Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

ESPECIALLY FOR YOU [Cerpen #4thAnnivCaikersFamily]

Salatiga, 7 Juni 2013

            Hay, Cakka! Bagaimana Jogja? Kamu juga... baik-baik saja, kan? Saat ini sedang musim pancaroba. Kamu jaga kesehatan, ya. Aku nggak mau kamu sakit. Buktinya saja, ini aku sedang flu. Kemarin baru saja kehujanan, sepulang dari toko buku. Jangan lupa juga untuk selalu istirahat cukup. Jangan mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam.
            And I take this time to say this... Happy 4th anniversaryMy Cakka! I hope our relationship will last foreverStay romantic, Cakka! Peluk-cium dari Salatiga, Kka.
            Oh, ya.. Baca surat dariku ini sambil mendengarkan lagu Especially For You dari MYMP, ya. Itu lagu yang paling cocok untuk kamu, Kka. Dari aku.
            Kamu tahu, Kka? Sebelum kita bertemu, aku benar-benar nggak percaya dengan cinta. Tentu kamu tahu apa penyebabnya. Obiet. Iya, siapa lagi kalau bukan dia? Obiet benar-benar memupuskan semua kepercayaanku terhadap cinta waktu itu.
            Satu yang nggak kamu tahu. Bagaimana cara Obiet melakukan itu semua. Aku hancur waktu itu, Kka. Obiet seolah membawaku terbang tinggi menuju langit ketujuh dan menghempaskanku begitu saja dalam waktu singkat. Selama berbulan-bulan aku masih hidup dalam bayang-bayangnya. Menanti janji-janji manisnya yang tak kunjung datang.
            Ketika itu, sebuah petang dalam bulan Maret, Obiet datang ke rumahku setelah sekian lama kami dekat. Kami berdua sudah dekat selama empat bulan dan dalam kurun waktu itu Obiet terus saja menolak jika aku ajak bermain ke rumah. Belum siap, katanya. Betapa bodohnya aku ketika itu, percaya begitu saja padanya. Hingga hari itu pun tiba, Obiet bertandang ke rumahku dan berbincang hangat denganku dan Ayah. Ibuku sedang berada di luar kota saat itu.
            Kami bertiga duduk bersila di gazebo halaman belakang rumahku. Aku ingat betul, aku juga membuatkan wedang jahe untuk kami bertiga. Kami bertiga berbincang hingga larut malam. Ayah terus saja menggodaku dan Obiet. Apalagi ketika Ayah mengetahui kami belum juga pacaran. Obiet pun hanya tersenyum menanggapinya. Aku mengartikannya sebagai sinyal-sinyal positif.
            Aku mendengar percakapan Ayah dan Obiet, Kka. Ketika aku izin untuk mengambil makanan kecil di dapur, keduanya membicarakan tentang hubunganku dan Obiet. Ayah terus menyemangati Obiet untuk menyatakan perasaannya padaku. Aku pun hanya tersipu malu mendengarkannya. Satu kata yang selalu terngiang dibenakku, Kka. Obiet berkata ‘Ya’ pada Ayah. Sejak saat itu, duniaku mulai jungkir balik.
            Seiring berjalannya waktu, aku dan Obiet mulai tak terpisahkan. Kemana-mana berdua. Sampai-sampai, para sahabatku protes akan hal itu. Aku jadi nggak punya waktu untuk berkumpul bersama mereka. Semua waktuku kuhabiskan bersama Obiet seorang. Perlahan, para sahabatku mulai menjauh. Saat itu aku berpikir, toh nggak masalah. Aku masih memiliki Obiet yang selalu ada di sisiku.
            Kami berdua layaknya orang pacaran. Aku sudah senang walaupun hubungan kami tanpa status. Itu semata-mata karena aku tidak mau Obiet menjauh ketika aku tanya soal status hubungan ini. Itu yang aku takutkan.
            Hingga suatu hari, Obiet mulai berubah. Memang, dia masih berada di sampingku setiap saat tetapi aku merasakan ada yang berbeda. Perasaan perempuan itu peka, Kka. Aku sadar Obiet mulai sering melamun. Itu semua dimulai pada akhir bulan Mei, setelah kami melewati Ujian Nasional. Awalnya, aku hanya berpikir Obiet terlalu lelah dengan kegiatan basketnya. Aku nggak mau berpikiran negatif saat itu.
            Pada awal bulan Juni itu, Obiet menjanjikan akan membawaku ke rumah neneknya di Bandung. Ia juga berjanji akan mengajakku berkeliling Bandung dan berwisata kuliner disana. Aku benar-benar senang karena merasa Obiet telah kembali menjadi ia yang dulu, Obiet yang nggak pemurung dan senang melamun.
            Setelah pengumuman kelulusan tiba, aku mulai berpikir mengapa Obiet tak pernah menghubungiku. Pikiran-pikiran buruk mulai menguasaiku. Terakhir kali kami bertemu, Obiet terlihat pucat. Aku berpikir Obiet jatuh sakit. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengunjungi rumah Obiet.
            Bagai disambar petir disiang bolong, aku terkaget-kaget di halaman rumah Obiet. Pintu rumah Obiet terbuka lebar dan aku dapat melihat dengan jelas pemandangan indah didalam sana. Obiet sedang tertawa-tawa bersama seorang gadis berambut pendek dalam pelukannya. Obiet memeluknya dari belakang. Bahkan, ia pun tak pernah memperlakukanku seperti itu.
            Setelah bertanya pada pembantu rumah tangga Obiet mengenai gadis berkulit hitam manis itu, aku mengetahui semuanya. Gadis itu bernama Agni. Dia sahabat Obiet dari kecil yang baru saja kembali dari Manado. Sebelum Agni pindah dua tahun yang lalu, Obiet dan Agni sangatlah dekat. Bahkan, melebihi kedekatanku dan Obiet saat itu.
            Saat itu, semua mulai terlihat jelas. Obiet yang pemurung, Obiet yang senang melamun, dan juga perasaan anehku. Dari pembantu rumah tangga Obiet pun aku tahu mengenai Obiet yang berencana akan melanjutkan kuliah di Jakarta, bersama Agni. Bahkan, Obiet nggak pernah merencanakan akan berkuliah di universitas yang sama denganku.
            Hatiku remuk redam. Duniaku seakan berbalik. Dengan tubuh gemetar, aku memutuskan untuk masuk kedalam rumah Obiet untuk menemuinya. Tepat ketika aku memanggil namanya, kedua manusia itu menengok serempak padaku. Lihat, mereka memang kompak. Begitu melihat aku yang sedikit kacau, Obiet langsung salah tingkah. Ia melepaskan pelukannya pada Agni lalu menghampiriku.
            Aku berkata padanya bahwa aku sudah mengetahui segalanya. Obiet terdiam di tempat. Agni beranjak masuk lebih dalam ke rumah Obiet, memberiku dan Obiet waktu untuk berbicara berdua.
            Obiet mengatakan segalanya padaku. Ia mengira hari itu nggak akan pernah datang. Aku tersenyum tipis menanggapinya. Setinggi apa pun tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Obiet mendadak pucat pasi ketika aku menanyakan kelanjutan hubungan kami. Insting wanitaku mulai bekerja dengan tak terkendali.
            Tapi ternyata instingku nggak sepenuhnya benar. Obiet hanya berkata ia meminta waktu untuk berpikir. Ia dilema diantara aku dan Agni. Lagi-lagi, aku hanya mampu tersenyum tipis. Aku pun berlalu dari rumah Obiet, membiarkannya berdua bersama Agni. Dari pagar rumah Obiet, aku mendengar ia berteriak padaku. Ia akan datang padaku disaat yang tepat jika ia memilihku.
            Selama sebulan aku menunggu kedatangannya. Aku menyibukkan diri dengan mencari universitas terbaik di Salatiga agar aku nggak ingat pada janjinya. Nyatanya semua usahaku gagal. Aku masih memikirkan janjinya. Oh, bukan. Aku hanya berharap terlalu tinggi andai saja ia memilihku, bukan memilih Agni. Saat itu aku tak sadar bahwa kita nggak boleh berharap terlalu tinggi.
            Sudah dua bulan lewat semenjak kejadian yang melibatkan aku, Obiet, dan Agni. Obiet nggak kunjung menemuiku. Itu berarti, Obiet memilih Agni. Hatiku hancur untuk yang kedua kalinya. Lalu, aku mendengar desas-desus bahwa Obiet berkuliah di Jakarta. Ya, aku tahu. Pasti bersama Agni. Nggak dapat kupungkiri, hatiku kembali hancur.
            Aku mulai berintrospeksi. Selama sebulan penuh, aku memikirkan hidupku. Aku yang awalnya dekat dengan para sahabatku, lalu kedatangan Obiet, kedekatan kami yang membuat para sahabatku menjauh, dan Obiet yang juga menjauh karena gadis pilihannya. Aku sadar aku membutuhkan para sahabatku. Dan aku sadar aku nggak seharusnya membuat mereka menjauhiku.
            Pada awal Oktober, aku mulai menata hidupku kembali dengan susah payah. Aku berusaha mendekati para sahabatku lagi. Awalnya mereka memang menolakku mentah-mentah. Tapi lama-kelamaan kamu kembali dekat seperti dulu, sebelum Obiet hadir dalam hidupku.
            Aku menceritakan semuanya pada mereka. Dan mereka hanya mampu menghiburku. Aku selalu berpura-pura bahwa aku sudah melupakan Obiet jika didepan mereka. Padahal Obiet masih tersimpan rapat-rapat dihatiku.
            Aku menyetujui rencana pencomblangan mereka entah dengan siapa pun itu. Aku hanya nggak ingin mereka khawatir. Aku nggak mau mereka tahu soal aku yang masih hidup dalam bayang-bayang Obiet. Biarlah waktu yang menghapus bayangnya dari hidupku.
            Mereka mencomblangkanku dengan hampir semua laki-laki yang mereka kenal. Mulai dari sepupu, tetangga, teman kecil, hingga kenalan mereka dari sebuah lembaga bimbingan belajar. Dan aku pun akhirnya bertemu dengan kamu.
            Kamu masih ingat bagaimana pertemuan pertama kita? Aku masih ingat, Kka. Kita membuat janji akan bertemu di sebuah kafe dekat rumahku. Aku ingat betul kamu adalah sepupu dari sahabatku. Kebetulan, kamu sedang ada urusan di Salatiga dan kita berdua dicomblangkan.
            Aku mengendarai motorku menuju tempat janjian kita. Dan ditengah jalan, hujan turun dengan derasnya. Aku kehujanan, sedangkan kamu sudah sampai di kafe itu. Belum lagi, bajuku terkena noda coklat hasil cipratan mobil yang melaju di sampingku. Sepuluh menit kemudian, aku sampai di kafe dengan keadaan basah kuyup dan kotor.
            Aku langsung menghampirimu yang terduduk di dekat kaca jendela bening. Kamu sedang menatap hujan di luar sana tanpa berkedip. Aku mengagetkanku dengan duduk secara tiba-tiba di hadapanmu. Aku mengenali wajahmu, tentu saja. Apalagi kalau bukan karena sahabatku yang merangkap menjadi sepupumu itu sering menunjukkan fotomu padaku?
            Dengan badan menggigil karen basah kuyup, kita berjabat tangan. Bahkan pada jabatan tangan pertama kita pun instingku sudah mengatakan bahwa kamu berbeda. Kamu berbeda dengan Obiet. Sayangnya, aku memilih tidak menghiraukan instingku itu karena kepercayaanku yang masih hilang pada cinta. Apalagi cinta pada pandangan pertama.
            Melihat aku yang menggigil, kamu pun melepaskan jaketku dan membungkus tubuhku dengan itu. Saat itu aku berpikir bahwa kamu hanya seorang lelaki yang suka sok perhatian. Dan, lagi-lagi, aku salah. Kamu memang sangat perhatian padaku, Kka.
            Sejak awal pun sebenarnya aku sadar bahwa kamu adalah teman ngobrol yang menyenangkan. Hanya saja, aku menutupinya. Aku tetap bertingkah cuek di hadapanmu. Lagi-lagi, itu karena aku nggak percaya pada cinta. Aku tahu kamu menganggapku lebih dari teman sejak awal pertemuan kita. Tetapi aku nggak mau menjalin hubungan dengan kamu hanya sebagai pelampiasan.
            Selama tiga bulan kita terus berkomunikasi lewat jejaring sosial. Benar kataku, kamu memang perhatian. Buktinya saja, ketika kita sedang mengobrol, kamu selalu mendahulukan aku. Menanyai kabarku, apakah aku sudah makan atau belum, bagaimana kondisiku, dll. Aku hanya tersenyum ketika menyadari hatiku yang perlahan mulai terbuka untuk kamu.
            Aku masih ingat hari itu. Suatu Minggu pagi yang cerah pada awal Juni 2009. 7 Juni 2009, tepatnya. Aku kaget bukan kepalang ketika itu. Tepat saat aku keluar dari kamar sekitar pukul sembilan, aku mendengar suara gaduh dari ruang tamu. Seperti suara Ayah. Dan aku menemukan Ayah sedang berbincang hangat dengan kamu. Akhirnya, tanpa mandi terlebih dahulu atau pun mencuci muka, aku ikut bergabung dalam obrolan kalian.
            Lagi-lagi, Ayah menggodaku. Tapi bedanya, kali ini Ayah menggodaku dengan kamu, bukan dengan Obiet. Obiet sudah kubuang jauh-jauh dan kuletakkan pada sudut terdalam hatiku entah sejak kapan. Hanya satu hal yang aku tahu. Aku memercayaimu untuk menjaga hatiku.
            Melihat aku dan kamu yang memerah wajahnya, Ayah semakin gencar menggoda kita. Hingga akhirnya tiga kata ajaib itu terlontar dari mulutnya. Iya. Tiga kata ajaib itu. Aku cinta kamu. Kamu mengatakannya tepat di hadapan Ayahku. Sejak saat itu aku benar-benar yakin bahwa dan Obiet berbeda. Kamu dewasa. Kamu berani menyatakan perasaanmu di depan Ayahku. Dan berkat itu, Ayah merestui hubungan kita. Saat ini pun, Ayah menyuruhku cepat-cepat membicarakan soal pernikahan dengan kamu. Bagaimana hubungan kita kedepannya. Tetapi aku pikir perbincangan mengenai hal itu masih terlalu dini untuk kita.
            Kamu tahu, Kka? Aku merasa seperti anak SMA. Kamu tahu, kan, bagaimana rasanya berpacaran saat SMA? Semua menjadi hiperbola. Berpisah sebentar dengan pacarnya, sudah kangen. Nggak berkomunikasi dalam sehari, sudah ingin bertemu saja. Seperti itulah aku saat ini. Tentu saja, itu perasaanku untuk kamu. Aku kangen kamu, Kka. Ya, ya.. Aku tahu kita baru saja bertemu minggu lalu. Tapi, apa salah kalau aku kangen kamu?
            Selama empat tahun ini, perasaanku tetap sama. Aku sayang kamu. Dari dulu sampai sekarang. Hari ini adalah 7 Juni kita yang keempat dan itu semua sama sekali nggak bikin perasaanku untuk kamu memudar. Yang ada, aku makin sayang kamu.
            Kalau saja kamu tahu, jauh sebelum kita berpacaran, aku sudah merasakan ini. Aku ingat tanggal tepatnya. 14 Februari 2009. Ya. Tepat saat hari valentine. Kado valentine yang kamu kirim dari Jogjakarta itu masih aku simpan sampai saat ini. Aku letakkan dimeja riasku agar aku dapat melihatnya setiap hari, mengingat bahwa benda itu adalah pemberianmu. Aku suka teddy bear dan aku yakin kamu mengetahuinya dari sepupumu itu.
            Hari itu, pagi-pagi sekali pintu kamarku sudah diketuk dari luar. Ternyata Ayah. Beliau menyerahkan sebuah bingkisan padaku. Begitu melihat namamu sebagai nama pengirim, jantungku langsung berpacu kencang nggak terkendali. Aku juga nggak tahu kenapa. Yang aku tahu, aku mulai menyadari perasaan ini.
            Bersama kamu, aku nggak takut lagi untuk berharap. Aku menggantungkan harapanku setinggi-tingginya bersama kamu. Puluhan harapan kucoba untuk meraihnya satu-persatu. Ya walaupun nggak dapat dipungkiri kalau ada beberapa harapan yang gagal kuraih. Tapi aku tahu itu hanya batu loncatan. Itu yang selalu kamu bilang, kan?
            Aku sempat berandai-andai, Kka. Kalau saja harapanku itu adalah sayap, aku pasti sudah bisa menggunakannya untuk terbang ke tempat kamu berada saat ini, Jogjakarta. Aku tahu jarak antara Salatiga dan Jogjakarta tidak jauh, tetapi... Bagaimana, ya, rasanya terbang kesana dengan memakai sayap harapan ini?
            Bersama kamu, aku nggak takut untuk bermimpi. Kamu juga membantuku mewujudkan impian itu. Sekolah darurat yang kita bangun di tanah lapang kompleks rumahku masih ada hingga saat ini. Setiap harinya aku dan teman serta sahabatku bergantian mengajar disana. Dan khusus untuk hari ini, aku cuti. Aku ingin menghabiskan 7 Juni kita yang keempat ini di kamarku. Nostalgia bagaimana kita empat tahun yang lalu hingga saat ini.
            Kamu pernah menasehatiku agar aku nggak perlu merasa bahwa aku sendirian. Aku masih ingat nasehat itu sampai sekarang. Nasehat kamu waktu itu memang benar-benar menancap dipikiranku. Aku nggak sendiri, aku masih punya banyak orang yang menyayangiku, dan aku nggak perlu merasa kalau aku nggak berguna untuk orang lain. Ada kamu, teman-teman, sahabat-sahabat, dan keluargaku. Mereka menyayangiku. Dan seseorang pasti punya arti untuk orang lain. Semua orang sudah memiliki tugasnya sendiri-sendiri selama mereka mereka hidup. Iya, kan?
            Kamu juga mengajari aku untuk nggak lagi berharap pada Obiet. Itu yang kamu lakukan diawal-awal pertemuan kita. Kamu menyuruhku untuk melepaskan semuanya, rasa sakit hatiku. Kamu bilang perasaan semacam itu nggak pantas untuk terus disimpan. Iya, aku menyadarinya. Dan berkat kamu, semua perasaan dan sakit hati itu lenyap. Semuanya berkat kamu, Kka. Aku nggak tahu bagaimana jadinya aku kalau kita nggak dipertemukan. Mungkin sampai sekarang aku masih terpuruk, berharap Obiet akan memilihku. Tapi sekarang aku sadar, aku beruntung punya kamu.
            Aku nggak tahu kenapa aku bisa sesayang ini sama kamu. Mungkin karena kita berdua sudah bersama sejak awal. Saat aku terpuruk waktu itu, kamu yang membuat aku bangkit lagi. Ya, mungkin karena itu. Kita merasakan asam-manisnya cinta dari nol. Terima kasih karena sudah mau berada disisiku sejak saat itu hingga sekarang.
            Kamu punya arti tersendiri untuk aku. Kamu bisa jadi teman, sahabat, pacar, bahkan kakak aku.You mean nothing but the world to me. Aku nggak tahu bagaimana cara mendeskripsikan seberapa berartinya kamu untuk aku. Nggak ada kata yang pas untuk itu. Intinya, aku benar-benar bersyukur karena aku mengenalmu. Our love was meant to be, Kka. Kamu merubah hidupku dan kamu mengajariku arti cinta yang sesungguhnya.
            Aku janji aku nggak akan menyia-nyiakan kamu, juga perasaan ini. Aku janji aku akan jadi pacar yang baik, yang nggak suka menuntut. Aku janji perasaan ini nggak akan berubah. Aku janji untuk selalu jadi yang terbaik untuk kamu. Kamu juga mau janji, kan, sama aku?
            Sekali lagi, happy anniversary!
            Semoga kita langgeng sampai kakek-nenek. Semoga tugas kuliah kamu cepat-cepat selesai agar kita bisa bertemu. Ayah mencari kamu terus, Kka. Beliau ingin mengobrol empat mata dengan kamu. Sepertinya ingin membicarakan soal hal itu.
            And all the love I have is especially for you..

With love,
Oik

P.S: Jangan lupa kabari aku dulu kalau kamu akan ke Salatiga. Aku sudah belajar memasak selama sebulan ini dan aku akan memasakkan makanan spesial untuk kamu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar