Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [03]

            Pesta pernikahan Rio dan Ify dihelat di sebuah villa dengan halaman yang sangat luas di bilangan Bogor. Sebuah villa megah dengan jumlah kamar yang sebanding dengan jumlah para undangan. Pesta pernikahan formal telah digelar seminggu yang lalu di Jakarta. Pesta kali ini khusus digelar untuk orang-orang terdekat Rio dan Ify, seperti saudara dan sahabat –pengecualian untuk Cakka dan Shilla–.

            Halaman samping villa telah ramai. Kolam renang dihiasi oleh-oleh lilin-lilin kecil yang menyala redup dan dialasi oleh piring-piringan mungil berwarna putih gading. Para waitress sibuk menghidangkan makanan kecil dan cocktail pada para undangan, tak terkecuali waitress yang satu itu.

            Rio dan Ify berdiri berdampingan di atas sebuah podium kecil, menghadap para undangan yang tengah berbincang dan menikmati hidangan yang disajikan. Ekor mata Ify terus saja menguntit kemana pun siluet Oik pergi. Kali ini, gadis mungil itu tengah berkumpul bersama Alvin, Shilla, dan Cakka.

            Oik, yang merasa terus diperhatikan oleh seseorang, menengokkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Ia mendapati Ify sedang menatapnya lurus, Oik tersenyum lebar dan mengangkat cocktail di tangannya pada Ify, Ify pun melakukan hal yang sama.

            “Pestanya bagus.” Shilla mulai berceloteh.

            Oik mengangguk, “Gue suka konsep garden party yang mereka pakai.”

            Cakka mengangkat cocktailnya di tengah-tengah mereka berempat, “Cheers!”

            Shilla dan Oik pun ikut mengangkat cocktail mereka, “Chee---,”

            “Tunggu! Cocktail gue habis.” Alvin memutar pandangannya. Ia menengok ke samping kanan, ada seorang waitress yang mengangsurkan segelas cocktail kepadanya. Alvin menerimanya dengan tersenyum sangat manis. “Nah, cheers!”

            Alvin, Cakka, dan Shilla pun menenggak cocktail masing-masing. Sedangkan Oik, ia terus menatap tajam punggung waitress tadi. Ia merasa mengenali postur tubuh itu. Tapi, siapa? Oik memutar otaknya. Tepat ketika pikirannya menemukan jalan buntu, waitress tadi menengok pada Oik, wajahnya yang tadi menunduk kini terlihat jelas. Oik terkesiap.

            Gadis itu lagi?! Gimana bisa dia ada di sini...

**

            Oik memasuki sebuah kamar di ujung lorong bersama Shilla. Kebetulan kamarnya berhadapan dengan kamar Alvin dan Cakka. Dengan cepat, Oik merebahkan tubuhnya pada sebuah kasur berukuran single di samping jendela yang menghadap ke kolam renang.

            Oik menengok ke samping. Ia melihat Shilla sedang terduduk di atas kasur berukuran single satunya –yang dipisahkan oleh sebuah night stand dengan kasurnya– seraya membongkar koper meran marun milik gadis itu.

            “Lo cari apa, Shill?” tanya Oik.

            Shilla mengedik padanya sekilas, “Peralatan mandi gue. Gue ngerasa sudah masukin semua itu ke koper. Tapi sekarang... ga ada!” Shilla menghela napas berat.

            “Gue duluan yang mandi, ya?”

            Shilla hanya mengangguk. Oik pun segera membuka kopernya, mengambil baju ganti serta peralatan mandi, dan masuk ke dalam kamar mandi yang terletak tak jauh dari pintu kamarnya.

            Shilla terpekur sesaat. Ia alihkan pandangannya pada pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Dengan berjingkat, ia berjalan menghampiri koper Oik. Shilla melihat sebuah tas kecil di atas koper tersebut. Tangannya terulur, menyentuh sebuah gantungan kunci kecil yang melekat pada tas kecil milik Oik. Sebuah gantungan kunci kecil bergambar doraemon. Shilla membaliknya, membaca tulisan-tulisan mungil yang tertera di sana.

            “Astaga...” Shilla menggeleng tak percaya, kedua bola matanya membulat karena kaget.

**

            Lagi-lagi, gadis berambut pendek itu. Ia membawa sebuah lilin kecil. Setelah dirasa aman, ia kembali memasuki gudang di hadapannya. Dengan tanpa menyalakan saklar lampu, ia terus berjalan menuju tumpukan kardus di sudut gudang.

            Ia buka kardus yang paling atas. Tumpukan album foto usang. Gadis berambut pendek itu membuka halaman demi halaman album usang tersebut satu-persatu. Akhirnya, ia menemukan foto itu. Ada lima anak kecil yang sedang tersenyum lebar menghadap ke kamera. Jemarinya menyentuh satu-persatu wajah anak-anak kecil itu.

            Seorang anak laki-laki dengan pipi tembem, seorang anak perempuan dengan rambut sebahu, seorang anak laki-laki bermata sayu, seorang anak perempuan berambut ikal panjang, dan seorang anak perempuan berbibir tipis.

            Jemarinya berhenti pada wajah anak kecil terakhir. Wajahnya mengeras. Tanpa basa-basi, ia menyulutkan api dari lilinnya pada wajah anak perempuan itu. Dalam sekejap, wajah anak perempuan itu telah berubah menjadi hitam. Ia tersenyum miring.

            “Lo tau? Ini semua gara-gara lo! Lihat apa yang sudah lo perbuat! Hari ini tepat 16 tahun semenjak kejadian itu. Dan dalam kurung waktu itu, sakit di hati gue belum juga sembuh. Ini semua salah lo! Camkan itu baik-baik!”

**

            Oik baru saja keluar dari kamar mandi dengan menenteng pakaian kotor beserta peralatan mandinya. Ia segera meletakkannya di dalam kopernya. Ia mengedik menatap Shilla. Ia mendapati Shilla sedang menatap tas kecilnya tanpa berkedip.

            “Lo lihat apa, Shill?” tanya Oik.

            Shilla mengedipkan matanya dan berusaha menjadi Shilla yang seperti biasa, “Nothing. Gue hanya... suka gantungan kunci lo,”

            Dahi Oik berkerut heran. Ia mengambil gantungan kunci tersebut dan mengangsurkannya pada Shilla, “Ini?” Shilla mengangguk. “Ambil aja kalau lo mau.” Oik meletakkannya pada genggaman tangan Shilla.

            Shilla terdiam untuk beberapa detik. Ia merasa dewi fortuna sedang ada dipihaknya saat ini. “Serius? Boleh buat gue?” Oik mengangguk. “Wah! Thanks, Ik!”

            Oik hanya tersenyum tipis dan kembali membereskan pakaian kotornya, “Gimana peralatan mandi lo? Ada?”

            “Hilang. Atau mungkin, gue yang lupa bawa.” Shilla mengangguk kecil.

            “Mau pinjam punya gue?” Oik mengangkat tempat peralatan mandinya dan menunjukkannya pada Shilla.

            Shilla mengangguk cepat. “Boleh, deh!”

            Oik terus memperhatikan Shilla yang kini sedang mengambil pakaian bersihnya. Lalu, gadis itu membuka tempat peralatan mandi Oik dan mengeluarkan sabun milik Oik. Shilla menggenggamnya erat. Lagi-lagi, Oik menemukan Shilla sedang menatap kosong ke benda miliknya.

**

            “.....Ada apa?.....”

            “.....Gawat! Saya merasa familiar dengan wajah laki-laki itu.....”

            “.....Nanti saya MMS kamu foto laki-laki yang harus kalian jauhi. Laki-laki itu sendirian?.....”

            “.....Berdua dengan seorang perempuan.....”

            “.....Ya sudah, kamu jangan panik. Tetap jaga dia. Setelah ini saya langsung kirim fotonya ke kamu.....”

            “.....Iya.....”

**

            Alvin berjalan cepat menuju gerbang villa megah tersebut. Sesekali ia menengok ke belakang, sekedar memastikan tidak ada yang melihatnya saat ini. Alvin menangkap siluet seseorang yang tengah bersandar di balik gerbang. Alvin bergegas menghampiri siluet tersebut.

            “Hay!” Alvin menyapa siluet itu.

            Siluet itu pun balas tersenyum pada Alvin. Oh, ternyata siluet itu milik gadis berwajah riang tempo waktu. Gadis berwajah riang itu merentangkan lebar-lebar kedua tangannya dengan tersenyum simpul. Alvin pun memeluknya erat. Keduanya tertawa bersama.

            “Aku kangen kamu.” Alvin berbisik.

            Gadis dalam pelukan Alvin tersenyum dan melepaskan pelukan itu, “Aku juga.”

            “Aku kaget waktu tadi lihat kamu ada di partynya Rio sama Ify. Nyamar jadi waitress, pula!” Alvin menatap gadis di hadapannya tak percaya.

            “Apa, sih, yang ga buat kamu? Biar kamu ga kangen.” gadis itu mengusap pelan pipi Alvin.

            “Tapi, kan, aku takut kalau sampai ada yang lihat kamu tadi.” Alvin mendadak cemas.

“Ga usah cemas gitu, deh, Vin. Buktinya tadi ga ada yang mergokin aku, kan?” gadis itu tersenyum, mencoba menenangkan Alvin.

            Oh, rupanya gadis berwajah riang itu salah. Apa katanya? Tidak ada yang memergoki dirinya? Memang. Tapi, Oik menyadari kehadirannya. Oik selalu menyadari kehadiran gadis itu. Oik hanya tidak ingin buka mulut terlebih dahulu. Cepat atau lambat, jika Oik sudah siap, ia pasti akan buka mulut soal kehadiran gadis itu...

            Alvin kembali merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Keduanya tidak menyadari bahwa ada sepasang mata yang sedari tadi menatap lekat ke arah keduanya dari balik jendela. Sepasang mata itu kembali membulat sempurna mendapati Alvin memeluk gadis itu untuk yang kedua kalinya. Ditambah lagi, Alvin mendaratkan kecupannya di puncak kepala gadis itu. Tak tahan, sepasang mata itu menutup tirai jendela dengan kasar.

**

            Pagi pun menjelang. Kini Oik, Alvin, Cakka, Shilla, Rio, dan Ify tengah berada di halaman villa. Oik sedang memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil, begitupula dengan Cakka. Alvin, Shilla, Rio, dan Ify sedang mengobrol di depan mobil.

            “Ik..” Cakka melirik Oik sekilas.

            Oik menaikkan sebelah alisnya, “Hm?”

            “Alvin itu... pacar lo?” tanya Cakka.

            Oik mengangguk santai, “Kenapa?”

            “Yakin?”

            Oik mengangguk sebal, “Kenapa, sih? Lo ada masalah apa kalau Alvin itu cowok gue?”

            Cakka menggeleng. Belum waktunya. Cakka pun menutup pintu bagasi. Dengan tidak memedulikan Oik yang sedang berkacak pinggang, Cakka melangkah menuju depan mobil. Alvin, Shilla, Rio, dan Ify sudah ada di sana. Dengan kesal, Oik menyusul Cakka. Ia memandang lelaki itu dengan sebal.

            Alvin –yang menyadari ada yang tidak beres dengan Oik– segera merangkul Oik, “Kenapa, Ik?” tanyanya dengan lembut.

            Oik menggeleng sebal, “Bukan apa-apa. Hanya orang menyebalkan aja.”

            Cakka tak sengaja mendengar pembicaraan singkat Oik dan Alvin. Ia hanya mampu menghela napasnya. Apa, sih, yang salah dengan dirinya? Ia hanya bertanya sedikit tadi pada Oik. Lalu, kenapa gadis manis itu mendadak sebal? Apa karena Cakka yang tampak tidak yakin bahwa Alvin adalah pacar Oik?

            “Kalian langsung kembali ke Jakarta?” tanya Rio seraya memandang Oik, Alvin, Cakka, dan Shilla satu-persatu.

            Alvin menggeleng, “Oik pingin ke rumah orang tuanya sebentar. Mungkin singgah satu jam di sana. Itu pun kalau Cakka dan Shilla ga keberatan kami ajak ke Bandung.” Alvin mengedik pada Cakka dan Shilla.

            “Boleh! Boleh!” Cakka segera menyahut.

            Oik memandangnya tak suka. Ia makin mengeratkan rangkulannya pada Alvin. Melihat itu, Cakka mendadak mengerutkan keningnya. Entah kenapa, ia tak suka melihatnya. Tunggu! Apa-apaan ini? Kenapa ia jadi sebal begini?

            “Ya sudah, kami pamit dulu, Yo, Fy. Cepat kembali ke Jakarta, ya!” Alvin melambaikan tangannya pada Rio dan Ify.

            “Iya, hati-hati.” Ify tersenyum pada keempatnya.

            Setelah itu, mereka berempat pun masuk ke dalam mobil Alvin. Alvin duduk di balik kemudi, Oik di sampingnya, Cakka dan Shilla duduk di bangku belakang. Alvin pun mulai mengemudikan mobilnya menuju Bandung. Ketika ia melihat kaca spion tengahnya, tatapannya tak sengaja bertabrakan dengan tatapan tajam milik Cakka.

**

            Setelah menempuh perjalan yang tidak terlalu lama, keempatnya sampai di sebuah pedesaan di pelosok Bandung. Kaca jendela mobil pun dibuka, AC dimatikan. Udara sejuk khas pedesaan mulai masuk ke dalam mobil. Rambut Oik dan Shilla menari-nari dibuatnya.

            Jalan berkelok-kelok di depan mereka masih alami, belum diaspal, masih berupa tanah. Sejauh mata memandang, hanya warna hijau yang mereka temui. Sawah berada di kanan dan kiri mereka. Juga ada beberapa orang-orangan sawah yang sengaja dipasang untuk mengusir para burung-burung nakal.

            Jalan semakin menanjak. Mereka sudah tidak mendapati persawahan di kanan dan kiri jalan. Sawah-sawah bak permadani hijau muda itu digantikan oleh kebun teh yang aromanya membuat siapapun betah di sana. Ada pula para anak kecil yang sedang berlarian di antara tanaman teh itu.

            Alvin menepikan mobilnya, memasukki sebuah pekarangan rumah dengan halaman yang luas. Ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah rumah berarsitektur jaman Belanda yang sederhana.

            “Kita sudah sampai!” pekikan girang Oik menyadarkan Cakka dan Shilla dari keterpanaannya.

            Oik pun turun dari mobil, diikuti Alvin serta Cakka dan Shilla. Tanpa permisi, Oik masuk ke dalam rumah tersebut. Alvin, Cakka, dan Shilla duduk di teras. Kebetulan ada sebuah meja bundar yang dikelilingi enam kursi kayu. Alvin, Cakka, dan Shilla duduk bersebelahan. Alvin tersenyum memandang sekeliling. Cakka dan Shilla pun begitu.

            Tak lama kemudian, Oik keluar bersama seorang wanita paruh baya. Oik membantu wanita itu untuk duduk. Setelahnya, ia duduk di antara wanita itu dan Alvin.

            “Tadi kami baru dari acaranya Rio dan Ify di Bogor, Bunda.” Oik berkata pada wanita di sampingnya, Bundanya.

            Bunda Oik mengangguk. Beliau mengedik pada Cakka dan Shilla, “Mereka siapa?”

            “Saya Cakka, Tante.” Cakka menyalami Bunda Oik da tersenyum simpul.

            “Saya Ashilla.” Shilla pun mencium punggung tangan Bunda Oik.

            Raut wajah Bunda Oik mendadak berubah. Tak berapa lama kemudian, beliau bangkit dari duduknya.

            “Kalian makan siang sekarang, ya?” tawar beliau.

            Oik menengok ketiga orang lainnya dan akhirnya mengangguk, “Ayah di mana, Bunda?”

            “Masih ke rumah Pak Kepala Desa. Ya sudah, Bunda siapkan makan siang dulu. Kalian segera ke gazebo belakang saja. Kalian makan siang di sana.” Bunda Oik pun lekas melangkah menuju dapur.

            Oik menatap kepergian Bundanya dengan pandangan bertanya. Alvin yang menyadarinya langsung berdiri dan menggandeng tangan Oik. Oik mendongak dan mengangkat sebelah alisnya.

            “Ayo ke gazebo belakang..” ajak Alvin.

            Oik mengangguk. Ia pun berdiri, menyeret kakinya menuju gazebo belakang. Cakka dan Shilla mengekor keduanya. Begitu sampai di halaman belakang rumah Oik, keempatnya langsung duduk di gazebo, mengedarkan pandangannya ke kanan dan ke kiri.

            Halaman belakang rumah Oik juga tak berpagar. Rupanya rumah Oik dikelilingin oleh kebun teh. Lihat saja, kebun the terhampar di sana. Sejauh mata memandang, hanya kebun teh yang terlihat. Cakka tersenyum. Ia suka alam. Ia suka apapun yang berhubungan dengan alam.

            “Rencananya nanti kembali jam berapa?” tanya Shilla.

            Oik mengangkat bahunya, “Terserah Alvin.”

            “Setelah makan siang langsung?” Alvin balik bertanya pada Shilla.

            Cakka menggeleng cepat, “Jangan!”

            Alvin dan Shilla menatap Cakka penuh tanya. Berbeda dengan Oik. Gadis manis itu menatap Cakka sebal. Apa-apaan lagi Cakka ini?

            “Aku ingin keliling kebun teh dulu. Boleh?” Cakka melirik Oik.

            “Tapi, Kka.. Aku butuh istirahat. Besok aku perform di pensinya SMA Al-Izhar!” Shilla menyela dengan cepat.

            “Kamu kalau mau pulang sekarang, ya silakan. Aku ingin keliling kebun teh dulu.” Cakka memandang Shilla dingin.

            Shilla bersedekap tangan, “Terserah kamu, deh!”

            “Aku juga ingin keliling kebun teh.” Oik berkata datar.

            Alvin menatapnya bingung, “Bukannya kamu takut masuk angin? Kamu pernah bilang ke aku kalau di kebun teh anginnya kencang.”

            “Ga mau! Lala mau di cini aja! Kalian aja yang keliling kebun teh. Lala di cini cendilian juga ga apa-apa. Lala takut sama anginnya, bikin kedinginan!”

            “Kka, aku di sini saja. Aku takut sama anginnya kebun teh, kencang banget.” Shilla mengusap-usap lengannya.

            Tak lama kemudian pembantu Oik datang, membawakan menu makan siang mereka. Setelah semua makanan tertata rapi di gazebo, pembantu Oik kembali ke dapur. Mereka berempat pun langsung melahap makanan yang telah dimasak Bunda Oik. Bunda Oik mengawasi mereka semua dari balik jendela dapur.

            Bunda Oik memasakkan kakap merah saus padang, masakan kesukaan Oik. Setelah mengambil sepotong ikan kakap masing-masing, mereka segera melahapnya, kecuali Oik. Gadis itu membuang duri-duri ikannya terlebih dahulu. Cakka meliriknya sekilas.

            “Lala ga cuka duli ikan. Takut ketelan telus tenggolokannya nanti jadi cakit.”

            Cakka menahan napasnya. Ia lalu melirik Shilla. Dilihatnya calon istrinya itu dengan cepat membuang duri-duri ikan kakapnya juga. Bedanya, Shilla sudah memakan sayur-mayurnya sedikit. Sedangkan Oik belum menyentuh sayur-mayurnya sama sekali.

            Cakka menatap keduanya bingung.

            Lala itu Shilla? Tapi... kenapa Oik benar-benar mirip Lala? Oh, bagus! Lalu, siapa lagi setelah ini yang berkelakuan seperti Lala?!

            Cakka menggeram frustasi. Ia benar-benar jengah jika dihadapkan dengan dua kemungkinan seperti ini. Apalagi, masih banyak kemungkinan lain. Masih banyak gadis di dunia ini dan tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada gadis-gadis lain lagi yang berkelakuan mirip Lala!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar