Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HARAPAN KOSONG [Cerpen]

            Gadis itu berkali-kali melihat ke arah jam tangan putihnya. Keadaannya kacau. Rambut tak disisir, baju seragam tak rapi, dan tas yang tercangklong seadanya di bangkunya.
            Ia langsung melompat turun ketika ia sampai di depan bangunan sekolahnya dengan gerbang yang nyaris tertutup.
            “Makasih, Bang!”
            Ia memberikan selembar lima ribuan kepada sang tukang ojek dan langsung berlari menuju gerbang sekolah. Gadis itu sedikit memiringkan tubuhnya agar dapat menyelinap masuk ke dalam. Ia nyengir lebar pada sang satpam sekolah.
            “Peace, Mang Udiiiiiiiinnn!!!”
            Gadis itu kembali berlari meninggalkan sang satpam yang hanya geleng-geleng menatapnya.
            Ia patut menghela napas lega karena dapat masuk ke dalam area sekolah setelah bel berbunyi nyaring. Juga karena ia tidak melihat satu pun guru piket yang berdiri berjajar di koridor utama sekolah.
            Dengan gesit ia menaiki satu-persatu anak tangga dan akhirnya sampailah ia di depan kelas barunya. Ya, hari ini memang hari pertama masuk setelah liburan kenaikan kelas. Para siswa-siswi yang sedang MOS rupanya telah berada di kelas masing-masing juga bersama pendamping kelasnya.
            Gadis itu mendorong pintu kelas dengan tergesa-gesa karena melihat guru-guru telah keluar dari ruangannya dan sedang berjalan menuju kelas-kelas. Ia mengedarkan pandangannya pada kelas barunya yang amat gaduh itu.
            “Penuh semua?! What the..... Pakai acara telat bangun, sih, gue! Mana lagi home alone, pula! Dapat ojek, kok, ya, yang leletnya minta ampun?!” gerutunya.
            Eh, tunggu! Rupanya ada sebuah bangku kosong di dekat tembok, barisan kedua dari depan. Gadis itu langsung berlari kecil ke arahnya dengan wajah lega.
            “Gue duduk sini, ya? Boleh, kan? Oke, deh!”
            Ia nyerocos sendiri setelah mencolek bahu seorang gadis lain yang duduk pada bangku itu. Tanpa melihat reaksi calon teman sebangku barunya itu, ia langsung melemparkan tasnya ke arah meja dan duduk dengan lemas.
            “Oik?”
            Gadis itu menengok ke teman sebangkunya yang baru –yang sedang menatapnya aneh–.
            “Eh, Ify.” Oik –gadis itu– langsung nyengir lebar ketika mengetahui teman sebangku barunya adalah Ify.
            Ify menggelengkan kepalanya dengan dramatis. “Abis kena tornado, Neng?”
            Hah? Oik menatap Ify dengan bingung. Telminya kembali kumat.
            Ini apa lagi, sih? Oik menengok ke belakang ketika merasakan seseorang menarik-narik ujung rambutnya yang masih berantakan.
            Dua orang lelaki duduk di belakangnya. Seorang lelaki manis dan jangkung sedang menatapnya dan tersenyum lebar. Rupanya dialah tersangka penarikan ujung rambut Oik. Dan seorang lelaki lagi dengan wajah kalem yang seperti pernah Oik lihat sebelumnya.
            “Gabriel! Biang kerok banget, dasar! Lo ngapain narik-narik ujung rambut gue, sih?!” Oik pun langsung memukul-mukul tangan Gabriel dengan ganas.
            “Baru juga hari pertama udah teriak-teriak,” Ify menatap keduanya dengan iba.
            “Ya siapa suruh itu rambut berantakan banget? Ga malu sama Cakka?” Gabriel pun tertawa terpingkal-pingkal.
            Oik menguncir rambutnya dengan kilat sambil bergumam. “Cakka? Kayak pernah denger..”
            “Telmi banget lo, dasar!” Gabriel menjitak kepala Oik dengan tak sabar. “Dia ini Cakka! Cakka Kawekas Nuraga!” Gabriel menunjuk teman sebangkunya yang sedang tersenyum geli menatap Oik.
            “Oh, elo!” Oik mengangguk-angguk menatap sosok Cakka. “Kok gue kayak pernah ngelihat elo, ya?”
            Ify dan Gabriel sudah gemas sendiri dibuatnya. Oik telmi banget, gitu! Ingin pingsan saja Ify dan Gabriel saat ini.
            “Gue anak baru. Pindah ke sini semester dua kelas satu kemarin. Kita, kan, satu kelas di X-8, Oik.” Cakka menjelaskan dengan senyum tertahan.
            “Astaga! Kok gue bisa lupa, ya? Pantesan aja kayak pernah lihat elo, gitu!” Oik memekik histeris.
            “Elo, sih, mikirin si sipit terus!” ujar Ify seraya memutar bola matanya dengan malas.
            “Ga pakai teriak juga bisa kali, ya!” sindir Gabriel.
            “Sewot aja, sih, lu?!” Oik mengepalkan tangannya dan mengarahkannya pada Gabriel.
            “Adaaww!! Sakit, Ik! Kira-kira, kek, kalau ngebogem!” Gabriel mengusap-usap pipinya dengan jengkel.
            “Emang sipit siapa, sih?” tanya Cakka.
            Oik menatap Cakka keki, “Cakka kepo banget! Ga usah kepo bisa kali. Ngefans sama gue, sih, bilang aja!” ujar Oik dengan heboh.
            “Ik, pinjem charger, dong!” Tiba-tiba saja sebuah suara muncul. Seorang gadis berambut lurus sepinggang sedang berdiri di sebelah meja Oik.
            “Lo kelas sini juga, Shill?” tanya Oik.
            “Iya, Ik.” Shilla –gadis itu– tersenyum tipis.
            “Nih,” Oik menyerahkan sebuah charger kepada Shilla dengan sebuah senyuman lebar.
            “Thanks! Gue pinjem dulu, ya?” Dan, Oik pun hanya bisa mengangguk.
            Seperginya Shilla, Oik jelas-jelas melihat Gabriel yang sedang tertawa melihat Cakka. Hey! Kenapa wajah Cakka jadi semerah tomat begitu?
            “Lo kenapa, Kka?” tanya Ify dengan wajah keki berat.
            “Cakka, kan, naksir Shilla!” jawab Gabriel seenaknya.
            Cakka menggeleng cepat. Ia segera membekap mulut Gabriel dan meninju lengan teman sebangkunya itu berkali-kali.

**

            Suasana kantin ketika istirahat memang selalu ramai. Begitu pula dengan kantin SMA Soedirman ini. Oik dan Ify akhirnya harus rela membungkus makan siang mereka dan memakannya di kelas karena tak ada tempat kosong lagi di kantin.
            “Bete! Bete! Bete!” Oik menghentak-hentakkan kakinya dengan sebal seraya berjalan keluar dari kantin.
            Ify meliriknya sekilas dan tersenyum. “Elo, mah, emang selalu bete, Ik!”
            Ify dapat merasakan Oik yang terdiam kaku di tempat, menahan napas, dan meletakkan fokus pandangannya pada sesosok manusia saja. Ify pun mengikuti arah pandang Oik.
            “Fy, ada si sipit!” gumam Oik.
            “Alvin, Ik! Bukan sipit!” Ify terkikik pelan.
            Oik menoleh padanya dengan tampang sangar. “Sssstttt! Jangan sebut merk bisa kali! Bahaya, nih, kalau ada yang tau gue suka si Alv--- sipit!”
            “Iya, deh, iya!”

**

            Gabriel dan Cakka sedang terduduk lemas di pinggir lapangan basket petang itu. Tim basket Soedirman memang biasa berlatih di lapangan basket sekolah hingga malam menjelang. Gabriel, Cakka, dan para pemain basket kelas XI serta XII lainnya sedang beristirahat sejenak.
            Cakka meletakkan botol air mineralnya ketika pandangannya tertuju pada sebuah sudut lapangan basket. Ada seorang gadis dan seorang lelaki di sana. Mereka sedang tertawa bersama. Cakka memandangnya tak suka.
            “Ga usah jealous gitu, kali, Kka!” ejek Gabriel.
            Cakka menatap Gabriel tajam dan menggeleng. “Gue ga jealous!”
            “Jelas-jelas lo jealous!” Gabriel tertawa mengejek. “Ga usah over, Kka! Shilla sama Bang Debo, kan, kakak-adik. Wajar kalau akrab.”

**

            Oik dan Ify baru saja keluar dari Sekretariat OSIS. Keduanya berjalan berbarengan menuju lapangan parkir sekolah. Oik mengantarkan Ify mengambil motornya.
            “Lo balik bareng gue aja, ya?” tawar Ify.
            Oik menggeleng. “Yang biasa jemput gue udah balik sini, kok. Abis ini juga gue dijemput.”
            Ify menghela napas berat dan kemudian mengangguk mengerti.
            Lapangan parkir petang itu tampak lengang. Hanya ada dua motor yang terparkir di sana. Motor Ify dan satu lagi motor yang terparkir di depan motor Ify. Seorang laki-laki duduk di atas motor tersebut.
            Ify sudah berada di atas motornya. Mesinnya pun sudah dinyalakan. Ify pun memakai helm.
            “Yakin ga bareng gue aja? Udah malem, Ik!”
            Oik kembali menggeleng. “Abis ini juga dijemput, Fy. Tenang aja.”
            “Bareng gue ke depan gerbang depan, mau ga?”
            Oik menggeleng untuk yang ketiga kalinya.
            Ify pun hanya dapat mengangkat bahunya. Beberapa detik kemudian, Ify sudah melesat dengan motornya meninggalkan Oik.
            Oik kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru lapangan parkir. Lelaki di atas motor itu rupanya telah turun. Ia melepas helmnya. Oik merasa mengenali postur tubuh itu. Oik mengangkat bahunya dengan acuh dan berjalan perlahan menuju gerbang depan sekolah.
            “Ik?”
            Suara itu! Oik berjingkat di depannya, kaget.
            “Alvin?” Oik terperkur sesaat ketika sosok itu telah berada di sampingnya.
            Lelaki itu tersenyum tipis. “Ga pulang, Ik?” tanyanya.
            “Nunggu dijemput, sih. Kenapa, Vin?”
            Alvin terdiam sejenak. “Mau balik bareng... gue?”
            Oik tersenyum berterimakasih dengan jantung berdebar kencang. “Ga usah, Vin. Makasih. Abis ini juga dijemput, kok.”
            “Oke. Gue ke dalem dulu, ya. Ngampirin Gabriel, Cakka, dan yang lain.”
            Oik mengangguk saja. Alvin melambaikan tangan padanya dan Oik membalasnya. Setelah bayangan tubuh Alvin menghilang di antara kegelapan, Oik berseru senang seraya melompat-lompat kegirangan.
            “Payah! Harusnya gue ga minta dijemput tadi biar bisa balik bareng si sipit!” Oik mengeluh pelan.

**

            Pagi itu, Oik sedang melamun menatap keluar melalui jendela kelasnya. Kelasnya memang sedang jam kosong. Maka dari itu, Oik berani menyingkap gorden kelasnya dan menatap keluar dengan leluasa.
            “Mandangin si sipitnya biasa aja, Ik!” Ify berbisik pelan di telinganya sambil terkekeh.
            Oik mengalihkan pandangannya sejenak kepada Ify dengan pipi bersemu merah. “Apa, sih, Fy?!”
            Oik pun kembali memandangi sosok Alvin yang sedang bermain sepak bola bersama teman-teman sekelasnya yang lain di lapangan. Kelas Alvin memang sedang pelajaran olah raga sekarang ini.
            Dalam ketenangannya mengamati sosok bermata sipit di luar sana, tiba-tiba saja sebongkah kertas telah melayang mengenai dahinya. Oik menggeram jengkel. Ketika ia melihat ke belakang, Cakka sedang nyengir lebar menatapnya.
            “Sorrysorry! Ga sengaja, Ik!” akunya.
            Oik kembali melemparkannya pada Cakka. “Ganggu banget, sih, lo?! Dasar!”
            “Ganggu apa?” tanya Cakka dengan polosnya.
            “Si Oik, kan, lagi ngelihatin si sipit!” Ify pun tertawa terpingkal-pingkal.
            “Emang ada si sipit di luar?” Cakka pun melongok ke luar.
            Oik segera menutup gorden kelasnya dengan cepat. “Ga ada! Kepo lo, Kka! Bete gue!”
            Gabriel tersenyum misterius. “Jangan marah-marah, dong, Ik. Kasihan Cakkanya.”
            “Iya!” sela Cakka cepat.
            “Dia, kan, suka sama lo.” Gabriel kembali berucap.
            “Iya!” Cakka kembali menyela.
            “Hah?!” Oik terkaget-kaget sendiri. “Ngarang lo! Cakka, kan, sukanya sama Shilla!”
            “Ga! Ga! Gue ga suka Shilla, kok! Gue sukanya sama lo! Serius!” Cakka memandang Oik sungguh-sungguh.
            Oik tertawa pelan. “Shilla, mah, Shilla aja!”
            Shilla –yang merasa namanya disebut– pun menengok ke arah mereka berempat dengan wajah merona malu. “Apa, sih, Oik?”
            “Cakka suka sama kamu katanya, Shill,”  Oik menjawab dengan wajah polosnya.
            Cakka menengok ke arah Shilla dan menggeleng santai. “Ga, kok. Oik bohong.”
            “Tuh, Ik.. Cakka suka sama lo. Move on, gih, ke dia.” Ify memandang Oik dengan jail.
            “Apaan, sih, Fy? Sekali sipit, tetet sipit!” elak Oik.
            “Lo mau bikin Cakka nunggu sampai kapan, Ik?” tanya Gabriel dengan serius.
            “Ga lucu banget kalian ini!” Oik mendumel tak suka.
            “Ga ada yang bilang ini lucu, Ik.” Cakka memandang Oik lekat-lekat.
            “Udah dari kapan, sih, lo suka sama sipit-sipit itu?” tanya Gabriel.
            Oik menerawang. “Dari September... tahun lalu.”
            “Dan lo digantungin gitu aja? Bego! Nih, ada Cakka!” Gabriel menggeleng tak percaya.
            “Sipit udah bikin lo nunggu lama, tuh. Move on ke Cakka, gih!” kata Ify dengan senyum tertahan.
            “Kalian apaan, sih?!” gerutu Oik.
            “Tuh, Kka!” Gabriel merangkul pundak Cakka. “Ada sinyal positif dari Oik. Tembak, gih!”
            Cakka tersenyum tipis. “Iya, ntar..”
            “121212 bagus, tuh, Kka,” ucap Ify.
            “Iya. Tunggu aja.” Cakka tersenyum misterius ke arah Oik.
            Oik membeku. Ia dapat merasakan debaran jantungnya yang mulai berdetak kencang.
            Apa-apaan, sih?! Inget Alvin, Ik! Ga pakai acara move on ke Cakka, deh! Eh, tapi Alvin lempeng-lempeng aja! Setahun lebih gantung. Ada Cakka, Ik! Eh, tapi gimana sama Shilla? Apalagi kalau inget dulu gue sempet naksir sama kakaknya Shilla, Bang Debo. Duh!

**

            Oik berjalan sendirian menuju kelas Alvin. Bukan untuk menemui Alvin tapi untuk menemui Patton, Ketua OSIS yang baru. Oik harus mengadakan koordinasi dengan Patton untuk acara tahunan sekolah mereka.
            Kebetulan kelas Alvin dan Patton sedang jam kosong. Sedangkan Oik membolos pelajaran Fisika kali ini. Untunglah ia dapat mengobrol dengan Patton dengan leluasa.
            Oik terdiam sejenak di pintu kelas. Patton sebangku dengan Alvin!
            Setelah dirasa siap, Oik pun melangkah menuju bangku Patton dan Alvin.
            “Vin,” Oik mencolek bahu Alvin. “Gue mau ngobrol sama Patton. Bisa minggir?”
            Alvin tersenyum tipis pada Oik dan perlahan menyingkir. Oik membalas senyuman Alvin dengan sedikit bingung. Debaran itu... sudah tidak ada. Tak bersisa sedikit pun.
            Oik memekik dalam hati. Secepet itukah Cakka ngubah perasaan gue?

**

            Oik kembali ke kelasnya dengan pikiran kosong. Benarkah? Kenapa debaran itu sudah benar-benar lenyap tak bersisa? Apa ini semua karena Cakka? Lalu, bagaimana dengan Shilla?
            Oik memasukki kelasnya yang berantakan dengan lesu dan duduk begitu saja di bangkunya tanpa menghiraukan Ify, Gabriel, dan Cakka yang sedang mengobrol heboh.
            Cakka memandangi punggung Oik dengan bingung. Biasanya Oik tak selesu ini. Biasanya Oik suka berteriak-teriak sendiri. Biasanya Oik suka melafalkan lirik-lirik lagu Taylor Swift dengan kencang dan tanpa tahu malu.
            Cakka memandang Ify dan member syarat pada gadis berdagu tirus mengenai keadaan Oik. Ify menggeleng tak tahu, begitu pula dengan Gabriel.
            Cakka bangkit dari duduknya dengan membawa sebuah cutter. Ia beranjak menuju sudut belakang kelas. Banyak gabus sisa percobaan Kimia mengenai Termokimia teronggok di sana. Cakka memakai cutteryang ia bawa tadi untuk memotongnya.
            Setelah dirasa pas, Cakka membawa sebuah gabus berbentuk huruf O kembali ke bangkunya. Tanpa banyak bicara, Cakka menghiasnya dengan menggunakan spidol.
            “Jadi juga akhirnya..” Cakka memandangi hasil karyanya dengan bangga.
            “Buat apa?” tanya Ify.
            “Buat Shilla? Atau, buat Oik?” tanya Gabriel dengan malas.
            Cakka tak menjawab. Sebagai gantinya, ia mencolek bahu Oik dari belakang. Dan ketika Oik menengok ke arahnya dengan wajah masam, Cakka memamerkan senyum terbaiknya.
            “Buat lo,” Cakka menyerahkan gabus berbentuk O yang telah ia hias tadi pada Oik. “O untuk Oik.”
            Oik tersenyum menerima pemberian Cakka. “Makasih.”
            Cakka mengangguk dan kembali tersenyum.
            “Ciiiiiieeeeeeeee!!!!!” Gabriel dan Ify sudah berkoar-koar heboh dengan tertawa kencang memandang Cakka serta Oik.
            Tanpa keempatnya sadari, Shilla menatap mereka dengan mata yang tak lagi berbinar seperti biasanya.

**

@OikCR27: High fever :&
@cakkaNRG: Gws :)
@OikCR27: Kode bgt sih =))
@gabrielstev: @OikCR27 ik baca! -> RT @cakkaNRG: Gws :)
@gabrielstev: @cakkaNRG bwt lo kka -> RT @OikCR27: Kode bgt sih =))
@Ifyalyssa: Kode2an aj trs ya kalian! Empet lhtny -_- @cakkaNRG @OikCR27

**

            Akhirnya Oik diperbolehkan ayah dan bundanya untuk masuk sekolah hari ini. Pasalnya, dua hari kemarin Oik demam tinggi. Ayah dan bundanya pun melarangnya untuk masuk sekolah. Oik jadi bosan sendiri di rumah terus.
            Selama dua hari ini pun Oik merindukan sekolahnya, merindukan kelas barunya, merindukan Ify, merindukan Gabriel –si biang kerok–, dan juga merindukan... wangi parfum Cakka. Oik baru menyadari bahwa wangi parfum Cakka begitu maskulin dan Oik benar-benar menyukainya. Oik serasa ingin terus menghirup wangi itu.
            “Akhirnya Oik masuk juga, Bung!” Gabriel langsung berlagak ala komentator sepak bola ketika Oik memasukki kelas pagi itu.
            “Kangen gue lo?” Oik tersenyum tipis.
            “Bukan Gabriel yang kangen, tapi si Cakka!” seloroh Ify.
            Oik menggeleng. Juga menetralkan debaran jantungnya yang mulai tak terkendali. “Cakka, mah, kangennya sama Shilla!”
            Cakka tersenyum kecut mendengar perkataan Oik.
            “Oke, oke.. Atau mungkin elo yang kangen Cakka?” timpal Gabriel.
            “Gue kangennya sama si sipit, tau!” Oik dengan cepat berbohong dan secepat itu pula Oik menimpuk Gabriel dengan map tebalnya.
            “Ik, gue mau ke kantin. Mau titip?” Shilla tau-tau saja sudah berada di antara mereka berempat.
            “Gue ga. Cakka, tuh, kali aja mau titip.” Oik tertawa pelan karena kepintarannya menutupi perasaan.
            Shilla hanya tersenyum tipis dan berlalu.

**

            Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu. Kelas Oik pun sudah terbebas dari Bu Ira sang guru Kimia.
            Oik dan Ify memutar kursi mereka sehingga saling berhadapan dengan Gabriel dan Cakka. Keempatnya mengeluarkan bekal makanan masing-masing. Kebetulan keempatnya sama-sama sedang malas mengantri makanan di kantin.
            Setelah selesai memakan bekal masing-masing dan membereskannya, keempatnya mulai mengobrol seru soal Ulangan Harian pertama yang akan diadakan minggu depan.
            “Eh, tunggu bentar!”
            Cakka bangkit dari duduknya dan berlalu menuju bangku Obiet. Terlihat mereka bercakap-cakap sebentar. Setelah itu, Cakka membawa gitar Obiet bersamanya dan kembali duduk di tempatnya.
            “Mau nyanyi, Kka?” tanya Oik.
            Cakka mengangguk. “Lagu apa, nih?”
            “Nyanyi buat Oik, nih, ceritanya?” sela Gabriel seraya menahan deraian tawanya.
            “Tembak sekalian, dong, Kka! Ga gentle banget lo!” ejek Ify.
            “Hari ini tanggalnya jelek. Tunggu 121212 aja.” Cakka menjawab dengan santai.
            “Tuh, Ik! Dengerin!” Gabriel menengok pada Oik. “Cakka ga PHP –Pemberi Harapan Palsu– nih. Dia nunggu tanggal bagus aja buat nembak lo!”
            Oik hanya menggelengkan kepalanya, –berusaha– acuh. Oik pun mengalihkan pandangannya pada jendela kelas dan melongok keluar. Seperti biasa, Alvin sedang bermain sepak bola di lapangan. Lagi-lagi, Oik tak merasakan debaran yang dulu selalu hadir ketika ia melihat Alvin.
Temukan apa arti dibalik cerita
Hati ini terasa berbunga-bunga
Membuat seakan aku melayang
Terbuai asmara
            Cakka mulai memetik gitar yang berada di pangkuannya. Ia mulai menyanyikan lirik demi lirik lagu bertajuk Dia oleh Maliq N d’Essentials itu. Matanya dalam memandang Oik. Hingga akhirnya Oik membalas tatapannya dan tersenyum kikuk.
Adakah satu arti dibalik tatapan
Tersipu malu akan sebuah senyuman
Membuat suasana menjadi nyata
Begitu indahnya
            Gabriel terbatuk-batuk karenanya. “Aduh, Cakka, Oik! Dunia milik berdua banget ini, sih! Gue, Ify, sama yang lainnya ngontrak doang!”
            Cakka benar-benar tak menghiraukannya. Ia masih menatap Oik dalam-dalam.
Dia seperti apa yang selalu ku nantikan aku inginkan
Dia melihatku apa adanya seakan kusempurna
Tanpa buah kata kau curi hatiku
Dia tunjukkan dengan tulus cintanya
Terasa berbeda saat bersamanya
Aku jatuh cinta
            Wajah Oik telah merah padam. “Lo ngapain, sih, Kka? Nyanyi buat Shilla? Percuma! Shilla lagi ke kantin!”
            Ify menoyor kepala Oik dengan gemas. “Dia nyanyi buat lo, dodol!”
            Makian kecil Ify tadi sukses membuat Oik terdiam dengan wajah memerah dan senyum yang terkulum malu-malu.
Dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa kupercayakan cinta
Hingga dia disini memberi cintaku
Dia bukakan pintu hatiku yang lama tak bisa kupercayakan cinta
Hingga dia disini memberi cintaku harapan
            “Stop! Nyanyi lagu yang lain, kek, Kka! Gue lebih suka yang The Untitled!” pekik Oik untuk menutupi salah tingkahnya.
            “Lo bego apa bloon, sih?” tanya Gabriel dengan keki. “The Untitled itu lagu orang yang cintanya bertepuk sebelah tangan, bego! Lo sama Cakka, kan, ga!”
            Lagi-lagi, Oik terdiam dengan wajah yang semakin memerah.
Give me your love
Now so come on and love me
Give me your love
Now so come on and love me
            Cakka tersenyum kecil melihat Oik yang semakin salah tingkah di hadapannya. Apalagi ketika Ify dan Gabriel melontarkan kalimat-kalimatnya pada Oik tadi.
Nothing in this world could come baby love to me
I would tell the world when you give your love to me
            “Tuh, Ik! Move on aja ke Cakka. Lupain, tuh, si sipit. Ga capek digantungin setahun lebih?” sorak Gabriel dengan hebohnya.
            “Iya,” Ify mengangguk cepat. “Si sipit aja belum tentu juga suka sama lo. Nih, ada Cakka di depan mata. Jangan disia-siain gitu aja, dong.”
            “Kalian ngomong apa, sih? Ga jelas banget!” Oik melirik Ify dan Gabriel dengan sinis.
            “Ciiiiiiiieeeeee!!!!! Sekarang Cakka sama Oik, nih! Ga sama Shilla lagi!” teman-teman sekelas Oik pun mulai ikut berteriak heboh.
            “Awesome and Zany... that’s so much you.” Cakka kembali memandang Oik dengan senyum tipisnya.
            Dan, saat itu pula, Shilla masuk ke dalam kelas bersama Zevana.

**

@OikCR27: 03.03 PM :$
@zevanarga: Cakka :p RT @OikCR27: 03.03 PM :$
@OikCR27: @zevanarga bkn tw -_-
@zevanarga: @OikCR27 trs siapa dong :p
@OikCR27: @zevanarga cipit! :$
@zevanarga: @OikCR27 ciyee skrg udh pnya pnggilan kesygan bwt cakka ya :p

**

            Sial! Hari ini Oik datang terlalu pagi! Kalau begini caranya, ia lama-lama menjadi seperti Ify. Bel masuk berbunyi pukul tujuh tetapi datang pukul enam! Tipikal anak rajin kesayangan para guru sekali.
            “Fy, keluar aja, yuk? Kali aja ntar kecengan lo lewat gitu..” bujuk Oik.
            Ify bisa apalagi kecuali mengangguk dan mengiyakan ajakan Oik? Keduanya pun keluar. Ada Zevana yang entah sedang apa di koridor. Ify dan Oik pun menghampirinya.
            “Hey!” sapa Ify.
            Zevana tersenyum pada mereka berdua. Baru saja ia akan membalas sapaan Ify, tiba-tiba saja dua sosok yang dikenalnya datang bersamaan. “Cakka! Shilla!”
            Hati Oik mencelos ketika melihat Cakka dan Shilla jalan berdampingan. “Ciiiiieeeeee berangkat bareng, nih?” gurau Oik. Bibirnya memang tersenyum, tetapi tidak dengan mata dan hatinya.
            Shilla menggeleng cepat dengan pipi bersemu merah. “Ga, kok! Kebetulan aja tadi datengnya barengan! Gue, mah, selalu sama Bang Debo!”
            “Alah, ngeles aja lo!” Oik tertawa.
            “Elo, tuh! Nih, si kosong-tiga-kosong-tiga!” ejek Shilla balik, matanya melirik Cakka.
            “Oik, mah, malu-malu kucing! Siapa coba yang kemarin ngetweet kosong-tiga-kosong-tiba?” timpal Zevana.
            “Ik?” Ify menatap Oik penuh tanya.
            “Cipit! Sipit, Fy! Bukan Cakka!” elak Oik. Benar-benar berbohong. “Shill, please, deh.. Lo tahu sendiri sipit itu siapa.”
            Cakka tersenyum kecut. Tanpa mengindahkan tatapan meminta maaf dari Oik, Cakka berlalu masuk ke dalam kelas.

**

            Siang itu, Agni berjalan ke bangku Cakka untuk mendiskusikan masalah basket. Maklum, keduanya adalah anggota tim basket sekolah. Keduanya pun mengobrol seru. Juga tidak menghiraukan Oik yang duduk termenung sendiri di tempatnya.
            “Agni! Benalu banget lo?! Jangan ganggu Cakka sama Oik, dong!” teriak Obiet dari bangkunya.
            “Hah?” Agni menatap Obiet tak mengerti.
            “Cakka sama Oik tadi, tuh, lagi pacaran, tau!” sela Deva dengan gemas.
            Agni mengangguk mengerti. Dan, dengan setengah hati, ia meninggalkan bangku Cakka.
            Oik menoleh malas. Ia sedang malas berbicara banyak hari ini. Maka dari itu, ia memilih menyingkir dan duduk di samping Ray.
            “Sekarang malah si Ray, nih, yang jadi benalu.” Deva berkata demikian seraya menggelengkan kepalanya tak percaya.
            “Lihat, tuh, si Cakka. Diem aja, kan? Lagi jealous berat, tuh, pasti!” timpal Obiet.
            Oik menggelengkan kepalanya dan menatap Deva serta Obiet dengan sangar. Ia memberikan isyarat kepada Ray agar tak mendengarkan racauan Deva dan Obiet yang tidak jelas sama sekali tadi.
            Ini kenapa jadi gini?! Kenapa semuanya pada ngeklaim kalau gue ini ceweknya Cakka dan Cakka itu cowok gue? Eh, tapi ga apa-apa, deh! Eh? No! Gue beneran suka Cakka?

**

@OikCR27: What time is it? Where you are? I miss you more than anything.
@gabrielstev: @cakkaNRG -> RT @OikCR27: What time is it? Where you are? I miss you more than anything.
@OikCR27: @gabrielstev @cakkaNRG it lagu gab -_-
@gabrielstev: @OikCR27 @cakkaNRG iy, lagu. Bwt cakka :p
@OikCR27: @gabrielstev @cakkaNRG KAMPREEEETTT!!!!

**

            “Gabrieeeeelll!!! Itu penggaris gue! Balikin ga?!” Oik memekik jengkel ketika menyadari penggarisnya telah lenyap.
            “Penggaris doang, Ik! Pelit amat lo?” Gabriel menimpali dengan santai.
            “Iya, tapi balikin! Gue mau ngerjain tugas dari Mr Dave, nih!” pekik Oik kembali.
            “Ambil sendiri, dong,” balas Gabriel.
            “Gue bilangin sipit, nih!” ancam Oik.
            Cakka berdecak kesal. “Sipit lagi, sipit lagi!”
            “Cakka jealous, tuh, Ik,” Ify tertawa lebar ketika melihat ekspresi Cakka.
            Oik hanya menggelengkan kepalanya tak peduli. Tanpa menengok ke belakang –meja Gabriel dan Cakka–, Oik mengambil penggarisnya. Namun tangannya tak sengaja menyentuh sesuatu...
            “Mau pegang tangannya Cakka, mah, biasa aja. Pakai sok-sokan ga ngelihat, pula! Alay lo, Ik!” ejek Gabriel.
            Oik tersentak. Ia segera menengok ke belakang dan mendapati Cakka sedang menatapnya dengan tersenyum lebar. Cepat-cepat Oik lepaskan pegangannya pada telapak tangan Cakka.

**

            “Fy, kayaknya gue beneran udah move on, deh..” Oik berbisik pelan di telinga Ify ketika pelajaran Mr Dave sedang berlangsung.
            Ify menengok kaget ke arah Oik dengan mata melebar. “Serius lo?”
            Oik mengangguk lemas. “Dua-rius malah, Fy!”
            “Gimana ceritanya?” Ify mendadak panik karena jawaban Oik barusan.
            “Ga ngerti,” Oik menggeleng dengan wajah polosnya. “Tapi, yang pasti, kemarin gue udah biasa aja waktu papasan sama si sipit. Udah ga deg-degan kayak biasanya lagi.”
            Ify sampai melongo dibuatnya. Pasalnya, Oik ini tipikal cewek setia yang tak gampang move on. Sudah satu tahun lebih hubungannya dengan Alvin gantung pun, Oik masih setia menyimpan perasaannya. Lalu, sekarang?
            “Emangnya lo move on ke siapa?” tanya Ify sekalem mungkin.
            Oik menahan napasnya ketika ia dengan sengaja melirik Cakka yang sedang mengerjakan soal di depan kelas.
            Ify kembali melongo kaget. “Ca...?”
            “Ssssttt!!!” Oik meletakkan jari telunjuknya di bibir. Setelahnya, ia mengangguk lemas. Saat itu pula ia membenamkan kepalanya dalam telapak tangannya.

**

            Oik sedang home alone malam itu. Seluruh keluarganya sedang mendatangi sebuah acara di daerah Bekasi. Dan, Oik malas kalau harus bepergian malam-malam begini. Lebih baik di rumah, membuka jejaring social atau apapun itu asalkan tidak ke luar kota malam-malam.
            Ngomong-ngomong soal jejaring sosial, Oik teringat akan akun twitternya. Segera diambilnya ponsel yang terletak di atas meja belajar, lalu kembali merebahkan tubuh di atas ranjang. Oik pun membuka aplikasi UberSocial miliknya.
            Oik masih setia membaca setiap tweets yang berada di timelinenya. Jemarinya berhenti mengscrolltimeline ke bawah ketika ia membaca sebuah tweet yang mampu membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
@cakkaNRG: AZ
            “Awesome and Zany. Dasar! Masih inget aja lo, Kka. Gue kira cuman gue yang inget kalau lo pernah ngomong begitu ke gue. Awesome and Zany.” Oik tertawa kecil.
            Oik pun merefresh timelinenya. Hatinya mencelos ketika membaca dua buah tweets baru yang muncul.
@Rayprasetya227: Ashilla Zahrantiara :p cpt ditmbk dong kka :p RT @cakkaNRG: AZ
@cakkaNRG: Halo bro :D RT @Rayprasetya227: Ashilla Zahrantiara :p cpt ditmbk dong kka :p RT @cakkaNRG: AZ
            Oik pun mulai mengetikkan sesuatu. Dan, setelahnya, ia segera mengsend tweet tersebut.
            “Jadi... itu buat Shilla. Oh.” Oik tertawa miris. Ia mendongakkan kepalanya, mencegah agar butiran Kristal itu tak jatuh dari kedua matanya.
            “Jadi gini... semuanya ga ada artinya apa-apa, ya? Lo nyanyi pakai gitar itu pun bener-bener ga ada yang spesial, ya? Soal yang 121212 itu berarti juga omong kosong aja.” Oik mulai merasakan napasnya yang tak beraturan.
            Gawat! Asmanya kambuh!
@OikCR27: Oh jd gt ya. Ok. Gpp. Hehehe. :’)
@gabrielstev: @cakkaNRG bngst lo! :@

**

            Cakka hari ini benar-benar berubah! Entahlah, Oik merasakannya. Tetapi, kenapa?
            Memang, hari ini Cakka tetap berbicara dengan teman-teman sekelasnya. Tetapi ia sama sekali tidak mengajak bicara Oik. Ia seperti menganggap Oik tak ada. Semenjak bel masuk berbunyi hingga sekarang –istirahat kedua–, Cakka sama sekali tak menghiraukan Oik. Bahkan ketika Oik mencoba ikut mengobrol bersama Cakka, Gabriel, dan Ify pun Cakka langsung berlalu pergi.
            Kali ini kelas sedang benar-benar sepi. Hanya Ify dan Oik yang berada di dalam kelas. Entah ke mana perginya teman-teman sekelas mereka yang lain.
            Oik memutar badannya agar ia dan Ify berhadap-hadapan. “Fy... kok, gue ngerasa Cakka hari ini berubah, ya?”
            Ify mengangguk dengan wajah prihatin. “Iya, gue juga. Padahal biasanya dia semangat banget kalau ngobrol sama lo. Di mana ada elo, di sana ada dia. Tapi sekarang...”
            “Iya,” Oik mengangguk sedih.
            “Yang sabar aja, Ik.” Ify mengelus bahu Ify dengan tersenyum getir. “Padahal baru kemarin gue tau kalau lo move on ke dia. Kalian cocok. Tapi sekarang malah gini.”
            Ify beranjak berdiri.
            “Mau ke mana, Fy?” tanya Oik.
            “Buang sampah,” Ify menunjukkan segenggam bungkus permen bekas mereka untuk mengisi kebosanan pelajaran fisika tadi pagi.
            Oik terkikik pelan dan mengambil alih bungkus-bungkus permen tersebut. “Sini, biar gue aja yang buang.”
            Oik pun beranjak meninggalkan Ify yang kembali duduk di bangkunya. Ketika Oik membuka pintu kelas dan akan keluar, rupanya ada sesosok lelaki pula yang sedang memegang gagang pintu dari luar dan akan masuk. Cakka.
            Mereka terdiam sejenak. Cakka memandang Oik lekat-lekat. Oik menaikkan sebelah alisnya, member isyarat untuk Cakka segera berbicara kalau-kalau lelaki itu akan berbicara.
            Setelah hampir semenit menunggu dan Cakka tak kunjung membuka mulutnya. Oik melengos. Ia melirik Ify sekilas dan tersenyum getir. Oik segera keluar kelas dan membuang sampah. Begitu ia masuk kembali ke dalam kelas, ia melihat Cakka telah duduk di tempatnya seraya menatapnya lekat-lekat. Oik bergeming. Ia menutup pintu kelas keras-keras hingga meninggalkan bunyi berdebam.

**

@OikCR27: Aduh! Kmptr rsk n di rmh gak ada org. Bisa gak ya gw bnrin ini sndr -_-
@cakkaNRG: Pasti bisa :) dicba dl mknya :)
@OikCR27: Please jgn kyk gn. Dia ya dia. Gw ya gw! :@
@cakkaNRG: Maaf

**

            Oik tersenyum dalam hati. Hari ini Cakka telah kembali menjadi Cakka yang dulu. Cakka sudah mengajak Oik ngobrol. Cakka juga sudah tidak lantas berlalu lagi jika Oik masuk ke dalam percakapannya bersama Ify dan Gabriel, seperti saat ini.
            “Udah tanggal sebelas, nih, Kka.” Gabriel menggumam.
            “Terus?” Cakka memandang Gabriel dengan alis terangkat sebelah.
            “Besok tanggal dua belas, bego!” Ify menjitak dahi Cakka dengan keras. “Gimana sama janji lo waktu itu?”
            “Janji yang mana, sih?” tantang Cakka, ia menatap Ify dengan menahan senyum.
            “Jadi lo mau nembak Shilla atau Oik besok?” goda Ify.
            Cakka sudah tertawa lebar. Ia memandang Oik dan Shilla bergantian.
            Saat itu pula, Oik menginjak kaki Ify dan tersenyum puas melihat Ify yang meringis menahan sakit. Siapa suruh langsung to the point begitu?
            “Shilla, dong! Ya, kan, Kka?” ujar Oik. “Gue sama Shilla, ya, mending Shilla! Dia, kan, cantik. Adiknya Mas Debo, pula. Nah, gue?” Oik mencibir diakhir kalimatnya.
            “Oke, kalau itu mau lo..” lirih Cakka.
            Ify melirik Oik. Terlihat jelas sekali jika Oik tidak benar-benar tertawa lepas. Gadis berdagu tirus itu dapat melihat dengan jelas bahwa binar mata Oik mulai menghilang seiring dengan menjadi keruhnya wajah Cakka.

**

            Bel pulang sudah berbunyi semenjak setengah jam yang lalu tetapi Oik, Ify, Gabriel, dan Cakka masih berada di dalam kelas. Mereka mendapat hukuman dari Bu Winda untuk membersihkan kelas karena mereka bereempat terlambat masuk ketika jam pelajaran Bu Winda.
            Akhirnya, setelah membagi tugas dan menjalankannya selama kurang lebih setengah jam, mereka berempat selesai juga membersihkan kelas. Keempatnya pun langsung membereskan barang masing-masing dan memasukkannya ke dalam tas. Keempatnya berjalan keluar dari kelas dengan dipimpin Gabriel. Ify, Cakka, dan Oik mengikuti di belakang Gabriel.
            “Ini, mah, harusnya kerjaannya cleaning service!” gerutu Gabriel.
            “Ya siapa suruh tadi kita telat masuk? Lo, sih, ngajak ke kantin dulu! Biang kerok emang lo!” Ify melotot memandang Gabriel.
            Gabriel dan Ify sudah ada di luar sedangkan Cakka masih berdiri di ambang pintu kelas, serta Oik masih berdiri di belakang Cakka. Oik mengernyit memandang tubuh jangkung Cakka di hadapannya.
            “Minggir kenapa, sih, Kka?” bentaknya.
            Cakka menengok ke Oik dan memamerkan wajah mengejeknya. “Terserah gue.”
            “Iya tapi, kan, gue mau keluaaaaarrr!!!” Oik sudah mencak-mencak sendiri di belakang Cakka.
            “Ya udah, keluar aja.” balas Cakka.
            Oik mendorong Cakka dari belakang dengan sekuat tenaga tetapi tubuh Cakka tak kunjung bergeser. “Elo, kan, tinggi gede! Gimana bisa gue lewat kalau lo masih ngendon di pintu gini?!”
            Di luar kelas, Gabriel dan Ify sudah meledak tawanya karena keusilan Cakka itu. Ify menaik-turunkan alisnya seraya memandang Oik. Oik membalasnya dengan menggembungkan pipinya dan mimik wajah cemberut.
            “Minggir, dong! Gue mau balik, nih!”
            “Ga mau!”
            Oik beralih pada Gabriel dan memasang wajah merana. “Gab, Cakka suruh minggir... please!”
            “Dia, mah, modus, Ik! Berdiri di situ biar lo dorong-dorong dia. Biar lo pegang-pegang dia. Modus banget, kan?” Gabriel berkata dengan wajah serius. Meledaklah lagi tawa Ify.
            “Tuh... dengerin Gabriel, Ik!” Ify pun ikut-ikut memasang wajah seriusnya.
            Oik tertawa lebar. Ia tetap berusaha mendorong tubuh Cakka agar bergeser dari ambang pintu. Namun, sekuat apapun usahanya untuk mendorong Cakka, tubuh Cakka tak kunjung bergeser juga. Oik terlalu mungil untuk mendorong tubuh jangkung Cakka sendirian.
            Oik melirik Ify sekilas dengan tersenyum malu-malu. Kini tubuhnya benar-benar dekat dengan tubuh Cakka dan, tentu saja, wangi parfum Cakka kembali menari-nari di hidungnya. Oik kembali tertawa untuk sekedar menutupi salah tingkahnya.
            Apa ini artinya... lo milih gue?

**

            Pagi itu, Oik datang di sekolah ketika sekolah sudah ramai. Dengan melangkah penuh senyuman dan headset yang masih terpasang di telinganya, Oik menuju kelasnya. Betapa bingungnya Oik ketika ia mendapati seluruh teman-teman sekelasnya yang sudah datang sedang berkumpul mengelilingi sesuatu di bangku belakang.
            Setelah meletakkan tasnya dan kembali mengantongi iPodnya, Oik berjalan menuju kerumunan tersebut. Terdengar sorakan yang menggema di ruang kelasnya. Oik menyeruak ke dalam kerumunan seraya mengecilkan volume iPodnya.
            “Aku suka sama kamu, Shill. Kamu mau, kan, jadi cewek aku?”
            Deg!
            Oik mengenali suara itu. Sangat mengenalinya.
            “Cakka?” Oik bergumam tak percaya.
            Oik berusaha mengendalikan dirinya. Tangannya yang sudah gemetar segera ia masukkan ke dalam saku rok. Ia paksakan senyuman lebar terukir di bibirnya. Oik pun menegakkan kepalanya dan menatap sumber sorakan teman-temannya dengan menahan sakit di hatinya.
            “Terima, Shiiiillll!!!” sorak teman-temannya.
            “Ciiiieeeee!!! Pantesan aja pagi-pagi udah ramai. Ternyata calon best couple sekolah, toh..” sorak Oik dengan senyum palsunya.
            Ify menengok ke arah Oik. Wajah gadis berdagu tirus itu sudah merah padam karena menahan amarahnya pada seorang lelaki di tengah-tengah mereka semua yang sedang berlutut di hadapan calon gadisnya. Tatapan Ify melunak melihat kedua bola mata Oik yang berkabut.
            Ify tersenyum sedih pada Oik. Oik membalasnya dengan cengiran lebar dan menggelengkan kepalanya, berusaha menenangkan Ify. Tak ada yang tahu bahwa mata Oik telah berkaca-kaca. Ya, hanya Ify yang tahu.
            “Terima, dong, Shill,” kata Oik, tepat saat pandangannya dan pandangan Shilla bertemu.
            Shilla masih menimang-nimang dengan wajah merona merah. Oh, cukup. Oik sudah tak tahan lagi.
            “Terima, Shill! Gue tinggal dulu, ya. Panggilan alam, nih!” Oik kembali berkata pada Shilla. Dipaksakannya kembali cengiran lebar untuk Shilla.
            Tanpa menunggu lama, Oik menjauh dari kerumunan itu dengan air mata yang telah meleleh dan tubuh yang berguncang hebat karena menahan tangis sedari tadi. Keluar dari kelas. Tanpa ia sadari, ekor mata Cakka terus menatapnya hingga ia menghilang di balik pintu kelas.
            Ify menggeleng tak percaya pada Cakka. Ia menatap Cakka ketika Cakka telah selesai menatap punggung Oik lamat-lamat. Ify mengacungkan jari tengahnya pada Cakka dengan wajah penuh amarah.
            “Fuck you!” desis Ify. Dan Ify yakin Cakka dapat membaca gerak bibirnya.
            Ify pun ikut membubarkan diri dari kerumunan itu. Ia berlari mencari Oik dan menemukannya sedang berjalan terseok-seok seraya menghapus lelehan air matanya menuju toilet sekolah.
            “Maafin gue dan Gabriel yang udah comblangin elo sama Cakka, Ik. Ini salah kami.” lirihnya.
            Oik menengok ke belakang dan kaget mendapati Ify di sana. Ia tersenyum tipis. “Ga apa-apa. Cakka, kan, emang sukanya sama Shilla. Lagi pula, masih ada sipit. Iya, kan, Fy?” tukas Oik. Tawanya berderai seiring dengan air matanya yang semakin deras menetes.
            Ify tak tahan lagi. Kedua matanya pun telah berkaca-kaca. Segera saja ia berlari menuju Oik dan merengkuh tubuh sahabatnya itu ke dalam pelukannya. Tangis Oik pun pecah, begitu juga dengan Ify.
            “Masih ada Alvin, Fy. Gue sukanya sama dia, kok. Bukan sama Cakka. Mungkin gue jarang ketemu Alvin aja, makanya seolah-olah gue kayak udah move on dari dia. Padahal belum.” Oik mulai meracau dalam tangisnya, membuat Ify melontarkan sumpah serapahnya pada Cakka dalam hati.
            Terima kasih untuk semuanya. Thanks for all the memories you’ve given.. Kita mulai dari nol lagi, ya, Kka. Seolah-olah kita baru aja kenal. Lo tau? Kita udah bikin banyak momen-momen indah yang ga akan pernah bisa gue lupain. And now... let me bring you out of my heart, let me forget about this feeling. Yang terakhir, terima kasih karena sudah pernah singgah di hidupku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

환영합니다. mengatakan...

kerenn :D

Posting Komentar