa sebuah tas plastik kecil telah menatapnya.
            “Hay,” sapanya.
            “Kayak nggak ketemu berhari-hari aja, Vin,” ejek Oik. Gadis itu lalu melangkah menuju pantry, Alvin mengekor di belakangnya.
            “Aku pinjem charger kamu, Ik,” kata Alvin begitu keduanya telah sampai di pantry. Alvin duduk dimeja counter, menunjukkan charger yang tadi telah diambilnya pada Oik yang tengah mengeluarkan isi tas plastik tersebut.
            “Ya,” Oik menjawab singkat seraya mengangguk.
            Alvin lalu bangkit dan men-charge baterai ponselnya di ruang tengah apartemen Oik. Setelah itu, ia kembali ke pantry dan menemukan Oik yang tengah memanaskan wajan penggorengan.
            Alvin bergerak ke samping Oik. Lelaki itu mematikan kompor dan membawa membawa teko panas itu ke meja counter. Ia telah menyiapkan dua cangkir berisikan bubuk coklat sebelumnya. Dengan berjingkat karena takut terkena tetesan air panas, Alvin menuangkannya pada kedua cangkir itu.
            Sepuluh menit kemudian, Alvin dan Oik telah duduk berhadapan dimeja counter. Dua piring nasi goreng jamur dan dua cangkir coklat hangat telah menunggu untuk disantap. Alvin dan Oik berdoa terlebih dahulu baru menyantap makan malam mereka.
            “Vin, besok bisa temani aku?” tanya Oik sambil mengunyah nasi goreng jamurnya.
            “Kemana?” tanya Alvin balik.
            “Jenguk dia,” lirih Oik. “Apa aku naik taxi aja, ya?”
            Alvin meletakkan sendok dan garpunya. Ia menatap Oik dingin. “Nggak. Nggak boleh. Kamu nggak boleh pergi jauh-jauh tanpa aku. Aku nggak mau kejadian lima tahun lalu terulang lagi.”
            “Alvin,” Oik merajuk dengan wajah sedihnya. “Ayolah..”
            “Besok lusa aja, Ik. Kamu tahu sendiri aku besok ada pemotretan buat year book SMA Karitas.” Alvin kembali menyantap nasi goreng buatan Oik.
            “Aku maunya besok, Vin. Aku udah kangen dia.” Oik tetap bersikeras.
            “Rio mungkin besok nggak ada jadwal editting foto. Biar aku telepon dia.” Alvin bangkit, hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio.
            “Nggak usah,” Oik juga ikut bangkit. Ia kembali mendudukkan Alvin dikursinya. “Aku nggak mau ganggu dia dan Ify. Biar aku tanya ke tetangga sebelah aja. Siapa tahu besok mereka free.” Oik mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan keluar apartemen, menuju apartemen si lima sekawan.
            Baru saja Oik mengetuk pintu apartemen sang lima sekawan, sudah terdengar teriakan untuk menunggu sebentar dari dalam. Oik terkikik geli mendengar suara cempreng Ray yang tak ubahnya anak kecil.
            “Hay!” sapa Ray begitu ia melihat Oik tengah berdiri di depannya. “Masuk, masuk..” ajaknya. Ia mundur selangkah dan mempersilahkan Oik masuk. Begitu Oik masuk, ia langsung menutup kembali pintu apartemennya.
            “Halo, Oik!” sapa empat lelaki lainnya yang tengah menonton DVD di ruang tengah.
            Oik melambaikan tangan pada mereka dan duduk diatas sofa, di antara Gabriel dan Deva. “Lagi nonton apa?” tanyanya.
            “The Bay, Ik,” jawab Ozy sambil melahap popcorn-nya.
            “Mau minta tolong apa, Ik?” tanya Patton tanpa mengalihkan pandangannya dari TV plasma yang sedang menayangkan film keluaran terbaru tersebut.
            “Tahu aja lo kalau gue mau minta tolong,” ujar Oik seraya tertawa malu.
            “Karena kita berlima udah sehati sama lo,” sambung Deva lalu nyengir lebar.
            “Besok ada yang free ga?” tanya Oik langsung. Ia menatap Ray, Deva, Ozy, Patton dan Gabriel bergantian. Begitu matanya bertemu dengan mata Gabriel, Oik menelan ludah entah karena apa.
            “Wah, gue besok ada kuliah, Ik. Sorry, sorry..” Patton melirik Oik sekilas sambil tersenyum meminta maaf. Besok ia harus menjalani UAS di kampusnya.
            “Gue UAS besok, Ik,” lanjut Deva. “Mungkin lo bisa minta tolong Gabriel, Ozy, atau Ray. Kayaknya tiga orang itu besok free.”
            “Besok gue kerja. Cadangan cuti gue udah habis buat tahun ini.” Ozy tersenyum memaksa. Ia menggaruk tengkuknya begitu ingat bahwa cadangan cutinya telah habis.
            “Besok gue sama Gabriel free kok, Ik.” Ujar Ray yang baru saja kembali dari pantry. Ia menyerahkan tiga bungkus popcorn pada Ozy. “Mau minta tolong apa memangnya?”
            “Bisa anter gue ke Serpong?”
            Tiba-tiba saja Gabriel yang tengah mengunyah popcorn terbatuk-batuk. Ia melirik Oik dengan pandangan yang sulit diartikan lalu segera meneguk colanya. “Serpong? Untuk apa?”
            “Jenguk... saudara,” lirih gadis itu. “Pakai mobil gue. Salah satu dari kalian yang nyetir. Bisa? Alvin nggak ngebolehin gue keluar jauh-jauh sendirian dan besok dia ada jadwal motret.” Oik menatap Ray dan Gabriel dengan wajah memelas.
            “Oke, deh!” Ray menyanggupi sambil mengangguk mantap. “Besok berangkat jam berapa, Oik?”

**

            “Selamat malam. RS Khusus Jiwa Dharma Graha. Ada yang bisa dibantu?”
            “Halo, Sayang.”
            “Kamu? Astaga! Untung bukan suster atau dokter lain yang angkat!”
            “Karena aku tahu kalau pasti kamu yang bakal angkat teleponnya.”
            “Untuk apa malam-malam begini telepon?”
            “Aku kangen, Sayang. Besok ada jadwal praktek?”
            “Besok aku dinas siang. Mau ketemu?”
            “Boleh. Jam tujuh pagi ya, Sayang?”
            “Oke. Di tempat biasa, kan?”
            “Iya. Dandan yang cantik, ya. Aku ada kejutan buat kamu.”
            “Apa? Tiket untuk pergi ke Paris berdua?”
            “Aku serius, Sayang.”
            “Oke, oke.. Eh, Sayang, udahan dulu, ya. Ada pasien yang ngamuk, nih.”
            “Oke. Ketemu besok, ya.”


**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS