Pesta
pernikahan Rio dan Ify dihelat di sebuah villa dengan halaman yang sangat luas
di bilangan Bogor. Sebuah villa megah dengan jumlah kamar yang sebanding dengan
jumlah para undangan. Pesta pernikahan formal telah digelar seminggu yang lalu
di Jakarta. Pesta kali ini khusus digelar untuk orang-orang terdekat Rio dan
Ify, seperti saudara dan sahabat –pengecualian untuk Cakka dan Shilla–.
Halaman
samping villa telah ramai. Kolam renang dihiasi oleh-oleh lilin-lilin kecil
yang menyala redup dan dialasi oleh piring-piringan mungil berwarna putih
gading. Para waitress sibuk
menghidangkan makanan kecil dan cocktail
pada para undangan, tak terkecuali waitress
yang satu itu.
Rio
dan Ify berdiri berdampingan di atas sebuah podium kecil, menghadap para
undangan yang tengah berbincang dan menikmati hidangan yang disajikan. Ekor
mata Ify terus saja menguntit kemana pun siluet Oik pergi. Kali ini, gadis
mungil itu tengah berkumpul bersama Alvin, Shilla, dan Cakka.
Oik,
yang merasa terus diperhatikan oleh seseorang, menengokkan kepalanya ke kiri
dan ke kanan. Ia mendapati Ify sedang menatapnya lurus, Oik tersenyum lebar dan
mengangkat cocktail di tangannya pada
Ify, Ify pun melakukan hal yang sama.
“Pestanya
bagus.” Shilla mulai berceloteh.
Oik
mengangguk, “Gue suka konsep garden party
yang mereka pakai.”
Cakka
mengangkat cocktailnya di
tengah-tengah mereka berempat, “Cheers!”
Shilla
dan Oik pun ikut mengangkat cocktail
mereka, “Chee---,”
“Tunggu!
Cocktail gue habis.” Alvin memutar
pandangannya. Ia menengok ke samping kanan, ada seorang waitress yang mengangsurkan segelas cocktail kepadanya. Alvin menerimanya dengan tersenyum sangat
manis. “Nah, cheers!”
Alvin,
Cakka, dan Shilla pun menenggak cocktail
masing-masing. Sedangkan Oik, ia terus menatap tajam punggung waitress tadi. Ia merasa mengenali
postur tubuh itu. Tapi, siapa? Oik memutar otaknya. Tepat ketika pikirannya
menemukan jalan buntu, waitress tadi
menengok pada Oik, wajahnya yang tadi menunduk kini terlihat jelas. Oik
terkesiap.
Gadis itu lagi?! Gimana bisa dia ada di
sini...
**
Oik
memasuki sebuah kamar di ujung lorong bersama Shilla. Kebetulan kamarnya
berhadapan dengan kamar Alvin dan Cakka. Dengan cepat, Oik merebahkan tubuhnya
pada sebuah kasur berukuran single di
samping jendela yang menghadap ke kolam renang.
Oik
menengok ke samping. Ia melihat Shilla sedang terduduk di atas kasur berukuran single satunya –yang dipisahkan oleh
sebuah night stand dengan kasurnya– seraya membongkar koper meran marun milik
gadis itu.
“Lo
cari apa, Shill?” tanya Oik.
Shilla
mengedik padanya sekilas, “Peralatan mandi gue. Gue ngerasa sudah masukin semua
itu ke koper. Tapi sekarang... ga ada!” Shilla menghela napas berat.
“Gue
duluan yang mandi, ya?”
Shilla
hanya mengangguk. Oik pun segera membuka kopernya, mengambil baju ganti serta
peralatan mandi, dan masuk ke dalam kamar mandi yang terletak tak jauh dari
pintu kamarnya.
Shilla
terpekur sesaat. Ia alihkan pandangannya pada pintu kamar mandi yang tertutup
rapat. Dengan berjingkat, ia berjalan menghampiri koper Oik. Shilla melihat
sebuah tas kecil di atas koper tersebut. Tangannya terulur, menyentuh sebuah
gantungan kunci kecil yang melekat pada tas kecil milik Oik. Sebuah gantungan
kunci kecil bergambar doraemon. Shilla membaliknya, membaca tulisan-tulisan
mungil yang tertera di sana.
“Astaga...”
Shilla menggeleng tak percaya, kedua bola matanya membulat karena kaget.
**
Lagi-lagi,
gadis berambut pendek itu. Ia membawa sebuah lilin kecil. Setelah dirasa aman,
ia kembali memasuki gudang di hadapannya. Dengan tanpa menyalakan saklar lampu,
ia terus berjalan menuju tumpukan kardus di sudut gudang.
Ia
buka kardus yang paling atas. Tumpukan album foto usang. Gadis berambut pendek
itu membuka halaman demi halaman album usang tersebut satu-persatu. Akhirnya,
ia menemukan foto itu. Ada lima anak kecil yang sedang tersenyum lebar
menghadap ke kamera. Jemarinya menyentuh satu-persatu wajah anak-anak kecil
itu.
Seorang
anak laki-laki dengan pipi tembem, seorang anak perempuan dengan rambut sebahu,
seorang anak laki-laki bermata sayu, seorang anak perempuan berambut ikal
panjang, dan seorang anak perempuan berbibir tipis.
Jemarinya
berhenti pada wajah anak kecil terakhir. Wajahnya mengeras. Tanpa basa-basi, ia
menyulutkan api dari lilinnya pada wajah anak perempuan itu. Dalam sekejap,
wajah anak perempuan itu telah berubah menjadi hitam. Ia tersenyum miring.
“Lo
tau? Ini semua gara-gara lo! Lihat apa yang sudah lo perbuat! Hari ini tepat 16
tahun semenjak kejadian itu. Dan dalam kurung waktu itu, sakit di hati gue
belum juga sembuh. Ini semua salah lo! Camkan itu baik-baik!”
**
Oik
baru saja keluar dari kamar mandi dengan menenteng pakaian kotor beserta
peralatan mandinya. Ia segera meletakkannya di dalam kopernya. Ia mengedik
menatap Shilla. Ia mendapati Shilla sedang menatap tas kecilnya tanpa berkedip.
“Lo
lihat apa, Shill?” tanya Oik.
Shilla
mengedipkan matanya dan berusaha menjadi Shilla yang seperti biasa, “Nothing. Gue hanya... suka gantungan
kunci lo,”
Dahi
Oik berkerut heran. Ia mengambil gantungan kunci tersebut dan mengangsurkannya
pada Shilla, “Ini?” Shilla mengangguk. “Ambil aja kalau lo mau.” Oik
meletakkannya pada genggaman tangan Shilla.
Shilla
terdiam untuk beberapa detik. Ia merasa dewi fortuna sedang ada dipihaknya saat
ini. “Serius? Boleh buat gue?” Oik mengangguk. “Wah! Thanks, Ik!”
Oik
hanya tersenyum tipis dan kembali membereskan pakaian kotornya, “Gimana
peralatan mandi lo? Ada?”
“Hilang.
Atau mungkin, gue yang lupa bawa.” Shilla mengangguk kecil.
“Mau
pinjam punya gue?” Oik mengangkat tempat peralatan mandinya dan menunjukkannya
pada Shilla.
Shilla
mengangguk cepat. “Boleh, deh!”
Oik
terus memperhatikan Shilla yang kini sedang mengambil pakaian bersihnya. Lalu,
gadis itu membuka tempat peralatan mandi Oik dan mengeluarkan sabun milik Oik.
Shilla menggenggamnya erat. Lagi-lagi, Oik menemukan Shilla sedang menatap
kosong ke benda miliknya.
**
“.....Ada apa?.....”
“.....Gawat!
Saya merasa familiar dengan wajah laki-laki itu.....”
“.....Nanti saya MMS kamu foto laki-laki
yang harus kalian jauhi. Laki-laki itu sendirian?.....”
“.....Berdua
dengan seorang perempuan.....”
“.....Ya sudah, kamu jangan panik. Tetap jaga
dia. Setelah ini saya langsung kirim fotonya ke kamu.....”
“.....Iya.....”
**
Alvin
berjalan cepat menuju gerbang villa megah tersebut. Sesekali ia menengok ke
belakang, sekedar memastikan tidak ada yang melihatnya saat ini. Alvin menangkap
siluet seseorang yang tengah bersandar di balik gerbang. Alvin bergegas
menghampiri siluet tersebut.
“Hay!”
Alvin menyapa siluet itu.
Siluet
itu pun balas tersenyum pada Alvin. Oh, ternyata siluet itu milik gadis
berwajah riang tempo waktu. Gadis berwajah riang itu merentangkan lebar-lebar
kedua tangannya dengan tersenyum simpul. Alvin pun memeluknya erat. Keduanya tertawa
bersama.
“Aku
kangen kamu.” Alvin berbisik.
Gadis
dalam pelukan Alvin tersenyum dan melepaskan pelukan itu, “Aku juga.”
“Aku
kaget waktu tadi lihat kamu ada di partynya
Rio sama Ify. Nyamar jadi waitress,
pula!” Alvin menatap gadis di hadapannya tak percaya.
“Apa,
sih, yang ga buat kamu? Biar kamu ga kangen.” gadis itu mengusap pelan pipi
Alvin.
“Tapi,
kan, aku takut kalau sampai ada yang lihat kamu tadi.” Alvin mendadak cemas.
“Ga usah cemas gitu,
deh, Vin. Buktinya tadi ga ada yang mergokin aku, kan?” gadis itu tersenyum,
mencoba menenangkan Alvin.
Oh,
rupanya gadis berwajah riang itu salah. Apa katanya? Tidak ada yang memergoki
dirinya? Memang. Tapi, Oik menyadari kehadirannya. Oik selalu menyadari
kehadiran gadis itu. Oik hanya tidak ingin buka mulut terlebih dahulu. Cepat atau
lambat, jika Oik sudah siap, ia pasti akan buka mulut soal kehadiran gadis itu...
Alvin
kembali merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Keduanya tidak menyadari bahwa
ada sepasang mata yang sedari tadi menatap lekat ke arah keduanya dari balik
jendela. Sepasang mata itu kembali membulat sempurna mendapati Alvin memeluk
gadis itu untuk yang kedua kalinya. Ditambah lagi, Alvin mendaratkan kecupannya
di puncak kepala gadis itu. Tak tahan, sepasang mata itu menutup tirai jendela
dengan kasar.
**
Pagi
pun menjelang. Kini Oik, Alvin, Cakka, Shilla, Rio, dan Ify tengah berada di
halaman villa. Oik sedang memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil, begitupula
dengan Cakka. Alvin, Shilla, Rio, dan Ify sedang mengobrol di depan mobil.
“Ik..”
Cakka melirik Oik sekilas.
Oik
menaikkan sebelah alisnya, “Hm?”
“Alvin
itu... pacar lo?” tanya Cakka.
Oik
mengangguk santai, “Kenapa?”
“Yakin?”
Oik
mengangguk sebal, “Kenapa, sih? Lo ada masalah apa kalau Alvin itu cowok gue?”
Cakka
menggeleng. Belum waktunya. Cakka pun menutup pintu bagasi. Dengan tidak
memedulikan Oik yang sedang berkacak pinggang, Cakka melangkah menuju depan
mobil. Alvin, Shilla, Rio, dan Ify sudah ada di sana. Dengan kesal, Oik
menyusul Cakka. Ia memandang lelaki itu dengan sebal.
Alvin
–yang menyadari ada yang tidak beres dengan Oik– segera merangkul Oik, “Kenapa,
Ik?” tanyanya dengan lembut.
Oik
menggeleng sebal, “Bukan apa-apa. Hanya orang menyebalkan aja.”
Cakka
tak sengaja mendengar pembicaraan singkat Oik dan Alvin. Ia hanya mampu
menghela napasnya. Apa, sih, yang salah dengan dirinya? Ia hanya bertanya
sedikit tadi pada Oik. Lalu, kenapa gadis manis itu mendadak sebal? Apa karena
Cakka yang tampak tidak yakin bahwa Alvin adalah pacar Oik?
“Kalian
langsung kembali ke Jakarta?” tanya Rio seraya memandang Oik, Alvin, Cakka, dan
Shilla satu-persatu.
Alvin
menggeleng, “Oik pingin ke rumah orang tuanya sebentar. Mungkin singgah satu
jam di sana. Itu pun kalau Cakka dan Shilla ga keberatan kami ajak ke Bandung.”
Alvin mengedik pada Cakka dan Shilla.
“Boleh!
Boleh!” Cakka segera menyahut.
Oik
memandangnya tak suka. Ia makin mengeratkan rangkulannya pada Alvin. Melihat itu,
Cakka mendadak mengerutkan keningnya. Entah kenapa, ia tak suka melihatnya. Tunggu!
Apa-apaan ini? Kenapa ia jadi sebal begini?
“Ya
sudah, kami pamit dulu, Yo, Fy. Cepat kembali ke Jakarta, ya!” Alvin
melambaikan tangannya pada Rio dan Ify.
“Iya,
hati-hati.” Ify tersenyum pada keempatnya.
Setelah
itu, mereka berempat pun masuk ke dalam mobil Alvin. Alvin duduk di balik
kemudi, Oik di sampingnya, Cakka dan Shilla duduk di bangku belakang. Alvin pun
mulai mengemudikan mobilnya menuju Bandung. Ketika ia melihat kaca spion
tengahnya, tatapannya tak sengaja bertabrakan dengan tatapan tajam milik Cakka.
**
Setelah
menempuh perjalan yang tidak terlalu lama, keempatnya sampai di sebuah pedesaan
di pelosok Bandung. Kaca jendela mobil pun dibuka, AC dimatikan. Udara sejuk
khas pedesaan mulai masuk ke dalam mobil. Rambut Oik dan Shilla menari-nari
dibuatnya.
Jalan
berkelok-kelok di depan mereka masih alami, belum diaspal, masih berupa tanah. Sejauh
mata memandang, hanya warna hijau yang mereka temui. Sawah berada di kanan dan
kiri mereka. Juga ada beberapa orang-orangan sawah yang sengaja dipasang untuk
mengusir para burung-burung nakal.
Jalan
semakin menanjak. Mereka sudah tidak mendapati persawahan di kanan dan kiri
jalan. Sawah-sawah bak permadani hijau muda itu digantikan oleh kebun teh yang
aromanya membuat siapapun betah di sana. Ada pula para anak kecil yang sedang
berlarian di antara tanaman teh itu.
Alvin
menepikan mobilnya, memasukki sebuah pekarangan rumah dengan halaman yang luas.
Ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah berarsitektur jaman Belanda yang
sederhana.
“Kita
sudah sampai!” pekikan girang Oik menyadarkan Cakka dan Shilla dari
keterpanaannya.
Oik
pun turun dari mobil, diikuti Alvin serta Cakka dan Shilla. Tanpa permisi, Oik
masuk ke dalam rumah tersebut. Alvin, Cakka, dan Shilla duduk di teras. Kebetulan
ada sebuah meja bundar yang dikelilingi enam kursi kayu. Alvin, Cakka, dan Shilla
duduk bersebelahan. Alvin tersenyum memandang sekeliling. Cakka dan Shilla pun
begitu.
Tak
lama kemudian, Oik keluar bersama seorang wanita paruh baya. Oik membantu
wanita itu untuk duduk. Setelahnya, ia duduk di antara wanita itu dan Alvin.
“Tadi
kami baru dari acaranya Rio dan Ify di Bogor, Bunda.” Oik berkata pada wanita
di sampingnya, Bundanya.
Bunda
Oik mengangguk. Beliau mengedik pada Cakka dan Shilla, “Mereka siapa?”
“Saya
Cakka, Tante.” Cakka menyalami Bunda Oik da tersenyum simpul.
“Saya
Ashilla.” Shilla pun mencium punggung tangan Bunda Oik.
Raut
wajah Bunda Oik mendadak berubah. Tak berapa lama kemudian, beliau bangkit dari
duduknya.
“Kalian
makan siang sekarang, ya?” tawar beliau.
Oik
menengok ketiga orang lainnya dan akhirnya mengangguk, “Ayah di mana, Bunda?”
“Masih
ke rumah Pak Kepala Desa. Ya sudah, Bunda siapkan makan siang dulu. Kalian segera
ke gazebo belakang saja. Kalian makan siang di sana.” Bunda Oik pun lekas
melangkah menuju dapur.
Oik
menatap kepergian Bundanya dengan pandangan bertanya. Alvin yang menyadarinya
langsung berdiri dan menggandeng tangan Oik. Oik mendongak dan mengangkat
sebelah alisnya.
“Ayo
ke gazebo belakang..” ajak Alvin.
Oik
mengangguk. Ia pun berdiri, menyeret kakinya menuju gazebo belakang. Cakka dan
Shilla mengekor keduanya. Begitu sampai di halaman belakang rumah Oik,
keempatnya langsung duduk di gazebo, mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri.
Halaman
belakang rumah Oik juga tak berpagar. Rupanya rumah Oik dikelilingin oleh kebun
teh. Lihat saja, kebun the terhampar di sana. Sejauh mata memandang, hanya
kebun teh yang terlihat. Cakka tersenyum. Ia suka alam. Ia suka apapun yang
berhubungan dengan alam.
“Rencananya
nanti kembali jam berapa?” tanya Shilla.
Oik
mengangkat bahunya, “Terserah Alvin.”
“Setelah
makan siang langsung?” Alvin balik bertanya pada Shilla.
Cakka
menggeleng cepat, “Jangan!”
Alvin
dan Shilla menatap Cakka penuh tanya. Berbeda dengan Oik. Gadis manis itu
menatap Cakka sebal. Apa-apaan lagi Cakka ini?
“Aku
ingin keliling kebun teh dulu. Boleh?” Cakka melirik Oik.
“Tapi,
Kka.. Aku butuh istirahat. Besok aku perform
di pensinya SMA Al-Izhar!” Shilla menyela dengan cepat.
“Kamu
kalau mau pulang sekarang, ya silakan. Aku ingin keliling kebun teh dulu.” Cakka
memandang Shilla dingin.
Shilla
bersedekap tangan, “Terserah kamu, deh!”
“Aku
juga ingin keliling kebun teh.” Oik berkata datar.
Alvin
menatapnya bingung, “Bukannya kamu takut masuk angin? Kamu pernah bilang ke aku
kalau di kebun teh anginnya kencang.”
“Ga mau! Lala mau di cini aja! Kalian aja
yang keliling kebun teh. Lala di cini cendilian juga ga apa-apa. Lala takut
sama anginnya, bikin kedinginan!”
“Kka,
aku di sini saja. Aku takut sama anginnya kebun teh, kencang banget.” Shilla mengusap-usap
lengannya.
Tak
lama kemudian pembantu Oik datang, membawakan menu makan siang mereka. Setelah semua
makanan tertata rapi di gazebo, pembantu Oik kembali ke dapur. Mereka berempat
pun langsung melahap makanan yang telah dimasak Bunda Oik. Bunda Oik mengawasi
mereka semua dari balik jendela dapur.
Bunda
Oik memasakkan kakap merah saus padang, masakan kesukaan Oik. Setelah mengambil
sepotong ikan kakap masing-masing, mereka segera melahapnya, kecuali Oik. Gadis
itu membuang duri-duri ikannya terlebih dahulu. Cakka meliriknya sekilas.
“Lala ga cuka duli ikan. Takut ketelan telus
tenggolokannya nanti jadi cakit.”
Cakka
menahan napasnya. Ia lalu melirik Shilla. Dilihatnya calon istrinya itu dengan
cepat membuang duri-duri ikan kakapnya juga. Bedanya, Shilla sudah memakan
sayur-mayurnya sedikit. Sedangkan Oik belum menyentuh sayur-mayurnya sama
sekali.
Cakka
menatap keduanya bingung.
Lala itu Shilla? Tapi... kenapa Oik
benar-benar mirip Lala? Oh, bagus! Lalu, siapa lagi setelah ini yang
berkelakuan seperti Lala?!
Cakka
menggeram frustasi. Ia benar-benar jengah jika dihadapkan dengan dua
kemungkinan seperti ini. Apalagi, masih banyak kemungkinan lain. Masih banyak
gadis di dunia ini dan tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada gadis-gadis
lain lagi yang berkelakuan mirip Lala!
0 komentar:
Posting Komentar