Dua hari berlalu semenjak kejadian di rumah sakit tersebut. Oik pun sudah diperbolehkan pulang ke rumahnya. Gadis mungil itu pun sudah menjalani aktivitas seperti biasa, bersekolah. Pagi-pagi sekali, Oik sudah siap dengan seragam dan tas sekolahnya.
Tin.. Tin.. Terdengar klakson motor dari luar rumah Oik. Oik bergegas menyengklak tasnya dan menghampiri kakaknya yang masih sarapan di ruang makan. Hanya ada kakaknya di sana. Kedua orang tuanya entah ke mana. Paling-paling juga sedang berada di luar kota.
Oik berjalan menghampiri Rio dengan senyum mengembang, “Kak, gue berangkat dulu, ya? Alvin udah nunggu di luar tuh” pamit Oik, ia mengedik sekilas ke halaman rumahnya. Ada Alvin dan motornya di sana.
Rio meletakkan pisau dan garpunya di atas piring. Ia mengucek rambut Oik sebentar, “Oke, take care, ya! Jangan bikin gue panik lagi!” serunya. Oik tersenyum menanggapinya.
“Sip! Bye, kak!” Oik mengacungkan ibu jarinya dan berlari riang ke halaman rumahnya. Sesekali ia bersiul dan menggumamkan lagu-lagu favoritnya. Rio tertawa lepas melihatnya.
^^^
Alvin masih bertengger di atas motornya seraya menatap lekat bangunan rumah di hadapannya. Tiba-tiba saja seorang gadis mungil nan imut keluar dari pintu dan berjalan menghampirinya dengan riang. Tak terlihat seperti sehabis dirawat di rumah sakit.
“Morning, Alvin!” sapanya riang.
Oik segera naik ke atas motor Alvin. Alvin memberikan sebuah helm kepadanya. Ia pun segera memakai helm tersebut dan motor melaju meninggalkan pekarangan rumah Oik. Alvin mengemudikan motornya di jalanan Jakarta yang masih sepi itu.
Ia sengaja menelpon Oik semalam dan mengabarinya bahwa hari ini ia akan menjemput gadis itu lebih awal. Alvin bilang pada Oik bahwa ia ingin mengajak Oik berjalan-jalan dan menikmati suasana Jakarta yang masih sepi.
Jadilah Alvin bangun pukul empat pagi dan cepat-cepat bersiap. Omanya sampai heran sendiri tadi pagi. Tepat ketika Alvin menyalakan mesin motornya, omanya keluar dari rumah menuju pekarangan. Niat omanya untuk menyirami tanaman pun ia urungkan.
Setelah menghabiskan lima menit untuk berbincang sebentar dengan omanya, Alvin buru-buru melajukan motornya menuju rumah Oik. Beruntung ketika Alvin tiba, Oik masih berada di dalam rumah. Ia tak mau membuat gadis mungil itu menunggu lama.
“Vin, kita mau ke mana sih?” tanya Oik dari balik helmnya.
Alvin memandang gadisnya itu melalui kaca spion dan tersenyum samar, “Ga ke mana-mana kok. Cuman muter-muter sekitaran sini aja. Mumpung masih pagi, kab sepi. Kamu sendiri, belum pernah, kan, muter-muter daerah sini jam segini?”
Oik mengangguk. Sadar kalau Alvin tak dapat melihat anggukkan kepalanya, ia menyahut, “Iya, Vin. Ya udah, abis ini langsung ke sekolah aja deh. Udah kangen sama sekolah soalnya, hehe” Oik nyengir lebar dari balik helmnya.
Alvin kembali meng-gas motornya. Ia menambah laju kecepatan motornya. Oik kaget, sontak ia memeluk punggung Alvin agar tak jatuh, “Alviiiiiiinnnn!!!” pekiknya kaget.
^^^
Acha masuk ke dalam mobilnya. Sopirnya sudah standby di dalam. Mobil pun melaju menuju sekolah Acha. Di tengah perjalanan, mata Acha terantuk pada seorang laki-laki dengan seragam sama sepertinya yang, sepertinya, sedang kesal dan menendang-nendang ban motornya.
“Stop, pak!” Acha mengomando sopirnya agar berhenti sebentar.
Mobil Acha berhenti. Acha pun turun dari mobilnya dan menghampiri laki-laki tadi. Acha menyentuh pundaknya pelan, “Cakka?” gumamnya.
Laki-laki itu, yang merasa namanya disebut, menoleh ke arahnya. Wajah Cakka terlihat kaget saat mendapati Acha sudah ada di dekatnya, “Loh, Acha? Kok di sini? Kenapa ga sekolah?” tanya Cakka beruntun.
Acha tersipu menyadari Cakka memperhatikannya. Wajahnya mendadak merah padam. Cepat-cepat ia menundukkan kepalanya dan menyembunyikan rona kemerahan tersebut, “Ohehe.. Iya dong, gue selalu lewat sini kalau berangkat sekolah. Lo sendiri?” tanya Acha balik.
Cakka garuk-garuk kepala ketika menyadari motornya yang masih mogok tersebut, “Ini nih.. Kebetulan aja sih. Gue lagi pengen lewat sini aja. Eh motor gue malah mogok begini. Tau deh kenapa” jawab Cakka. Jelas sekali terlihat kalau ia sedang jengkel.
Acha kembali mengangkat wajahnya setelah ia rasa sudah taka da rona kemerahan lagi di sana, “Ya udah. Bareng gue aja, gimana? Gue naik mobil kok. Sopir gue ga bakalan keberatan kalau lo bareng” ajaknya.
Cakka terlihat sedang menimang-nimang, “Terus motor gue gimana dong?” tanyanya dengan wajah yang amat sangat polos.
Acha mengehela napas sejenak. Ia mengambil ponsel di sakunya dan terlihat sibuk sebentar dengan ponselnya, entah ia menelpon siapa. Setelah itu, ia kembali meletakkan ponselnya di dalam saku dan menarik lengan Cakka memasukki mobilnya.
“Lah? Cha? Motor gue gimana, hoy?” tanya Cakka lagi.
Acha mendorong Cakka agar masuk ke dalam mobilnya. Selanjutnya, giliran ia yang masuk, “Jalan, pak!” suruh Acha pada sopirnya. Mobil tersebut kembali melaju menuju SMP Ranvas.
Acha melirik Cakka sekilas. Entah kenapa, disaat ia sudah berada dalam jarak sedekat ini dengan Cakka, ia malah biasa saja. Jantungnya tak berdegup sekencang dulu ketika ia berada di dekat Cakka. Acha segera menggelengkan kepalanya dan berusaha mengenyahkan pikiran tersebut dari kepalanya.
“Oh, soal motor lo. Gue udah nelpon bengkel terdekat. Biar mereka aja yang ngurusin motor lo. Emang lo mau telat dating di sekolah cuman gara-gara motor lo yang mogok ga jelas itu? Ga, kan? Ya udah, biar montir-montir itu aje yang ngurus” celoteh Acha.
^^^
Rumah Ozy sudah ramai pagi-pagi begini. Bagaimana tidak? Deva dan Ray sudah datang di rumahnya dan berseru heboh soal mobil baru Ray. Nah, sudah tau? Ray yang mengajak Deva ke rumah Ozy. Untuk berangkat bertiga, dalihnya.
Memang, kemarin, Ray mendapat hadiah baru dari kedua orang tuanya karena ia menjuarai sebuah turnamen drum yang cukup bergengsi di Indonesia. Jadilah pagi ini ia berangkat lebih awal dan menjemput Deva, baru Ozy.
“Gila! Keren lo, Ray! Ajib deh punya bonyok kayak bonyok lo! Coba gue. Iyuh, bonyok gue pelit banget! Mau dong, tuker bonyok sama lo!” seru Deva heboh.
“Ih, ogah! Masih mending, ya, gue jemput lo buat nyobain mobil baru gue. Jangan banyak bacot deh. Masih pagi, nih! Gue males debat!” seru Ray balik, sangat ga nyambung!
Ozy datang menghampiri ketiganya dan langsung menoyor keduanya dengan ekspresi datar, “Aduh!” teriak Ray dan Deva bersamaan. Ozy tetap dengan wajah tanpa ekspresinya. Sedangkan Deva dan Ozy, mereka sudah menekuk berlipat-lipat wajahnya.
“Ih, ngapain sih pake noyor kita berdua segala?” tanya Ray dengan masih menekuk-nepuk wajahnya. Tangannya masih asyik mengusap bekas toyoran Ozy di jidatnya.
“Lo berdua lebay, sih. Pagi-pagi udah dating ke rumah gue tanpa izin dulu. Mana bikin ribut pula! Untung aja tetangga gue ga ada yang demo!” keluhnya.
“Ya udah, yuk, langsung berangkat aja” ajak Deva. Ray dan Ozy mengangguk. Ketiganya langsung menaiki mobil baru milik Ray.
Ray pun menyalakan mesin mobilnya dan mengendarainya menuju sekolah. Dalam perjalanan, Deva dan Ray tak henti-hentinya berceloteh ria. Keduanya belum menyadari bahwa Ozy sedang murung. Ray melirik Ozy, yang duduk di bangku belakang, melalui kacanya.
Ray berbisik kepada Deva sebentar, “Dev, itu si Ozy kenape? Kagak ade suaranye deh dari tadi”
Deva pun melirik Ozy pula. Dilihatnya sahabat barunya itu sedang memandang kosong ke arah kaca jendela mobil. Deva hanya mengangkat nahunya pertanda tak tau, “Zy, lo kenape, sih? Kok perasaan dari tadi diem mulu. Ngomong, kek! Sepi, nih, kalau lo begono!” tanya Deva.
Ozy memalingkan wajahnya ke Deva dan Ray. Ia menatap kedua sahabatnya itu dari belakang, menggeleng sekilas, dan kembali menatap kosong ke kaca jendela mobil, “Gue juga ga tau gue ini kenapa. Yang gue tayu, gue bener-bener ga mood mulai kemarin” gumamnya.
^^^
Motor Alvin, mobil Acha, dan mobil Ray datang bersamaan di lapangan parkir SMP Ranvas. Alvin dan Oik segera turun dari motor milik Alvin dan bercanda sejenak sambil menuggu bel masuk berbunyi. Terlebih dahulu keduanya meletakkan helm di atas motor Alvin.
Acha dan Cakka pun turun dari mobil milik Acha secara bersamaan. Setelahnya, sopir Acha kembali melajukan mobil tersebut kembali ke rumah Acha. Acha dan Cakka berjalan beriringan menuju tempat Alvin dan Oik sedang bersenda-gurau.
Begitu pula dengan Deva, Ray, dan Ozy. Ray dan Deva sudah turun terlebih dahulu. Ozy masih membereskan tasnya. Setelah itu, barulah ia turun dari mobil Ray. Cepat-cepat Ray dan Deva menariknya menuju Alvin dan Oik.
Acha dan Cakka terus berjalan menuju Alvin dan Oik. Alvin pun sudah menyadarinya dan tersenyum manis ke keduanya. Sampai akhirnya, Oik juga menyadari kehadiran keduanya. Ia pun ikut tersenyum. Acha membalas senyum mereka dengan sangat manis.
Cakka kembali malas melihat Oik bersama Alvin. Ia terus saja memandang tak enak ke arah Alvin. Tak seorangpun menyadarinya. Sedangkan Oik, ia cuek saja dengan kedatangan Acha dan Cakka. Apalagi mengetahui bahwa keduanya berangkat ke sekolah bersama. Oh, salah! Oik bukan cuek, melainkan sok cuek!
Rupanya Oik sadar bahwa sudah ada Alvin dan, mungkin, Cakka menganggapnya begitupula, sudah ada Acha di sampingnya. Disaat keempatnya sedang berbincang, Ray, Deva, dan Ozy datang dengan hebohnya. Ray dan Deva memamerkan cengiran terlebarnya. Ozy mendadak masam melihat Cakka dan Acha.
“Zy, kenape lo? Masem banget!” tanya Cakka.
Ozy hanya menggelengkan kepalanya. Alvin, Ray, Deva, dan Acha kembali berbincang dengan seru. Keempatnya kemudian berjalan beriringan memasukki area gedung sekolah. Tak sadar mereka meninggalkan Ozy, Oik, dan Cakka. Ketiganya mengekor Alvin, Ray, Deva, dan Acha dengan lesu.
Ozy masih memasang wajah masam karena melihat Acha bersama Cakka. Oik pun begitu, ia masih malas melihat Cakka bersama Acha. Hey! Kemarin Agni, sekarang Acha! Besok siapa? Shilla? Angel? Atau bahkan, Sivia? Oik ngedumel sendiri. Cakka juga, ia sangat tak mau melihat Oik dan Alvin.
Sampai di depan kelas Acha. Acha, Alvin, Ray, dan Deva berhenti. Ozy, Oik, dan Cakka terpaksa berhenti pula, “Gue masuk dulu, ya! Oh ya, Cakka, kalau ntar pulangnya mau bareng gue, bilang aja, ya! Motor lo pasti masih di bengkel” pesannya.
Cakka menganggukkan kepalana. Ozy dan Oik memanas. Keduanya lalu melengos tepat saat Acha memasukki kelasnya. Alvin, Ray, Deva, Ozy, Cakka, dan Oik kembali berjalan menuju kelas 9.5. sekolah sudah ramai rupanya.
“Heyooooww!!” suara seorang perempuan mengageti Oik dari belakang. Oik tersentak kaget. Tak sengaja hampir jatuh. Untunglah Cakka menahan tangannya.
“Eh, aduh.. Makasih” Oik kembali menyeimbangkan tubuhnya dan melepaskan tangan Cakka dari lengannya. Ia menatap perempuan, yang suaranya tadi sukses membuatnya kaget, dengan tajam, “Awas lo!” desisnya sinis.
“Yeh, Ik, niat bercanda doing gue!” kilah perempuan itu, “Janji deh Sivia ga bakalan ngagetin Oik lagi!” ujarnya mantap. Sivia, perempuan itu, mengambil tangan kanan Oik dan menautkan kelingkingnya dengan kelingking Oik, “Sip! Kita baikan!” serunya santai.
Ketujuhnya kembali berjalan. Sivia berjalan dengan santainya seraya melingkarkan tangan kanannya di bahu Oik. Ketujuhnya memasukki kelas 9.5 dengan santai. Oh, bangku itu masih kosong rupanya. Ray, Deva, dan Sivia bersorak heboh.
“Bagus deh tuh cewek satu belum masuk. Belum balik ke sini. Lama-lamain bisa kali ya di rumah eyangnya. Gue doain eyangnya masih lama deh sakitnya” kata Sivia nyaring. Ia kemudian mengajak Oik ke bangku mereka dan duduk di sana.
Deva dan Ray berjalan ke bangku di belakang mereka berdua dan duduk secara bersamaan, “Aha! Ga balik ke Jakarta juga boleh deh! Malah bagus, kan? Surge dunia banget deh kalau ga ada tuh cewek satu!” timpal Deva, dengan nyaring pula.
Ray ikut menimpali, “Iya dong. Jangan balik deh mendingan tuh cewek satu. Udah damai aman sejahtera banget ga ade die. Kalau die balik mah gue males banget. Tebar pesona lagi kali tuh cewek satu!”
Setelah memastikan gadisnya telah sampai dan duduk manis di bangkunya, Alvin pun kembali ke kelasnya. Sebelumnya ia telah berpamit dulu pada Oik dan mengusap lembut puncak kepala gadisnya, “Aku balik, ya! Ntar istirahat aku ke sini lagi”
Cakka melengos melihat adegan di depannya tersebut. Ia segera duduk di bangkunya, sebangku dengan Ozy dan berada di belakang Ray serta Deva. Cakka hanya tersenyum kecut, “Liat deh, Vin.. Gue bisa ambil Oik dari lo. Harusnya Oik emang sama gue, bukan lo” desisnya sebal.
Sepanjang jam pelajaran pun Cakka, Ozy, dan Oik tak bisa berkonsentrasi penuh. Sivia, Ray, dan Deva hanya mengangkat bahu melihat ketiga sahabatnya berubah sedrastis ini. pastilah mereka bertiga akan bercerita kalau sudah siap menceritakannya pada Sivia, Ray, dan Deva.
^^^
Bel istirahat berbunyi. Koridor dan kelas kembali seramai pasar. Tak lama kemudian, Acha dan Alvin datang menghampiri kelas 9.5. Oik, Sivia, Deva, Ray, Ozy, dan Cakka menyambut mereka dengan senyum, “Ke kantin bareng mau?” tawar Acha. Ketujuhnya mengangguk bersemangat.
Oik, Sivia, Ray, Deva, Ozy, dan Cakka bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kantin. Tentu saja dengan formasi seperti biasa. Oik di sebelah Alvin, Acha di sebelah Cakka. Deva, Ray, Ozy, dan Sivia hanya mengekor di belakang.
Khusus untuk Acha dan Cakka. Acha telah menarik lengan Cakka terlebih dahulu agar mereka bereka berdua berjalan beriringan. Oik, Ozy, dan Cakka kembali berwajah masam. Dan, lagi-lagi, Sivia, Acha, Alvin, Deva, serta Ray tak menyadari perubahan raut wajah ketiganya.
Setelah sampai di kantin, mereka semua langsung menempati sebuah meja dengan kapasitas banyak. Sebuah meja yang cukup besar dengan delapan kursi mengitarinya. Kedelapannya pun duduk di sana. Tak sengaja, Cakka dan Oik kembali duduk bersebelahan. Tentu saja dengan Alvin di samping Oik dan Acha di samping Cakka.
“Mau pesen apa?” tanya Deva, memang ia yang biasanya memesankan makanan untuk kawan-kawannya itu.
Yang lainnya memutar bola mata malas, “Kayak biasa!” seru ketujuhnya bersamaan.
Deva nyengir. Ia segera mengantri dan memesan delapan porsi bakso dan delapan gelas es jeruk manis. Deva kembali ke meja mereka dengan seorang pelayan kantin yang membantunya membawa seluruh pesanannya tadi. Pelayan tersebut meletakkan pesanan mereka di meja dan kembali meninggalkan mereka.
Tepat ketika Oik akan mengambil botol sambal, Cakka juga mengambilnya. Jadilah tangan mereka menyentuh botol sambal yang sama. Wajah keduanya sontak memerah. Keduanya lantas menundukkan kepala dan urung mengambil sambal. Terlihat Alvin dan Acha yang kembali ‘panas’ memandangnya.
Classmate (Part 15)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar