Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 29)

“Kenapa sih? Kok pada ngeliatin gue sama Alvin sampek segitunya?” Tanya Sivia polos. Teman-temannya hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum sangat lebar.

“Selalu, ya.. Emang dasar ga jelas!” desis Alvin, tampak ia langsung tersenyum miring.

“Udah! Nunggu apa lo berdua, hah? Cepetan duduk! Ga enak dilihat tetangga. Ntar dikiranya gue, lagi, yang ga nyuruh kalian berdua duduk..” ujar Deva, matanya menatap Alvin dan Sivia bergantian.

Dan.. Alvin dan Sivia mengangguk berbarengan! Keduanya pun langsung duduk. Berbarengan pula! Tunggu! Ada apa ini? Semesta-kah yang merencanakannya? Merencanakan sedemikian rupa agar hari ini Alvin dan Sivia tampak seritme dalam melakukan apapun itu?

Acha, Cakka, Dea, Deva, Oik, Ozy, dan Ray tergagap heran menyadari serentet ‘kebetulan’ yang Alvin dan Sivia lakukan. Untung saja Ozy menyadarkan keenam temannya dari keheranan mereka.

“Besok hari pertama UNAS! Bahasa Indonesia.. Doa dulu, yuk, biar besok kita dikasih kelancaran..” ajaknya, kedelapan temannya mengangguk.

Mereka semua berpindah formasi. Dari yang tadinya mereka duduk di atas sofa, kini mereka duduk bersila di atas selembar karpet impor dari Italia milik Deva. Kesembilannya saling menautkan tangan satu sama lain dan menundukkan kepala dalam-dalam.

“Ya Allah, berikan kami kelancaran dalam mengerjakan soal-soal UNAS untuk empat hari kedepan, ya Allah. Mudahkanlah kami melewatinya. Berikanlah kami hasil yang terbaik nantinya. Amin..”

Ozy mengakhiri sesi doa pendek yang ia pimpin. Kesembilannya pun sudah kembali mengangkat masing-masing dengan senyum mengambang di bibirnya. Buku-buku tebal dan berbagai latihan soal ber-subjek Bahasa Indonesia telah menanti kesembilannya untuk dikerjakan dan didiskusikan bersama pagi ini.

“Kerjain aja dulu masing-masing. Sebisanya. Ngerjainnya satu latihan soal aja. Sama semua, kan?” tanya Acha, yang lainnya mengangguk, “Oke.. Setelah selesai ngerjain, baru kita bahas bareng-bareng”

Suasana mendadak senyap. Kesembilannya telah sibuk dengan soal latihan di tangan masing-masing. Ada yang mengerjakan dengan tetep duduk di atas karpet, ada yang mengerjakan sambil rebahan di atas sofa, dan ada pula yang mengerjakan di teras rumah Deva. Kesembilannya tengah berkonsentrasi penuh mengerjakannya.

^^^

Rio terus mengemudikan mobilnya menuju daerah Jakarta Pusat. Kebetulan, gerai yang khusus menjual hadiah langganannya berada di sana. Biasanya ia selalu membelikan Oik sebuah hadiah, apapun itu, di sini. Kali ini lain. Hadiah ini, rencananya, bukan untuk Oik..

Ia putar musik kencang-kencang. Ia lantunkan lagu-lagu yang terputar itu keras-keras pula. Rupanya hatinya sedang berbunga-bunga. Seulas senyum terus terukir di bibirnya.

“Gila! Gue ga nyangka banget bakalan bias ngomong kayak tadi ke Dea. Sumpah, ini kayak mimpi! Bahkan, sebenernya gue ga pernah berani mimpi kalau gue bakalan bisa ngomong kayak tadi ke Dea!”

Perkataan panjang-lebar Rio tadi sudah cukup menjelaskan mengapa seulas senyum manis it uterus terukir di bibirnya, bukan? Bahkan, sudah dua puluh menit berlalu semenjak kejadian antara dirinya dan Dea tadi. Tapi senyum itu belum hilang. Oh! Atau bahkan, tak akan pernah hilang?

Gerai hadiah khas untuk gadis-gadis muda telah berada di kiri jalan. Rio segera membelokkan mobilnya ke sana. Ia pun mematikan mesin mobilnya dan berjalan santai memasukki gerai dengan warna pink yang mendominasi itu.

“Selamat datang..” sapa seorang pramusaji gerai tersebut, Rio tersenyum membalasnya.

Rio kembali berjalan menuju rak-rak pemajang boneka beruang. Karena setaunya, Dea sangat menyukai boneka berbentuk beruang. Tak menunggu lama, Rio segera mengambil sebuah boneka beruang yang berkuran relatif besar dan membawanya menuju kasir. Ia menyerahkan boneka beruang besar tadi kepada penjaga kasir dengan seulas senyum.

“Mbak, sekalian dibungkus yang rapi, ya.. Pakai kotak warna pink aja. Ada?” tanya Rio.

“Ada.. Sebentar, biar saya bungkuskan dulu”

Penjaga kasir tadi segera mengambil sebuah kotak dengan ornamen unik berwarna merah muda, seperti yang Rio minta, dan memasukkan boneka beruang tadi ke dalamnya. Selesai. Rapi. Ia berikan kotak berisi boneka itu kepada Rio.

“Totalnya 78.500” ujar sang penjaga kasir.

Rio mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menyerahkan selembar uang berwarna merah, “Kembalinya ambil aja..” kata Rio, sebelum dirinya kembali keluar dan masuk ke dalam mobilnya dengan menenteng kotak tersebut.

^^^

Shilla sedang bersiap-siap dengan segala pernak-pernik ‘rencananya’ ketika Nova mengetuk pintu kamar gadis semampai tersebut. Shilla mengedik sebentar ke arah pintu kamarnya dan kmbali berbenah.

“Masuk aje.. Kagak dikunci!” teriaknya lantang.

Nova pun langsung masuk dan duduk di atas ranjang Shilla. Shilla membelakanginya. Gadis semampai itu sedang mengoleskan berbagai macam ‘pernak-pernik’ serupa kosmetik agar kantung matanya terlebih lebih legam.

“Jadi, nih, kak?” tanya Nova dengan nada suara malas.

Shilla meliriknya dari cermin di hadapannya, “Jadi, dong! Gila aja kalau ga jadi! Gue udah ‘dandan’ begini! Gih, cepetan lo nagis! Bikin seolah-olah suara lo parau ntar..” pekik Shilla tak kenal volume.

Nova memutar bola matanya malas.. “Gampang itu, mah. Terus, kalau ntar temen-temen lo pada curiga gara-gara lo kagak koit, gimana? Kan, mereka taunya lo bakalan koit beberapa hari setelah UNAS..”

Shilla tampak mengamati lagi wajah ‘pucatnya’ dan tersenyum sinis. Ia segera memutar kursi riasnya agar dapat berhadapan langsung dengan Nova, “Bisa diatur..” jawabnya, santai.

“Caranya? Lo mau ngeles gimana emang, kak?” tanya Nova sekali lagi.

“Apa aja.. Bilang kalau gue udah berobat di luar negeri, kek. Pengobatan alternatif, kek. Apa, kek! Banyak cara, Nov!” jawab Shilla kemudian, senyum sinis terus terukir di bibirnya.

Nova hanya mendesah dalam hati. Kini ia telah menyadari bagaimana kakaknya ‘sebenarnya’. ’Topengnya’ telah tersingkap dan tampaklah Shilla yang sebenarnya. Kenapa, juga, gue dulu mau ngebantuin rencana busuk Kak Shilla?!

Shilla membalikkan badannya sekilas dan mengoreksi kembali ‘dandanannya’. Sempurna. Ia kembali berbalik menghadap Nova dan menyerahkan ponselnya. Nova diam tak bereaksi.

“Ambil, nih, HP gue. Telpon Cakka!” perintahnya.

Tangan kanan Nova terulur dan mengambil ponsel Shilla dari pemiliknya. Ia nampak ragu-ragu, “Sekarang, nih?” tanyanya memastikan.

Shilla mengangguk lugas, “Masa mau tahun depan?!” sergahnya cepat, “Eh, gimana? Udah kelihatan ‘pucet’, kan, gue?” tanya Shilla.

Nova mengangguk jengah, “Pucet banget! Kayak orang hampir mampus!” desisnya tajam. Bermaksud menyindir Shilla.

Tapi sayangnya, Shilla salah mengartikan desisan Nova tadi. Shilla malah menganggap bahwa desisan Nova tadi adalah pujian atas keterampilan dirinya memuas wajah agar terlihat sangat pucat. Dilihatnya Nova yang sudah mulai berkutat dengan ponselnya.

^^^

45 menit berlalu semenjak mereka bersembilan mulai mengerjakan soal latihan ber-subjek Bahasa Indonesia tersebut. Kesembilannya telah selesai. Ray, yang selesai mengerjakan paling akhir, segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan menguap.

“Gimana? Udah selesai, kan? Dibahas sekarang aja, gimana?” tanya Dea, melirik kedelapan temannya satu-persatu. Semuanya kontan mengangguk.

Baru saja Dea membuka mulutnya untuk membahas soal pertama, terdengar ringtone dari salah satu ponsel. Cakka segera mengambil ponselnya dan berkerut heran ketika membaca siapa penelponnya.

“Kenapa, Cakk?” tanya Oik heran.

Cakka mengedik pada gadis manis tersebut dan menggelengkan kepalanya, “Shilla telpon..”

“Angkat, Cakk! Loudspeaker!” perintah Sivia.

Refleks, Cakka segera mengangkat panggilan tersebut dan me-loudspeaker-nya. Alhasil, kedelapan temannya juga dapat mendengar pembicaraan tersebut. Kesembilannya segera merapat agar dapat lebih jelas mendengarkannya.

“.....Halo? Kak Cakka?.....”

Kesembilannya tercenung kaget mendengar suara tersebut. Bukan suara Shilla! Melainkan, suara Nova! Kesembilannya beradupandang sejenak..

“.....Halo? Nova? Ngapain lo nelpon gue pakai nomernya Shilla?.....” tanya Cakka langsung.

“.....Kak Shilla pingsan, Kak Cakka! Di rumah lagi ga ada orang! Gue bingung! Ini Kak Shilla gimana? Kak Cakka cepetan ke sini, dong! Please, kak.....”

Suara Nova di seberang sana terdengar kalut. Cakka melotot kaget. Jantungnya berdebar kencang ketika mendengar bahwa Shilla sedang pingsan dengan kedua orang tuanya tak ada di samping gadis semampai tersebut.

“.....Lo jangan ke mana-mana! Jaga Shilla! Gue sekarang ke sana!.....”

Cakka segera memutuskan sambungannya dengan Nova. Cepat-cepat ia mengambil kunci motornya dan bergegas bangkit dari duduknya. Oik, yang menyaksikan langsung betapa sebenarnya Cakka masih peduli dengan Shilla, hanya tersenyum miris.

Alvin mencekal lengan Cakka dengan kencang, “Mau ke mana lo, hah?!” tanyanya dengan nada tinggi.

Cakka melepaskan cekalan Alvin dari lengannya dengan kasar, “Ke rumah Shilla! Lo ga tau dia lagi pingsan, hah?! Dia sekarat, Vin! Gue mau ke sana! Orang tuanya lagi ga di rumah!”

Alvin mendengus keras dan tersenyum sinis, “Lo mau ke rumah Shilla? Ninggalin Oik di sini? Ngelupain Oik gitu aja? Tau bakalan begini jadinya, gue ga bakalan ngelepas Oik demi lo!” serunya sengit.

Oik menahan bahu Alvin dari samping kanan laki-laki oriental itu. Ia kembali tersenyum miris, tepat ketika Alvin dan Cakka memandangnya, “Gue ga kenapa-napa, kok..” lirihnya.

“Sorry, Ik, Vin. Bukan gitu maksud gue. Bukan maksud gue mau ngelupain Oik. Tapi ini kejadiannya beda! Shilla sakit! Kanker rahim! Dan kalian tau, kan, umurnya tinggal beberapa hari lagi?!” seru Cakka, terus meninggi hingga di akhir kalimatnya.

Sivia, yang sebenarnya dari tadi telah menahan amarahnya, segera berdiri dan menarik kerah baju Cakka. Ia naikkan dagunya dengan mata berkilat-kilat, “Pergi sana lo! Pergi ke rumah Shilla! Tinggalin Oik di sini! Jangan ganggu dia lagi!” maki Sivia.

Cakka menunduk lesu. Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Sivia kini tengah tersenyum sinis, “Masih kurang? Itu belum seberapa, ya, sama seberapa sakitnya Oik! Pergi lo sana!” hardik Sivia kencang.

Acha, Dea, Deva, Ozy, dan Ray hanya mampu menatap kemarahan Alvin dan Sivia yang meluap-luap tanpa melakukan apapun. Sivia terus mendorong tubuh Cakka agar keluar dari rumah Deva. Sivia juga terus mendorong Cakka agar Cakka segera melesat menuju rumah Shilla dengan motornya.

“Jangan harap kita bakalan respect lagi sama lo kalau lo ga minta maaf sama Oik!” tegas Sivia.

Cakka menatap Oik dari celah pintu kediaman Deva yang terbuka dengan mata sayu. Entah kenapa, ia ingin sekali menolong Shilla. Sudut hatinya yang telah lama beku karena ulah Shilla yang menjengkelkan, kali ini hidup lagi. Cakka segera meng-gas motornya menjauhi kediaman Deva. Sivia menatapnya dengan menggelengkan kepala heran. Ia pun kembali masuk ke kediaman Deva dan duduk di samping kiri Oik.

“Sabar, Ik..” hibur Sivia, ia mengusap pelan bahu Oik yang agak tergoncang.

Acha dan Dea pun segera menghampiri Oik dan Sivia. Keempatnya berpelukan hangat. Sivia, Acha, dan Dea berlomba-lomba menghapus bulir-bulir yang terjatuh dari mata Oik, yang seolah tak ada habisnya, itu.

Alvin, Ray, Deva, dan Ozy berdiri bersendekap sambil menatap keempat gadis itu. Rahang keempatnya mengatup rapat melihat rapuhnya Oik kini. Keempatnya sama tak mengertinya dengan alur pikiran Cakka yang sangat labil itu.

“Ik, kita berempat susul Cakka dan bawa dia balik ke sini aja, ya?” tawar Deva dengan halus.

Oik menggelengkan kepalanya, “Ga usah. Itu udah maunya Cakka buat nolongin Shilla. Biarin aja. Gue bakalan tetep di sini, kok. Ada atau ga ada Cakka” jawab Oik sarkatis.

Sivia, Acha, dan Dea makin nelangsa saja mendengar jawaban Oik. Jelasnya, ketujuhnya menyimpan dendam kesumat kepada Cakka, dan tentu saja, Shilla. Tega sekali Cakka mencampakkan Oik hanya demi nenek lampir itu?

“Lo yang sabar, ya, Ik. Kalau emang Cakka itu sayang sama lo, dia bakalan balik lagi, kok..” hibur Acha, ia setengah mati menahan tangisnya.

“Tenang aja, Ik. Ga selamanya, kok, si Shilla ngegangguin hubungan lo sama Cakka..” tambah Dea, matanya sudah berkaca-kaca saat ini.

“Di mana-mana, parasit itu awalnya emang menang, Ik. Tapi nantinya, mereka yang bakalan ancur lebur..” tambah Sivia, ia sudah menangis bersama Oik.

“Kita tetep dukung lo, kok, Ik. Apapun keputusan lo..” ujar Ray, bijak.

“Kita bakalan tetep ada buat lo, Ik. Serapuh dan sehancur apapun lo nantinya..” ujar Ozy tulus.

Oik kembali menangis mendengarnya. Ia terharu. Ia tak menyangka bahwa ketujuh orang tersebut sangat tulus kepadanya. Bahkan ia sangsi, apakah Cakka setulus mereka bertujuh ini kepadanya? Ia tak yakin. Bagaimana ia bisa yakin kalau Cakka-nya sendiri berubah-ubah pikiran seperti tadi?

Oik merentangkan tangannya lebar-lebar. Menyambut pelukan Alvin, Deva, Ozy, dan Ray. Kedelapannya berpelukan penuh haru. Melupakan Cakka dan Shilla, yang entah sedang apa di luar sana.

Inilah persahabatan. Lebih indah dari cinta. Dan akan selalu saling menerima satu sama lain apa adanya. Tak melihat dari fisik, harta, maupun kepintaran. Hanya satu yang mereka lihat. Ketulusan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar