Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [03]

           Dosen mata kuliah pagi ini baru saja keluar, diikuti dengan teman-teman sekelas Oik yang lainnya. Gadis itu masih termangu dibangkunya. Beberapa detik berselang, Oik segera membereskan baran-barangnya. Ponsel dalam sakunya bergetar, ia ambil dan ia baca sebuah pesan yang baru saja masuk dari Sivia.

Ik, lsg k kntin aj. Aq sm yg lain sdh dsn.

            Oik hanya tersenyum samar dan mengembalikan ponselnya kedalam saku. Oik berdiri, menyelempangkan tasnya, dan berjalan menuju kantin. Koridor fakultas tampak lebih ramai dari biasanya. Para anggota BEM sedang sibuk menempelkan sesuatu di madding fakultas.
            Begitu sampai di kantin, Oik melihat keempat sahabatnya sedang bersenda gurau di sudut kantin favorit mereka. Tatapan mata Oik bertemu dengan milik Pricilla. Gadis itu melambaikan tangannya pada Oik.
            “Kemari, Oik!” panggilnya.
            Oik mengangguk kecil dan berjalan menghampiri keempatnya. Ia meletakkan tasnya diatas meja dan bergerak duduk di samping Alvin.
            “Hay,” sapa Oik lemas.
            “Capek? Lapar? Haus?” tanya Sivia beruntun.
            Oik menengok kearahnya dan menggeleng. “Nggak.”
            Ray –yang duduk berhadapan dengan Oik– mendorong sepiring nasi uduk dan segelas es teh ke hadapan gadis itu. “Aku tahu kamu belum sarapan.”
            Oik melirik makanan serta minuman tersebut sekilas dan tersenyum tipis. “Terima kasih, tapi aku nggak lapar.”
            “Tapi kamu belum makan dari kemarin, Oik.” Alvin angkat bicara.
            “Aku baik-baik saja.” Oik kembali menggeleng.
            Pricilla berdecak kesal. “Apa ini semua karena Gabriel?”
            Oik terkesiap. Ia memandang Pricilla sejenak dan bangkit berdiri. “Aku ke toilet sebentar,” ujarnya dingin.
            Tanpa menunggu jawaban dari keempat sahabatnya, Oik berlari-lari kecil menuju gedung utama fakultas. Pricilla menghembuskan napasnya pasrah ketike melihat reaksi Oik. Yang lainnya hanya mengangkat bahu tak mengerti.
            “Apa aku salah bicara?” tanya Pricilla, lebih kepada dirinya sendiri.
            “Oik sedang sensitif sekali akhir-akhir ini,” ujar Ray seraya mengaduk-aduk es jeruknya.
            “Makanya... jangan asal bicara lagi di depan Oik.” Alvin menatap Pricilla kasihan.
            “Ya.. ya.. ya..” Pricilla mengangguk-angguk mengerti.
            Sivia mengusap pelan lengan Pricilla. “Everything’s gonna be ok. Oik’s gonna be back like she used to.

**

            Oik berjalan menyusuri koridor dengan kepala tertunduk lesu. Entah kenapa, perasaannya kacau akhir-akhir ini. Mungkin benar kata Pricilla, ini semua karena Gabriel. Mengingat Gabriel adalah orang yang penting baginya, tidak mustahil bila perlakuan Gabriel padanya tempo hari itulah yang membuat hatinya tak menentu.
            Oik mendorong pintu toilet perlahan. Ia berjalan menuju sisi kiri toilet. Tiga buah wastafel panjang yang digabungkan menjadi satu serta cermin yang memenuhi sisi kiri toilet menyambutnya. Oik menopangkan kedua tangannya diatas wastafel.
            Oik menatap empat bilik toilet di belakangnya melalui pantulan bayangan dari cermin. Ketiga pintu biliknya tertutup, menandakan ada orang di dalam sana. Oik akhirnya memutuskan untuk membasuh wajahnya.
            Ia menyalakan kran wastafel lalu membungkukkan badannya. Tangannya menangkup menampung air yang mengucur dari kran lalu membilas wajahnya beberapa kali. Begitu ia kembali menegakkan wajahnya dan membuka matanya, ia menangkap bayangan seorang gadis berwajah angkuh –yang baru saja keluar dari salah satu bilik toilet– yang tengah memandangnya tajam.
            Oik terkesiap. Sedang apa ia disini?
            Gadis berwajah angkuh itu berjalan menghampirinya, mencuci tangannya diwastafel paling kanan. “Toilet fakultasku rusak. Nggak usah berpikir macam-macam. Aku juga malas bertemu denganmu.”
            Oik meliriknya sekilas dan membalikkan badan, memasukki bilik toilet yang tadi dipakai sang gadis berwajah angkuh. Begitu Oik menutup pintu bilik, terdengar bunyi berdebam dari pintu toilet. Oik mengelus dadanya seraya menghembuskan napasnya.
            Angel. Gadis berwajah angkuh tadi. Adik dari Gabriel. Mereka berdua memang satu universitas, tetapi tidak satu fakultas. Mereka juga berbeda semester. Angel masih semester awal. Ia sedang menyusun tugas akhir semesternya. Setahu Oik, ia hanya datang ke kampus beberapa hari sekali untuk berkonsultasi dengan sang dosen pembimbing.

**

            Alvin baru saja keluar dari toilet pria–berseberangan dengan toilet wanita. Ia mengerutkan keningnya begitu melihat Angel keluar dari toilet wanita. Tanpa sengaja, keduanya berjalan beriringan sepanjang koridor.
            “Angel?” panggil Alvin.
            Angel –yang merasa namanya disebut– menengok ke samping dan mendapati Alvin tengah berjalan beriringan dengannya. “Mas Alvin,” sapa Angel balik dengan senyum tipisnya.
            “Baru dari toilet?” tanya Alvin.
            Angel mengangguk. “Iya, Mas. Mas Alvin juga?”
            “Kebetulan juga iya.” Alvin tertawa kecil. “Tadi kamu lihat Oik di dalam?”
            Angel melirik Alvin sekilas dan wajahnya mendadak berubah masam. “Aku masih ada urusan. Duluan, Mas!”
            Tanpa menunggu respon dari Alvin, Angel berjalan meninggalkannya. Juga tanpa menjawab pertanyaannya. Angel malas membahas soal Oik. Alvin tahu betul yang satu itu. Bukannya ia tak sadar perubahan wajah Angel ketika ia menyebutkan nama Oik tadi. Hanya saja, Alvin memang benar-benar bertanya padanya. Bukannya untuk memancing pembicaraan soal Oik, maupun Gabriel.
            Alvin menengok ke belakang dan mendapati pintu toilet wanita masih tertutup rapat, seperti tadi. Lelaki bermata sipit itu hanya mengedikkan bahu dan kembali berjalan menuju kantin. Mungkin Oik sudah kembali ke kantin. Mungkin...
            Tapi nyatanya tebakan Alvin salah. Ia tidak menemukan Oik yang duduk manis di antara Sivia, Pricilla, dan Ray. Berarti Oik masih ada di dalam toilet. Berarti...
            “Aku tadi bertemu Angel.” Alvin berujar seraya kembali duduk di hadapan Ray.
            Pricilla –yang tengah membaca koran harian Surabaya– mendongak menatap Alvin. “Angel? Adiknya Gabriel?”
            “Iya.” Alvin mengangguk lugas.
            “Bertemu di koridor? Wajar saja, dia juga berkuliah disini.” Sivia menanggapi seadanya.
            Alvin menatap ketiga sahabatnya bergantian. “Nggak, kami bertemu di depan toilet.”
            Tiba-tiba saja Ray –yang tengah meminum es jeruknya– terbatuk hebat. “Ap––Apa? Di... toilet, kamu bilang?”
            “Ya.” Alvin kembali mengangguk. “Oik belum kembali dari toilet?”
            “Belum.” Pricilla meletakkan korannya dan memandang Alvin lurus-lurus. “Oik bertemu dengan Angel di toilet?”
            “Aku nggak tahu.” Alvin mengangkat bahunya. “Angel langsung berjalan menjauh waktu aku tanya mengenai hal itu tadi.”
            “Oik pasti nggak baik-baik aja setelah bertemu Angel,” gumam Ray, yang lainnya mengangguk mengiyakan.
            “Ssstt!” Sivia berbisik pelan. “Itu, Oik datang..” Sivia mengedik pada ujung koridor yang langsung menyambung dengan pintu masuk kantin. Oik tengah berjalan menuju kemari.
            “Ingat, jangan memancing pembicaraan mengenai Gabriel,” desis Alvin.
            Oik bergerak duduk di tempatnya semula dengan wajah datar. “Aku tadi bertemu dengan Angel di toilet.”
            Pricilla termangu sesaat, kemudian ia kembali membuka korannya. “Oik, ada sale besar-besaran di Tunjungan Plaza. Mau menemaniku kesana?”
            Oik menggeleng lemah. “Aku besok ada kuis, Pris. Ajak Sivia saja.”
            “Masih lapar, Ik? Kentang gorengku masih banyak.” Sivia menyodorkan sepiring plastik kentang goreng ke hadapan Oik.
            “Aku nggak lapar, Siv.” Oik menatap Sivia tak suka.
            “Oik, ada film action baru di bioskop. Aku bingung mengajak sia––,”
            Oik menahan napasnya kesal. “Ray, kamu bisa ajak Alvin atau yang lainnya. Nggak harus aku. Yang suka film action nggak cuma aku.”
            “Nanti sore mau main ke rumahku, Ik? Mama membuat kue bolu, sepertinya,” ujar Sivia.
            Oik menggeleng.
            “Nanti aku bisa antar dan jemput kamu ke rumah Sivia.” Ray menawarkan.
            Oik menggeleng.
            “Atau kamu mau aku ajak ke FoodFest? Ada kedai sushi baru disana,”  Pricilla menatap Oik dengan bersemangat.
            Oik menggeleng.
            “Perpustakaan Kota, mungkin? Banyak koleksi buku baru.” Ray tersenyum lebar.
            Oik menggeleng.
            “Bermain ke Time––,”
            Brak! Napas Oik tak beraturan. Baru saja ia menggebrak meja kantin dengan kesal. “Sivia, Pricilla, Ray.. berhenti! Aku nggak butuh perhatian berlebihan dari kalian. Aku baik-baik saja. Permisi.” 
            Oik mengambil tasnya dan menyelempangkannya asal-asalan. Langkahnya berderap meninggalkan kantin. Tak ia tengok kembali keempat sahabatnya yang menatap punggungnya dengan kecewa.
            Alvin menggelengkan kepalanya prihatin. “Apa kubilang tadi...”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar