#NowPlaying: Abdul & The Coffee Theory – Memutar Waktu
**
Sudah hampir setahun aku berada di Singapura. Itu artinya, beberapa bulan lagi aku akan lulus. Lulus. Ya, lulus. Dan itu berarti... aku kembali ke Indonesia! Kembali bertemu dengannya, kembali melihat wajahnya, kembali mendengar suaranya, dan kembali merasakan sentuhannya.
“Cakka?” sapa sebuah suara.
Aku tersadar dari lamunanku dan menengok ke samping. “Yes, Gabriel? Did you call me?” tanyaku dengan volume tinggi karena kaget.
Dan dalam sekejap, seluruh penghuni Library sekolah menatap kami dengan ganas. Aku dan Gabriel –teman pertamaku disini– menatap mereka semua dengan penuh penyesalan karena telah mengganggu konsentrasi mereka.
“Better if we go out there,” kata Gabriel seraya tersenyum padaku.
Aku mengangguk. Gabriel telah mengembalikan buku yang telah ia baca setengahnya dan aku hampir selesai membereskan buku tugasku ketika ponsel dalam saku celanaku bergetar. Dengan buku tugas yang kubawa ditangan kiri, aku mengambil ponsel dari saku celana dan melihat layarnya.
“Goddamn it!” desisku sebal.
“Hey, are you ok?” tanya Gabriel bingung.
“Never mind,” kataku tak acuh.
Aku kembali menyimpan ponselku kedalam saku celana. Kami berdua berjalan keluar dari Librarydan melangkah beriringan menyusuri koridor sekolah kami. Jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi waktu Singapura saat ini. Maka dari itu, matahari belum memantulkan sinarnya sepenuhnya.
Sekolah kami terletak di pusat kota. Hanya beberapa kilometer jauhnya dari road paling populer seantero Singapura –Orchard Road–. Biasanya selepas jam sekolah, aku dan Gabriel mampir dulu ke Orchard Road untuk sekedar memanjakan mata atau membeli segelas kopi. Setelah itu, kami baru kembali ke flat.
Kami tinggal satu flat semenjak lima bulan yang lalu. Flat yang kutempati terlalu jauh dari sekolah –di dekat Changi Airport– dan kebetulan teman satu flat Gabriel baru saja pindah ke luar negeri untuk melanjutkan kuliahnya. Jadilah kami semakin akrab sejak saat itu.
Kami berdua sampai di taman sekolah yang rindang. Sebuah pohon superbesar yang rimbun melindungi area taman ini dari sengatan langsung sang mentari. Aku dan Gabriel duduk bersandar pada batang pohon tersebut.
“Who was that?” tanya Gabriel padaku.
Aku hanya memandangnya tak mengerti. “Who?” tanyaku balik.
“The one who sent you a message or called you, I don’t know.” Gabriel mengangkat pundaknya tak mengerti.
“I got it!” aku mengangguk mengerti dengan wajah masam.
“Why does your face turn..... You seem get angry.” Gabriel tertawa melihatku.
“Gabriel, stop it!” aku mengangkat tangan kananku, pertanda aku malas membahas hal ini.
“I don’t wanna stop until you tell me what happened,” Gabriel semakin mengeraskan tawanya ketika wajahku semakin masam.
“Ok, just stop it first!” aku mulai kalang kabut ketika beberapa siswa lain yang sedang berada di taman memperhatikan aku dan Gabriel dengan aneh.
Gabriel akhirnya menghentikan laju tawanya.
“Ok, listen.” aku mengambil ponselku dan mengutak-atiknya sebentar. “It was Shilla.” kataku, seraya menunjukkan sebuah pesan yang Shilla kirimkan padaku beberapa menit yang lalu.
From: Shilla
Morning, dear!:-)
Already in school? Have a great day!<3
“Is she your girlfriend, huh?” tanya Gabriel.
“No!” aku menggeleng tegas dengan wajah masam. “Never!”
“And then, how could she sent you that kinda message?” tanya Gabriel tak percaya.
“I don’t know. She’s like obsessed with me. That’s so fucking annoying, you should know that.” balasku sambil bergidik ngeri.
“You have her photo, don’t you?” tanya Gabriel lagi. Rupanya dia penasaran dengan wajah Shilla.
“Wait,” kataku. Aku membuka aplikasi BBM dan membuka profil Shilla. Kutunjukkan display picture Shilla kepada Gabriel. “This.”
Gabriel mengangguk mengerti. Aku menutup profil Shilla dan kembali fokus pada Gabriel. “How can you ignore this beautiful and nice girl?”
“Don’t judge someone just by their looks,” kataku sebal.
“Why?”
“She has made me broke up with my ex-girlfriend, you know?!” aku kembali mengumpat ketika mengingat bagaimana dengan liciknya dia membuatku putus dengan Oik.
“O-oww!” Gabriel tersenyum miris. “Lemme see your ex-girlfriend’s photo, Cakka.”
Aku mengangguk dan tersenyum kecil. Lagi, kubuka aplikasi BBM dan mencari kontak Oik. Kubuka profilnya dan kusodorkan ponselku pada Gabriel seraya tersenyum bangga.
“She’s amazing, right?”
“Not really. I think Shilla is more beautiful.” Gabriel mengembalikan ponselku dengan tersenyum meminta maaf.
Aku menerima kembali ponselku dengan tetap tersenyum. “I said amazing, Gabriel. Not beautiful. That’s true if Shilla is beautiful but she’s not amazing.”
“Who’s her name?”
“Oik. Oik Cahya Ramadlani.”
“Yeah! But Oik isn’t as beautiful as Shilla.”
“But I love her. Yesterday. Today. And tomorrow. I love her like forever.”
**
Pintu kamarku berderit terbuka. Seorang gadis mungil muncul dari balik daun pintu. Senyum terukir dibibirnya ketika melihatku yang sedang tenggelam dalam buku-buku tebal. Perlahan ia melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam kamarku dan menutup pintunya dengan sepelan mungkin.
Gadis itu menyilangkan kedua tangannya didepan dada seraya bersandar pada daun pintu kamarku ketika menyadari kamarku sudah seperti kapal pecah. Baju kotor dimana-mana, buku-buku berserakan, dan bungkus makanan ada di segala penjuru kamarku.
Perlahan, ia mulai membereskan kamarku. Satu-persatu baju kotorku ia pungut dan ia masukkan kedalam sebuah keranjang plastik tempat pakaian kotor yang terletak di sudut kamarku. Buku-buku yang berserakan ia rapikan dan ia letakkan pada rak. Bungkus-bungkus makanan pun segera ia kumpulkan jadi satu dan ia lemparkan ke tempat sampah.
“Cakka?” panggilnya.
Aku masih saja berpura-pura tenggelam dalam buku tebal ini, berpura-pura tak mendengar panggilannya. Dalam hati, aku tertawa keras.
Perlahan, aku merasakan dirinya bergerak mendekat kearahku. Dalam beberapa detik, ia sudah melingkarkan tangannya dileherku dari belakang. Aku tersenyum dan menengok kearahnya.
“Oik,” panggilku.
“Hay,” sapanya. “Konsen banget, ya, sampai nggak sadar aku ada disini,” sindirnya.
Aku terkekeh. “Sadar, kok. Tapi aku biarin aja kamu ngebersihin kamarku.”
Oik melepas rangkulannya dan berdiri tegak di sampingku. “Sok nggak peka banget!”
Aku tertawa melihat wajahnya yang berubah sebal. Kuulurkan tangan kananku untuk merangkul pinggangnya dan menggeser tubuhnya agar lebih dekat denganku. Telunjuk kananku sudah memencet hidung mungilnya dengan gemas.
“Lagi belajar apa?” tanyanya sambil berusaha melepaskan telunjukku dari hidungnya.
“Nyicil belajar buat ujian kenaikan kelas. Biar nilaiku bagus dan dapat beasiswa buat kuliah di luar negeri.”
Oik mengangguk mengerti. “Kamu pasti bisa dapet beasiswa itu.”
Aku tersenyum pahit. “Sainganku dari seluruh dunia, Ik. Kemungkinannya kecil banget.”
“Nah!” Oik menepuk pundakku. “Makanya, kamu harus semangat belajar! Bikin kemungkinan yang kecil itu jadi besar. Aku tahu kamu bisa, Kka.”
“Thanks, dear.” Aku bangkit berdiri dan kemudian mencium kening Oik dengan lembut.
**
Aku terbangun dengan peluh yang sudah membanjiri wajah dan tubuhku. Sial! Mimpi itu lagi. Sebegitu kangennya, kah, aku dengan Oik sampai-sampai setiap malam hanya dirinya yang kumimpikan?
Aku sedang sibuk mengatur napasku ketika pintu kamarku terbuka dengan kasar dan seseorang menyalakan saklar lampu yang tepat berada di samping pintu. Kupincingkan mataku karena telah disodori kilatan cahaya yang begitu tiba-tiba.
“Are you ok, Cakka?” suara Gabriel terdengar panik.
Aku mengangguk pelan. “Yes, I’m fine. Just had an annoying nightmare.”
“I see,” Gabriel berjalan masuk ke dalam kamarku dan duduk ditepi ranjang. “About Shilla? Orabout Oik?” tanyanya.
“Oik, of course!” jawabku dengan nada yang lebih tajam daripada yang kuperkirakan.
“You miss her, huh?” ejek Gabriel. Sial!
Aku mengangguk gusar. “A lot.”
“Go, tell her. She deserves to know that.” ujar Gabriel sambil berlalu dari kamarku setelah sebelumnya telah mematikan lampu dan menutup pintu.
Aku menghembuskan napas perlahan. Bagaimana caranya aku mengatakan pada Oik bahwa aku merindukannya jika Oik masih tak mengangkat teleponku dan membalas pesan maupun chat dariku?
**
Aku sedang terduduk sendirian dimeja makan seraya mengaduk-aduk serealku pagi itu. Gabriel masih membereskan tas sekolahnya. Gabriel memang lelet. Ya. Sampai-sampai aku telah selesai menyiapkan serealnya sembari menunggunya beres-beres.
Beginilah aktivitasku sehari-hari. Sampai duluan dimeja makan, menunggu beberapa menit tapi Gabriel tak kunjung muncul, memutuskan untuk menyiapkan sereal kami berdua, dan termangu bosan menunggu Gabriel selesai dengan beres-beresnya.
Tangan kiriku perlahan terulur untuk mengambil ponsel yang hanya sejengkal jaraknya dari mangkuk serealku. Aku sedang menimang-nimang mengenai kebali menelepon Oik –untuk yang kesekian kalinya– ketika Gabriel muncul di hadapanku dan langsung duduk dikursinya.
“Having a war with your mind, Cakka?” sapa Gabriel –yang lebih cocok disebut mengejek– pagi ini.
“It’s still morning, Gab,” aku memperingatkannya dengan tajam.
Gabriel hanya mengangguk seraya tersenyum kecil. Untuk selanjutnya, kami sudah berkutat dengan sereal masing-masing. Hingga ponselku bergetar pertanda sebuah pesan masuk.....
“I bet it’s Shilla.” Gabriel mulai bercicit ria.
“Shut up, Gabriel Stevent!” protesku.
“You’ll never see a message from Oik if you don’t tell her what you still feel about her.”
Gabriel memberikan penekanan pada kata ‘still’ dan itu mampu membuatku terhenyak untuk beberapa saat.
From: Shilla
Kka, aq lg sakit. Wanna say gws for me?:’(
Oh ya, 1 lg. Aq msh dgr oik n the gank ngomongin soal km.
Do u want me to tell her that u both has already ended ur relationship?
“Can you translate it into English for me, Cakka?” rajuk Gabriel dengan mata berbinar.
Aku memandang Gabriel malas tetapi akhirnya kulakukan juga apa yang ia minta. “Kka, I’m sick now. Wanna say get well soon for me? Ah! One more. I heard it when Oik and the gank had talked about you. Do you want me to tell her that you both has already ended your relationship?”
Gabriel menyipitkan matanya dengan pandangan jijik. “How could she...?”
“I’ve told you don’t ever judge someone just by their looks, haven’t I?” ejekku.
“Go, Cakka! Reply her message!” desak Gabriel.
“What?!” aku memandangnya seolah-olah Gabriel adalah alien yang baru saja menjejakkan kakinya di bumi.
“Fool you,” desis Gabriel lalu dengan seenaknya merampas ponsel dari tanganku dan mengutak-atiknya sebentar.
Aku masih memandanginya dengan aneh ketika ia telah mengembalikan ponselku dan memaksaku membaca pesan yang telah ia kirim ke Shilla atas namaku. Aku terkekeh pelan membacanya. Gabriel tersenyum penuh kebanggaan.
To: Shilla
Stop act lyk we’re in a fuckin relationship!
Me still lv oik n u just need 2 get out from my life, k?!
Don’t u realize that I hate u so much?!
“So, you support me to still love Oik?” tanyaku.
“Yes.” Gabriel mengangguk bangga.
“But you said that Shilla is more beautiful...?” aku mengingatkannya kembali pada percakapan kami kemarin.
“But love isn’t about beautifulness. It’s about...” Gabriel menunjuk hatinya. “this.”
**
Aku dan Gabriel sedang berjalan-jalan di sebuah mall dekat sekolah kami ketika pandanganku tak sengaja menangkap sepasang remaja yang berjalan tak jauh dari kami. Sang gadis seperti sedang menggeret lelaki di sampingnya untuk masuk ke sebuah gerai aksesoris khusus perempuan.
Tiba-tiba saja aku merasakan nyeri yang teramat sangat diulu hatiku. Tetapi anehnya, bibirku tersungging untuk mengulum sebuah senyum tipis. Dan saat itu juga aku merasakan kekosongan yang menyiksa pada sudut terdalam hatiku..... yang biasa diisi oleh Oik.
Aku tersadar ketika Gabriel menyenggol lenganku. “What’s up?”
“I wanna sit over there and buy a cup of cappuccino,” kata Gabriel. Telunjuknya mengarah pada sebuah kedai kopi yang berseberangan dengan toko aksesoris yang dimasuki sepasang remaja tadi.
Aku hanya mengangguk pertanda setuju. Gabriel pun menggiringku untuk duduk disalah satu sudut terluar kedai kopi tersebut sementara dirinya berlalu dan memesan dua gelas cappuccino untuk kami.
Ah. Kedai kopi ini mengingatkanku lagi pada Oik. Apa? Baiklah. Iya, aku mengakuinya. Semua hal mengingatkanku pada Oik. Semua. Sekecil apa pun itu. Dan baru kini kusadari betapa berartinya oik dihidupku dan betapa aku tidak sanggup hidup tanpanya. Oik bagaikan mentari untukku. Dan aku merindukannya.
**
“Cakka, ayo temenin aku. Kamu jahat banget, sih, nggak mau nemenin aku?! Ih, Cakka jahat!” Oik merengek seraya menarik-narik lenganku untuk menemaninya masuk ke sebuah toko aksesoris serba pinkdi dekat kami.
“Kamu masuk sendiri aja, Ik. Aku tunggu disini, kok. Janji, deh, aku nggak bakal kabur.” aku menatap Oik memohon.
“Nggak mau!” Oik menggeleng keras. “Maunya ditemenin kamu!” pekiknya.
“Ssstt!!” aku menyilangkan telnjukku didepan bibir ketika menyadari banyak sudah menjadikan kami tontonan gratis siang itu. “Banyak yang lihat, Ik. Nggak malu jadi tontonan gratis?”
“Nggak,” kata Oik, tetap dengan bad habbitnya –keras kepala–.
Aku mengalah. Akhirnya aku pun menemani Oik masuk ke dalam toko aksesoris tersebut walaupun dengan setengah hati. Oik menggamit lenganku erat-erat seakan-akan aku bisa saja kabur jika tak ia gandeng begini.
Pupil mataku mulai melancarkan aksi protesnya ketika kami berdua resmi berada di dalam toko serba pink tersebut. Mataku mulai menyipit dengan silaunya warna khas perempuan yang berpendar dari seluruh penjuru gerai.
Oik masih asyik melihat-lihat sekumpulan gelang –yang ia pikir– lucu itu ketika aku mencolek bahunya dari belakang. “Ik, aku tunggu di luar, ya?”
Oik menengok dengan wajah tak bersahabat dan bibir yang kembali mengerucut sebal dan siap untuk merengek.
Aku menghela napas ketika menyadari ekspresi Oik tadi merupakan penolakan darinya. “Oke, aku tunggu disini.”
Oik kembali tersenyum sumringah dan berkutat pada tumpukan gelang di hadapannya. Kami kembali saling memunggungi. Untuk mengenyahkan kebosanan yang melanda, aku iseng menghitung setiap orang yang lewat di depan toko aksesoris ini.
Satu...
Dua...
Tiga...
Sembilan...
Tiga belas...
Dua puluh...
Empat puluh empat...
“Cakka! Yuk!” seseorang menepuk bahuku dan –otomatis– membuatku berhenti mengamati lalu-lalang pengunjung mall.
Rupanya Oik. “Mau kemana lagi, Peri Kecil?” tanyaku dengan nada selembut mungkin.
Kami berdua berjalan beriringan keluar dari toko aksesoris tersebut. Aku melihat tangan kiri Oik menenteng sebuah tas plastik bergambarkan logo toko tersebut sementara tangan kanannya sibuk menggamit lenganku.
Oik terkikik pelan. “Starbucks aja, ya?”
Aku mengangguk lugas. Kami pun melangkah menuju salah satu gerai kopi terpopuler di dunia tersebut. Sesampainya disana, aku segera duduk dan merenggangkan ototku beberapa saat.
“Aku pesan––,”
Ucapanku terpotong oleh Oik yang tersenyum dan berkata. “Iya, aku tahu. Aku hafal apa yang biasa kamu pesan disini, kok. Tunggu, ya.”
Mau tidak mau, aku pun ikut tersenyum karenanya. Kalian tahu? Menyadari ada seseorang yang hafal kebiasaan kita itu... the best feeling ever. Aku bahkan tak sadar kalau setiap kali aku berkunjung kesini, aku selalu memesan varian kopi yang sama. Aku memang beruntung memilikimu, Oik.
**
Dan sekarang, semuanya telah berubah. Rasanya asing ketika kau terbiasa melakukan sesuatu dan pada akhirnya kau dipaksa untuk tidak melakukannya lagi. Seperti ada sebuah lubang besar yang menganga disudut terdalam hatimu.
Rasanya aneh ketika aku berjalan-jalan di sebuah mall dengan seseorang dan seseorang itu bukanlah Oik. Rasanya aneh ketika setiap langkah yang kuambil, aku tak merasakan gandengannya pada lenganku, aku tak merasakan gamitan kerasnya pada lenganku. Rasanya aneh ketika tidak ada yang menarikku dan merengek untuk ditemani masuk ke sebuah toko aksesoris perempuan. Rasanya aneh ketika tidak ada lagi yang mengingat varian kopi yang biasa kupesan. Intinya, rasanya aneh ketika tak mendapati Oik di sisiku. Aku sudah terlanjur nyaman dengan keberadaannya disini. Di sisi dan hatiku.
“Hey, dude!”
Gabriel datang dengan sebuah nampan kayu berisikan dua cappuccino. Ia meletakkannya pada sebuah meja kecil yang tingginya tak lebih dari lutut orang dewasa di depan kami. Gabriel pun duduk di hadapanku.
“Having a time machine in your mind?” lagi-lagi, Gabriel mengejekku.
“Just shut up. I’m tired.”
“Tired of pretending that everything is gonna be ok?”
Aku memandangnya tajam. “Tired of thinking about her every-single-day of my life.”
“Ok then, tell her,” tantang Gabriel.
“Wha––I can’t,” desisku pada akhirnya.
“Why?” tanyanya.
“I just..... can’t,” kupijit pelipisku yang mulai berdenyut sakit.
“You can’t? Or you don’t want?” tanyanya, telak.
“She doesn’t reply every-single-message I sent, which is I just ask whether she’s ok or not. And you just tell me to...” aku menggeleng tak mengerti.
“Try it. Message her like it’s the last day you can send her your messages.” Gabriel menatapku dengan serius.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak begitu saja disamping cappuccino panasku. Aku menimang-nimang ponselku. Haruskah aku kembali mengirimi Oik pesan–dan berakhir kecewa karena dia tidak membalasnya–?
Aku melirik Gabriel. Dia menatapku gemas. Dan tanpa aku antisipasi sebelumnya, Gabriel telah merebut ponselku. Aku yakin dia tengah mengetik pesan untuk Oik dan mengirimkannya. Setelahnya, dia mengembalikan ponselku dan menyesap cappuccinonya tanpa mengacuhkanku yang sedang harap-harap cemas memelototi layar ponselku.
To: Oik
I’m gonna say sumthing.
I love u. I miss u. N I need u.
It’s strange how I spend my days without u.
Pls, just reply this message with anykind of word.
I need to see ur reply.
**
Besok adalah hari pertama pelaksanaan ujian akhir di sekolahku. Kini aku sedang tenggelam dalam buku-buku physics dan biology yang berserakan diatas meja belajar. Bagaimana pun caranya, aku harus mendapat nilai yang bagus pada mata pelajaran IPA.
Aku melirik jam dinding yang tergantung diatas ranjang. Sudah pukul sepuluh malam dan aku masih belum merasakan kantuk sama sekali. Rupanya alam memang lebih menyukai aku terjaga hingga larut malam untuk belajar ketimbang tidur dan..... kembali memimpikan Oik.
Oik. Oik Cahya Ramadlani. Nama itu kembali terngiang dibenakku. Oik dan kenangan-kenangan kami menari indah dipelupuk mataku. Kembali kurasakan desiran aneh yang menusuk dihatiku. Aku merindukannya. Aku merindukan Oik.
Perasaan ini menyiksaku, tetapi juga membangkitkan semangatku untuk kembali belajar. Aku tidak akan setersiksa ini memendam rindu pada Oik jika jarak beribu-ribu kilometer tak memisahkan kami. Ditambah dengan pertemuan terakhir kami yang kacau. How I wish I could go back to that time and make everything better.
**
“Nanti kalau kamu keterima kuliah di Harvard, jangan lupain aku ya.”
“Pasti.”
“Jangan genit sama cewek-cewek bule.”
“Nggak akan.”
“Belajar yang serius disana.”
“Harus, dong”
“Kamu nggak boleh balik kesini kalau nilai kamu jelek.”
“Iya.”
“Aduh, aku pasti kangen banget sama kamu kalau kamu beneran keterima di Harvard.”
“Aku belum tentu keterima aja kamu udah sebegini takutnya kehilangan aku.”
“CAKKAAAAAA!!!!”
**
Aku tersenyum sendiri mengingat percakapanku dengan Oik dua tahun silam ketika kami berdua berandai-andai mengenai aku yang diterima kuliah di Harvard. Aku ingat betul Oik yang mendukungku sepenuh hati walaupun gadis itu tak rela berjauh-jauhan denganku. Tapi sekarang...?
Aku melirik sebuah kalender kecil yang kuletakkan dimeja belajar. Ujian akhir telah selesai sejak seminggu yang lalu. Pengumuman kelulusan pun sudah kuterima pagi ini. Aku lulus. Gabriel juga lulus.
“Cakka!” aku mendengar suara Gabriel yang berteriak entah dari mana.
“I’m on my room, Gabriel!” teriakku balik.
Aku mendengar derapan langkah terburu-buru Gabriel yang semakin mendekat. Kuputar tubuhku menghadap pintu kamar yang terbuka karena satu sentakkan cepat dari Gabriel. Gabriel segera menghampiriku.
“You’ve done, haven’t you?” tanya Gabriel.
Aku mengangguk. “Yes. Why?”
“No, nothing.”
“Take care, Gabriel.” aku menepuk pundak Gabriel seraya tersenyum.
“Yeah. You too.” Gabriel tersenyum balik padaku. “So, you’ll go back to Indonesia tomorrow?”
Aku mengangguk dan tersenyum antusias. “Yes. Can’t wait to see her again. I miss her. A lot.”
Gabriel tersenyum ringan. “Good luck, bro!”
“Thanks for this past a year, Gabriel. You’re such a good bestfriend for me.”
“You’re welcome.”
Gabriel kembali meninggalkanku sendiri di dalam kamar ini. Aku memandang tumpukan kardus yang tergeletak di sudut kamarku. Aku akan mengirimkannya ke Jakarta melalui pos sementara aku terbang ke Jakarta. Nanti malam aku akan membawanya ke kantor pos terdekat.
Aku memandang jalanan di bawah sana melalui jendela flatku. Ini adalah malam terakhirku disini. Juga malam terakhir Gabriel. Besok, setelah mengantarkan aku ke bandara, Gabriel akan kembali ke apartemen orangtuanya di barat Singapura. Kami berdua akan meninggalkan flat ini bersama.
Aku sudah tak sabar menunggu datangnya esok. Aku tak sabar kembali ke Jakarta. Sudah tergambar dengan jelas apa saja yang akan kulakukan begitu aku tiba di Jakarta nantinya. Yang jelas, hal pertama yang akan kulakukan adalah menemui Oik.
Rindu yang membuncah ini akan segera kutebus dengan menemui Oik besok. Aku sudah ingin merengkuhnya kedalam pelukanku setelah sekian lama tak bertemu. Entahlah, aku tak perduli bagaimana nantinya dia menolakku aku akan tetap memeluknya dan mengatakan betapa rindunya aku kepadanya.
Sudahlah, tak ada habisnya jika aku membicarakan mengenai Oik terus-menerus. Lebih baik aku segera membawa kardus-kardus ini ke kantor pos terdekat. Juga mencarikan oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta. Oleh-oleh untuk Oik juga, yang spesial tentunya.
See you soon, Indonesia! See you soon, Jakarta! See you soon, mommy! See you soon, daddy! See you soon, Oik!
Dan untuk Oik, jangan lelah menungguku karena... kamu dan hanya untukmu aku hidup.
0 komentar:
Posting Komentar