Bel pulang sekolah sudah berbunyi semenjak sepuluh menit yang lalu. Oik, Sivia, Acha, Dea, Alvin, Cakka, Ozy, Deva, Ray, dan Shilla sudah berada di depan gerbang sekolah. Tiba-tiba saja, sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka bersepuluh.
“Najis! Mobil siape, sih, ini?! Songong amat!” Acha menggerutu sendiri karena ia memang benar-benar kaget akan kedatangan mobil tersebut yang tiba-tiba saja.
Shilla melenggang dan membuka pintu mobil tersebut. Sebelum masuk ke dalam mobil, ia membalikkan badannya kepada kesembilan temannya dan menyempatkan untuk tersenyum dan melambai pada mereka semua.
“Sok iye banget sih lu?! Pulang ya pulang aje!” seru Dea keki, ia memutar bola matanya malas.
Entah Shilla yang memang tak mendengar atau ia hanya pura-pura tak mendengar, ia tetap mempertahankan senyumnya, “Temen-temen, gue pulang dulu! Bye!” pamitnya.
“Temen-temen? PD gila, sih, kalau kita nganggep dia temen?” seloroh Deva sebal.
Dalam sekejap, mobil tersebut sudah menghilang dari hadapan kesembilannya. Sivia sendiri masih sibuk dengan ponselnya. Sekali-kali pula ia melirik jam tangan berwarna oranye yang bertengger indah di pergelangan tangannya.
“Kenapa, Siv?” tanya Acha setelah sekian lama ia keki melihat sahabatnya tersebut bolak-bolak melirik ponsel dan jam tangannya.
Sivia menoleh sekilas padanya, “Hah? Oh, ga kenapa-kenapa, kok. Cuman...” Sivia menggantungkan kalimatnya, ia kembali melirik pada jam tangannya.
“Cuman apa?” sahut Alvin, cukup membuat Sivia kaget dan senang.
“Cuman sopir gue tadi SMS kalau ga bisa jemput gue! Mana ga ada taxi, pula! Hell! Pulang naik apa gue, coba?! Nyokap juga lagi ga enak badan. Ish!” Sivia menjawab pertanyaan Alvin dengan sedikit kesal dan senang, tentunya.
Tin tin! Tin tin! Terdengar suara klakson mobil di dekat mereka. Sontak saja kesembilannya menoleh bersamaan pada mobil tersebut. Muncullah kepala dari jendela di balik kemudi, “Hey! Oik! Dea! Ayo pulang!” seru orang tersebut, heboh.
“Dih! Kak Rio apaan, sih?! lebay banget!” dumel Oik sambil mengentak-hentakkan kakinya.
Karena merasa kedua nama yang ia panggil tadi tak kunjung naik ke mobilnya, pengemudi tersebut pun turun dari mobilnya dan menghampiri mereka bersembilan dengan senyum mengembangnya.
“Ik, De! Lemot amat kalian? Ayo cepetan pulang! Papa sama mama mau ngajak makan siang bareng, tuh!” ujar pengemudi tadi, Rio, seraya menarik-narik lengan Oik dan Dea dengan lebaynya.
Oik menghempaskan tangan kakaknya itu dari lengannya dan menoyor kepalanya, “Lebay lu, kak! Ntaran aja pulangnya, nunggu si Sivia dapet taxi. Kesian, tuh! Dia hari ini ga ada yang jemput!”
“Helo everybody, gue sama Acha duluan, ya! Bye!” Ozy segera menarik lengan Acha menuju parkiran.
Tak lama kemudian, Ozy dan Acha muncul dengan menaikki motor Ozy. Keduanya tersenyum ke arah segerombolan manusia di gerbang sekolah dan melaju meninggalkan sekolah serta Oik, Sivia, Dea, Alvin, Cakka, Ray, Deva, dan Rio.
“Jadi lo pulangnya naik apaan, Siv?” tanya Cakka, “Mau bareng gue?” lanjutnya.
Ih, kok malah Cakka yang nawarin gue pulang bareng?! Ogah, ah! Gue ga bakalan TMT, kali! Ngerti gua kalau Oik masih suka Cakka! Aduh, duh! Alvin! Ajakkin gue pulang bareng, kek! Eh, termasuk TMT ga, ya, gue? Bodo ah! Kan, Oik ga pernah sayang sama Alvin...
Ray mengibas-kibaskan tangan kanannya di depan wajah ayu Sivia, “Woy! Kok malah bengong, sih? Pulang naik apa lo?” tanyanya, persis seperti pertanyaan Cakka sebelumnya.
Deva melipat kedua tangannya di depan dada seraya tersenyum sinis, “Lo berdua lupa, ya, kalau hari ini kita bertiga bakalan main ke rumah gue? Ga pake acara nebengin Sivia!” ujarnya menggebu-gebu.
Cakka dan Ray menepuk jidat masing-masing, “Oh iya!” seru keduanya bersamaan.
Sivia tertawa dalam hati, “Yah, padahal gue pengen nebeng si Cakka. Huh!” Sivia berpura-pura kecewa ketika mendengar perkataan Deva tadi.
“Dasar anak SMP! Ribet amat, sih?! Sivia bareng Alvin aja, kenapa?! Clear, kan?! Cakka, Deva, sama Ray bisa langsung ke rumah Deva. Sivia bisa pulang, nebeng Alvin. Oik sama Dea nebeng gue pulang” usul Rio asal-asalan.
“Nah! Setuju!” seru Oik, Dea, Cakka, Ray, dan Deva berbarengan.
“Oke! Gue, Cakka, sama Deva duluan! Bye!” Ray segera mengajak Cakka dan Deva menuju parkiran untuk mengambil motor dan kemudian, mampir ke rumah Deva.
“Jadi? Gue bareng Alvin, nih?” tanya Sivia ragu-ragu. Yang lainnya mengangguk mantap, “Oke deh. Alvin! Bengong, lagi, lo! Cepet ambil motor lo!” suruh Sivia, Alvin mengangguk.
Alvin pun berlalu mengambil motornya. Cakka, Deva, dan Ray pun sudah tancap gas menuju rumah Deva dengan motor masing-masing. Tak sampai lima menit, Alvin sudah bertengger manis di atas motornya, tepat di samping Sivia yang sedang berdiri.
“Ik, beneran, nih, gue nebeng si Alvin? Ga kenapa-kenapa? Ga jealous lo? Lo ga nganggep gue TMT, kan? Lo ga marah, kan?” tanya Sivia beruntun.
Oik tertawa pelan, “Ga, kok! Lagian kalian berdua cuman pulang bareng, kan? Apa bedanya, sih, kalau gue pulang bareng Deva, Ray, Ozy, Cakka, atau yang lainnya?” seloroh Oik.
Sivia tersenyum tulus pada sahabatnya tersebut. Ia pun segera naik ke boncengan motor Alvin. Keduanya pun segera melaju meninggalkan Oik, Dea, dan Rio yang masih menatap punggung mereka dari kejauhan.
“Udah, yuk! Nunggu apa lagi? Udah laper gua! Noh, si Alvin sama Sivia juga udah kagak keliatan!” seru Rio heboh sambil mengusap-usap perutnya yang lapar.
“Ya udah, ayo!” seru Oik dan Dea.
Ketiganya pun berjalan menuju mobil Rio. Baru saja Dea akan membuka pintu belakang mobil, Oik sudah mencegahnya sambil menguap lebar-lebar, “Etdah, Ik! Kagak ada anggun-anggunnya, sih, lo jadi cewek? Tutup deh tuh mulut kalau lagi nguap!” ujar Dea keki.
Oik nyengir lebar, “De, lo duduk depan aje sama Kak Rio. Gua ngantuk, mau tidur!”
Dengan cepat Oik membuka pintu depan mobil, mendorong Dea agar cepat masuk, menutup pintunya kembali, beralih membuka pintu belakang, masuk ke dalamnya, dan merebahkan tubuh mungilnya di jog mobil.
Diam-diam Oik tersenyum geli ketika menyadari bahwa kakaknya dan Dea masih sama-sama canggung. Ia pun menutup kedua matanya dan tertidur pulas, membiarkan Rio dan Dea bercanggung-canggung ria.
^^^
Shilla baru saja sampai di rumahnya. Ia disambut dengan kedua orang tuanya dan Nova di ruang makan. Ia segera melepas sepatunya dan meletakkannya pada rak sepatu di dekat wastafel ruang makan. Ia segera duduk di sebelah Nova.
“Kok tumben papa jam segini ada di rumah? Biasanya, kan, lagi di kantor!” kata Shilla.
Papanya meliriknya sekilas dan kembali melanjutkan makan siangnya, “Kamu lupa, ya? Hari ini, kan, jadwal kamu check-up” ujar papanya kalem tapi cukup membuat Shilla terbeliak kaget.
“Hah? Check-up apaan, pa?” tanya Shilla lagi, tentunya setelah ia tak terbeliak kaget lagi.
Shilla kembali melanjutkan aktivitasnya. Ia mengambil sebuah piring, sebuah garpu, dan sebuah sendok. Kemudian, ia menyendok beberapa sendok nasi dan mengambil beberapa lauk dan sayuran untuk makan siangnya.
“Nah, kan, Kak Shilla lupa! Hari ini itu Kak Shilla ada jadwal check-up di rumah sakit. Check-up buat mengetahui gimana kanker di rahim kakak. Kali aja stadiumnya bisa turun. Ya meskipun itu ga mungkin, sih. Ga ada salahnya berharap, kan?” terang Nova.
Shilla tersenyum kecut, “Berharap apaan? Toh, kata dokter umur gue ga lama lagi. Mentok juga umur gue tinggal sebulan, kan. Seminggu setelah gue UNAS” lanjutnya.
Mamanya menatap Shilla tak suka, “Ngomong apa kamu, Shilla?! Umur kamu itu masih panjang! Tuhan yang nentuin umur seseorang, bukan dokter! Ayolah, Shilla.. Setelah ini kita check-up, ya?” tawar mamanya.
Shilla hanya mengangguk malas dan kembali melanjutkan makannya. Cukup untuk membuat kedua orang tuanya tenang dengan anggukkannya barusan. Nova pun tersenyum tipis menatap kakak semata wayangnya tersebut.
^^^
“Huah! Panas banget Jakarta siang ini!” seru Ray heboh, ia pun segera melemparkan tubuh mungilnya ke ranjang di kamar Deva.
Ya, baru saja ketiganya sampai di kediaman Deva. Sekarang ketiganya sedang berada di kamar Deva. Baru saja masuk. Deva pun segera menyalakan AC di kamarnya dan menurunkan suhunya. Cakka sendiri, ia melepaskan jaket ungunya dan meletakkannya di sofa kamar Deva begitu saja.
“Dev, haus gue!” ujar Cakka seraya tersenyum lebar, begitupula Ray.
“Iye, iye! Tau gua! Ya udah, kalian tunggu sini dulu. Gua ambilin minuman di dapur” setelah berkata seperti itu, Deva keluar dari kamarnya dan bergegas menuju dapur.
“Eh, Cakk, lo pernah denger Deva pacaran ga?” tanya Ray sambil tersenyum usil.
“Ga.. Iya, ya! Kok gue ga pernah denger Deva pacaran, sih?” gumamnya.
Kriet.. Pintu kamar Deva kembali terbuka. Muncullah seorang laki-laki bermata belo sambil membawa nampan yang berisikan tiga gelas es sirup. Ia segera meletakkannya di atas meja belajarnya.
“Ngomongin apa kalian?” tanya Deva, ia pun membaringkan tubuhnya di sebelah tubuh Ray.
“Eh, ikutan gue!” Cakka pun juga ikut-ikutan membaringkan tubuhnya di kasur Deva.
“Ngomongin elo! Kok kita-kita ga pernah denger lo pacaran, sih?” tanya Ray dengan polosnya.
“Gue juga ga pernah denger lo pacaran!” sungut Deva kepada Ray.
Ray memamerkan cengiran terlebarnya pada Deva, “Biarin! Ga ada yang bisa bikin gue dag-dig-dug, sih! Beda sama Cakka! Ye ga, Cakk?” seru Ray, menyenggol pelan perut Cakka.
Cakka menoleh padanya dengan pipi sedikit memerah, “Maksud lo?”
Ray dan Deva saling pandang dengan senyum jahil, “Itu, tuh! Cewek yang bisa bikin pipi lo berubah jadi merah! Siapa, sih?” tanya Deva sok polos.
“Sok polos lo! Kalian berdua, kan, udah pada tau!” seru Cakka sebal.
“Masa, sih? Masih tetep sama yang dulu? Shilla, ya?” seloroh Ray.
Cakka menatapnya tajam. Seolah-olah ia bisa memakan kedua sahabatnya tersebut saat ini, “Najis lu! Temenan doang gue sama Shilla! Bukan yang itu! Cewek yang bisa bikin kalian ‘ngeroyok’ gue di toilet sekolah waktu itu!” jelasnya.
“Oh, Sivia?” tebak Deva ngawur, cukup membuat Cakka kesal dengan tebakannya.
“Bukan!” bantahnya.
“Terus? Siapa, dong?” tanya Ray lagi, senyum jahil itu masih saja bertengger di bibirnya.
“Oik...” jawab Cakka kalem.
Ray dan Deva kembali saling pandang dan tertawa terbahak-bahak. Cakka jadi heran sendiri dengan tingkah keduanya, “Hoy! Ngapain kalian?” tanyanya keki.
“Ternyata Cakka bisa juga, ya, ngomong sekalem itu. Wah wah, Oik hebat!” Deva berkoar heboh. Akhirnya, ia dan Ray mendapat jitakan mantap dari Cakka, “Cakka asal jitak aja, sih! Gue bilangin Oik, nih!” ancamnya.
Wajah Cakka berubah pucat, “Eh, jangan! Jangan!” cegahnya.
^^^
Shilla, Nova, dan kedua orang tuanya baru saja menginjakkan kaki mereka di lobby Rumah Sakit Pangudi Luhur. Keempatnya segera berjalan menuju tempat check-up khusus pasien kanker. Shilla bergidik ngeri ketika melihat pasien-pasien kanker yang menjalani rawat inap di rumah sakit tersebut.
“Kenapa, Kak Shill?” tanya Nova ketika tangannya tak sengaja diremas oleh Shilla.
Shilla sudah pucat pasi sekarang, “Tuh...” Shilla mengedikkan dahunya pada segerombolan penderita kanker tersebut, “Gue bakalan kayak mereka, ya? Rambut pada rontok gara-gara kemoterapi. Badan juga bakalan lemes. Rawat inap di rumah sakit” ujarnya dengan suara bergetar.
Nova mengusap pelan bahu kakaknya dan kembali berjalan menuju ruang check-up, “Udah, Kak Shill, sekarang Kak Shilla check-up aja dulu. Udah ditunggu dokter di dalem” nasihatnya, Shilla mengangguk malas.
Shilla segera masuk ke ruangan check-up. Sedangkan kedua orang tuanya dan Nova menunggu di liar ruangan. Tetapi, mereka masih bisa melihat serangkaian check-up yang dijalani Shilla dari luar karena ruangan tersebut berdindingkan kaca transparan.
Tak sampai satu jam, Shilla sudah keluar dari ruangan tersebut dan berjalan menghampiri kedua orang tuanya serta Nova dengan wajah lesu, “Ma, pa, Shilla laper. Makan, yuk, di kantin rumah sakit?” ajaknya.
Mamanya menggelengkan kepala tegas, “Ga, Shilla! Mama sudah bawakan kamu roti. Kamu makan ini saja. Takutnya, makanan di rumah sakit tak baik untuk kesehatan kamu” Shilla cemberut mendengar jawaban dari mamanya.
“Permisi.. Orang tua dari Pasien Ashilla?” panggil salah seorang suster.
Kedua orang tua Shilla menoleh, “Saya mamanya, Sus. Ada apa?”
“Dipersilahkan masuk untuk mengetahui hasil check-up” ujar suster tersebut.
Kelimanya pun segera masuk ke dalam ruangan dokter yang menangani Shilla. Untung saja kursi di dalam cukup untuk keempatnya. Mereka berempat disambut dengan senyuman sumringah dari sang dokter.
“Selamat siang, dok” sapa kedua orang tua Shilla.
“Siang.. Orang tua Ashilla?” tanya dokter tersebut, memastikan. Kedua orang tua Shilla mengangguk lugas, “Ini hasil check-up dari Ashilla. Silahkan dibaca” dokter tersebut mengangsurkan sebuah surat yang masih tertutup rapi kepada kedua orang tua Shilla.
Papa Shilla membuka surat hasil check-up tersebut dengan hati-hati. Takut-takut kalau hasilnya buruk. Ia menyiapkan mental terlebih dahulu. Dan... “Dokter serius? Ini hasil check-up anak saya?” tanya papa Shilla kaget setelah membawa keseluruhan hasilnya.
Dokter tersebut mengangguk pasti dan tersenyum tipis, “Benar sekali”
“Kenapa, pa? Hasilnya makin buruk, ya?” tanya Shilla khawatir, matanya sudah berkaca-kaca.
Papa dan mama Shilla segera memeluk anak mereka dengan penuh haru, “Dokter, kenapa hasilnya bisa begini? Padahal, kan, hasil rujukan dari rumah sakit di Sulawesi bukan begini” tanya mama Shilla.
“Sepertinya hasil check-up Ashilla yang di Sulawesi tertukar dengan pasien lain. Hasil check-up kali ini pun sudah kami periksa berkali-kali. Dan inilah hasilnya” jelas dokter tersebut.
“Hasilnya apa, ma, pa?” tanya Shilla penasaran.
“Sabar, Kak Shill” Nova mencoba menenangkan kakaknya tersebut.
“Ini, kamu baca sendiri saja hasilnya” suruh mama Shilla.
Shilla pun segera membaca hasil check-up miliknya dengan wajah tak percaya, “Dokter, ini beneran hasil check-up saya? Kok...?” Shilla menggantungkan akhir kalimatnya. Dokter itu tersenyum kembali.
Nova mengambil alih hasil tersebut dari tangan Shilla dan membacanya dengan teliti, “Kak Shilla! Kak Shilla ga kena kanker rahim?! Serius, kak!! Ini hasilnya! Baca, kak! Kakak bebas dari penyakit itu!” seru Nova girang, ia lantas menghambur dalam pelukan Shilla.
“Tapi, kak...” Nova seakan teringat sesuatu, “Gue udah terlanjur bilang sama Kak Cakka buat ngebahagiain Kak Shilla diakhir hidup kakak. Gue minta Kak Cakka buat nyoba nganggep Kak Shilla lebih dari sahabat” bisik Nova.
Shilla tersenyum licik, “Serius lo, Nov?” tanyanya senang. Nova mengangguk pelan, “Bagus! Makasih, Nov!”
Classmate (Part 23)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar