Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Classmate (Part 21)

Cakka dan Shilla serta Oik, Rio, dan Dea sudah keluar dari restaurant tersebut. Seperti kesepakatan awal, Oik, Rio, dan Dea akan dijemput kedua orang tua Rio dan Oik. Sedangkan Cakka dan Shilla, pulang menggunakan motor Cakka.

Cakka bergegas menyalan mesin motornya dan Shilla pun naik ke boncengan motor Cakka. Mereka berdua melesat mengeluari area parkir restaurant tersebut dan menuju kediaman Shilla yang terbilang dekat dengan restaurant itu.

Tak sampai lima belas menit, keduanya telah sampai di kediaman Shilla. Shilla segera turun dari boncengan motor Cakka dan mengembalikan helm Cakka, “Cakk, gue masuk dulu, ya” pamitnya.

Cakka tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Sekilas, ia tak menyadari wajah Shilla yang sudah pucat pasi. Shilla berbalik badan dan segera masuk ke rumahnya. Setelah memastikan Shilla telah masuk ke rumahnya, Cakka kembali menyalakan mesin motornya dan pulang ke rumah.

^^^

Nova, yang melihat Shilla baru saja masuk ke dalam rumah dengan wajah pucat, segera mematikan televisi yang sebelumnya ia tonton. Ia bangkit dari sofa dan membuntuti kakaknya itu hingga ke kamar tidur.

Nova mengintip Shilla dari sedikit celah di pintunya. Terlihat Shilla yang segera meletakkan segala barang-barangnya dan berjingkat naik ke tempat tidur. Setelahnya, bisa dipastikan bahwa Shilla telah terlelap tidur.

Pelan-pelan, Nova memasukki kamar Shilla. Ia pandang wajah kakaknya itu, “Kak Shilla pucat banget” gumamnya panik.

Ia pun menurunkan sedikit suhu AC di kamar Shilla menggunakan remote. Setelahnya, ia kembali keluar dari kamar Shilla dan bergegas menuju kamarnya. Di meja belajarnya, tergeletak sebuah ponsel. Ia ambil ponsel tersebut dan membuka phone book. Sepertinya ia akan menelpon seseorang.

“Gue harus ngasih tau Kak Cakka soal ini” gumamnya.

Nova pun menempelkan ponselnya di telinga kanannya. Terdengar nada tunggu beberapa kali. Nova dibuat kesal olehnya. Berulang kali ia mondar-mandir di sisi tempat tidurnya. Sampai akhirnya, telponnya diangkat oleh Cakka!

“.....Halo? Kak Cakka, kan? Ini gue, Nova.....”

“.....Bisa gue ngomong sama lo? Soal Kak Shilla!.....”

“.....Oke, besok bisa? Di taman kota, jam enam pagi.....”

“.....Please, kak! Ini penting banget. Nyangkut hidup-matinya Kak Shilla.....”

“.....Sip. tapi, please, lo jangan bilang Kak Shilla soal ini.....”

“.....Ya pokoknya Kak Shilla ga boleh tau soal ini.....”

“.....Gue tunggu lo besok pagi. Nite!.....”

Nova segera mematikan sambungan telponnya dengan Cakka. Ia pun segera ke kamar mandi sebentar untuk sekedar cuci muka. Dan kemudian, ia kembali ke tempat tidurnya dan membaringkan tubuhnya. Ia pun terlelap.

^^^

Jam menunjukkan pukul lima pagi. Oik, Rio, dan Dea sudah standby di teras kediamannya dengan pakaian santai. Ketiganya terlihat bercanda dengan akrabnya. Papa dan Mama Rio serta Oik mengintip dari celah-celah gorden ruang tamu seraya mengulum senyum tipis.

“Eh, Ik, lo ajak Alvin aja sekalian. Biar makin rame!” Dea mengusulkan idenya dengan tersenyum lebar kepada Oik dan Rio.

Rio mengangguk saja menanggapi usulan Dea, “Nih, pake punya gue aja. Telpon Alvin, gih” Rio menyodorkan ponselnya kepada Oik. Oik menerimanya dengan ragu-ragu, “Udah, cepet telpon!” suruh Rio untuk yang kedua kalinya.

Oik akhirnya mengangguk mantap. Ia segera membuka phonebook di ponsel Rio dan mencari kontak Alvin. Tak seberapa lama kemudian, ia sudah tersambung dengan ponsel Alvin. Alvin mengangkat panggilannya dengan suara parau, mungkin baru saja bangun tidur.

“.....Aku bukan Kak Rio! Aku Oik, kali, Vin!.....”

“.....Hehe, Kak Rio sendiri yang nyuruh aku nelpon kamu make HP-nya dia.....”

“.....Kamu ga sibuk, kan? Ga ada acara, kan? Udah bangun, kan?.....”

“.....Ke rumahku, yuk! Kita jogging bareng sama Kak Rio sama Dea.....”

“.....Ke taman kota. Mau, ya?.....”

“.....Oke, aku tunggu di rumahku, ya! Jangan lama-lama!.....”

Oik pun memutuskan panggilannya dengan Alvin dan mengembalikan ponsel yang ia gunakan kepada Rio, “Gimana, Ik? Alvin mau, kan?” tanya Rio seraya mengambil kembali ponselnya dari tangan Oik.

Oik menganggukkan kepalanya dengan semangat, “Mau kok. Abis ini juga bakalan nyampek sini, kok. Kita jogging ke taman kota, kan?” tanya Oik. Rio dan Dea mengangguk, “Bagus, deh. Gue tadi bilangnya kayak gitu ke Alvin”

Tak sampai lima belas menit menunggu, Alvin sudah datang dengan sepeda anginnya. Ia segera masuk ke dalam rumah Oik dan memarkirkan sepeda anginnya di garasi rumah Oik, “Hey! Oik! Kak Rio! Dan.. Dea? Kok ada lo di sini?” Alvin terbeliak kaget mendapati Dea sudah ada di rumah Oik sepagi ini.

“Mulai sekarang, Dea juga sahabat aku!” Oik menjawab pertanyaan Alvin sambil merangkul pundak Dea dari samping.

Alvin menganggukkan kepalanya pertanda mengerti. Tapi tetap saja ia bingung mengapa Dea ada di sini. Seingatnya, Dea adalah sepupu Agni, “Tapi kok Dea bisa di sini? Bukannya dia sepupunya Agni?” tanya Alvin lagi.

Dea berpura-pura cemberut menanggapi pertanyaan Alvin, “Emang kenapa kalau gue sepupunya Agni? Jangan ngecap gue jelek juga, dong, gara-gara kelakuan sepupu gue itu” ujarnya dengan sedikit kesal.

“Alvin, mah! Dea, kan, baik!” seru Oik, membela Dea. Ia memukul pelan lengan Alvin. Alvin tertawa geli dibuatnya.

“Ya, kan, Dea itu anaknya rekan bisnis bokap gue. Terus juga, bokap sama nyokapnya Dea lagi di Perancis. Makanya, Dea tinggal di sini. Ya paling ga, sampek bokap sama nyokapnya balik lagi ke Indonesia” jelas Rio dengan senyum tipisnya.

Alvin mengangkat sebelah alisnya bingung, “Kak, kok lo yang jawab? Kan, gue tanya ke Dea sama Oik” ujar Alvin dengan polosnya. Sontak, Rio dan Dea menundukkan kepalanya dengan malu-malu.

“Udah, yuk, langsung aja berangkat. Malah ngendon di sini!” Oik pun mengobrak-abrik Rio, Dea, dan Alvin untuk segera jogging menuju taman kota.

Keempatnya pun berangkat menuju taman kota. Di tengah-tengah acara jogging mereka, Oik melihat seorang penjual kembang gula, “Vin, Vin! Beliin kembang gula, dong!” pinta Oik kepada Alvin.

Alvin menganggukkan kepalanya dan segera membelikan sebuah kembang gula untuk Oik. Sesudahnya, mereka kembali jogging bersama menuju taman kota yang memang ramai jika hari Minggu begini.

^^^

Nova baru saja berganti pakaian. Ia segera keluar dari kamarnya. Di ruang keluarga, ia bertemu dengan Shilla yang sedang menonton berita pgi dan memakan snack. Shilla mengedik pada adik perempuannya itu untuk beberapa detik.

“Mau ke mana, Nov?” tanya Shilla, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar televisi.

Nova pun menoleh sekilas padanya. Didapatinya kakaknya itu sudah tak sepucat kemarin. Ia pun tersenyum tipis, “Mau ke taman kota. Jogging, sama temen-temen. Kenapa, kak?” jawab Nova sedikit berbohong.

Kali ini Shilla memusatkan penuh perhatiannya pada Nova yang berdiri di ambang antara ruang keluarga dan ruang tamu, “Gue boleh ikut ga?” tanya Shilla dengan semangat.

Nova menggelengkan kepalanya cemas, “Ga! Nanti kondisi lo drop, kak!” tolak Nova tegas.

Shilla bangkit dari duduknya dan berdiri menghampiri Nova dengan wajah merah menahan marah, “Gue ga suka lo bilang kayak gitu! Gue itu sehat! Jangan lagi-lagi lo bilang kayak gitu! Sekali lo bilang kayak gitu di depan wajah gue, ga gue anggep lo sebagai adik gue!” seru Shilla dengan amarah tertahan.

Setelah insiden kecil tersebut, Shilla melenggang ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Nova sampai teronjak kaget dibuatnya. Nova pun beranjak mematikan televisi yang belum sempat Shilla matikan tadi.

Nova kembali mengedik ke pintu kamar Shilla dan tersenyum pahit, “Gue ga mau aja, kak, kalau lo pergi secepet perkiraan dokter itu” lirihnya dengan air mata yang sudah menggantung di pelupuknya.

Tak mau seih berlama-lama, Nova pun beranjak dan keluar dari rumahnya. Rumahnya terbilang cukup dekat dengan taman kota. Jadi, cukup ia berjalan lima menit saja untuk sampai di sana. Di perjalanan, ia kembali ingat dengan Shilla. Ia menghembuskan napas dengan berat.

^^^

Cakka baru saja sampai di taman kota. Ia pun segera mencari tempat duduk yang kosong. Ia segera duduk di sebuah bangku yang terbuat dari semen dan berbentuk batang pohon. Di depannya, ada sebuah meja. Juga ada lima bangku lain yang mengelilingi meja tersebut.

Ia melurukan kakinya, melepaskan kepenatannya setelah berjogging ria dari rumahnya ke taman kota ini. Tepat ketika ia mendongakkan kepalanya, ia melihat segerombolan anak muda sedang bercanda sambil celingukan mencari bangku yang kosong.

“Hey! Alvin! Oik! Kak Rio! Dea! Sini! Kosong, kok!” Cakka berteriak ke segerombolan anak muda tadi sambil menunjuk lima bangku yang kosong di dekatnya.

Mereka semua pun segera duduk di empat diantara lima bangku yang kosong tadi. Keempatnya masih sibuk mengatur napas. Maklumlah, di tengah perjalanan tadi, mereka berempat sempat mengadakan lomba lari kecil-kecilan.

“Eh, kok lo bisa di sini, Cakk?” tanya Dea setelah ia berhasil menormalkan kembali napasnya.

Cakka mengerling padanya sekilas, “Gue ada janji sama Nova. Tau, deh. Katanya, sih, dia mau ngomong sama gue. Penasaran aja. Makanya gue ke sini. Apalagi, dia juga sempet nyebut soal hidup-matinya Shilla” jelas Cakka.

Rio, Dea, dan Alvin manggut-manggut. Berbeda dengan ketiganya, Oik malah menjadi murung. Mendengar nama Shilla disebut saja dia sudah unmood. Apalagi ketika Cakka seolah sangat perduli dengan keadaan Shilla.

“Nova? Siapa, Cakk?” tanya Dea lagi.

“Adiknya Shilla..” sela Oik cepat.

Dea dan Rio kembali manggut-manggut. Cakka menatap Oik tepat ketika gadis mungil itu menatapnya dengan raut wajah yang sulit diartikan. Tentu saja kejadian tadi luput dari pandangan Rio, Alvin, dan Nova. Hanya Dea yang mengerti soal kejadian tadi.

“Eh, Ik, kembang gulanya dimakan, dong” seru Alvin.

Oik tergagap kaget. Ia pun segera memakan kembang gula pemberian Alvin tadi dengan setengah hati. Percakapan antara Dea dan Cakka tadi sudah cukup menguras persediaan mood-nya untuk hari ini.

Dari kejauhan, terlihat seorang gadis berkulit hitam manis sedang berlari-lari kecil ke kelimanya. Gadis itu pun segera duduk di satu bangku yang telah tersedia. Setelahnya, ia bingung dengan kehadiran empat makhluk yang tak diundangnya.

“Kok? Ada mereka di sini?” tanya gadis itu, Nova, sambil menatap keempat makhluk itu bergantian.

“Biar aja. Gue yang ajak mereka. Kenapa? Ga suka?” sahut Cakka dengan telak, meskipun dengan sedikit kebohongan di dalamnya.

“Oke, sekarang lo jelasin semuanya. Di depan mereka berempat juga” pinta Cakka dengan santainya. Nova terbeliak kaget, “Kenapa? Ga mau? Ya udah, gue bisa pergi” Cakka berancang-ancang berdiri.

“Ga, ga! Ga apa-apa. Oke, mereka boleh denger” Nova mencegah kepergian Cakka. Diam-diam, Cakka tersenyum penuh kemenangan.

“Jadi gini.. Kak Cakk, lo tau, kan, kalau oma gue sama Kak Shilla baru aja meninggal?” tanyanya, Cakka mengangguk lugas, “Lo tau kenapa oma gue meninggal?” tanyanya lagi. Cakka menggelengkan kepalanya, “Oma gue kena kanker Rahim, Kak Cakk” lirih Nova.

“Terus? Apa hubungannya sama gue?” tanya Cakka tak perduli. Diam-diam Dea tersenyum geli.

“Kak Cakk, please lah. Lo ga tau, kan, kalau kemarin gue sekeluarga abis checkup? Ga tau, kan? Dan lo, pasti ga tau gimana hasil checkup gue sekeluarga. Kak Shilla, Kak Cakk! Kak Shilla dapet penyakit turunan itu dari oma gue! Kak Shilla kena kanker rahim!” jelas Nova diiringi isak tangisnya.

Dea mengusap-usap pelan bahu Nova, “Terus? Kakak lo kenapa? Masih baik-baik aja, kan?” tanya Dea dengan lembut. Nova mengangguk, “Terus? Yang mau lo omongin lagi sama Cakka, apaan?” tanya Dea lagi.

Nova mengangkat kepalanya dan menatap Cakka memohon, “Gue cuman mau Kak Cakka ngebahagiain kakak gue disisa umurnya” mohon Nova. Cakka melengos malas.

“Maksud lo? Bjuat jadi apanya Shilla? Sahabat? Kan, kakak lo sama Cakka emang udah sahabatan” sahut Alvin dari tempatnya.

Nova menggeleng cepat, “Gue tau Kak Shilla suka sama Kak Cakka. Kak shilla sayang sama Kak Cakka. Makanya, gue mohon, Kak Cakka ngebahagiain Kak Shilla. Lebih dari sekedari sahabat” jelasnya.

Cakka terperangah kaget. Oik, Alvin, Rio, dan Dea juga, “Emang udah separah apa, sih, kanker rahim yang diderita Shilla?” tanya Oik.

“Stadium akhir” jawab Nova singkat, “Jadi, Kak Cakka mau, kan?” mohon Nova lagi.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Cakka menganggukkan kepalanya. nova tersenyum senang. Berbeda dengan Oik, Rio, dan Dea, “Tapi giue ga janji. Karena jujur, gue ga ada rasa apa-apa sama Shilla. Pure cuman sahabat” Cakka menambahkan.

Nova terlihat agak kecewa. Tapi mau bagaimana lagi? Perasaan seseorang memang tak bisa dipaksakan. Begitupula perasaan Cakka dan.... Oik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar