Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

DILEMMA [2 of 2]

            Bel pulang sudah berbunyi sedari tadi. Namun tampaknya Cakka dan Oik masih betah berebut sesuatu di dalam kelas. Padahal kelas sudah sepi. Bahkan, hanya tinggal mereka berdua. Siswa-siswi lain sudah pasti pulang ke rumah ataupun berkumpul bersama teman di cafĂ© maupun sibuk mengikuti kegiatan ekskul.
            “Cakkaaaa!!!! Balikin kunci motor gue!! Gue mau pulang, Cakka!!!!” Oik merengek pada Cakka yang kini tengah tersenyum senang sembari menyembunyikan kunci motornya dibalik punggung.
            “Coba ambil dong, Ik,” tantang Cakka dengan senyum mengejek.
            “Cakka Kawekas Nuraga. Gue capek. Gue mau istirahat. Gue mau pulang.” Oik menghembuskan napasnya dan memandang Cakka tajam.
            Cakka memindahkan tangannya dari balik punggung ke hadapan Oik, mengacungkan sebuah kunci motor. “Ambil, Ik,” tawarnya.
            Secepat apapun pergerakan tangan Oik, tetap saja Cakka berhasil kembali menyembunyikan kunci motor itu pada tangan kiri di belakang punggungnya. Sedangkan tangan kanannya menangkap tangan Oik.
            “Cakka, lepas.” Oik berkata lirih dengan wajah tertunduk malu.
            Oik lalu melihat sebuah jam tangan hitam keluaran terbaru bertengger diatas meja Cakka. “Kka, itu punya lo?” tanyanya.
            Cakka–yang masih belum connect­–hanya mengangguk acuh. Kesempatan itu digunakan Oik untuk mengambil jam tangan tersebut dan menggenggamnya erat-erat. Ia tertawa puas begitu melihat Cakka yang melongo.
            “Kalau gue nggak bisa pulang, elo juga!” Oik menimang-nimang jam tangan Cakka dan tersenyum penuh kemenangan.
            “Balikin jam tangan gue,” ujar Cakka memelas. Melihat Oik menggelengkan kepalanya, Cakka semakin merengek. “Balikin, please. Itu oleh-oleh bunda gue dari Madrid bulan lalu, Oik. Balikin, dong. Ya?”
            “Balikin dulu kunci motor gue!” sergah Oik.
            “Iya, iya.” Cakka mengeluarkan kembali kunci motor Oik. Sayangnya, kuncinya masih berada dalamgenggaman tangan kirinya. “Tapi, buka dulu genggaman tangan gue.” Cakka tersenyum jail.
            Oik mengantongi jam tangan Cakka lalu berusaha sekuat tenaga membuka genggaman tangan lelaki itu. Ia sadar, seberapa keras pun ia berusaha, sepertinya ia tetap takkan berhasil ‘mengalahkan’ Cakka. Jadi....
            “Oik, ampuuuuunnnn!!!! Iya! Iya! Iya! Gue balikin kunci motor lo! Ampun, Oiiiikkkk!!!!” Cakka berteriak seperti orang kesetanan ketika Oik mulai menyerang perutnya.
            Begitu Cakka mengibarkan bendera putih tanda menyerah, Oik menghentikan serangannya dan menengadahkan telapak tangannya–meminta Cakka mengembalikan bendanya. Dengan berat hati, Cakka meletakkan kunci motor Oik di telapak tangan gadis itu.
            Oik tersenyum puas. Lalu, ia mengembalikan jam tangan Cakka dan memakaikannya pada tangan kiri lelaki itu. Setelahnya, ia membalikkan badan dan bermaksud untuk pulang.
            “AAAAAA!!!! CAKKAAAAAA!!!!!”
            Oik berteriak heboh ketika Cakka memeluknya dari belakang dan mengangkat hingga beberapa senti diatas tanah. Beberapa detik kemudian, lelaki itu menggelitiki perut Oik hingga gadis itu tertawa sambil mengeluarkan air mata.
            “Ampun, Cakka!” seru Oik disela-sela tawanya.
            “Rasain pembalasan dendam gue!” bisik Cakka ditelinga Oik.
            “Ih, Cakkaaaa!!! Berhenti!” rengek Oik semakin keras.
            Cakka tertawa dan menghentikan gelitikannya pada gadis itu. Oik berhenti tertawa. Ia menghembuskan napasnya lega. Ia kembali tegang begitu menyadari Cakka masih memeluknya dari belakang. Ia nervous setengah mati!
            “Cakka genit! Peluk-peluk segala!” jerit Oik–pura-pura–sebal.
            Cakka mendengus. “Gue nggak meluk elo. Gini nih, kalau meluk.” Cakka mengeratkan pelukannya pada Oik hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Oik tertawa gugup.
            “Udahan dong, Kka. Di sekolah, nih. Nggak enak kalau ada yang lihat.” Oik bergerak-gerak tidak nyaman dalam pelukan Cakka.
            “Hm?” Cakka tersenyum tipis. “Berarti kalau lagi nggak di sekolah, elo mau?”
            “Mau apa?” tanya Oik pura-pura tak mengerti.
            “Mau gue peluk.” Cakka pun melepaskan pelukannya dan berjongkok di depan Oik. “Naik. Ayo! Gue gendong lo sampai parkiran. Tenang aja, sekolah udah sepi. Nggak bakal banyak yang ngelihat adegan India-Indiaan kita.” Cakka mengedipkan sebelah matanya. Bagaimana Oik bisa menolak?
            “Serius lo?! YEEESSS!!” Oik berseru heboh kemudian naik ke punggung Cakka.
            Cakka kemudian berdiri dan melangkah keluar kelas–dengan Oik berada di punggungnya.
            Oik masih saja berceloteh mengenai segala hal sampai ia menyadari bahwa Shilla dan anggota ekskul fotografi lainnya tengah berkumpul di koridor depan kelas 11 IPA 3. Oik langsung panas-dingin melihat ekspresi terluka dari wajah Shilla.
            Ia kemudian menepuk pundak Cakka dan berbisik, “Turunin gue dong, Kka.”
            “Kenapa?” tanya Cakka tak acuh–masih tak menyadari keberadaan Shilla.
            Baru saja Oik akan mengatakan bahwa ada Shilla disana, gadis itu kemudian teringat kalau Cakka tak suka ia mengungkit-ungkit soal mantannya itu. “Gue... bisa jalan sendiri, kok.”
            “Udah, gue gendong aja! Nggak usah pakai gengsi segala sama gue.” Cakka menolak mentah-mentah.
            Oik kembali menatap Shilla yang memandang mereka kosong. Oik meringis dengan perasaan bersalah. Ia hanya bisa berkata dalam hati bahwa ia meminta maaf pada Shilla karena telah membuatnya cemburu, sedih, kecewa, dan kesal.
            Shill, maafin gue..

**

            Keesokan harinya, Shilla benar-benar menjadi pendiam. Ia tak akan berbicara dengan Oik jika Oik tidak memulai duluan. Oik paham betul mengapa Shilla menjadi begini. Oleh karena itu, Oik agak menjaga jarak dengan Cakka.
            Saat istirahat tiba, Oik segera melesat menuju bangku Acha dan Keke.
            Acha–yang memang selalu peka–hanya menatap Oik dengan salah satu alis terangkat.
            “Shilla kemarin ngelihat gue sama Cakka.” Oik meringis takut-takut melihat Acha yang menatapnya dingin. “Kemarin Cakka ngegendong gue.”
            Acha mendengus kesal. “Gue bilang apa sih, kemarin, Oik? Kalau begini kan, mereka–Sivia sama Angel–bener-bener bisa bilang elo temen makan temen!”
            “Yah, Ik.. Minta maaf aja deh, sama Shilla,” Keke tersenyum memberi semangat.
            “Masalahnya, Ke,” Oik menghela napas. “Gue harus bilang apa sama Shilla? ‘Shill, maafin gue karena udah ngerebut mantan lo, ya!’ gitu?”
            “Gue nggak ngerti lagi deh, Ik, sama kalian berdua. Udah jelas-jelas kalian berdua tuh, suka sama suka. Tapi kenapa nggakada yang fight? Mau nge-stuck terus, emang? Friendzone terus? Cakka juga sih, nggak mau ngomong empat mata sama Shilla. Gue yakin masih ada yang belum selesai di antara mereka.”
            Setelahnya, Acha pun berlalu bersama Keke, entah ke mana, meninggalkan Oik yang terdiam dengan wajah ditekuk. Belum lagi ketika ia melihat ke arah bangkunya. Shilla bisa kembali periang jika tak ada dirinya. Huh!
            “Ik?”
            Oik terkesiap dan segera menoleh. “Eh, Cakka..”
            “Ngapain? Kok sendirian aja? Acha sama Keke mana?” tanya Cakka beruntun. Lelaki itu mengobok-obok tasnya lalu berdiri di samping Oik.
            “Nggak tahu,” Oik menggeleng lemas.
            “Lagi sedih lo, ya?” Cakka menggeret tangan Oik ke kantin, melewati Shilla yang kembali terdiam menatap kedekatan keduanya. “Gue traktir es krim deh, biar lo nggak sedih lagi. Oke?”
            Oik terduduk di salah satu meja kantin bersama Riko yang tengah menyantap semangkuk soto ayam dengan lahapnya. Beberapa menit kemudian, Cakka kembali dengan se-cone es krim rasa coklat favoritnya lalu mengangsurkannya padanya.
            “Makasih,” Oik pun melumat es krim tersebut dengan malas-malasan.
            “Lo kenapa, sih?” tanya Cakka pelan.
            Riko–yang merasa menjadi orang yang tidak diharapkan kehadirannya–cepat-cepat menandaskan sotonya dan bangkit meninggalkan Oik serta Cakka setelah sebelumnya berpamitan mau antri membeli jus.
            “Gue nggak enak sama Shilla,” Oik menyadari raut wajah Cakka yang berubah sebal ketika Oik menyebut nama mantannya itu.
            “Emang Shilla kenapa?” tanya Cakka basa-basi.
            “Dia hari ini jadi diem banget. Nggak mau ngomong sama gue. Dia kemarin ngelihat elo ngegendong gue, Kka.” Oik menundukkan kepalanya, sedih.
            “Oh, ya?”
            Oik kembali mengangkat kepalanya mendengar reaksi Cakka yang kelewat biasa tadi. “Elo kenapa sih, Kka? Kenapa lo jadi anti-pati gini sama Shilla? Lo berdua putusnya nggak baik-baik, ya?” cecar Oik.
            “Udah deh, Ik. Nggak penting bahas ginian.” Cakka mengalihkan pandangannya agar tak berserobok dengan pandangan Oik.
            “Cakka, jawab gue!” Oik menggoyangkan lengan Cakka. “Gue janji ini terakhir kalinya gue sebut-sebut Shilla di depan lo. Gue janji, Kka.”
            Cakka akhirnya lulus. “Gue udah kelewat sakit hati sama dia, Ik. Dulu, awal-awal kami jadian, dia perhatian banget sama gue. Gue ngaku. Dulu gue cuek banget sama dia. Sampai akhirnya dia mau ada lomba fotografi tingkat nasional bulan Januari kemarin. Wajar kan, kalau gue jadi perhatian sama dia? Dia jadi jarang istirahat gara-gara nyiapin segala tetek-bengek.”
            Oik serasa ditikam hatinya mendengar nada terluka Cakka. “Iya, terus?”
            “Ya, gitu..” Cakka menerawang. “Sejak itu, Shilla nggak perhatian lagi sama gue. Dia makin cuek sama gue sejak pulang perlombaan itu. Gue lama-lama capek kalau harus fight sendiri buat hubungan kami. Akhirnya ya, gue putusin dia.”
            “Kayaknya Shilla masih nggak rela putus sama elo, ngelepas elo,” Oik bercicit pelan, takut Cakka kembali marah karena ia menyebut nama Shilla.
            Cakka menggeleng tak acuh dan menggandeng tangan Oik untuk berlalu dari kantin. “Nggak usah ngebahas Shilla lagi, ya.”

**

Oik
PING!!!

RaissaAcha
Ap??

Oik
Mreka pts gk baik2

            Lampu LEDnya kembali berkedip-kedip. Ada sebuah chat baru dari Cakka. Oik melirik jam wekernya dan menguap lebar. Sudah jam sebelas malam tapi Cakka masih saja mengajaknya ngobrol lewat BBM.

Cakka Nuraga
Hahahaha bs aja lo!
Pgn bgt ditmbak ik?:-p

Oik
Kagaaakkk!! Gw mati dong kl ditmbak:-o

Cakka Nuraga
Ykn???:-p

Oik
Gmn yaa

Cakka Nuraga
Mw gk?

Oik
Apaan sih

Cakka Nuraga
Oik, km mw gk jd pcrnya cakka?:-)

Oik
Cakka, gk lucu. Udh mlem, tdr sana!

            Oik mendadak terkena serangan jantung. Ia memegang dadanya yang berdebar-debar. Setelah mematikan ponselnya dan meletakkannya di nakas, Oik menarik selimutnya hingga menutupi seluruh bagian tubuhnya dan mulai tertidur. Sebuah senyum terukir di bibirnya.

**

            Paginya, Oik datang ke sekolah dengan wajah lesu. Ia tidak menghiraukan Cakka yang sedari tadi mengganggunya serta mencoba menarik perhatiannya. Ia takut kalau sampai sekali saja Cakka mendapat perhatiannya, lelaki itu akan mengungkit pembicaraan mereka via BBM semalam. Oik masih belum siap menjawab.
            Setelah meletakkan tas begitu saja di bangkunya, Oik bergegas menuju bangku Acha. Ia melewati Cakka begitu saja hingga membuat lelaki itu menatapnya sendu.
            “Cha, temenin gue ke toilet, yuk,” ajak Oik.
            Acha mengangguk. Gadis itu dapat melihat dari mata Oik bahwa ia ingin bercerita, tapi tidak di sini tempatnya. Acha meninggalkan Keke bersama Riko dan Cakka lalu berlalu ke toilet bersama Oik.
            “Lo kenapa? Lesu banget?” tanya Acha begitu keduanya telah sampai di toilet yang masih sepi.
            Oik menyandarkan punggungnya di dinding toilet. Gadis itu menunduk, memain-mainkan ujung sepatu Amanda Jane’s miliknya. “Cakka semalem nembak gue.”
            Acha–yang tengah menyuci tangan di wastafel–mendadak terdiam. Ia melirik pantulan bayangan Oik pada cermin di hadapannya dengan mulut menganga. “Apa lo bilang?!”
            Oik menghentakkan kakinya, sebal. “Cakka semalem nembak gue, Acha!”
            “Terus lo jawab apa?” Acha kembali bersuara setelah pulih dari kekagetannya.
            “Itu jam sebelas malem, Cha. Jadi ya, gue bilang kalau itu sama sekali nggak lucu. Gue suruh dia tidur aja daripada ngomong ngelantur begitu. Terus, gue matiin HP gue.”
            Acha menghembuskan napas–sedikit–lega. Ia menggamit lengan Oik untuk berjalan keluar dari toilet karena bel masuk baru saja berbunyi dan mereka ada jadwal praktikum fisika pagi ini. “Gue saran aja, sih. Jangan terima Cakka kalau masalah dia dan Shilla belum kelar.”
            Begitu keduanya sampai di kelas, kelas sudah ramai. Mereka semua ribut mengenai teman sekelompok untuk praktikum. Oik dan Acha segera kembali ke bangkunya untuk mengambil buku, alat tulis, serta jas lab.
            “Ik, lo mau sekelompok sama gue, kan?” tanya Cakka yang tiba-tiba saja sudah menghampiri Oik di bangkunya.
            Oik menggigit bibirnya. Rupanya Shilla baru saja berlalu bersama Angel dan Sivia. Praktikum kali ini memang mengharuskan berkelompok dengan tiga anggota pada masing-masingnya.
            “Gue...” Oik melihat Ray dan Riko yang jalan bersama hendak keluar kelas. “Ray! Riko! Gue sekelompok sama kalian, ya!”
            Ray dan Riko hanya mengangguk bingung. Oik segera menyusul keduanya, meninggalkan Cakka yang terdiam.
            “Kka, lo sama kita aja.”
            Cakka menengok ke belakang dan mendapati Keke serta Acha yang memandangnya simpati. Cakka menghembuskan napasnya lalu mengangguk. Ketiganya pun menjadi orang terakhir yang meninggalkan kelas menuju laboratorium fisika.
            Mereka melihat Oik melambaikan tangan dari meja laboratorium urutan kedua dari depan. Oik tersenyum, bermaksud memanggil ketiganya agar duduk semeja dengan ia, Ray, dan Riko. Melihat tak ada lagi meja yang kosong, ketiganya berjalan menghampiri gadis itu dan duduk semeja dengannya.
            Oik tersnyum pada Acha yang duduk tepat bersebelahan dengannya. Namun, senyumnya langsung pudar begitu melihat wajah Cakka muncul dari balik wajah Acha. Mendadak, Oik serius mendengar penjelasan Pak Dave mengenai praktikum kali ini.
            “Oik udah cerita ke gue,” Acha berkata pelan pada Cakka.
            “Oh, ya?” Cakka mengangkat sebelah alisnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Pak Dave yang masih bercuap-cuap di depan sana.
            Acha tersenyum sinis. “Gue seneng Oik nggak nerima lo.”
            “Cih.” Cakka mendesis lalu tersenyum miring. “Ngapain sih, lo–––,”
            “Gue nggak mau sahabat gue dibilang temen makan temen sama genk hip itu.” Acha mendesis tajam. Ekor matanya tertuju pada tiga gadis yang duduk tak jauh dari mereka–Shilla, Sivia, dan Angel.
            “Shilla lagi, Shilla lagi.” Cakka memutar bola matanya, malas.
            “Selesaiin dulu masalah lo sama Shilla.” Acha meliriknya sekilas.
            “Harus?” tanya Cakka ragu-ragu.
            “Ya!”

**

            “Shil, masih ada yang belum selesai ya, antara lo sama Cakka?” tanya Oik penasaran.
            Shilla mengedikkan bahunya dan tersenyum tipis. “Gimana, ya?”
            “Tinggal jawab gue aja kali, Shill!” Oik cekikikan melihat wajah Shilla yang sudah merah padam.
            “Sebenernya–––,”
            Ucapan Shilla terpotong oleh bel pulang yang berbunyi nyaring. Gadis itu melihat jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul tiga sore. Guru yang tengah mengajar seketika langsung berhenti. Siswa-siswi pun bersiap pulang.
            “Sebenernya apa?” tanya Oik begitu kelas telah lengang–meninggalkan dirinya, Shilla, dan segelintir siswa lainnya.
            “Gue masih pingin ngobrol sama Cakka. Soal kami.” Shilla terdiam sejenak. Setelahnya, ia langsung buru-buru membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang kalau saja tidak dicegah oleh Oik.
            “Gimana kalau kalian ngobrol sekarang aja?” tawar Oik.
            “Bisa?” Shilla menatap Oik dengan mata berbinar penuh harap.
            Oik mengedipkan sebelah matanya.
            Oik berdiri, melenggang meninggalkan Shilla yang tengah harap-harap cemas dibangku mereka. Gadis itu melewati bangku Acha dan Keke yang setia menunggunya. Ia hanya memberikan isyarat pada keduanya untuk menunggu sebentar.
            “Kka?”
            Cakka–yang merasa namanya disebut–menengok ke sumber suara dan menemukan Oik disana. “Apa, Ik?”
            “Ada yang... pingin ngobrol sama kamu.”
            “Siapa?” Cakka mendadak bersemangat.
            Oik membalikkan badan, menatap Shilla dan memberinya isyarat untuk datang menghampiri. Perlahan, Shilla berjalan menuju keduanya. Cakka mendadak sesak napas begitu tahu Shilla adalah orang yang Oik maksud.
            “Gue bukannya mau ikut campur masalah kalian. Tapi masalah nggak akan bisa selesai kalau kalian biarin berlarut-larut.” Oik mendudukkan Shilla di hadapan Cakka. “Selesaiin, ya. Gue nggak bakala ganggu, kok.”       
            “Tapi, Ik–––,” Cakka dan Shilla menyela bersamaan.
            Oik tersenyum dan menggeleng. “Udah, nggak ada tapi-tapian. Gue keluar, ya. Gue tunggu di luar. Apa pun keputusan kalian nanti–balikan atau jadi temen baik–gue bakal terima dengan senang hati. Gue capek ngelihat Cakka yang ngehindarin Shilla abis-abisan.”
            Oik berbalik. Tiba-tiba saja, Cakka menahan lengannya. Dengan hati yang hancur berkeping-keping dan tanpa menengok padanya, Oik melepaskan cekalan itu.
            Gadis itu menghampiri Acha dan Keke yang melihatnya dalam diam. Ia pun menyeret keduanya keluar agar tak mengganggu obrolan Cakka dan Shilla. Rupanya, Ray dan Riko masih setia menunggu mereka di sana.
            “Gimana? Besok jadi, kan? Dufan?” tanya Riko dengan bersemangat.
            “Jadi!” Keke mendadak jadi bersemangat juga. “Besok kita kumpul di rumah siapa?”
            “Rumah gue, ya!” Ray mengacungkan tangannya. “Besok gue yang bawa mobil.”
            “Cakka sama Shilla ngapain di dalem?” tanya Riko–menyadari hanya kedua orang itu saja yang masih berada di dalam kelas.
            “Ngobrol.” Oik mengedikkan bahunya. “Eh, gue balik duluan, ya. Agak nggak enak badan, nih. Biar besok gue nggak tepar.”
            Acha menatapnya cemas. “Lo bawa motor sendiri?” Oik mengangguk pelan. “Mau nebeng gue aja? Lo pucet, Ik.”
            “Nggak usah! Terus motor gue gimana kalau gue nebeng elo?” Oik tertawa. “Udah, ah. Gue balik dulu, ya. Bye!”
            Begitu bayangan Oik hilang di balik tikungan lorong, Cakka dan Shilla keluar. Keduanya memasang wajah bersahabat.
            “Oik mana?” tanya Cakka begitu menyadari Oik sudah menghilang.
            “Balik duluan. Nggak enak badan dia.” Keke menyahut. Cakka hanya mengangguk.
            “Kka, jadi nebengin, kan?” tanya Shilla malu-malu.
            “Oke!” Cakka dan Shilla berlalu, meninggalkan keempat temannya berspekulasi macam-macam mengenai hubungan mereka berdua yang mendadak ayem kembali.

**

            Matahari tengah menduduki puncak tahtanya ketika mereka berenam tengah beristirahat sejenak di area food and beverage Dufan. Cakka, Acha, Keke, Ray, dan Riko sedang mengobrol seru mengenai wahana-wahana yang akan mereka coba setelah ini. Sedangkan Oik hanya menatap mereka dalam diam sambil menyantap es krimnya.
            “Pokoknya gue mau naik tornado. Titik!” Ray berseru heboh ketika tak ada satu pun dari lawan bicaranya yang mendukung.
            Oik mengusap sisa-sisa es krim disekitar bibirnya dengan selembar tisu, kemudian ikut mengobrol. “Tornado? Yuk, sama gue.”
            “Serius?” Ray menatap Oik tak yakin.
            “Nggak mau? Ya udah, gue sendirian aja.” Oik mendadak bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju wahana tornado.
            “Eh, Ik!!! Gue ikut!!!!!” Acha berseru. Ia dan Keke menyusul Oik yang telah berjalan duluan.
            Ray, Cakka, dan Riko segera menyusul ketiganya. Mendadak, Ray dan Riko beserta Acha dan Keke berlomba untuk sampai di pada Kawasan Indonesia. Mereka meninggalkan Cakka dan Oik yang berjalan santai.
            “Lo kemarin nyariin gue, ya?” tanya Oik begitu mendapati Cakka tengah berusaha menyamai langkahnya.
            “Nggak.” Cakka menjawab singkat.
            “Oh.” Oik mendadak diam mendengar jawab Cakka.
            “Siapa yang bilang?” tanya Cakka balik.
            “Keke. Lewat BBM.” Oik menjawab ketus, membuat Cakka menahan senyumnya mati-matian.
            “Bohong tuh, dia.” Cakka menggigit bibirnya ketika melihat Oik mengumpat.
            Dasar masih polos! Cakka tersenyum.
            “Gimana Shilla?” tanya Oik.
            “Nggak gimana-gimana.”
            Setelah mengantri selama dua kali permainan, keenamnya pun mendapat giliran untuk bermain. Mereka duduk bersebelahan. Begitu permainan dimualai dan badan mereka dibolak-balikkan di ketinggian, teriakan terdengar dari keenamnya dan para pengunjung lain.
            “Mampuuuuuusssss!!!” Riko berteriak. Kepalanya pening. Mereka semua ditahan beberapa detik di ketinggian dengan posisi–yang bisa dibilang–terbalik.
            “Aduh, Maaaakkk!!! Mati aja gue!” Acha berkomat-kamit dengan mata tertutup.
            Oik melirik ke kanan dan kiri. Kelima temannya yang lain tengah menjerit histeris karena ketakutan dan itu membuat tawanya meledak. Oik sih, fine fine saja karena ia sudah sering diminta sepupunya menemani naik wahana-wahana esktrim yang ada disini.
            “Oik! Sarap lo! Dasaaaarrrr!!!!! Sempet-sempetnya ketawa!” Keke menatapnya sekilas dan kembali menutup matanya rapat-rapat.
            “AAAAAAAAAAA!!!!!!!”
            Teriakan kembali terdengar ketika wahana kembali bergerak mengombang-ambingkan mereka di ketinggian. Ray tertawa lepas, menikmati adrenalinnya yang dipacu habus-habisan. Begitu juga dengan Oik.
            Ketika wahana berhenti, Ray dan Oik langsung berdiri tegak. Berbeda dengan Cakka, Riko, Acha, serta Keke yang berjalan sempoyongan. Keduanya setia menunggu hingga keempat temannya yang lain kembali siap untuk diajak berkeliling.
            “Mau naik apa lagi, sih?” tanya Cakka yang masih berkeringat dingin.
            “Apa ya, Ray?” Oik dan Ray berhadapan, berpikir mencari wahana yang kembali dapat memacu adrenalin.
            “Hysteria?” tanya Ray, meminta pendapat Oik.
            “Boleh!” Oik menyahut dengan bersemangat.
            “LO MAU NGEBUNUH GUEEEE?!” Riko menarik-menarik lengan Ray dengan wajah pucat dan badan yang masih sempoyongan.
            “Kicir-kicir aja,” saran Acha.
            “Ih, cupu!” ledek Oik.
            “Ya udah,” Cakka rupanya sudah kembali sehat. “Yuk, hysteria.”
            “SARAAAAPPPP!!!!” Keke berteriak, tak setuju.
            “Lo mau nunggu di bawah aja? Nggak usah ikutan naik, gitu.” Ray menawarkan.
            Oik dan Ray tertawa senang begitu melihat tak ada antrian yang mengular panjang di depan wahana tersebut. Maklum, sinar matahari sangat menyengat saat ini. Hampir tak ada orang yang mau merelakan kulitnya menjadi lebih gelap hanya untuk naik wahana ini.
            Mereka berlima langsung naik ke wahana. Meninggalkan Keke yang tengah duduk di dekat tempat mengantri karena masih sempoyongan. Keke menikmati teriakan histeris Acha dan Riko. Ia melongok melihat Ray. Rupanya lelaki itu senang-senang saja dan tak merasa takut.
            “Oik?” Cakka berteriak tepat di telinga gadis itu.
            “Ya?” tanpa menoleh, Oik menjawab. Ia tengah asyik menatap area Dufan dari ketinggian dan tak terlalu memperdulikan omongan Cakka.
            “Oiiiikkkk!” Cakka merengek sebal karena tak berhasil mendapat perhatiannya.
            Wahana berhenti tepat di ketinggian maksimumnya. Angin berhembus kencang. Mau tak mau, Oik menengok pada Cakka agar lelaki itu tak merengek lagi dan mengganggu yang lainnya.
            “Apa, sih?” tanya Oik sebal.
            “Oik, lo mau jadi cewek gue, kan?”
            Dan...
            “AAAAAAAAAAA!!!!!”
            Mereka kembali dihempaskan ke bawah. Kali ini, Oik berteriak nyaring. Tentu saja, dengan sebuah senyum yang terukir di bibirnya.
            “Mau, Kkaaaaa!!!!”

THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DILEMMA [1 of 2]

            “Kacau! Kacau! Kacau!” desahnya sebal.
            Gadis itu tampak menambah laju kecepatan motornya. Ia meliuk-liukkan motornya diantara padatnya jalanan Senin pagi itu. Ia tidak peduli jika ditilang polisi atau sebagainya. Yang terpenting adalah ia tidak datang terlambat di sekolah. Titik.
            Tak sampai lima menit kemudian, ia membelokkan motornya menuju sebuah gedung sekolah yang terletak disalah satu jalan paling populer di kota itu. Sekolahnya. Dengan menghembuskan napas lega, ia memarkirkan motornya.
            “Oik!” Sebuah suara menyapanya, berbarengan dengan tepukan yang lumayan kencang pada bahunya, dan disusul dengan tepukan-tepukan kecil didahinya.
            Gadis itu–yang merasa namanya disebut–segera merapikan rambutnya dan mendongak. Wajahnya berubah masam begitu mengetahui siapa yang menyapanya.
            “Cakka! Bawel banget, sih, lo?! Pagi-pagi udah bikin kaget aja! Lo emang orang paling ngeselin sedunia! Nggak peduli lo itu temen gue dari kelas sepuluh awal-awal dan sekarang kita udah kelas sebelas! Nggak peduli! Elo emang moodbreaker sejati gue!”
            Cakka–lelaki itu–hanya terkekeh mendengar kicauan Oik pagi itu. Dengan masih terkekeh pelan, ia menarik Oik untuk berlalu dari lapangan parkir.
            “Lo udah lihat pembagian kelasnya?” tanya Cakka. Perkataannya otomatis menghentikan Oik yang masih berkicau panjang-lebar mengenai insiden kecil yang membuatnya nyaris terlambat pagi itu.
            “Hah?! Lo nggak dengerin gue dari tadi? Cukup tahu, Kka, elo emang ngeselin banget! Padahal gue lagi curhat tadi!!!” Oik memanyunkan bibirnya dan segera meninggalkan Cakka yang masih terbengong di koridor.
            Oik bergerak menuju kerumunan yang sudah mulai sepi di ujung koridor. Dengan lihainya, gadis mungil itu menyeruak diantara kerumunan siswa-siswi yang masih tersisa. Benar dugaannya, pembagian kelas telah diumumkan. Oik meneliti satu-persatu daftar nama yang dikelompokkan sesuai kelas masing-masing, mencari namanya.
            “Sebelas IPA tiga...” gumamnya, “Agni Tri Nubuwati, Alyssa Saufika Umari....” Telunjuk mungilnya bergerak ke bawah, meneliti apakah namanya tercantum sebagai siswa di kelas 11 IPA 3. “Larissa Safanah Arif, Oik Cahya Ramadlani!”
            Bola matanya tampak berbinar begitu mengetahui ia sekelas dengan Acha. Namun, sesuatu seperti menyuruhnya untuk berhenti bersenang-senang karena... “Gue sekelas sama Cakka? AAAAAAA!!!!!!”
            Dengan wajah masam, Oik menyeruak keluar dari kerumunan itu. Tepat saat itu juga, bel masuk berbunyi. Gadis itu kembali bertemu dengan Cakka yang kini tengah berjalan selambat siput di sampingnya.
            “Gue sekelas sama elo. Gila, gue bete banget. Gue bisa bayangin sekacau apa hari-hari gue setahun kedepan gara-gara elo!” cerocos Oik tanpa melirik sedikit pun lelaki di sampingnya.
            “Di kelas mana?” tanya Cakka, tanpa menghiraukan protes kecil dari Oik.
            “IPA tiga.” Oik menjawab singkat.
            Keduanya pun segera memasuki kelas baru mereka. Oik mendesah sebal begitu mengetahui kelas sudah ramai. Itu berarti ia tidak dapat memilih bangku dan hanya bisa menduduki bangku yang tersisa.
            “Betein banget. Sumpah. Gue nggak suka.” Oik terus-terusan berceloteh sebal sembari mencari-cari bangku yang masih kosong.
            Matanya menangkap dua buah bangku kosong yang terletak di dekat jendela. Sebuah bangku yang berada di samping seorang gadis berambut panjang terurai dan satu lagi yang berada di samping Riko.
            “Shilla! Gue duduk sama lo, ya! Oke, makasih.” Oik segera duduk dibangku barunya tanpa mengacuhkan gadis berambut panjang terurai yang hanya mampu memandangnya dengan senyum tipis itu.
            Oik menyandarkan punggungnya dan mengatur napasnya yang masih memburu. Ia membalikkan badannya dan mendapati Shilla sedang asyik mengobrol bersama Angel dan Sivia.
            “Hay!” Sapa Oik riang pada ketiga gadis hip itu. Dari sudut matanya, Oik dapat melihat Cakka yang kini duduk di samping Riko.
            Angel dan Sivia hanya menaikkan salah satu alisnya menanggapi sapaan Oik. Keduanya pun lalu membicarakan entah-tentang-apa dengan Shilla. Oik terbengong-bengong mendengar obrolan mereka mengenai dress, make-up, high heels, dsb.
            “Gue nggak nyangka bisa sekelas sama Cakka.” Shilla melirik lelaki itu yang kini tengah duduk di belakang Angel dan Sivia.
            Sivia tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, kali, Shill. Enak, kan?”
            “Ngaco lo! Kami udah putus, Siv!” Shilla diam-diam menginjak kaki Sivia hingga gadis itu meringis seraya menangkupkan kedua tangannya didepan dada–meminta maaf.
            Oik tertawa. Ia mengalihkan pandangannya dan menemukan Acha yang duduk berseberangan bangku dengan Cakka. Setelah berpamitan pada ketiga gadis hip itu, Oik bergegas menghampiri Acha yang duduk sebangku dengan Keke.
            “Achaaaaaaaaa!!!” teriak Oik kencang ditelinga gadis berwajah imut itu.
            Acha–yang sedang membaca majalah–kontan kaget dan menimpuk Oik dengan majalah yang tadinya ia baca. “Oik! Selalu aja bikin kaget!”
            Oik terkekeh melihat wajah sebal Acha.
            “Masih kayak anak kecil aja, sih, sukanya ngagetin orang!” omel Acha.
            Entah kenapa, Oik mendadak tidak fokus dengan perkataan Acha. Sesuatu menyuruhnya untuk melirik laki-laki di belakangnya. Cakka. Begitu ia melirik Cakka, ia mendapati lelaki itu tengah memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
            “Ik! Lo dengerin gue nggak, sih?!” jerit Acha sebal.
            Oik terkesiap. Ia tersenyum kikuk pada Acha. “Eh, Cha.. Apa? Lo tadi ngomong apa?”

**

            Jam sudah menunjukkan pukul empat sore tetapi keenam gadis itu masih asyik mengobrol di kantin. Mereka tak menghiraukan beberapa buku yang terbuka dan bungkus makanan ringan yang berserakan diatas meja.
            Oik kembali melirik jam tangannya dan bergegas merapikan barang-barang miliknya. “Udah sore, nih. Gue balik duluan, ya!”
            Setelah mendapat anggukan dari Acha, Keke, Shilla, Angel, dan Sivia, Oik segera berlalu dari kantin. Ketika ia melewati lapangan basket sekolah, ia melihat segerombolan anak laki-laki bermandikan peluh yang masih asyik bertanding.
            Dengan tak menghiraukan mereka, Oik kembali melangkah menuju lapangan parkir. Ini hari Senin dan jam baru menunjukkan pukul empat sore tetapi ia sudah memutuskan untuk pulang. Ia tidak peduli jika ia harus kembali sendirian di rumah. Badannya sudah seperti remuk karena terlalu lelah beraktivitas seharian ini.

**

            Lelaki itu baru saja memasukkan bola kedalam ring. Ia berseru senang karena timnya baru saja memenangkan pertandingan kecil-kecilan itu. Ia mengusap peluh yang bercucuran dari dahinya dengan sembarangan.
            Ia mengalihkan pandangannya ke koridor yang telah sepi. Hanya ada seorang gadis yang berjalan sendirian dengan kepala tertunduk.
            Tunggu. Sepertinya ia mengenali siluet itu.
            “Gue balik, guys!”
            Dengan asal-asalan, ia memakai kembali seragamnya–tidak peduli dengan kaos putih polos yang bermandikan peluh itu. Tanpa menunggu balasan dari teman-temannya, ia mengambil tas abu-abunya dan berlari di sepanjang koridor.
            Napasnya masih memburu karena baru saja selesai bermain basket dan juga upayanya berlari untuk mengejar siluet yang ia kenali. Ia menghentikan larinya dan hanya berjalan cepat ketika ia mendapati siluet itu yang kini berjarak beberapa meter di depannya.
            Ia tersenyum mendengar nyanyian samar-samar yang keluar dari bibirnya. Ia pun memutuskan untuk mensejajarkan langkahnya dengan langkah gadis itu.
            “Oik!” sapanya riang.
            Gadis itu menengok padanya tanpa menghentikan nyanyian kecilnya. Cakka menyadari Oik kini tengah memajukan bibirnya beberapa senti, pertanda gadis mungil itu tengah ngambek.
            “Hey, kamu... kenapa?” tanya Cakka heran.
            “Elo betein banget!!!” Oik memukul-mukul lengan Cakka hingga lelaki itu mengaduh kesakitan.
            Cakka memandang Oik bingung. Hey, tunggu. Apa? ‘Kamu’? Cakka tercenung. Tangannya membeku ketika ia berusaha menghentikan serangan dari Oik.
            “Tuh, kan! Elo betein, Cakka!!!” rengek Oik lagi.
            Cakka terkesiap. “Gue kenapa?” tanya Cakka dengan sedikit tergagap.
            “Jangan kira gue nggak peka, ya! Gue sadar elo tadi natap gue tajem banget. Berasa elo mau ngebunuh gue, tahu nggak?!” sentak Oik. Gadis itu langsung melepaskan tangan Cakka dari tangannya dan berjalan menjauhi Cakka.
            Cakka terdiam untuk beberapa detik dan segera menyusul gadis mungil itu. “Oik! Ik! Tunggu!”
            Cakka berhasil meraih tangan Oik dan menyuruhnya untuk tidak berjalan terlebih dahulu. Lelaki itu menghela napasnya. “Gue nggak suka lo ngungkit-ngungkit soal Shilla. Maaf.”
            “Kenapa?” tanya Oik heran.
            “Karena gue sama dia udah putus, Oik!! Gue nggak suka ada yang sebut-sebut soal Shilla di depan gue. Gue nggak mau ngasih kesan seakan-akan gue masih sayang dan mau balikan sama dia.”

**

            Pagi itu, Oik baru saja memarkirkan motornya. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati motor Cakka terparkir tak jauh dari miliknya. Itu berarti, Cakka juga baru saja datang. Oik cepat-cepat membenahi rambutnya dan berlari-lari kecil meninggalkan lapangan parkir, menyusul Cakka.
            “Cakka!” sentak Oik begitu ia melihat Cakka tengah berjalan sendirian di koridor.
            Lelaki itu menengok ke belakang dan tersenyum ketika mendapati Oik tengah memamerkan cengiran lucunya. “Ngagetin aja sih, lo!”
            Oik memutar bola matanya keki begitu melihat ekspresi menyebalkan Cakka. Dengan gemas, lelaki itu mengucek pelan puncak kepala Oik hingga membuat gadis mungil itu membeku.
            “Eh, Kka,” Oik terkesiap. “Tugas matematika yang kemarin itu dikumpulin kapan?”
            “Hari ini,” jawab Cakka santai.
            “Mati gue!!” pekik Oik. “Gue belum ngerjain, Kka!”
            Oik pun menggamit lengan Cakka dan menarik lelaki itu agar lebih cepat berjalan. Pasalnya, matematika adalah mata pelajaran pertama yang akan mereka dapat hari ini. Otomatis, sebelum bel berbunyi, Oik sudah harus menyelesaikan soal-soal mengenai bab peluang itu.
            Begitu sampai didepan kelas, Oik segera melepas gamitannya pada lengan Cakka dan terburu-buru masuk–meninggalkan Cakka yang mendesah kecewa diambang pintu kelas.
            “Shilla, gue––,”
            Belum sempat Oik menyelesaikan kalimatnya, teman sebangkunya itu telah sukses menarik Oik untuk duduk dan memasangkan sebuah headset ditelinga kiri Oik.
            “Ik, lo harus dengerin lagu ini! Ini lagu keren banget. Sumpah!!” celoteh Shilla.
            “Shilla, gue mau nyontek tugas matematika elo!! Bukan mau dengerin lagu bareng!” seru Oik keki. Tangannya hendak melepas headset itu tetapi dicegah oleh sang empunya.
            “No! No! No!” Shilla menggeleng tegas. “Gue nggak akan minjemin elo tugas matematika gue kalau lo belum dengerin lagu ini!”
            Oik mengangguk pasrah seraya mengeliarkan buku tugas matematikanya. Perlahan, musik sendu mulai memenuhi telinga kirinya. Diikuti barisan lirik dari lagu bernuansa mellow itu. Oik memutar bola matanya malas.
            “Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia. Hapuskan memoriku tentangnya...” Shilla menyanyi riang mengikuti alunan suara Momo–sang vokalis Geisha.
            Oik terdiam sejenak. Ia melirik Shilla. “Lo belum bisa move on dari Cakka, Shil?”

**

            Oik mengela napas, lelah. Ia baru saja selesai menyalin catatan matematika yang masih tertulis dipapan tulis. Ia menutup buku catatannya, meletakkan bolpoin, dan meregangkan tangannya. Ia menguap lebar. Ia butuh kopi.
            “Shill..” Oik melirik ke sampingnya dan baru saja ingat bahwa Shilla tengah pergi-entah-kemana-bersama-Sivia.
            Oik pun menengok ke belakang dan mendapati Angel yang sedang memakan bekalnya. Ia tak enak jika mengajak gadis itu. Ia belum akrab betul dengan Angel.
            Oik keluar dari kelasnya. Begitu ia akan menutup kembali pintunya, seseorang menahannya dari dalam. Oik menengok dan mendapati Cakka yang kini sudah berada disampingnya.
            “Mau kemana?” tanya Cakka seraya melirik Oik.
            “Koprasi, mau beli kopi. Lo mau kemana?” tanya Oik balik. Kini keduanya tengah berjalan beriringan di koridor sekolah, menuju koprasi yang terletak tak jauh dari kelas.
            Cakka hanya mengangkat bahunya. “Nganterin lo aja.”
            Oik mendecakkan lidah begitu keduanya sampai di depan koprasi. Koprasi sedang ramai-ramainya. Dengan terpaksa–karena malas menuju kantin hanya untuk membeli sekotak kopi instan–Oik masuk.
            Rupanya suasana didalam lebih ramai lagi. Oik terdesak sampai ke pintu. Beruntung, Cakka berada di belakangnya sehingga punggungnya tidak menghantam pintu jika ia terdorong ke belakang karena ramainya koprasi pagi itu.
            “Lo mau beli apa, Kka?” tanya Oik begitu ia telah mendapat kopi yang ia maksud.
            Cakka hanya menggeleng dan tersenyum.
            Tepat saat itu, pintu koprasi terbuka dari luar dengan keras. Otomatis, daun pintu itu kembali menghantam punggung Cakka hingga lelaki itu meringis kesakitan. Oik terpekik dan segera menarik lengan Cakka keluar.
            “Lo nggak apa-apa?” tanya Oik cemas. Jemarinya menyusuri punggung Cakka, meneliti apakah ada yang luka.
            Lagi-lagi, Cakka menggeleng. “Nggak usah khawatir, kali. Gue baik-baik aja.” Cakka tersenyum dan kembali mengucek puncak kepala Oik.

**

            Oik patut bernapas lega karena hari ini Pak Dave–guru Fisika–tidak dapat datang mengajar. Karena itu, Oik dapat beristirahat sejenak. Setelah istirahat pertama tadi, kelas Oik sudah dicekoki pelajaran Kimia. Dan kini, saatnya mengistirahatkan otak kembali.
            “Oik, temenin gue ke toilet!” suara cempreng Acha membuyarkan lamunan Oik.
            Oik mengerjap dan menatap keluar melalui jendela. “Hujan, Cha. Males ah, gue!”
            Acha memanyunkan bibirnya, membuat Oik gemas sekaligus sebal. Akhirnya, dengan ditarik Acha, Oik menemani gadis itu ke toilet. Dengan setengah menyeret Oik, Acha berkomentar panjang-lebar mengenai derasnya hujan sang itu.
            Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Acha keluar dari dalam bilik toilet. Keduanya pun melangkah keluar. Koridor sudah mulai banjir karena air hujan. Oik berjalan berhati-hati di belakang Acha. Sedang kan gadis tirus itu berlari kecil-kecil seperti tak takut akan terpeleset.
            “Acha, pelan-pelan! Gue yakin elo pasti nggak mau ngerasain yang namanya kepeleset, deh.” Oik menggelengkan kepalanya melihat Acha yang tak menghiraukannya dan terus berlari-lari kecil.
            Oik terus melihat kebawah, mengawasi langkah kakinya agar tidak terpeleset. Baru saja beberapa langkah berjalan setelah meneriaki Acha tadi, sepasang sepatu berwarna hitam pekat menghalangi langkahnya. Dengan sebal, Oik mendongakkan kepala.
            “CAKKAAAAA!!!!” seru Oik sebal.
            Yang merasa namanya diteriaki pun hanya tersenyum-senyum tak peduli, membuat Oik menahan napasnya. Apalagi mengingat jarak antara keduanya yang tak sampai setengah meter. Oik menelan ludahnya. Dengan jarak sedekat ini, ia mampu mencium harum parfum yang lelaki itu pakai.
            Menyadari ia terlalu memandang bola mata Cakka, Oik segera mengalihkan pandangannya. “Elo ngeselin banget!” pekiknya.
            Cakka tersenyum miring, tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis mungil di hadapannya. Lelaki itu pun hanya mengucek sekilas puncak kepala Oik dan berlalu, meninggalkan gadis itu yang terpaku sendirian.
            Tanpa keduanya sadari, seorang gadis tengah menatap mereka dengan mata yang menyorotkan kebingunan akan kedekatan keduanya.

**

            Oik menimang-nimang bukunya dengan bingung. Oik tidak akan mengumpulkan tugas itu sebelum ia yakin bahwa gambar perspektifnya benar. Sang guru telah berkoar-koar semenjak beberapa menit yang lalu agar seluruh siswa mengumpulkannya dimeja guru.
            Oik berjalan kearah meja guru dengan meneliti kembali perspektifnya. Kebetulan, ada Cakka yang tengah berdiri didekat meja guru. Dengan riang, Oik menghampiri lelaki jangkung itu dan menunjukkan perspektif miliknya.
            “Gini nggak sih, Kka?” tanya Oik, matanya memandang lekat goresan tangannya dibuku.
            Cakka melirik Oik sekilas. Tangan kirinya segera mengambil alih buku Oik dan tangan kanannya menggenggam tangan kanan Oik, menarik gadis mungil itu agar lebih dekat dengannya.
            “Iya, kan? Ginian aja?” tanya Oik dengan dada berdebar. Pasalnya, Cakka kini tengah berada tepat di sampingnya–tanpa ada jarak yang memisahkan tubuh mereka.
            “Iya.” Cakka tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya dari buku Oik kemanik mata gadis mungil yang tangannya masih ia genggam itu. “Bener, kok.”
            Oik tersenyum kikuk menanggapinya. Dengan terkekeh gugup, ia mengalihkan pandangannya dari wajah Cakka hingga membuat lelaki itu terkikik geli melihat pipinya yang bersemu merah.
            “Oik, lo udah ngumpulin?”
            Oik menengok dan mendapati Shilla yang kini menatapnya dan Cakka dengan raut wajah anehnya. Oik mengangguk lalu dengan segera melepaskan genggaman Cakka dari tangannya.
            Shilla menarik lengan Oik, meminta agar gadis mungil itu mengajarinya membuat perspektif yang benar. Dengan pasrah, Oik mengiyakan. Gadis mungil itu pun meninggalkan Cakka yang masih berdiri didekat meja guru dengan wajah kesalnya.

**

            Oik kembali mengecek ponselnya ketika ia melihat lampu LEDnya menyala-nyala. Sebuah chat lagi. Dari Cakka.

Cakka Nuraga
Ya maap kaliiiii!!!! Gw gk maksud bikin elo marah=))

Oik
Elo tuh moodbreaker bgt emg!!!!!!!!!!!>:o

Cakka Nuraga
Gw? Moodbreaker? Gk slh lo? Gw kan moodboosterny eloo;;) ({})

Oik
Plis. Hrs bgt ya elo kyk gini ke gw?

            Oik segera meng-end chat obrolannya dengan Cakka dengan wajah yang merah padam. Cakka memang begitu. Selalu saja bisa membuatnya berhenti marah dan kesal dengan cara-caranya sendiri.
            Oik segera melemparkan badannya keatas ranjang. Ia peluk boneka kelincinya dan berteriak sebal. Untung saja ia sedang berada di rumah sendirian jadi ia tak perlu repot-repot menjelaskan kepada siapa pun yang bertanya mengapa ia berteriak.
            Masih jelas rona merah dipipinya karena membaca chat Cakka barusan. Akhir-akhir ini, Cakka mendadak berubah manja jika dengannya. Menyangkut soal hati, ia tak tahu mengapa hatinya berdegup lebih kencang jika Cakka berulah seperti itu.
            LED ponselnya kembali menyala. Ada dua buah chat. Satu dari Cakka dan satu dari Acha. Tanpa menghiraukan chat dari Cakka, Oik membuka chat dari Acha.

RaissaAcha
PING!!!
Oiiiiiikkkkkk

Oik
Apaan cha?

RaissaAcha
To d point aj deh. Gw mw nanya.
Lo ada hubungan apa sm cakka? Gw lht td lo dkt bgt sm dia.

Oik
Gk ada

RaissaAcha
Ik, jujur sm gw

Oik
Gw udh jujur kali cha!!

RaissaAcha
Tp kalian ber2 tuh beda bgt tw gk sih?!
Cakka tuh lsg sumringah gt kl ada elo, ik. Dan elo jg kyk gt.
Jgn kira gw gk peka sm hubungan kalian.

Oik
Gw gk ada apa2 sm cakka, achaaaaa!!

RaissaAcha
Gw cmn mw ngingetin aja. Cakka itu mantanny tmn sebangku elo.
Gw ykn elo gk mw kan diblg tmn makan tmn?:-)

Oik
Siap bos!!!! ^^

RaissaAcha
Gw tw kok kl kalian ber2 pd nyaman didktny msg2
Tp agak jg jarak bisa kan? Gw gk mw aja elo diblg yg gk gk gt sm shilla dkk.

**

            Entah kemana perginya guru-guru yang seharusnya mengajar hari ini. Kelas Oik benar-benar ditelantarkan, tidak ada satu guru pun yang mengajar sejak bel masuk berbunyi. Begitu pula saat ini–ketika jam pelajaran keenam sudah harusnya dimulai.
            Karena bosan, Oik memilih untuk keluar kelas. Acha, Keke, dan yang lainnya sedang duduk-duduk di koridor dan berbincang bersama. Tanpa memperdulikan Shilla, Sivia, dan Angel yang tengah membicarakan trend fashion terbaru, Oik membawa ponselnya serta keluar.
            Oik baru saja duduk di samping Ray ketika Cakka dengan seenaknya duduk diantara ia dan Ray–mempersempit tempat. Dengan sebal, Oik memukul lengan Cakka.
            “Tempatnya tuh, masih luas. Ngapain sih, elo nyempil aja?!” hardik Oik kesal.
            Cakka tak mengindahkan hardikan Oik, ia malah merebahkan kepalanya dibahu Oik dengan wajah memelas. “Gue ngantuk,” bisiknya.
            Oik kembali merasakan sesuatu yang meledak-ledak dalam dadanya. Ia pun ikut mengobrol bersama Acha, Keke, Riko, dan Ray–berusaha melenyapkan ledakan-ledakan itu. hingga akhirnya, ia menyerah.
            “Gue juga ngantuk,” ujar Oik–ketika Cakka kembali menegakkan kepalanya, sebagai gantinya, kini ia yang merebahkan kepala dibahu Cakka.
            Cakka terkekeh melihat wajah mengantuk Oik, hingga membuat gadis mungil itu menggeram kesal.
            Tiba-tiba saja, Oik menarik kepalanya dari bahu Cakka dan bergerak berdiri.
            “Mau kemana?” tanya Cakka. Lelaki itu menahan tangan Oik, menggenggamnya lembut, dan menatap Oik tepat dimanik matanya.
            Oik gelagapan mendapat perhatian kecil Cakka yang menjurus pada ‘posesif’ itu. “Mau ke... kelas. Ambil minum,” jawabnya tergagap.
            “Nggak boleh. Lo nggak boleh kemana-mana,” balas Cakka dengan suara manja dan mimik wajah yang lucu. “Your place is right there, next to me,”
            Oik sesak napas seketika. Ia pun melepas genggaman Cakka dan segera masuk ke kelas dengan wajah bersemu merah. Ia mengambil botol minumnya dan menggenggamnya erat-erat, menyalurkan perasaan berdebarnya kesana–dan gagal.
            “Sini, sini,” Cakka menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya begitu Oik kembali berada di hadapannya.
            Dengan jantung yang masih berdebar, Oik kembali duduk di samping Cakka. Ia meminum air mineralnya dalam diam. Dengan usil, Cakka mengetuk-ngetuk ujung botol minumnya hingga beberapa tetes air jatuh didagu Oik.
            “Elo nggak bisa ya, nggak usah gangguin gue sehari aja?” tanya Oik begitu ia telah selesai meminum air mineralnya.
            “Enggak,” Cakka menggeleng dan tersenyum lebar. “Rasanya ada yang kurang aja kalau seharian gue nggak gangguin elo.”
            Cakka menatap wajah Oik dan menepuk tetesan air didagu gadis mungil itu. Lelaki itu pun membersihkannya dengan ibu jari tangan kanannya, hingga membuat Oik kembali membeku.
            “Dunia milik berdua aja deh, berasanya,” celetuk Ray–yang ditanggapi tawa Keke, Acha, dan Riko.

**

            “Oik, serius.. Lo mulai suka ya, sama Cakka?” tanya Acha tanpa tedeng aling-aling ketika keduanya tengah berada di toilet. Untungnya, tidak ada siswi lain yang berada disana juga.
            Oik tak dapat menahan senyumnya untuk tidak mengembang. “Enggak, Cha. Gue kan, udah bilang sama lo semalem. Nggak mungkin gue suka sama Cakka.”
            “Oik,” sergah Acha sebal. “Bisa nggak sih, lo nggak usah nutupin perasaan lo sendiri? Urusan hati mah, nggak bisa dibohongin. Kita temenan udah lama kali, Ik. Gue ngerti elo banget. Dan gue ngerti kalian berdua tuh, more than friends.”
            “But, actually, we’re just friends.” Oik menatap pantulan wajahnya di depan cermin dengan ekspresi yang sulit diartikan.
            “Gue cuman mau ngingetin aja. Bukannya gue nggak suka kalau elo sama Cakka, tapi gue nggak mau aja temen gue ini dibilang temen makan temen. Lo tahu sendiri kan, kalau misalnya Shilla belum bisa move on dari Cakka.”
            “Tahu darimana sih, lo?” ejek Oik seraya tertawa kecil.
            “Waktu itu...” Acha mulai menerawang.

**

            “Gue pingin ke Dufan.” Riko berkata lantang.
            Hening.
            “HAHAHAHAHAHAHAH!!!” tawa Oik, Acha, Keke, Ray, dan Cakka cukup membuat Riko kembali bungkam dengan wajah merah padam menahan malu.
            “Kayak anak kecil aja sih, lo! Ngapain juga ke Dufan? Mending hang out ke Senayan atau kemana gitu!” Acha hanya menggelengkan kepalanya setelah tawanya reda. Gagasan Riko mengenai pergi-ke-Dufan cukup membuatnya tak habis pikir.
            “Ya mau main dong, Cha! Lo kata gue mau nyuci di Dufan?” balas Riko sengit. “Sekarang gini deh, ya..” Riko meletakkan kotak bekal berisi potongan strawberry cake-nya dan menatap kelima temannya serius. “Gue tanya sama lo semua. Apa enaknya sih, hang out di mall melulu?”
            Keke mengangkat dagunya dengan pongah. “Nggak ada yang ngebosenin dari jalan keliling mall cari barang sale. Mau capek sampai gimana pun, kalau udah dapet barang bagus dan sale pula, nggak bakal kerasa deh, capeknya! Gue jamin.”
            Ray berdecak. “Gila. Mall segitu gede dikiterin apa ya, nggak capek?”
            “Bukan itu maksud gue!” Riko membalas sebal. “Lo nggak bosen hang out di mall terus? Atau, gue tanya kalian satu-persatu, udah berapa kali ke Dufan?”
            Acha memutar bola matanya. “Dua kali. Mungkin.”
            Keke berpikir keras begitu tatapan Riko jatuh padanya. “Kayaknya sih, sekali.”
            “Gue udah dua kali!” seru Ray bangga.
            “Gue empat kali,” kata Oik cuek. Ia ingat betul bagaimana malasnya ia ketika menemani sanak-saudaranya dari Salatiga yang ingin bermain di Dufan.
            “Gue sekali juga,” Cakka nyengir lebar.
            “Tuh, kan! Pada jarang ke Dufan semua padahal juga tinggal di Jakarta. Pokoknya, Sabtu minggu depan kita bareng-bareng ke Dufan. Titik! Nggak ada koma. Ini udah keputusan final.”
            Begitu mengumumkan ‘hasil rapat’ tadi, Riko langsung ngeloyor pergi ke kantin bersama Ray. Sedangkan Acha dan Keke hanya duduk berhadapan sambil melongo hebat. Begitulah Riko. Pengambil keputusan final yang sama sekali tidak dapat diganggu gugat.
            Cakka dan Oik cekikikan melihat Acha dan Keke yang sudah kembali mengunyah camilan masing-masing masih dengan sisa-sisa kekagetan pada raut wajahnya. Cakka dan Oik kembali mengobrol mengenai konser Taylor Swift yang akan digelar bulan depan di MEIS.
            Pandangan Oik beralih pada pintu kelas. Berangsur-angsur penghuni kelas 11 IPA 3 telah kembali. Begitu kembali menatap Cakka, Oik tak sengaja melihat dasi Cakka yang berantakan. Dengan memiringkan kepalanya, Oik meneliti dasi yang dipakai Cakka.
            “Kenapa?” tanya Cakka bingung.
            “Nggak,” Oik menggeleng. Ia tetap memperhatikan dasi Cakka sembari menunjuknya. “Dasi elo berantakan banget. Nggak pernah lo lepas terus lo benerin?”
            Cakka tersenyum malu. “Nggak. Gue nggak bisa. Biasanya bunda yang benerin.”
            Oik kembali menegakkan kepalanya dan berdiri di samping Cakka. “Siniin dasi lo, biar gue benerin.”
            Tanpa berkata apa-apa lagi, Cakka segera melepas dasinya dan menyerahkannya pada Oik. Cakka pun ikut berdiri, memperhatikan Oik yang tengah serius membetulkan dasinya. Seulas senyum tersungging di bibirnya.
            “I’m at a payphone trying to call home. All of my change I spent on you. Where have the times gone? Baby, it’s–––,”
            “Lo nyanyi, Kka?” tanya Oik sambil cekikikan.
            “Iya, lah! Nyanyi buat elo, nih,” Cakka menghentikan senandungnya dan mengucek pelan puncak kepala Oik. Ia tersenyum tipis.
            “Gue kirain elo lagi bisik-bisik tadi. Pelan banget, sih!” Oik baru saja akan melanjutkan kalimatnya ketika ia tak sengaja menengok pada Acha dan melihat sahabatnya itu tengah memandangnya tajam.
            Oik hanya tertawa garing.
            Hening.
            Cakka tersenyum miring.
            “Cakka!!!!! Ih, apaan coba ganggu-ganggu?! Gue lagi benerin dasi punya elooo!!!!” Oik langsung memukul-mukul lengan Cakka karena lelaki itu mengacaukan sentuhan terakhirnya pada dasi milik lelaki itu. Terpaksa, Oik kembali mengulang dari awal.
            Cakka kembali tertawa melihat Oik yang sudah berdetik-detik stuck pada step one cara merangkai dasi yang benar. “Kenapa?” tanyanya.
            “Gue lupa abis ini digimanain,” bisik Oik malu-malu.
            Cakka menyingkirkan tangan Oik lalu membetulkan pekerjaan gadis itu. Ia menyelesaikan step one lalu tersenyum lebar pada Oik yang menatapnya malas.
            “Katanya nggak bisa benerin dasi sendiri,” sindir gadis itu. Lalu, ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya membenahi dasi Cakka.
            “Gue cuma pingin lihat lo benerin dasi gue aja,” kata Cakka.
            Lagi-lagi, ketika Oik akan menyelesaikan simpul dasi Cakka, lelaki itu merusaknya.
            Lagi.
            Lagi.
            Dan lagi.
            “Cakkaaaaa!!!!! Seriusan, dong! Elo mau gue benerin nggak sih, dasinya?!” Oik memandang Cakka dengan wajah sebal yang kentara, membuat lelaki itu menahan tawanya. “Udah, ah. Capek gue.” Oik kemudian melepas dasi Cakka dari lehernya dan melemparnya begitu saja di meja.
            Dengan sigap–dan masih menahan tawa gemasnya–Cakka mengambil kembali dasinya yang masih tak beraturan dan menahan lengan Oik begitu gadis itu berancang-ancang akan meninggalkannya.
            “Jangan kemana-mana dong, Ik.” Cakka berbisik tepat di telinga Oik. Oik seakan merasakan ribuan volt listrik mengaliri tubuhnya hingga ia tersentak. “Gue bercanda doing tadi. Lo nggak boleh kemana-mana ya, pokoknya.”
            Cakka membalikkan badan Oik dan memasangkan dasinya dileher Oik. Setelahnya, ia tersenyum. Mau tidak mau, dengan hati yang masih berdebar, Oik kembali membenahi dasi Cakka sementara sang empunya hanya bersandar pada meja dengan tangan terlihat didepan dada serta pandangan yang terkunci hanya padanya.
            “Cakka, jangan ngelihatin gue begitu, dong.” Oik bercicit pelan.
            “Nggak bisa. Gue nggak bisa berhenti merhatiin elo.” Cakka tak sadar bahwa perkataannya barusan kembali mengundang ribuan volt listrik untuk menyengat Oik.
            Tangan Oik berhenti di udara. Ia blank. Ia lupa step selanjutnya. Itu semua karena Cakka yang tak bisa berhenti memandanginya dengan intens. Oik menggigit bibirnya, mencoba mengingat kembali step selanjutnya.
            “Kenapa, Ik? Lupa lagi?” tanya Cakka. Oik mengangguk kecil.
            “Oik! Kenapa? Lo lupa cara benerin dasi?”
            Sebuah suara tiba-tiba saja muncul diiringi suara langkah kaki dari tiga orang. Lalu, tanpa Oik duga, Shilla sudah berada di hadapannya dengan tersenyum lebar. Tangan gadis itu sudah mulai melepas dasi Cakka yang tengah dikenakan Oik.
            “Sini, gue benerin,” tawar Shilla dengan senyum yang masih lebar.
            “Nggak usah,” Cakka langsung menyambar dasinya dari Oik dan Shilla lalu melenggang begitu saja meninggalkan dua gadis yang menatap punggungnya menjauh.
            “Yeeehhh, Cakka! Shilla ditinggalin gitu aja!!” celetuk Keke, hampir bersamaan dengan Sivia. Keduanya lalu tertawa heboh.
            Berbeda dengan Keke dan Sivia yang tertawa heboh, Oik masih menatap kepergian Cakka dengan sebal. Bagaimana bisa lelaki itu pergi meninggalkannya?! Koreksi, meninggalkannya hanya gara-gara ada Shilla! Apalagi, sebelumnya ketika Oik akan pergi, Cakka melarangnya. Apa sih, maksudnya? Nggak adil!
            Acha hanya memandang adegan barusan sambil lalu. Baru ketika ia akan mengalihkan pandangannya, ia tak sengaja melihat raut wajah Shilla yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Kini, ia tahu bahwa Shilla masih belum benar-benar bisa melepas Cakka.

**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS