Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BLESSED BY THE SIXTHSENSE [Cerpen]

            Siang itu, Oik sedang membaca sebuah novel yang baru ia beli di dalam kamarnya. Bola matanya tampak melirik kesana-kemari. Pandangannya tak fokus pada deretan tulisan di hadapannya. Keringat dingin membanjiri wajah manisnya.
            Cukup! Ia tak akan bisa berkonsentransi membaca bila begini caranya. Ia tutup novelnya dengan kasar dan melemparnya ke sembarang arah. Matanya menatap nyalang pada sesosok makhluk tembus pandang dengan darah disekujur tubuhnya yang berdiri di sudut kamarnya.
            “Mau apa kamu?” tanya Oik, pada akhirnya.
            Oik berjingkat dan segera menutup hidungnya. Selalu begini. Hanya ia yang dapat mencium bau danur. Hanya ia yang dapat mengendus anyir darah itu.
            “Kamu bisa melihat saya?” tanya sosok itu balik.
            Oik mengangguk jengah. “Kamu ‘baru’, ya?”
            “Iya,” kini ganti sosok berdarah-darah itu yang mengangguk. “Kecelakaan di jalanan kompleks depan. Bisa bantu saya?”
            “Tentu,” Oik mengedikkan bahunya.
            “Sebenarnya saya ke Jakarta mau menghampiri adik saya, tetapi saya kecelakaan. Tolong sampaikan keadik saya kalau ibu kami di desa sedang sakit.”
            Oik menghela napas panjang. “Masalahnya... saya nggak kenal adik kamu.”
            “Dia bekerja sebagai pelayan di restoran yang baru sebulan buka tak jauh dari sini.”
            “Oke, oke.. Nanti–,”
            Pintu kamar Oik tiba-tiba saja terbuka. Mamanya sedang berkacak pinggang di ambang pintu. Oik mengatupkan bibirnya ketika mendapati mamanya sedang menatapnya tajam. Ia melirik sosok di sudut kamarnya kembali, sudah hilang. Oik menghembuskan napasnya.
            “Berbicara sama tembok, Ik?” tanya mamanya tajam.
            “Mama nggak ngerti!” Oik menjawab dengan menahan kesal.
            “Mama memang nggak ngerti! Kamu nggak seperti anak-anak kebanyakan, Ik. Mereka yang sudah beranjak dewasa langsung bisa meninggalkan teman bayangan mereka sewaktu kecil. Tapi kamu nggak, Ik.”
            “Ini semua bukan bayangan aku aja, Ma.” Oik menundukkan kepalanya, lelah.
            “Sudah, sudah! Mama nggak mau berdebat lagi sama kamu. Cepat keluar, Acha sudah mengepak barangnya dan akan kembali ke asramanya di Yogyakarta.”
            Setelah itu, mama Oik keluar dari kamar Oik tanpa menutup pintunya.
            Air mata Oik luruh saat itu juga.
            “Kenapa nggak ada yang percaya? Kenapa mama nggak bisa seperti mama-mama anak bersixthsense lainnya? Kenapa mama nggak percaya kalau ‘mereka’ memang ada?” ujar Oik lirih.
            Oik bangkit, menghapus air matanya, dan beranjak menuju teras. Pasti mama, papa, dan Acha sudah menunggunya disana.
            Tiba-tiba saja pandangan Oik kabur. Ia berpegangan pada handle pintu kamarnya. Jemarinya memijit pelipisnya perlahan. Pusing sekali rasanya.

**

            Acha baru saja menaikki sebuah bus yang akan membawanya menuju Yogyakarta. Gadis itu duduk bersandar pada jendela dengan kedua lengan memeluk tas ranselnya. Bus pun melaju.
            Bus mulai kehilangan kontrol di jalan tol. Sang sopir menyadari ada yang tidak beres dengan ban bus yang dikendarainya. Dikarenakan rest area yang masih jauh, maka ia memutuskan untuk tetap menjalankan busnya dengan kecepatan diatas rata-rata.
            Bus kembali oleng. Para penumpang beserta kondektur mulai panik tetapi sopir bus masih terlihat tenang-tenang saja. Hingga pada akhirnya...
            BRUUUUUKKK!!!
            Bus terbalik di badan jalan tol.

**

            Oik mendadak pucat pasi. Astaga!
            Ia sampai di teras rumahnya ketika papa, mama, dan Acha sudah naik kedalam mobil. Mereka berdua akan mengantarkan Acha ke terminal. Oik menghampiri mobil dan mengetuk kaca mobil di samping kemudi.
            “Ada apa, Ik?” tanya papanya.
            “Acha nggak boleh pergi, Pa, Ma! Kamu nggak boleh pergi, Cha! Bus yang kamu tumpangi akan mengalami kecelakaan di tol!” Oik berteriak histeris seperti orang kesetanan.
            “Lo ngapain, sih, Ik? Dengan atau tanpa persetujuan dari lo, gue bakalan tetep balik ke Yogyakarta. Dasar freak!” Acha mencibir seraya memutar bola matanya.
            “Oik, kamu ini kenapa?! Selalu seperti ini!” papa mulai kehilangan kesabaran dan langsung memacu mobilnya meninggalkan Oik yang terduduk lemas di halaman rumahnya.

**

            Minggu pagi. Oik sedang bersiap-siap di kamar tidurnya untuk pergi ke restoran yang dimaksud sosok itu kemarin. Dengan langkah ringan, ia keluar dari kamar dan hendak melajukan motornya ketika mama dan papanya keluar dari dalam rumah dengan tergesa-gesa.
            “Mau kemana, Ma, Pa?” tanya Oik ketika kedua orang tuanya memasuki mobil.
            “Dasar anak kurang ajar kamu! Tega-teganya kemarin kamu menyumpahi Acha? Lihat sekarang, bus yang Acha tumpangi benar-benar kecelakaan. Dasar terkutuk!” maki mamanya.
            “Acha kecelakaan?” tanya Oik kaget.
            “Iya,” jawab papanya, dingin.
            Oik langsung turun dari motornya dan hendak membuka pintu mobil di belakang kemudi ketika suara mama kembali mengalihkan perhatiannya.
            “Ngapain kamu?” tanya mamanya galak.
            “Hm? Mau ikut papa sama mama jenguk Acha.”
            Papa menggeleng tegas. “Kamu di rumah saja. Nanti kamu sumpahin Acha yang aneh-aneh lagi, kan, papa sama mama juga yang repot.”
            Oik membatu di tempat. Ia hanya dapat melihat papa dan mamanya pergi menjenguk Acha dan menelan bulat-bulat makian papa serta mamanya untuk yang kesekian lagi. Ya Tuhan...
            “Tunggu apa lagi?”
            Oik menengok ke samping. Sosok berlumuran darah itu kembali muncul dan menatapnya penuh harap. Oik mengangguk lemas dan kembali menaikki sepeda motornya, lalu memakai helmnya.
            “Nama adik kamu siapa?” tanya Oik.
            “Keke.”
            Oik tersenyum paksa pada sosok itu dan menjalankan motornya. Sosok itu pun kembali menghilang entah kemana.

**

            Oik memasuki sebuah restoran bergaya klasik dengan fokus pandangan yang meloncat kesana-kemari. Ia memilih duduk di tengah-tengah restoran agar dapat dengan mudah mencari Keke, adik sosok berdarah-darah itu.
            “Hey!”
            Oik melengos kaget kesebuah kursi di sampingnya. Sosok itu lagi. Oik memandangnya gemas.
            “Jangan ngagetin, dong!” pekikan Oik membuat sosok itu terkekeh pelan, tentunya hanya Oik yang dapat mendengarnya.
            “Mau pesan apa, Mbak?” seorang pelayan tiba-tiba saja muncul dan menyerahkan sebuah daftar menu pada Oik. Ia memandang Oik aneh karena sempat melihat Oik berbicara sendiri tadi.
            “Apa, ya?” Oik membuka lembar demi lembar daftar menu berbentuk scrapbook itu. “Lasagna sama dragon cocktail aja, Mbak.”
            “Oke, lasagna dan dragon cocktail. Ada lagi?” pelayan itu mencatat pesanan Oik pada sebuah notekecil.
            “Nggak,” Oik menggeleng. “Eh, Mbak, pelayan disini ada yang namanya Keke, kan?”
            “Ada.”
            “Bisa tolong dia aja yang nganterin pesanan saya?” tanya Oik.
            “Anda ini siapanya Keke?” tanya pelayan itu balik.
            Oik melirik sosok kasat mata di sampingnya dan membaca gerak bibir sosok itu. “Saya teman lamanya dari kampung, Mbak.”
            “Oh, baiklah... nanti Keke yang akan mengantarkan pesanan Anda.” Pelayan itu berlalu dengan membawa daftar menu dan secarik kertas kecil bertuliskan pesanan Oik.
            “Jangan ajak ngobrol aku disini, nanti mereka semua ngiranya aku ngomong sendiri.” Oik berbisik pelan, sosok itu mengangguk.
            Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawa pesanan Oik. Ia memandangi Oik penuh tanya dan meletakkan pesanan Oik dimeja.
            “Keke?” tanya Oik. Pelayan itu mengangguk. Oik tersenyum. “Duduk sini,” Oik menepuk-nepuk sebuah kursi kosong di sampingnya.
            “Mbak... siapa, ya?” tanyanya, perlahan ia duduk di samping Oik.
            “Aku Oik,” Oik melirik sosok di samping kanannya. “Kakak kamu... kecelakaan.”
            Pelayan itu terperangah. “Hah? Maksud mbak ini apa?”
            “Gimana kalau kamu ikut aku aja ke rumah sakit...” Oik melirik sosok di sampingnya yang tengah mengangguk. “Jasad kakak kamu masih ada disana.”
            “Mbak Gita sudah nggak ada? Kamu tahu dari mana?”
            “Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, lihat jasad kakak kamu. Kata kakak kamu, ibu kalian sedang sakit di kampung.”

**

            Oik dan Keke baru saja tiba di rumah sakit. Oik segera mengantarkan Keke ke kamar mayat. Keduanya berhenti sejenak di depan pintu kamar mayat. Keke melirik ke dalam dengan gelisah.
            “Kamu yang sabar, ya.” Oik menepuk pelan pundak Keke.
            Keke mengangguk. “Iya... makasih, Mbak.”
            “Ya udah, aku tinggal. Kamu masuk ke dalam.”
            Keke pun masuk ke dalam. Oik menengok ke samping. Sosok berlumuran darah itu –Gita– muncul. Ia tersenyum pada Oik. Oik membalasnya dengan senyum simpul. Tak lama kemudian, Oik mendengar isakan tangis Keke.
            Oik kembali menengok ke samping. Bayangan Gita telah lenyap. Oik pun melangkahkan kakinya keluar dari area rumah sakit ini. Ia tengah melewati deretan paviliun ketika matanya tak sengaja menangkap dua sosok tubuh yang ia kenali.
            “Mama? Papa? Jadi, Acha dirawat disini?” gumam Oik.
            Oik pun mengikuti papa dan mamanya. Kedua orang tuanya memasuki salah satu paviliun. Oik mengitip ke dalam. Kebetulan, pintu paviliun tak tertutup sepenuhnya. Ada Acha yang terbaring diranjang. Oik perlahan masuk.
            “Hay, Acha..” sapa Oik.
            Papa, mama, dan Acha kontan menengok kearah Oik. Kontan wajah Acha berubah sangar melihat Oik.
            “Lo ngapain disini?! Mau nyumpahin gue apalagi? HAH?!” Acha melemparkan buah-buahan dari beberapa teman yang menjenguknya kearah Oik.
            “Aku nggak nyumpahin kamu, Cha.” Oik menampik perkataan Acha.
            “Ma, mama mending masukin Oik ke rumah sakit jiwa, deh! Dia bener-bener nggak waras!” seru Acha tak suka.
            Oik mematung. Adiknya sendiri yang menginginkannya masuk ke rumah sakit jiwa.
            “Sebaiknya kamu jauh-jauh dari kami, Oik.” Oik mendongak mendengar perkataan papanya.

**

            Seminggu kemudian, Oik mendapati dirinya tengah meringkuk di dalam mobilnya dengan tangan dan kaki terikat serta bibir yang diplester ketika ia bangun pagi hari. Ia memandang keluar. Rupanya ia mulai meninggalkan kawasan Jakarta.
            Oik menengok ke samping. Acha sedang memainkan ponselnya sambil melahap camilan. Mama dan papa duduk di depan dengan papa sebagai sang pengemudi. Oik menyenggol tubuh Acha.
            Acha melirik Oik sekilas. “Udah bangun lo?”
            Oik mengangguk. Hanya gumaman tak jelas yang keluar dari bibirnya.
            “Apa, sih?” sergah Acha. “Oh,” dengan kasar, Acha melepaskan lakban yang menempel dibibir Oik.
            “AAAAAHHH!! Pelan, dong, Cha.” Oik memekik kesakitan saat itu juga.
            “Berisik lu!”
            “Ini kita... kemana?” tanya Oik, matanya memandang keluar dan mendapati mobilnya telah memasuki area sebuah...
            “Rumah sakit jiwa,” jawab mamanya.
            “Tapi... kenapa?” tanya Oik lirih.
            Mobil berhenti. Papa memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon yang rindang. Mesin mobil dimatikan dan papa, mama, serta Acha turun. Oik mendongak ketika papanya bergerak menggendongnya memasuki gedung rumah sakit jiwa itu.
            “Mama! Papa! Acha! Ini rumah sakit jiwa peninggalan Belanda! ‘Mereka’ ada dimana-mana!” Oik berteriak histeris dalam gendongan papanya.
            “Lihat, kamu memang pantas masuk tempat ini,” bisik mamanya.
            Oik terpekur. Mereka bertiga memang serius akan membuangnya ke tempat ini. Oik terisak perlahan. Bahkan, papanya sama sekali tak membelanya ketika mama dan Acha mencibirnya tadi.
            “Welcome to your new house, Oik!” bisik Acha seraya tertawa sinis.
            Oik terdiam melihat papa dan mamanya berbicara dengan salah seorang suster. Oik bergidik melihat manusia-manusia ajaib yang berlalu-lalang di hadapannya. Membayangkan dirinya akan menjadi bagian dari mereka saja sudah mau mati begini.
            Oik kembali mengangkat kepalanya. Kini ia dibawa menyusuri sebuah lorong panjang dengan pintu di kanan dan kiri bertuliskan penghuni ruangan masing-masing. Mereka berhenti di ujung lorong dan menengok ke kanan. Oik mendesah. Bahkan, pintu itu pun sudah bertuliskan namanya. Sah menjadi miliknya.
            Suster itu membukakan pintu. Inilah kamar baru Oik. Ada sebuah ranjang, lemari, televisi, sebuah meja serta kursi, dan jendela yang menghadap kearah taman. Papa segera melemparkan tubuh Oik keranjang dan membuka ikatan pada tangan dan kakinya.
            Mama meletakkan sebuah tas besar berisi pakaian Oik diatas meja. Acha bergidik ngeri di ambang pintu. Papa, mama, Acha, beserta suster tadi sudah menghilang dari pandangan Oik.
            Oik menarik sebuah kursi ke dekat jendela. Matanya menerawang memandang ke taman. Kenapa papa dan mamanya sejahat ini padanya? Kenapa mereka tidak berusaha mencari tahu tentang ‘penglihatan’ Oik ini? Bukan malah membuangnya ke tempat ini.
            “Oik,”
            Oik menengok ke pintu. Suster tadi kembali lagi. Ia menghampiri Oik yang terduduk lesu di dekat jendela.
            “Saya nggak gila, Sus,” kata Oik, memandang suster itu sedih.
            “Saya Pricilla. Panggil Suster Prissy aja, ya?” katanya dengan riang.
            “Saya nggak gila, Sus,” ulang Oik.
            “Kamu mau saya antar jalan-jalan ke taman?” tanya Pricilla.
            Oik bangkit dari duduknya, matanya menatap Pricilla penuh amarah. “Kenapa nggak ada yang mau dengerin saya? Saya nggak gila!”
            Oik berderap keluar dari kamar barunya, meninggalkan Pricilla yang memandangnya maklum. Oik melangkahkan kakinya ke sembarang arah. Berbelok ke kiri, lalu ke kanan, lurus terus, dan mendapati sebuah taman luas telah terhampar di hadapannya.
            Oik menatap manusia-manusia ajaib di sekitarnya dengan sedih. Kedua bola matanya juga menangkap sosok-sosok tak berpijak pada tanah yang menggunakan pakaian ala Belanda. Rumah sakit jiwa ini memang peninggalan Belanda.
            Oik mengedarkan pandangannya. Fokusnya tertuju pada seorang lelaki yang duduk pada kursi taman dan dikelilingi anak-anak kecil berpakaian ala Belanda. Oik berjalan kearahnya dan duduk di samping lelaki itu.
            Lelaki itu melirik Oik dan tersenyum kecil. “Hay.”
            “Hay juga.” Oik memandangnya aneh. “Kok kamu nggak seperti mereka, sih?” tanya Oik.
            “Kamu juga nggak seperti mereka.” lelaki itu terkikik. “Kamu menjenguk siapa disini?”
            “Siapa bilang aku disini cuma menjenguk?” tanya Oik balik dengan ketus.
            “Kamu... suster baru?” tanya lelaki itu lagi.
            “Bukan. Aku penghuni baru disini! Puas kamu?” Oik menatap lelaki di sampingnya dengan mata menyala-nyala sebal.
            Lelaki itu mengangguk mengerti. “Berarti kamu tetangga baruku.”
            “Hah?!” Oik terperangah. “Kamu penghuni rumah sakit jiwa ini juga? Bukan perawat disini? Kok bisa? Kamu kan... nggak ajaib seperti mereka.”
            Lelaki itu tersenyum simpul. Cukup membuat Oik menahan napas dibuatnya. “Aku Cakka. Kamu?”
            “Oik.” Oik menerima uluran tangan lelaki di hadapannya.
            “Kenapa kamu bisa masuk sini?” tanya Cakka.
            Oik mengedikkan bahunya. “Karena bisa melihat mereka.” Oik mengedik pada makhluk-makhluk kecil yang mengelilingi mereka.
            “Kamu bisa lihat mereka?” tanya Cakka kaget.
            “Iya,” Oik melirik Cakka geli. “Kenapa? Mau bilang aku gila juga?”
            “Nggak,” Cakka menggeleng. “Kita sama.”
            “Kamu juga... punya sixthsense?” tanya Oik tak percaya.
            “Iya!” Cakka mengangguk bersemangat.
            “Berarti kamu bisa kenalin aku sama mereka?” tanya Oik, Cakka mengangguk.
            “Yang itu namanya Bastian.” Cakka menunjuk seorang anak laki-laki kecil dengan gigi ompong yang melambaikan tangan pada Oik.
            “Itu Ourel,” seorang anak perempuan kecil dengan wajah imutnya tersenyum pada Oik.
            “Dia Nyopon,” seorang anak laki-laki dengan tinggi sepinggang Oik maju lalu mencium pipi Oik. Oik merasakan dingin menjalari pipinya.
            “Hay, aku Oik.” Oik melambaikan tangan pada mereka bertiga.
            “Kak Oik bisa lihat kami?”
            “Kak Oik temannya Kak Cakka?”
            “Kak Oik kenapa bisa disini?”

**

            Seminggu kemudian, Pricilla kembali menemukan Oik yang tengah memandang taman dari jendela kamarnya dengan mata kosong. Pricilla menepuk pelan bahu Oik, menarik gadis manis itu kembali pada realita.
            “Waktunya makan siang.”
            “Kenapa papa dan mama ngebuang aku kesini, Sus?” tanya Oik.
            Pricilla memandang Oik lembut. Akhirnya ia memutuskan memberitahu Oik tentang semuanya karena berpikir Oik tak mungkin mengerti apa maksud perkataannya. “Karena kamu suka meracau nggak jelas dan berbicara sendiri.”
            “Begitu ya..” gumam Oik.
            Pricilla lalu menarik lembut lengan Oik keluar dari kamar. Kebetulan, saat itu pula Cakka juga keluar dari kamarnya. Kamar Cakka dan oik memang berhadapan.
            “Waktunya makan siang, Cakka,” kata Pricilla.
            “Iya, Sus,” Cakka mengangguk. “Suster panggil yang lain aja. Biar aku yang ajak Oik ke ruang makan.”
            Pricilla mengangguk acuh. Ia pun melenggang meninggalkan Cakka dan Oik. Oik memandang Cakka dan Pricilla bingung.
            “Kok suster Prissy bisa berlaku senormal itu sama kamu?” tanya Oik curiga.
            Cakka mengedikkan bahunya. “Mungkin karena aku sudah lumayan lama disini.”
            Keduanya pun kembali berjalan ke ruang makan. Cakka memandang Oik heran. Oik diam sekali hari ini. Bibirnya terkunci rapat, tak mengucapkan sepatah kata apa pun lagi. Oik tampak sedang memikirkan sesuatu. Tidak, tidak... Cakka tidak boleh menggunakan kemampuan membaca pikirannya tanpa seizing Oik. Apalagi Oik tidak seajaib penghuni rumah sakit jiwa ini yang lainnya.
            “Lagi mikirin apa, Ik?” tanya Cakka pada akhirnya.
            “Jangan coba-coba pakai kemampuan membaca pikiran kamu.” Oik menjawab dingin.
            Oik menengok pada Cakka sekilas dan berlalu meninggalkannya, berjalan cepat-cepat menuju ruang makan. Cakka menghela napas memandang punggung Oik yang semakin menjauh darinya.
            “Susah, ya, memahami makhluk bernama perempuan itu. Aku cuman nggak mau kamu ngelakuin yang aneh-aneh, Ik. Perasaanku nggak enak.” Cakka tersenyum tipis.

**

            Malamnya, Cakka berniat mengajak Oik melihat kunang-kunang di taman rumah sakit. Cakka sudah siap dan akan mengetuk pintu kamar Oik ketika didengarnya rintihan kesakitan seseorang. Cakka menengok kesana-kemari. Pandangannya tertuju pada daun pintu di hadapannya. Perasaannya makin tak enak saja.
            Cakka mengetuk pintu kamar Oik. Tak ada jawaban. Ia coba memutar handle pintu dan ternyata terkunci.
            “Ik! Buka, Ik! Buka pintunya!” Cakka berteriak dari luar dengan cemas.
            “Buka, dong, Oik! Jangan bikin aku khawatir begini. Oik! Buka!” Cakka menggedor pintu kamar Oik.
            Cakka akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Oik. Begitu pintu terbuka, Cakka tak menemukan Oik diatas ranjangnya, juga dikursinya. Cakka menggeram, rintihan itu semakin jelas terdengar.
            Cakka melangkah memasuki kamar Oik. Lututnya melemas melihat tubuh Oik yang meringkuk di bawah jendela. Tangannya berlumuran darah. Sebuah garpu yang juga berlumuran darah tergeletak tak jauh darinya. Cakka menghampiri Oik dan berjongkok di hadapannya.
            “Kamu kenapa, Ik?” tanya Cakka, ia menangkup wajah Oik pada kedua telapak tangannya. Belum juga menyadari apa yang terjadi.
            Oik menggelengkan kepalanya. Kedua telapak tangannya masih menutupi wajahnya rapat-rapat.
            “Kenapa tangan kamu banyak darahnya?” tanya Cakka lagi.
            Lagi-lagi Oik tak menjawab.
            Perlahan Cakka menyingkirkan telapak tangan Oik dari wajahnya. Dunia Cakka seakan runtuh melihat keadaan Oik. Cakka segera menarik Oik kedalam pelukannya, memeluknya erat, mengusap punggung Oik, mengecup puncak kepala Oik dengan hati yang tersayat perih.
            “Mata kamu kenapa berdarah semua gitu, Ik?” tanya Cakka dengan suara bergetar.
            Oik luruh dalam pelukan Cakka. “Suster Prissy bilang papa dan mama ngebuang aku kesini karena aku bisa melihat ‘mereka’ dan ini satu-satunya cara yang bisa bikin aku berhenti lihat ‘mereka’ dan kembali ke rumah, Kka.”
            Cakka melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Oik. Ia menatap Oik dalam-dalam. “Kenapa kamu mau kembali ke rumah itu? Kamu punya aku disini, Oik. Aku ngerti kamu nggak seperti apa yang dipikir papa dan mama kamu.”
            Cakka kembali menenggelamkan Oik kedalam pelukannya. Ia mengecup kening Oik. “Janji kamu nggak akan ngulangin ini lagi, ya.”
            Oik mengangguk.
            “Jangan pernah berpikir kalau mata ketiga kamu itu bencana.”
            “Iya,”
            “Jangan tinggalin aku sendiri disini. Ingat, kamu masih punya aku.”
            Cakka tidak lagi menghiraukan reaksi Oik. Ia sudah menggendong Oik menuju ruang perawat. Oik merasakan nyeri yang menjalari kedua bola matanya dalam gendongan Cakka. Ini semua ia lakukan semata karena ia ingin kembali ke rumah. Ia lupa bahwa ada Cakka disini.

**

            Cakka dan Pricilla duduk disebuah bangku panjang di depan ruang isolasi. Oik ada di dalam. Cakka dapat melihatnya melalui sebuah kaca tembus pandang yang memisahkan mereka. Pricilla menatap Cakka penuh tanya.
            “Kenapa kamu sebegini khawatirnya dengan Oik, Kka?” tanyanya.
            Cakka melirik Pricilla sekilas dan tersenyum jengah. “Karena kami sama.”
            “Sama? Maksud kamu... Oik juga seperti kamu?”
            “Iya,” Cakka mengangguk.
            “Astaga!” Pricilla membekap mulutnya karena kaget. “Satu lagi orang tua yang bodoh.”
            Cakka tersenyum lembut memandang Oik di dalam sana. Mata gadis manis itu terperban. Ia baru saja menjalani sebuah operasi kecil untuk menyelamatkan penglihatannya sejam yang lalu. Perban itu baru bisa dibuka esok, siang hari.
            “Yakin hanya karena itu kamu khawatir sama Oik?” goda Pricilla.
            “Apalagi memangnya?” tanya Cakka balik.
            Pricilla menghela napas. “Kamu hanya menganggapnya teman biasa?”
            “Iya... pada awalnya,” mata Cakka menerawang jauh. “Tapi, seiring berjalannya waktu, dia menjadi bagian dari hidupku. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja aku menyadari bahwa duniaku mendadak kelabu tanpanya.”
            “Perjuangkan perasaanmu.” Pricilla menepuk pundak Cakka bersahabat.

**

            “Suster Prissy! Sus! Suster!”
            Cakka terbangun tengah malam. Teriakan Oik dari dalam ruang isolasi membangunkannya. Cakka menengok sekeliling. Sepi. Kemana perginya Pricilla? Cakka menghela napas dan bangkit. Ia memakai sebuah pakaian steril terlebih dahulu sebelum masuk kedalam ruang isolasi.
            “Kenapa, Oik?” tanya Cakka dengan suara khas bangun tidurnya.
            “Cakka?” panggil Oik, ragu. “Suster Prissy mana?”
            “Aku nggak tahu kemana perginya dia.” Cakka pun duduk di samping ranjang Oik. Tangannya menggenggam tangan kanan Oik erat. “Kamu butuh apa?”
            “Kamu baru bangun tidur, ya?”
            “Iya.” Cakka membawa jemari Oik menyentuh pipinya. Merasakan kehangatan yang mulai menjalari setiap inci tubuhnya.
            “Aku ngebangunin kamu?” tanya Oik lagi dengan suara menyesal.
            “Nggak apa-apa. Bilang aja kamu lagi butuh apa. Aku akan jadi mata dan tangan kamu untuk sementara.”
            Oik tersenyum simpul. Perlahan ia mulai mencoba untuk duduk.
            “Eh! Kamu mau duduk?”
            “Iya.”
            Tiba-tiba saja Oik sudah merasakan lengan Cakka yang melingkari bahunya dan membantunya untuk duduk. Oik tersenyum berterimakasih pada lelaki itu. Hatinya mendadak hangat karena perlakuan manisnya.
            “Cakka..”
            “Ya?” Cakka menatap wajah Oik dalam-dalam.
            “Aku mau minum.”
            “Aku ambilkan dulu.”
            “Jangan! Jangan! Arahkan tanganku kegelas minum saja.”
            Cakka mengangguk mengerti. Tangannya membimbing tangan Oik untuk meraih segelas air putih yang terletak pada sebuah meja di samping ranjang Oik. Setelahnya, tangan Cakka kembali membimbing tangan Oik untuk meminumnya.
            “Janji sama aku kalau kamu nggak akan ngelakuin hal-hal konyol seperti kemarin.” Cakka memandang Oik tanpa berkedip.
            Oik menahan napasnya. “Aku ingin pulang, Cakka..” rengeknya.
            “Sssttt!!” Cakka meletakkan telunjuknya dibibir mungil Oik. “Kamu tega ninggalin aku disini sendirian?”
            Oik terdiam cukup lama kemudian menggeleng. “Tapi–,”
            Belum sempat Oik melanjutkan kalimatnya, Cakka sudah beranjak berdiri dan merengkuhnya kembali. Oik kembali terdiam. Kali ini, dengan sebuah senyuman kecil terukir dibibirnya.
            Beberapa menit kemudian, Cakka melepaskan pelukannya dan mencium kening Oik singkat. “Kamu tidur lagi, ya. Besok aku ajak kamu ke taman. Bastian, Ourel, dan Nyopon sudah kangen kamu.”
            Oik mengangguk riang.
            Cakka kembali membantu Oik untuk merebahkan badannya. Setelahnya, Cakka kembali duduk. Ketika ia rasa Oik telah kembali terlelap, Cakka menelungkupkan kepalanya di dekat tangan Oik. Tertidur dengan menggenggam tangan Oik memang hal terindah untuknya.
            Pricilla menatap keduanya dari kaca ruang isolasi dengan tersenyum simpul.

**

            Paginya, ketika Pricilla mengantarkan sarapan Oik ke dalam ruang isolasi, suster muda itu menemukan Cakka dan Oik yang masih terlelap. Ia meletakkan nampan berisi makanan Oik diatas meja lalu membangunkan keduanya.
            Cakka mengerang ketika Pricilla memukul lengannya. Ia segera mengangkat kepalanya dan melepaskan tangan Oik dari genggamannya. Wajahnya mendadak masam ketika mendapati Pricilla telah berada di sampingnya.
            “Suster Prissy, ya?” tanya Oik.
            “Iya, Oik.” Pricilla menyahut dengan riang.
            “Perban mataku bisa dibuka kapan, Sus?” tanya Oik lagi.
            “Hari ini juga. Lukanya pasti sudah mongering.” Pricilla mengedik kearah nampan makanan Oik. “Ini sarapan kamu. Dimakan, ya.”
            “Sus, suapin aku..” rajuk Oik.
            “Boleh–,”
            “Biar aku yang suapi kamu!” Cakka menyela dengan cepat.
            Dahi Oik mengkerut seketika. Berbeda dengannya, Pricilla sudah menahan tawanya hingga wajahnya berubah merah padam.
            “Ya sudah... kamu disuapi Cakka, ya Oik.”
            “Tapi, Sus–,”
            “Oke, semoga cepat sembuh, Oik! Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau butuh aku, panggil saja.”
            Pricilla meninggalkan ruang isolasi. Membiarkan Cakka dan Oik larut dalam keheningan untuk beberapa saat. Cakka menggeram dalam hati. Usil sekali suster muda yang satu itu.
            “Sarapan sekarang, Ik?” tawar Cakka.
            “Boleh..” Oik mengangguk perlahan.
            Dalam hitungan detik, Cakka sudah membantu Oik untuk duduk.
            “Makasih.” Oik mencium pipi Cakka sebagai wujud rasa terima kasihnya.
            Cakka mematung sesaat, menyadari jantungnya sudah berdegup tak karuan karena Oik. Cakka tersenyum lebar dan membantu Oik menyantap sarapannya. Tentu saja sesuai janjinya kemarin, ia akan menjadi mata dan tangan Oik.

**

            Cakka berjalan di belakang Oik. Keduanya sedang menyusuri lorong rumah sakit menuju taman dengan Cakka yang membantu Oik berjalan. Cakka merangkul pinggang Oik dari belakang dengan satu tangannya lagi membimbing tangan Oik menyusuri tembok lorong.
            “Hati-hati jalannya. Kanan dan kiri itu dinding. Nggak lucu kalau kamu sampai nabrak.” ejek Cakka.
            Oik menghentakkan kakinya gemas. “Cakka! Serius! Bawa aku ke taman!”
            Cakka mengangguk seraya tersenyum simpul.
            Keduanya telah sampai di taman dan duduk dibangku seperti biasa. Oik menghirup aroma rumput yang baru saja disiram dengan senyum mengembang.
            “Perban dimataku sudah boleh dibuka, Kka.” Oik berkata dengan riang.
            “Bolah nggak kalau... aku yang ngebuka perban dimata kamu?” tanya Cakka.
            Oik menengok kearah Cakka. “Kok tiba-tiba jadi serius gini?”
            “Boleh nggak?” tanya Cakka lagi.
            “Memangnya kenapa, kok, kamu pingin ngebuka perban ini?” tanya Oik balik.
            Tangan Cakka bergerak menggenggam tangan Oik dan meremasnya lembut. “Aku mau jadi orang pertama yang kamu lihat.”
            Oik kembali tersenyum dan balas meremas lembut tangan Cakka. “Oke.”
            “Boleh?”
            Oik mengangguk dan terkikik pelan.
            “Sekarang?”
            “Nggak, tahun depan... ya sekarang, dong, Kka!” seru Oik gemas.
            Cakka bergerak mendekati Oik. Tangannya terulur untuk membuka perban dimata Oik perlahan-lahan. Ketika perban telah lepas sepenuhnya, Oik masih memejamkan matanya.
            “Buka mata kamu sekarang.”
            Oik mengerjap. Perlahan membuka matanya. Silaunya mentari pagi mulai menusuk matanya. Ia kembali mengerjap dan menemukan Cakka yang telah tersenyum kearahnya dan menatapnya dalam-dalam. Oik rindu dia. Oik rindu semua tentangnya yang tak bisa ia lihat kemarin.
            “Cakka?”
            Cakka mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?”
            “Aku kangen kamu!” seru Oik. Dengan brutal ia memeluk Cakka sampai lelaki itu agak terdorong ke belakang.
            Cakka mengelus puncak kepala Oik dan melepaskan pelukan mereka. “Bastian, Ourel, dan Nyopon kangen kamu.”
            Oik mengedik ke samping. Tiga bocah yang tak berpijak pada tanah yang sama dengan dirinya itu tengah memandang mereka berdua dengan misterius. Oik merentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap memeluk ketiganya.
            “Nggak mau peluk Kak Oik?” tanya Oik heran. “Katanya kangen!”
            Ketiga bocah itu menggelengkan kepalanya bersamaan, membuat dahi Oik berkerut bingung karenanya. Ketiganya saling lirik kemudian.
            “Kak..”
            Bastian mengeluarkan selembar kertas dari punggungnya bertuliskan ‘Cakka’.
            Kemudian Ourel juga, selembar kertas dengan tulisan ‘Sayang’.
            Dan yang terakhir, Nyopon mengeluarkan selembar kertas dengan ‘Oik’ tertulis diatasnya.
            Oik memandang ketiganya takjub. Ia lalu melirik Cakka. Rupanya lelaki itu tak kunjung mengalihkan pandangannya dari dirinya semenjak tadi. Oik menatap Cakka dengan pandangan yang sulit diartikan.
            “Gimana?” tanya Cakka.
            “Apanya?” tanya Oik tak mengerti.
            “Perasaan kamu... keaku.”
            Oik menggeleng tak percaya. “Kamu masih tanya soal itu?”
            “Jadi?”
            Oik mengedikkan bahunya. Merentangkan tangannya untuk menerima pelukan Cakka.
            “Jangan pergi, ya..” bisik Cakka, disela-sela pelukannya.
            “Iya. Aku janji.” Oik mengangguk mantap.
            Keduanya melepaskan pelukan dan mendapati ketiga bocah itu tersenyum lucu pada mereka. Bastian, Ourel, dan Nyopon langsung menghilang entah kemana. Cakka tertawa pelan, begitu pula Oik.
            Tangan kanan Oik menepuk pipi Cakka, membuat lelaki itu kembali menghadapnya dengan pandangan bertanya.
            “Mari kita lihat bagaimana kita kedepannya..” Oik memejamkan matanya, berusaha menembus ruang waktu dan berhenti pada beberapa tahun kedepan.
            “Stop!” Cakka mengguncangkan lengan Oik. Tangannya turun, menggenggam tangan Oik erat-erat. “Jangan pakai kemampuan menembus dimensi waktu kamu itu. Biarkan takdir yang membawa kita kesana.”
            Oik akhirnya mengangguk menyetujui. Gadis manis itu pun kembali menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Cakka.
            Keduanya mematung dalam posisi itu. Tak menyadari bahwa Pricilla memandang keduanya dengan senyum mengembang dari dalam sana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar