Oik terkesiap. Ia melirik jam tangannya. Sudah malam rupanya. Sudah tiga jam lebih ia terduduk lesu disini tetapi keluarga Gabriel tak kunjung pergi juga. Oik kembali menatap ketiga orang yang berdiri mondar-mandir di depan ruang ICCU. Sepertinya mereka tak akan meninggalkan Gabriel yang tengah koma barang sedetik pun.
Oik menghembuskan napasnya putus asa. Dengan lemas, ia bangkit dan melangkah semakin menjauh dari ICCU tempat Gabriel berbaring. Sekali lagi ia menengok ke belakang dan tetap saja tiga orang itu yang ia lihat.
“Aku pulang dulu, Gab. Aku janji aku akan jenguk kamu secepat mungkin.”
**
Oik memutuskan untuk pulang ke tempat kosnya dengan berjalan kaki. Lagipula jarak antara kampus, rumah sakit, dan tempat kosnya tidak terbilang jauh. Hanya sekitar lima ratus meter. Jalanan juga masih ramai, jadi tidak ada lagi alasan bagi Oik untuk membuang uang bulanan yang dikirim orangtuanya dari Malang hanya untuk naik becak atau angkot.
Begitu keluar dari gerbang masuk utama rumah sakit, Oik berbelok kiri. Ia menyeberang jalan setelah menunggu lampu lalu lintas berubah merah beberapa menit.
Ia kembali melangkahkan kakinya yang terasa semakin berat meninggalkan rumah sakit tanpa melihat Gabriel. Warung-warung kopi dan tenda-tenda penjual makanan masih ramai ketika Oik sudah memasukki gang tempat kosnya berada.
Oik mengerutkan keningnya ketika samar-samar ia melihat sebuah motor yang sangat dikenalinya sedang terparkir di halaman kosnya. Oik mempercepat langkahnya hingga ia tiba di samping motor tersebut.
“Ray?” panggil Oik.
Sang pemilik motor itu –Ray– segera berdiri dan menghampiri Oik. “Maaf, aku kesini malam-malam begini.”
Oik mengangguk. “Nggak apa-apa,Ray.” Oik pun menutup pagar kosnya dan berjalan beriringan bersama Ray untuk menuju teras. “Ada apa?” tanya Oik.
“Niatnya tadi aku pinjam buku untuk bahan tugas dari dosen tapi ternyata barusan teman sekelompokku SMS kalau dia sudah dapat bukunya.”
“Oh,” Oik membulatkan mulutnya. “Lalu?”
“Kenapa jam segini baru pulang, Ik?” tanya Ray setelah melirik jam yang tergantung di dekatnya sekilas –tanpa menjawab pertanyaan Oik–.
“Habis jenguk Gabriel dulu.”
“Terus?” Ray mengangkat sebelah alisnya. “Biasanya kamu pulang menjenguk Gabriel pukul delapan dan sekarang sudah pukul sembilan lebih.”
“Gabriel koma, Ray.” Oik tersenyum getir.
“Astaga,” Ray mendesis tak percaya. “Terus? Kamu jenguk Gabriel waktu ada keluarganya disana?”
Oik menggeleng. “Nggak. Aku cuma berani duduk di dekat meja resepsionis. Papa, mama, dan adik Gabriel mondar-mandir terus di depan ruang ICCU. Aku nggak berani, Ray.”
Ray merentangkan tangannya lebar-lebar. Mengerti apa maksud Ray, Oik pun menghambur memeluknya. Kesedihan yang tadi sudah ia tekan untuk tidak terlihat pun kembali muncul kepermukaan. Ray memang yang paling perhatian dibandingkan dengan tiga sahabatnya yang lain.
Beberapa menit kemudian, Ray melepaskan pelukannya dan tersenyum menenangkan. “Sudah makan malam?” tanyanya.
Oik menggeleng. “Belum, Ray.” jawabnya dengan suara parau.
“Ya sudah, kamu bersih-bersih badan dulu. Setelah itu, kita cari makan bareng.”
Oik mengangguk. “Oke. Tunggu sebentar, Ray.”
Ray menatap punggung Oik yang perlahan menjauh darinya dengan senyuman yang mulai memudar. Ray pun duduk disalah satu kursi rotan yang terletak di sudut teras dan mengeluarkan ponselnya.
To: Alvin, Pricilla, Sivia
Gabriel koma guys..
**
Jam baru saja menunjukkan pukul empat dini hari ketika keributan sudah jelas terdengar dari kamar kos Oik. Bunyi barang berjatuhan masih terus terdengar semenjak beberapa menit yang lalu. Rupanya Oik sedang merapikan kamarnya.
Beberapa menit berselang, keributan mulai menghilang. Gadis itu sudah rapi dengan pakaiannya. Ia sudah selesai mandi semenjak tiga puluh menit yang lalu. Dengan menenteng tasnya, Oik keluar menuju ruang tamu tempat kosnya.
Oik tersenyum kecil ketika menyadari Ray masih berada disana sejak semalam. Kini sahabatnya itu sedang tertidur disofa. Oik menghampirinya dan duduk pada sofa yang sama.
“Ray, bangun!” bisik Oik sambil menggoyang-goyangkan lengan Ray.
Ray menggumam tak jelas, menguap lebar, dan kembali terlelap.
Oik menghembuskan napasnya kesal. Ray adalah orang pertama yang Oik letakkan didaftar orang-orang yang paling susah dibangunkan. Butuh ekstra kesabaran untuk membangunkan lelaki gondrong itu.
“Ray, kamu semalam bilang kalau kamu mau temani aku jenguk Gabriel subuh-subuh.” Oik menepuk kedua pipi Ray dengan sebal.
“Iya, Ik,” balas Ray dengan suara parau khas orang baru bangun tidur.
“Ayo, Ray! Ini suduh pukul empat lebih!” Oik bergumam tak jelas sambil menatap jam tangannya.
Ray menguap lebar. “Iya, iya.” Ray bangun dari posisi tidurnya dan duduk. Tampak ia sedang merenggangkan otot-ototnya.
“Berangkat sekarang?” tanya Oik dan Ray hanya mengangguk samar.
Oik pun berdiri, diikuti oleh Ray. Keduanya berjalan menuju halaman tempat kos Oik. Motor Ray terparkir disana. Setelah memanaskan mesin motornya sebentar, Ray pun melajukannya dengan membonceng Oik menuju rumah sakit.
Tak sampai lima menit kemudian, Ray sudah memarkirkan motornya di pelataran rumah sakit. Tempat parkir masih sepi karena sekarang masih pagi buta.
Keduanya berjalan beriringan memasuki lobi rumah sakit dalam diam. Ada dua orang suster yang masih terjaga dimeja resepsionis. Oik melemparkan senyum manisnya pada kedua suster itu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Ray mengikuti langkah kaki Oik menuju ICCU tempat Gabriel terbaring koma. Ray mengedarkan pandangannya ke segala penjuru rumah sakit yang masih sepi dan mengangkat bahunya dengan cuek.
Begitu sampai di depan ICCU, Oik mendadak bingung. Ia melihat dengan jelas dari sebuah kaca pada pintu ruang ICCU kalau ruangan itu kosong. Lalu, kemana Gabriel?
“Ray, kamu tunggu disini saja. Aku mau tanya suster. Ruangan ini kosong.” Oik melirik Ray sekilas.
Ray hanya mengangguk dan kemudian duduk pada sebuah bangku panjang yang tersedia tak jauh dari sana. Oik meninggalkannya kemeja resepsionis dan kembali lagi beberapa menit kemudian.
“Kemana Gabriel?” tanya Ray.
“Sudah kembali ke ruang rawatnya. Dia sudah melewati masa kritis.” Oik menjawab dengan tersenyum lebar dan mata yang berbinar bahagia.
Ray pun berdiri lalu mengacak rambut Oik sekilas. Tak dapat dipungkiri, ia bahagia melihat binar-binar mata Oik yang telah kembali. Oik pun melangkah dengan semangat menuju lift yang membawa mereka ke lantai tujuh, menuju ruang rawat Gabriel.
Begitu pintu lift terbuka, Oik langsung menghambur keluar dan meninggalkan Ray di belakangnya. Ray hanya tersenyum kecil menanggapinya.
Dengan kedua telapak tangan yang ia tenggelamkan dalam saku jeans, Ray berjalan mengekor Oik. Ray memang belum pernah menjenguk Gabriel sekali pun. Begitu pula dengan Alvin, Sivia, dan Pricilla. Oik melarang keempatnya menjenguk Gabriel terlebih dahulu. Entah kenapa.
Oik berbelok ke sebuah lorong di ujung koridor. Ruang rawat Gabriel adalah ruang rawat keempat di sebelah kanan dalam lorong tersebut.
Ray hampir saja menabrak punggung Oik yang tiba-tiba berhenti berjalan dan kini berdiri kaku di hadapannya. Ray mengernyitkan dahinya dan maju selangkah, menyamakan posisi berdirinya dengan Oik.
“Kenap––,”
Oik menempelkan telunjuknya pada bibirnya, memberikan isyarat pada Ray untuk diam. “Dengar.. Seperti ada yang berteriak-teriak.”
Ray mengangguk ragu. Manusia normal mana yang berteriak-teriak pagi-pagi buta begini di rumah sakit?
Oik menatap sekelilingnya. Tak ada seorang pun disana kecuali ia dan Ray. Petugas rumah sakit pun tak ada. Pantas saja tidak ada yang menegur sang empunya suara. Oik kembali berjalan perlahan mendekati ruang rawat Gabriel.
“Orang gila mana yang sudah berkeliaran pagi-pagi buta begini?” gerutu Ray.
Oik menatap Ray. “Aku seperti kenal suara ini.”
“Siapa?”
“Mama Gabriel,” jawab Oik dengan suara tercekat.
Oik kembali melangkah cepat menuju ruang rawat Gabriel. Ray mengikutinya dengan panik. Ada masalah apa sampai beliau harus berteriak seperti orang kesetanan pagi-pagi begini, di rumah sakitpula?
Ray menatap punggung Oik yang menegang. Ia segera menghampirinya dan merangkulnya tanpa berkata apa-apa. Rupanya Oik sedang mengintip keadaan di dalam ruang rawat Gabriel dari sebuah kaca pada pintunya.
“Gabriel bener-bener sudah sadar, Ray. Matanya terbuka.” Oik menggumam dan tersenyum kecil sambil terus mengintip keadaan di dalam.
Oik menengok ke samping dan mendapati Ray yang menatapnya dengan sebuah senyum. Oik pun kembali mengintip ke dalam. Pada saat yang sama, rupanya Gabriel juga sedang menatap kearah kaca kecil dipintu ruang rawatnya.
Oik mematung melihat reaksi Gabriel. Ray pun penasaran. Ia ikut melihat dari celah kecil yang masih tersedia. Gabriel langsung mengalihkan pandangannya saat itu juga ketika pandangannya bertemu dengan pandangan Oik. Dan sejak saat itu pula Oik merasakan Gabriel yang seperti enggan menatapnya lagi.
“Gabriel kenapa, Ray? Apa yang salah? Aku? Aku kenapa? Kenapa Gabriel sampai seperti itu tadi?” Oik mulai meracau dalam rangkulan Ray.
0 komentar:
Posting Komentar