Gadis itu muncul dipermukaan air dengan napas terengah-engah. Cukup sudah latihan untuk hari ini. Perlahan, ia keluar dari kolam renang superbesar itu. Ia bergerak mengambil handuknya yang tersampir pada sebuah sandaran kursi.
Tangan kanannya bergerak mengambil segelas jus yang sudah disiapkan pembantunya. Sedang tangan kirinya mengambil ponsel, memencet tombolnya, dan menempelkannya pada telinga.
**
Ketegangan jelas tergambar disini, di sebuah ruang terapi sebuah rumah sakit ternama di bilangan Jakarta Pusat. Seorang gadis sedang bersusahpayah mencoba melangkahkan kakinya pada sebuah trackterapi. Kedua tangannya berpegangan pada besi panjang di samping kanan dan kiri. Perlahan, kakinya mulai bergerak.
“Ya, terus..” seorang suster yang berdiri tak jauh darinya terus memberikan semangat.
Gadis itu menengok pada suster tersebut dan tersenyum simpul.
“Bagus. Sekali terapi lagi dan kamu sudah nggak perlu menggunakan kursi roda. Pakai kruk saja cukup.” sang dokter pun ikut berkomentar.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja terdengar suara dering sebuah ponsel. Suster itu pun bergegas mengambil ponsel yang terletak diatas meja dokter dan mengacungkannya pada sang gadis.
“Ada telepon.”
Gadis itu menengok. “Dari siapa, Sus?”
Suster melirik sekilas layar ponsel. “Pricilla...?”
Gadis itu mengangguk, membuat sang suster membawakan ponsel tersebut kepadanya. Dengan satu tangan berpegangan erat pada besi pembatas dan tubuhnya yang ditopang sang suster, gadis itu mengangkat panggilan pada ponselnya.
“Halo, Pris?”
“Oik! Jalan-jalan, yuk?!”
“Pris, aku ada terapi. Kamu lupa?”
“Yah... sayang sekali. Padahal aku akan mengajakmu---,”
“Iya, iya. Besok saja, Pris. Aku besok nggak ada jadwal terapi.”
“Oke. Aku jemput kamu besok jam sepuluh tepat.”
“Iya. Sudah, cepat siap-siap. Kamu nggak mungkin membatalkan acara jalan-jalanmu dengan pangeranmu hanya karena aku nggak ikut, kan?”
“Oik! Berhenti menyebutnya sebagai pangeranku!”
“Itu kenyataan, kan? Dia memang pangeranmu.”
“Ya, ya... terserah kamu.”
“Kamu beruntung memiliki dia, Pris.”
“Ya, aku juga merasa seperti itu.”
“Sudah, kan? Aku harus melanjutkan terapi.”
“Oke. Besok jam sepuluh, jangan lupa. Hari ini pangeranku harus mengantarkan aku ke sebuah redaksi majalah dan menungguiku beberapa jam untuk pemotretan. Bye, Oik!”
Oik kembali menyerahkan ponselnya pada sang suster dan kembali menjalani terapi untuk kaki yang lumpuh akibat kecelakaan beberapa tahun silam. Untungnya, kakinya tidak lumpuh permanen.
Itu tadi sahabatnya, Pricilla. Satu-satunya teman yang mau berkenalan dengannya pada awal-awal masuk di SMA Budi Mulia. Ketika itu ia masih benar-benar lumpuh akibat kecelakaan maut yang dialaminya di ruas tol menuju Bogor. Mereka akhirnya menjadi sahabat sampai sekarang, menjelang kenaikan kelas dua belas.
Oik benar-benar tak habis pikir dengan Pricilla. Pricilla adalah gadis idaman seluruh siswa di sekolahnya dan sahabat ideal bagi siswi-siswi lainnya. Pricilla merupakan model salah satu agensi terkenal dan seorang atlet renang tingkat nasional. Sedangkan dirinya, Oik, hanya seorang gadis biasa saja yang lumpuh dan cenderung tertutup dengan dunia luar. Ia hanya berteman dengan Pricilla di sekolah.
Pricilla bisa saja mendapat teman sebanyak yang ia mau. Tetapi sayangnya ia tidak mau. Ia memang supel. Hanya saja Pricilla tidak benar-benar menganggap teman-teman sekolahnya sebagai ‘teman’. Hanya Oik. Hanya gadis lumpuh itu yang ia anggap ‘teman’. Pricilla hanya menganggap teman-teman sekolahnya sebagai angin lalu.
**
Pricilla sedang bersiap menutup tirai kamarnya ketika matanya tak sengaja menangkap bayangan sebuah mobil yang memasuki pelataran rumah megahnya. Senyum terukir dibibirnya. Dengan cepat ia menutup tirai kamarnya dan bergegas turun untuk menemui sang pengemudi mobil tadi.
“Hay!” sapa Pricilla malu-malu.
Lelaki yang sedang bersandar dimobilnya itu hanya tersenyum tipis. “Jadi... kemana kita hari ini, Tuan Putri?” tanyanya, membuat Pricilla terbang ke awing-awang.
“Menemani aku pemotretan, Pangeran. Bagaimana?” tanya Pricilla balik.
“Baiklah.”
Lelaki itu segera membukakan pintu mobil untuk Pricilla dan membungkuk layaknya seorang pangeran sebagai pertanda mempersilakan Pricilla masuk kedalam mobilnya.
“Cakka, aku bisa membuka pintu mobilmu sendiri.” Pricilla masuk kedalam mobil dengan senyum terkulum malu-malu.
Lelaki itu –Cakka– tergelak dan beberapa detik kemudian ia telah duduk dibalik kemudi seraya memandangi Pricilla dengan sayang. Perlahan, ia mulai mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan ibu kota.
“You’re my angel. I should treat you as well as I ever can.”
“I’m a human, not an angel. You know it, Cakka.”
“You’re half angel and half human.”
“But---,”
“It’s true and you can’t doubt it, Pricilla.”
“Yeah... half human and half angel sounds better than a truly angel.”
“Besok lusa kita sudah masuk sekolah.”
“Ya...?”
“Kamu tumben nggak menghabiskan waktu liburanmu dengan Oik.”
“Oh, kamu mau kita jalan bertiga lagi, agar kamu bisa memandangi Oik?” seloroh Pricilla, ia tertawa lebar setelahnya.
Cakka melirik Pricilla sekilas. “Y-ya, tumben saja kalian nggak jalan bareng.”
“Besok. Kamu mau ikut?”
“B-boleh. Jam berapa?”
“Aku janji menjemput Oik jam sepuluh, jadi kamu harus menjemputku sekitar jam sembilan. Oke?”
Cakka hanya mengangguk mengiyakan.
**
Siang itu Cakka, Pricilla, dan Oik sudah berjalan-jalan mengitari mall selama dua jam. Tentu saja dengan Pricilla yang mendorong kursi roda Oik dan Cakka yang berjalan di samping Pricilla. Mereka berdua benar-benar lengket, Oik pun menjadi tak enak sendiri karena mengganggu acara kencan mereka.
“Makan dulu, yuk, Ik?” ajak Pricilla, ia sedikit membungkukkan badannya agar Oik dapat mendengarnya dengan jelas.
“Boleh.” Oik menjawab singkat.
Pricilla kembali menegakkan badannya dan beralih pada Cakka. “Mau makan apa, Kka?”
“Fastfood aja, Pris. Cari yang cepat. Aku sudah lapar.”
“Oke.” Pricilla kembali beralih pada Oik. “Kamu boleh makan fastfood, kan, Ik?”
“Dulu, sih, nggak boleh, tapi sekarang boleh.”
“Kalian mau makan dimana? HokBen, KFC, atau McD?” tanya Pricilla pada Cakka dan Oik.
“HokBen,” jawab keduanya dengan bersamaan.
Pricilla mengangguk perlahan dan tertawa kaku. “Oh, oke.. Kalian sehati sekali.”
Pricilla pun mendorong kursi roda Oik ke gerai Hoka-Hoka Bento. Cakka mengekor keduanya dengan perasaan tak menentu. Seperti sebuah firasat. Tapi, entahlah.
“Kalian tunggu disini saja, biar aku yang pesan.”
Pricilla meninggalkan Cakka dan Oik disalah satu sudut gerai Hoka-Hoka Bento. Keadaan menjadi kaku. Oik sibuk memperhatikan Pricilla yang tengah mengantri dan Cakka menyibukkan dirinya dengan memandangi lalu-lalang orang di luar sana.
“Sudah lama berteman sama Pricilla?” tanya Cakka tanpa memandang Oik sedikit pun.
Oik mengangguk. “Dari awal masuk SMA. Cuman Pricilla yang mau berteman denganku.”
“Oh. Dan juga hanya kamu yang mau berteman dengan Pricilla?”
“Tentu saja nggak.” Oik menggeleng cepat. “Tapi, nggak tau kenapa, meskipun Pricilla itu supel, dia nggak pernah berteman dekat dengan yang lainnya.”
Keadaan kembali hening. Oik melirik Pricilla. Gadis itu masih mengantri rupanya.
“Sudah berapa bulan jalan sama Pricilla?” tanya Oik.
“Hampir dua bulan---,”
“Dan Pricilla baru mengenalkan kamu kepadaku tiga minggu yang lalu.”
“Ya.” Cakka tertawa. “Pricilla takut kamu menganggapnya seperti kebanyak orang lain yang akan melupakan sahabatnya karena sudah memiliki pacar.”
Oik mendengus. “Pricilla harusnya tahu kalau aku nggak mungkin berpikiran begitu.”
Tiba-tiba saja seseorang meletakkan sebuah nampan dengan tiga menu yang berbeda di hadapan Cakka dan Oik. Keduanya mendongak dan mendapati Pricilla tersenyum lebar pada mereka.
“Kalian cepat sekali akrab,” kata Pricilla seraya bergerak untuk duduk di samping Oik.
“Duduk di samping Cakka saja, Pris.” Oik mengedik sekilas pada lelaki di hadapannya.
Pricilla menggeleng. “Aku maunya sama kamu, Ik,” dan dalam sekejap Pricilla sudah bergelayut manja dilengan Oik.
Beberapa menit kemudian, mereka bertiga tengah sibuk dengan makanannya masing-masing. Oik sendiri sempat beberapa kali menangkap Cakka dan Pricilla yang saling pandang sambil tersenyum dari ekor matanya.
“Oh ya..” Pricilla meletakkan sumpitnya lalu melipat kedua tangannya diatas meja, matanya memandang Cakka dan Oik berbinar. “Aku ada kabar bahagia.”
“Apa, Pris?” tanya Oik. Gadis itu pun juga meletakkan sumpitnya.
Sedangkan Cakka hanya memandang Pricilla dengan salah satu alis terangkat.
“Aku dapat kabar dari pelatih di klub renang kalau aku... dikirim buat ikut kejuaraan renang tingkat nasional di Makassar! Kejurnas, Kka, Ik!” Pricilla bercerita dengan menggebu-gebu.
“Selamat, ya. Itu impian kamu, kan?” Cakka tersenyum tipis dan kembali melanjutkan makannya.
“Iya!” Pricilla mengangguk bersemangat.
“Kapan kamu berangkat, Pris?” tanya Oik lagi, ia memaksakan seulas senyum terukir dibibir ranumnya.
“Besok, Ik. Pulang sekolah. Kamu antar aku ke bandara, ya?” bujuk Pricilla.
Oik mengangguk. “Iya. Nanti aku bilang sopirku dulu, ya, Pris.”
“Nggak usah! Nggak usah!” sela Pricilla cepat.
Oik menatap Pricilla bingung.
Pricilla beralih pada Cakka. “Kamu bisa temani Oik antar aku, kan, Kka?”
Cakka mendongakkan kepalanya menatap Pricilla. “Kamu langsung berangkat sepulang sekolah atau mampir ke rumah dulu?”
“Pulang sebentar. Nanti kamu dan Oik jemput aku di rumah. Ya?”
“Nggak usah, Pris!” kini giliran Oik yang menyela. “Aku juga pulang saja. Nanti Cakka bisa jemput kita di rumah kamu.”
“Terserah kalian saja,” sahut Cakka cuek.
“Nggak bisa, Ik!” Pricilla tetap ngotot. “Besok aku izin pulang dijam pelajaran terakhir. Suratnya sudah ada. Nanti Cakka jemput kamu di gerbang Budi Mulia dan kalian akan langsung ke rumahku. Oke?”
“Itu merepotkan Cakka,” keluh Oik.
Pricilla kembali menatap Cakka. “Apa itu merepotkanmu, Cakka?”
“Nggak.” Cakka menjawab singkat.
Oik hanya mengangguk pasrah ketika melihat Pricilla yang melemparkan senyum penuh kemenangan padanya.
Mereka bertiga pun beranjak dari gerai fastfood tersebut dan kembali berjalan-jalan mengitari mall. Pricilla mengedarkan pandangannya. Bukannya ia tak menyadari sesuatu, hanya saja...
“Pris, kamu nggak malu dorong kursi rodaku? Lihat, semua orang memandang kita aneh.” Oik mendongak menatap Pricilla.
“Nggak.” Pricilla menggelengkan kepalanya. “Biarkan saja.”
“Kamu memang malaikat, Pris,” bisik Cakka. Ia perlahan memeluk gadis itu dari samping.
Ya, Cakka memang hanya berbisik. Tapi Oik juga tak tuli. Ia dapat mendengar dengan jelas bisikan mesra Cakka ditelinga Pricilla itu. Oik tersenyum tipis. Iya, kamu memang malaikat, Pris.
Setengah jam kemudian, ketiganya telah sampai di tempat parkir. Setelah menekan tombol otomatis, Cakka segera membuka pintu dibalik kemudi. Ia tak menyadari Pricilla yang menatapnya dengan alis terangkat.
“Kka..” desis Pricilla.
“Ya?” sahut Cakka, mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam mobil.
“Bantuk Oik masuk.” Pricilla mengedik kearah Oik.
“Oh.” Cakka pun berjalan kearah Oik. “Ayo, aku bantu.”
Cakka menunduk lalu melingkarkan tangannya pada pinggang Oik. Dengan sigap, Oik melingkarkan tangannya pada leher Cakka. Pricilla membukakan pintu di samping kemudi untuk Oik.
“Kok...?” Oik menatap Pricilla bingung.
“Oik duduk di depan saja. Rumahku lebih dekat dari sini daripada rumahmu, Ik. Kamu tega membiarkan Cakka duduk sendiri di depan seperti seorang sopir?” celoteh Pricilla.
Cakka hanya mengedikkan bahunya. Ia pun segera mendudukkan Oik di samping kemudi. Sementara itu, Pricilla meletakkan lipatan kursi roda Oik di dalam bagasi. Setelahnya, keduanya pun masuk ke dalam mobil dan Cakka mengemudikannya menuju kediaman Pricilla.
**
Bel berdering dua kali pertanda waktu sudah memasuki jam pelajaran terakhir siang itu. Guru mata pelajaran biologi baru saja keluar dan digantikan guru mata pelajaran sejarah. Kelas kembali riuh karena biasanya guru sejarah hanya menerangkan sebentar.
Pricilla segera membereskan barang-barangnya. Tak lupa, ia mengeluarkan sebuah surat izin dan menyelipkannya pada saku seragam.
“Ik, aku pulang duluan. Nanti Cakka jemput kamu di gerbang, kok.” pamit Pricilla. Gadis itu pun beralih, mencolek pundak Agni –siswi yang duduk di depannya–. “Ag, nanti temani Oik jalan ke gerbang, ya?”
Agni melirik Oik sekilas dan mengangguk pasrah. “Oke.”
“Tuh, kamu sudah dapat teman buat jalan bareng ke gerbang. Tunggu saja sampai Cakka menjemput. Jangan kemana-mana.”
Oik mengangguk perlahan, ia tatap wajah Pricilla dalam-dalam. “Kamu pucat, Pris. Nggak ditunda saja keberangkatannya?”
“Nggak bisa, Ik. Klubku sudah jadwalkan keberangkatanku hari ini.” Pricilla menolak saran Oik mentah-mentah.
“Perasaanku nggak enak, Pris.”
Pricilla menggenggam tangan Oik erat. “Sudah, nggak usah khawatir. Seminggu lagi aku pulang, kok.”
“Jangan lupa minum vitamin, ya.” Oik berpesan, Pricilla mengangguk.
Setelah mendengarkan pesan singkat dari Oik, Pricilla beranjak meninggalkan gadis itu. Ia terlihat mengobrol sebentar dengan guru sejarah dan memberikan surat izin yang tadi dikantunginya.
Beberapa menit kemudian, Pricilla berbalik menatap Oik. Melambaikan tangan pada gadis itu dan berjalan keluar kelas. Oik membalas lambaian tangan Pricilla dengan perasaan campur aduk. Oik sama sekali tidak menyadari tatapan meremehkan dari Agni ketika itu.
**
Bel pulang baru saja berbunyi. Seluruh siswa-siswi SMA Budi Mulia berteriak kegirangan dan langsung mengemasi barang masing-masing tanpa menunggu lama. Begitupula Oik. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Sudah hampir sepi.
Oik pun kembali melanjutkan aktivitasnya, mengemasi barangnya. Ketika ia melirik bangku Agni, bangku itu rupanya sudah kosong. Entah kemana perginya gadis itu. Oik menghembuskan napasnya sedih.
“Pasti tadi dia mengiyakan permintaan Pricilla karena nggak enak saja.”
Setelah selesai, ia pun meletakkan tas sekolahnya pada pangkuannya. Oik segera menggerakkan kursi rodanya seorang diri keluar dari kelas. Koridor lantai empat pun telah sepi. Oik membelokkan kursi rodanya sedikit kearah tembok pembatas koridor dan diliriknya lapangan tengah SMA Budi Mulia. Beberapa siswa sedang bermain basket dan sepak bola di dua lapangan yang terpisah. Oik tidak mungkin meminta tolong pada mereka.
Dengan lemas, Oik menggerakkan kursi rodanya kearah lift. Untung saja SMA Budi Mulia juga dilengkapi lift. Kalau tidak, Oik tidak tahu bagaimana caranya turun melalui tangga seorang diri.
Inilah masalahnya. Walaupun Oik menggapai-gapai tombol lift sedemikan rupa, tetap saja tombol itu tak terjangkau olehnya. Ralat, oleh seorang gadis lumpuh sepertinya. Oik menengokkan kepalanya kesana-kemari. Benar-benar tidak ada seorang pun yang bisa ia mintai tolong untuk menekan tombol lift.
“Haruskah aku berdiri dengan kaki lumpuh begini? Oh, ralat, kaki lumpuh yang hampir pulih.” Oik mendesis sedih.
Baiklah. Tekadnya sudah bulat. Kalau ia tidak mencoba berdiri dan menekan tombol lift itu, ia tidak akan sampai di gerbang sekolah. Itu berarti Cakka akan menunggunya lama dan ketika lelaki itu sudah bosan ia akan meninggalkan Oik. Dengan begitu Oik tidak dapat mengantarkan Pricilla ke bandara.
Oik mencengkeram pegangan kursi rodanya erat-erat. Mengira-ngira apakah pegangan itu dapat menopang seluruh berat badannya. Oik pun mulai mengangkat badannya, menumpukan berat badannya pada pegangan kursi roda. Perlahan-lahan, ia berdiri tegak dengan kedua telapak kaki yang memijak lantai.
Oik mulai melepaskan salah satu tangannya pada pegangan kursi roda dan dengan cepat menumpukannya pada tembok. Oik berhenti sebentar dengan napas terengah-engah. Oik cepat-cepat menggerakkan tangannya pada tombol lift dan menekannya. Karena gerakannya yang tiba-tiba tersebut, badannya mulai limbung.
Bersamaan dengan itu, pintu lift terbuka. Muncullah seorang lelaki yang begitu melihat keadaan Oik langsung menopang tubuh gadis itu tanpa berpikir panjang. Lelaki itu dapat merasakan tubuh Oik yang gemetar dalam pelukannya dan keringat dingin yang membanjiri tubuh gadis itu. Oik juga menutup kelopak matanya rapat-rapat, bersiap untuk jatuh.
“Eh?” Oik bergumam kecil, tidak merasakan sakit sama sekali.
Lelaki itu memandang Oik dengan alis terangkat dan senyum yang terukir lucu.
Oik perlahan membuka kelopak matanya dan terkaget-kaget melihat siapa yang tengah memeluknya itu. “Cakka?”
“Iya... siapa lagi?” balas lelaki yang menolongnya itu, Cakka.
“Astaga!” Oik menghembuskan napas, lega. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak tolong aku tadi. Mungkin jadwal terapiku akan berkali-kali lipat lebih padat.”
“Ya...” Cakka menahan napas melihat Oik yang mengoceh sendiri.
“Jadi, bisa bantu aku kembali duduk dikursi roda?” tanya Oik.
“Y-ya! Pasti!”
Cakka pun mulai membantu Oik kembali menduduki kursi rodanya. Kemudian, ia mendorong kursi roda Oik masuk ke dalam lift bersama dirinya. Lift pun bergerak turun kelantai terbawah SMA Budi Mulia.
“Kamu ini... kalau sudah tahu nggak bisa turun seorang diri, kenapa nggak minta tolong temanmu yang lain?” Cakka mulai terdengar cerewet karena insiden barusan.
Oik mendengus. “Aku nggak punya teman. Temanku hanya Pricilla. Kamu tahu itu.”
“Ya, ya..” Cakka mengangguk mengerti. “Maksudku, kenapa nggak meminta bantuan orang lain?”
Oik memandang Cakka tak percaya. “Kamu lihat sendiri tadi koridor lantai empat sepi. Hanya ada aku disana. Juga kamu. Lalu aku harus minta tolong pada siapa? Hantu?”
“Teman sekelas yang lain...?” Cakka memandang Oik dengan gemas.
Oik menggeleng. “Sebelum izin pulang tadi Pricilla memang sudah meminta tolong pada Agni untuk menemaniku sampai gerbang. Tapi setelah aku selesai membereskan barang-barangku, Agni dan teman sekelas kami yang lain sudah pergi entah kemana.”
Pintu lift terbuka. Cakka mendorong kursi roda Oik menuju lapangan parkir. Sama sekali tidak menghiraukan tatapan bertanya seluruh siswa-siswi SMA Budi Mulia yang masih berada di lingkungan sekolah.
“Kamu lihat sendiri. Memang hanya Pricilla yang mau berteman dengan gadis lumpuh sepertiku.” Oik tersenyum kikuk diakhir kalimatnya.
“Ya,” Cakka mengangguk. “Pricilla memang benar-benar berhati malaikat.”
“Pricilla malaikatku, Kka.” Oik menambahkan.
“Malaikatku juga,” kata Cakka.
“Pricilla malaikat kita semua.” Oik kembali tersenyum.
Ketika mereka berdua baru saja tiba di samping mobil Cakka, ponsel lelaki itu berbunyi. Cakka segera mengambilnya dari saku celana abu-abunya. Rupanya sebuah panggilan dari Pricilla. Cakka bergegas menerima panggilan tersebut.
“Ya, Pris?”
“Kamu dan Oik langsung susul aku di bandara saja, ya! Kalian berdua ini lama sekali.”
“Iya, maaf... ada insiden kecil tadi.”
“Insiden apa, Kka? Tapi Oik nggak kenapa-kenapa, kan?”
“Nggak, kok.”
“Oke, aku tunggu kalian di bandara. Aku sudah menuju kesana.”
“Iya. Tunggu kami.”
Cakka kembali mengantungi ponselnya dan membantu Oik duduk di samping kemudi. Selepas itu, ia meletakkan kursi roda Oik yang telah terlipat dalam bagasinya.
“Pricilla kenapa, Kka?” tanya Oik ketika mobil telah melaju menuju bandara.
“Dia bilang kita langsung ke bandara saja. Dia sudah dalam perjalanan kesana.”
Oik menganggukkan kepalanya.
**
Setelah memastikan pesawat yang ditumpangi Pricilla telah take off, Cakka segera mengemudikan mobilnya keluar dari area bandara untuk mengantarkan Oik pulang. Suasana macet dan suara radio yang terdengar nyaring membuat atmosfer di antara keduanya menjadi aneh.
Sudah hampir setengah jam mobil Cakka tak bergerak sama sekali. Kemacetan sore itu benar-benar parah. Cakka sampai terpaksa harus mematikan mesin pendingin mobil agar bensinnya semakin tak terbuang. Kaca mobil pun Cakka dan Oik buka lebar-lebar. Teriknya mentari sore itu membuat tubuh Oik basah oleh keringat, begitupula dengan Cakka.
“Kka, punya tissu?” tanya Oik, mengedik pada lelaki di sampingnya.
Cakka meliriknya sekilas. “Ada.” Dan dengan gerakan cepat, Cakka mengambil sekotak tissu dari jog belakang mobilnya dan meletakkannya dipangkuan Oik.
“Trims.” Cakka hanya mengangguk menanggapinya.
Oik segera mengambil selembar tissu dan menyeka keringatnya. Ketika tangan kanannya bergerak untuk mengembalikan kotak tissu itu ke tempatnya semula, sesuatu tergelincir dipangkuannya. Oik pun langsung mengembalikan kotak tissu itu dan membolak-balik benda yang tergelincir tadi. Ternyata sebuah agenda.
“Ini agenda milik Pricilla, kan, Kka?” Oik mengacungkan agenda tersebut pada Cakka.
Cakka menengok padanya dan mengambil agenda tersebut dari tangan Oik. “Iya.”
“Kenapa bisa ada disini? Berarti... Pricilla ke Makassar tanpa membawa agendanya?” desis Oik.
Cakka membuka lembaran agenda tersebut. Jadwal keseharian Pricilla mulai hari Senin sampai Minggu ada dalam agenda tersebut. Jadwal sekolah, belajar, menemani Oik terapi, pemotretan, berlatih renang, dan kegiatan lainnya terjadwal rapi. Cakka tersenyum tipis membacanya. Ada jadwal Pricilla untuk berkencan dengannya pula.
“Cakka? Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Oik, ia pun ikut melongokkan kepalanya untuk membaca agenda Pricilla.
“Pricilla biasa menemani kamu terapi?” tanya Cakka balik.
“Iya.” Oik mengangguk. “Selama jadwal terapiku nggak bertabrakan dengan jadwal pemotretannya yang kadang mendadak itu, Pricilla pasti menemaniku.”
“Berarti selama seminggu ini kamu terapi sendiri?”
Oik mengangguk dengan berat hati. “Mau bagaimana lagi?”
“Papa dan mama kamu?” tanya Cakka lagi.
“Mamaku meninggal dalam kecelakaan yang sama yang membuatku lumpuh. Papaku sibuk bekerja.” Oik menjawab dengan raut wajah sedih.
Cakka mengangguk mengerti. “Ya sudah..” ia pun meletakkan agenda Pricilla didashboard mobilnya. “Akan aku kembalikan waktu dia sudah berada di Jakarta lagi.”
Karena bosan memancang kemacetan yang tak kunjung usai, Cakka akhirnya memilih untuk mengubah-ubah gelombang radio.
“Stop, Cakka!” pinta Oik.
Tangan Cakka berhenti memindahkan gelombang radio kembali. Keduanya mendengarkan berita dengan seksama.
“Pesawat Adam Air jurusan Jakarta-Makassar yang lepas landas dari Bandar Udara Soekarno Hatta, Cengkareng baru saja dilaporkan telah terjatuh di perairan Laut Jawa.....”
“Pricilla...?” gumam Oik, tubuhnya sudah bergetar hebat. “Cakka, putar balik! Kita kembali ke bandara!” Oik berteriak dengan suara gemetar.
Pandangan Cakka mendadak kosong. Dengan tertatih-tatih, Cakka mulai memundurkan mobilnya dan putar balik menuju bandara. Cakka melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata. Jika dalam kecepata normal jarak rumah Oik-bandara ditempuh dalam setengah jam, kali ini Cakka menempuhnya hanya dalam sepuluh menit.
Cakka langsung memarkirkan mobilnya begitu saja. Ia keluar dari mobil, mengambil kursi roda Oik, membantu Oik duduk dikursi rodanya, dan dengan setengah berlari menuju bagian informasi. Dari kejauhan sudah terlihat sebuah kerumunan kecil di dekat bagian informasi. Cakka semakin mempercepat jalannya.
Oik mendongak, menyentuh lengan Cakka. “Kamu duluan saja ke bagian informasi.”
Cakka menggeleng tanpa menatap Oik.
“Terlalu lama kalau kamu pakai dorong kursi rodaku.”
“Nggak apa-apa. Kamu juga butuh tahu kabar Pricilla.”
Oik menghembuskan napas dengan kesal. “Sudah. Kamu duluan saja. Aku pasti susul kamu ke bagian informasi.”
“Benar?” Cakka berhenti mendorong kursi roda Oik.
“Iya.” Oik mengangguk.
Oik masih melihat dengan jelas keragu-raguan yang terpancar dari wajah Cakka. Keduanya tak kunjung bergerak dalam beberapa detik.
“Tunggu apa lagi?” tanya Oik. “Cepat, lari ke bagian informasi! Cakka!”
Cakka pun mengangguk dengan berat hati. Ia berlari ke bagian informasi tanpa Oik.
Oik mulai mengarahkan tangannya sudah gemetar hebat untuk menggerakkan kursi rodanya menuju bagian informasi. Oik tahu betul ekspresi kesedihan yang melekat pada wajah-wajah yang tak dikenalnya itu. Oik menelan ludah. Berharap Pricilla akan ditemukan dengan keadaan baik-baik saja.
Oik menunggu Cakka di dekat sebuah pilar yang menjulang. Ia menatap was-was setiap pergerakan Cakka. Jantungnya mulai berdegup tak karuan ketika Cakka berjalan kearahnya dengan terseok-seok. Oik sudah dapat menebak apa yang terjadi.
“Gimana?” tanya Oik. Suaranya bergetar.
Cakka menggelengkan kepala. “Pricilla ada pada daftar nama penumpang yang hilang.”
Tangis Oik pun pecah. Persis seperti dugaannya. “Pricilla...”
Cakka menekuk lututnya, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Oik. Perlahan, ia membenamkan kepala gadis itu pada dadanya. Ia dapat merasakan tubuh Oik yang bergetar hebat dan buliran air mata yang membasahi bahunya.
“Pricilla pergi. Kita nggak tahu dia dimana. Temanku hilang. Satu-satunya temanku, Kka. Aku... nggak punya teman lagi. Nggak ada yang mau jalan sama aku lagi. Nggak ada yang temani aku terapi lagi.” Oik mulai meracau dalam pelukan Cakka. “Malaikatku hilang. Malaikatmu. Malaikat kita.”
“Ssssttt,” Cakka berusaha menenangkan Oik, ia mengusap puncak kepala gadis itu dengan sayang.
“Pricilla dimana, Kka?” bisik Oik.
Cakka melepaskan pelukannya dengan hati-hati. Tepat ketika ia akan menangkup pipi Oik dalam kedua telapak tangannya, tubuh Oik kembali jatuh kedalam pelukannya. Oik pingsan!
**
Cakka keluar dari kamar Oik dan menemui papa Oik yang terduduk di ruang tamu kediaman mereka. Cakka pun terduduk di samping papa Oik. Beliau tampak sedang menerawang memandang foto keluarga yang terpajang di hadapannya.
“Oik sudah tidur, Om.”
Papa Oik mengangguk. “Kondisinya drop lagi.”
“Oh, iya. Kenalkan... saya Cakka, Om.” Cakka mengulurkan tangannya yang kemudian dijabat dengan hangat oleh papa Oik.
“Kamu... siapa?” beliau memandang Cakka bertanya.
“Saya temannya Oik, Om.”
“Teman atau... ‘teman’?” papa Oik bertanya pada Cakka seolah-olah Oik adalah seorang gadis kecil yang tak akan ia biarkan berdekatan dengan lelaki mana pun di dunia kecuali dirinya sendiri.
“Teman, Om. Saya pacarnya Pricilla.”
“Oh,” papa Oik mengangguk mengerti. “Kalau Pricilla saya tahu,”
“Nah, itu yang membuat Oik pingsan. Om sudah tahu?” tanya Cakka balik.
“Belum. Apa?” papa Oik mencondongkan tubuh pada Cakka.
Cakka pun mulai menceritakan semuanya kepada papa Oik. Mulai dari ia dan Oik yang mengantar keberangkatan Pricilla menuju Makassar sampai pingsannya Oik setelah mendapat informasi bahwa nama Pricilla berada pada daftar penumpang yang hilang dalam kecelakaan pesawat. Tentu saja Cakka menghilangkan bagian Oik yang hampir terjatuh di depan lift sekolahnya dan ketika ia memeluk Oik di bandara tadi.
“Pricilla? Yang biasa temani Oik terapi itu, kan?” gumam pap Oik.
“Iya, Om.” Cakka mengangguk. “Tadi Oik juga sempat meracau kalau cuma Pricilla yang biasa temani dia terapi.”
“Itu masalahnya..” papa Oik memijat keningnya yang mulai berdenyut sakit. “Besok pagi, hari Selasa, adalah jadwal terapi Oik. Saya ada meeting dan jelas Oik nggak ada teman untuk terapi lagi. Mana mungkin saya biarkan dia terapi sendirian lagi?”
Cakka menggigit bibirnya. Kasihan sekali Oik ini.
“Atau mungkin saya suruh sekretaris saya untuk temani dia? Ah, ya---,”
“Om, biar saja saya yang temani Oik terapi.” Cakka menyela.
Papa Oik memandang Cakka seraya menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak sekolah?”
“Saya sudah kuliah, Om.” Cakka tersenyum. “Kebetulan besok saya ambil mata kuliah sore hari.”
“Ya sudah. Om titip Oik kekamu, ya, Cakka. Guru-guru di SMA Budi Mulia sudah maklum kalau setiap hari Selasa Oik selalu datang pukul sepuluh. Jadwal terapi Oik memang begitu.”
Cakka mengangguk sopan kemudian berdiri, diikuti papa Oik. “Om, saya pamit dulu. Mau kabari orangtua saya dan orangtua Pricilla soal ini.” Cakka mencium punggung tangan papa Oik. “Saya permisi, Om.”
Papa Oik mengantarkan Cakka hingga ke pekarangan rumahnya yang luas. Beliau tak kunjung masuk sebelum ia melihat bayangan mobil Cakka benar-benar lenyap dari pandangan matanya. Setelahnya, ia masuk ke dalam kediamannya dan mengecek keadaan Oik.
**
Pagi itu, ketika Oik tengah melahap sarapannya seorang diri, tiba-tiba saja ia mendengarkan siulan seseorang. Siapa yang bisa bersiul di rumah ini? Tidak ada. Lalu, itu tadi siulan siapa? Oik meraba tengkuknya yang mulai meremang.
“Aku bukan hantu, Oik!” bisik seseorang.
Dan dalam satu kedipan mata saja, Cakka sudah berada di hadapan Oik. Ia duduk di salah satu kursi makan dan meletakkan jaketnya diatas meja makan. Oik memandangnya bingung.
“Kamu ngapain disini, Kka? Nggak sekolah?” tanya Oik.
Cakka tertawa ringan. “Memangnya Pricilla nggak bilang kekamu kalau aku ini sudah kuliah?”
“Oh,” Oik mengangguk saja lalu kembali melahap sarapannya.
“Papa kamu minta tolong aku untuk temani kamu terapi.”
“HAH?!” Oik tersedak. Cakka pun buru-buru mengangsurkan padanya segelas susu yang telah siap.
“Iya.” Cakka mengangguk. “Papa kamu ada meeting. Makanya beliau minta tolong aku.”
“Kok papa nggak bilang dulu? Atau, papa bisa saja suruh sekretarisnya temani aku.” Oik menatap Cakka menyelidik.
Cakka mengangkat bahunya dengan santai, menutupi kenyataan bahwa kemarin papa Oik berniat mengutus sekretarisnya menemani gadisnya itu untuk terapi. Cakka mengalihkan pandangannya dari Oik, dari mata sembab dan bengkak itu.
“Semalam nangis berapa jam?” ejek Cakka.
Oik melemparkan jaket Cakka tepat kearah wajah lelaki itu. “Kamu ini... bukannya ikut sedih pacar kamu hilang, eh malah ejek aku!”
“Kata siapa aku nggak sedih?” balas Cakka dengan alis terangkat sebelah.
“Kalau kamu nggak sedih, terus kenapa kamu ngejek aku barusan?” Oik bertanya dengan sewot.
“Aku sedih, kok, Ik. Sedih banget, malah.” Cakka pun kembali memutuskan menatap dalam sepasang mata sembab itu. “Tapi Pricilla pasti nggak suka lihat kita seperti ini. Kamu tahu sendiri, Pricilla itu malaikat.”
“Wajah kamu nggak kelihatan seperti seorang laki-laki yang baru saja dapat kabar kalau pacarnya hilang di Laut Jawa.”
“Jadi kamu perhatikan wajahku terus?” tanya Cakka, setengah menggoda.
“Sudahlah.” Oik meletakkan kembali gelas susunya dan merapikan seragam sekolahnya. “Kamu jadi temani aku terapi atau nggak? Dokterku pasti sudah menunggu.”
“Siap, Tuan Putri!” Cakka berdiri lalu hormat kepada Oik layaknya seorang prajurit hormat kepada rajanya. Cakka pun mendorong kursi roda Oik menuju mobilnya.
“Tuan Putrimu itu Pricilla, Cakka,” gumam Oik.
**
Jadwal terapi Oik kali ini molor. Pukul dua belas tepat ia baru selesai terapi karena dokternya sibuk menangani korban kecelakaan pukul delapan tadi.
Cakka berjalan di samping Oik. Hari ini adalah hari pertamanya berjalan memakai kruk. Jadilah Cakka harus bersabar mengekor jalannya yang lambat-lambat itu. Setelah sampai di area parkir, keduanya segera masuk ke dalam mobil Cakka.
“Ik, sudah jam dua belas,” kata Cakka sambil melirik jam tangannya.
Oik mengangguk bingung. “Terus?”
“Kamu masih mau ke sekolah jam segini? Sekolah kamu bubaran jam berapa memangnya?” tanya Cakka.
Oik terlihat berpikir sejenak. “Sekitar jam dua.”
“Nah!” Cakka menjentikkan jari. “Tanggung banget, Ik!”
“Hah?”
“Bolos aja, gimana?” tawar Cakka. Ia menaik-naikkan kedua alisnya dengan jahil.
“Memangnya mau bolos kemana? Nanti kalau papa tahu, gimana? Kamu mau dimarahi papaku?” tanya Oik beruntun.
Cakka hanya mengedikkan bahunya dan mulai mengemudikan mobilnya keluar dari area rumah sakit. “Papa kamu nggak akan tahu kalau kamu nggak bilang. Jadi, nggak usah bilang papa kamu.”
Oik memandang Cakka tak mengerti. Begitu ia menyadari Cakka tak bercanda, Oik membuang pandangannya keluar kaca mobil seraya memutar bola matanya jengah. Oik tidak tahu bahwa Cakka sedang menahan senyumnya sedari tadi.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, Cakka akhirnya memarkirkan mobilnya di dekat sebuah taman tak jauh dari rumah Oik. Begitu ia mematikan mesin mobilnya dan menengok ke samping, ia mendapati Oik yang tengah tertidur. Cakka menggelengkan kepalanya.
Cakka menepuk pipi Oik perlahan. Tiba-tiba saja ia teringat Pricilla. Cakka menahan napas sejenak. “Ik, bangun. Sudah sampai.” Cakka bersuara sedingin es.
Oik menguap lalu membuka kelopak matanya. Ia sedikit memicingkan matanya karena terkena silau sinar matahari siang itu. “Dimana?” tanyanya.
“Lihat saja sendiri,” ujar Cakka.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Cakka turun dari mobil. Ia meninggalkan Oik yang terdiam bingung karena perubahan sikapnya dalam waktu sesingkat ini. Oik menggeleng tak mengerti dan mengekor Cakka masuk ke dalam taman.
“Ini, kan, dekat rumahku, Cakka!” pekik Oik. Ia agak kesusahan berjalan dengan kruk sehingga jalannya menjadi selambat siput.
Cakka tak beraksi. Ia tetap berjalan jauh di depan Oik. Oik berusaha mempercepat jalannya.
“AAAAAA!!!”
Ujung kruk Oik terantuk sebuah kerikil kecil, membuatnya jatuh dan terjungkal. Oik meletakkan begitu saja kruknya. Ia pijit-pijit kedua kakinya yang terbentur keras dengan jalanan taman. Rasa nyeri langsung menyergapnya.
“Cakka..” Oik memanggil lelaki itu dengan lirih.
Cakka tak juga menengok padanya. Oik dapat melihat dengan ekor matanya bahwa Cakka sedang menghampiri seorang penjual gulali tak jauh darinya. Oh, rupanya itu yang membuat Cakka tak menengok sedikit pun kepadanya.
“Kenapa jadi begini? Itu, kan, wajar kalau Cakka mengingat Pricilla. Cakka pasti tahu kalau Pricilla suka membeli gulali di taman ini.”
Pandangan Oik mulai kabur oleh air matanya sendiri. Rasa nyeri pada kakinya dan perasaan aneh yang menelusup kedalam hatinya membuat air mata semakin berlomba-lomba untuk menganaksungai dipipinya.
Dan semua pun menjadi gelap.
“OIIIIIIKKKK!!”
**
Cakka mengemudikan mobilnya kalang-kabut. Ia bingung akan membawa Oik kemana. Haruskah ia membawa Oik pulang? Bagaimana kalau papa Oik marah padanya karena telah lalai menjaga putri semata wayangnya itu?
Cakka menggelengkan kepalanya frustasi. Tidak ada pilihan lain. Tidak mungkin ia membawa Oik pulang ke rumahnya dengan keadaan pingsan untuk yang kedua kalinya. Ia pun memutuskan untuk membawa Oik pulang ke rumahnya.
Cakka memarkirkan mobilnya sembarangan. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia turun, dan beranjak menggendong Oik yang tergeletak di jog belakang mobilnya. Dengan panik ia menggendong Oik memasukki rumahnya.
“Itu siapa, Kka? Woy!” kakaknya, Elang, berteriak kaget begitu Cakka pulang ke rumah dengan menggendong seorang gadis yang tengah pingsan.
“Mas! Bukain pintu kamar!” perintah Cakka pada kakaknya yang kini telah mengekornya.
Dengan perasaan campur aduk, Elang membuka pintu kamar Cakka. Ia tetap mengekor Cakka yang kemudian menidurkan Oik diranjangnya. Elang dudung dibibir ranjang Cakka dan menatap wajah Oik penasaran.
“Siapa, Kka?” tanya Elang lagi.
“Oik,” jawab Cakka pendek.
“Sudah dapat pengganti Pricilla? Secepat ini?” tanya Elang lagi, dengan nada tak percaya.
Cakka memandang Elang tajam. Ia pun segera mengalihkan pandangannya. “Dia sahabatnya Pricilla. Satu-satunya teman Pricilla. Dan Pricilla adalah teman Oik satu-satunya.”
“Kenapa bisa pingsan?” tanya Elang lagi.
“Jatuh.”
Cakka pun keluar dari kamarnya. Beberapa menit setelahnya, ia kembali dengan sepasang kruk Oik yang tadi tertinggal dimobilnya. Cakka meletakkan sepasang kruk itu pada sudut kamarnya.
“Dia lumpuh?”
“Sedang dalam tahap terapi.”
Elang hanya mengangguk mengerti. Ia pun bangkit berdiri dan menepuk singkat pundak Cakka lalu melangkah keluar dari kamar Cakka, meninggalkan Cakka yang termenung seorang diri dengan pandangan yang terkunci pada wajah Oik.
Oik tak kunjung sadarkan diri juga. Cakka pun menyerah oleh bunyi perutnya. Ia pun beranjak untuk makan siang sebentar. Cakka berhenti diambang pintu dengan perasaan gelisah. Cakka berbalik, menatap Oik yang masih jatuh pingsan.
Cakka melangkah tanpa suara menghampiri ranjangnya. Jemarinya mulai bergerak menelusuri figur wajah Oik. Entah dorongan dari mana yang membuatnya tiba-tiba saja mencium kening gadis itu untuk beberapa detik. Setelahnya, Cakka benar-benar beranjak menuju dapur dengan menutup pintu kamarnya terlebih dahulu.
Begitu pintu kamar tertutup, kelopak mata Oik mulai terbuka. Gadis itu terdiam untuk beberapa saat. Ia menegakkan tubuhnya dan duduk. Jemarinya menyentuh keningnya, meraba bagian keningnya yang baru saja dikecup Cakka. Sebuah senyum tipis terukir dibibirnya.
Matanya terantuk pada sebuah pigura diatas meja yang tetap berdiri tegak walaupun ketiga pigura lainnya tertelungkup. Foto Pricilla.
Oik mencari-cari kruknya dan menemukannya teronggok di sudut kamar Cakka. Terlalu jauh untuk digapai. Oik pun menguatkan pijakannya pada lantai kamar Cakka. Perlahan, ia berjalan menuju meja tersebut dan meraih pigura foto Pricilla. Oik tersenyum kaku.
Tiba-tiba semilir angin membelai kulitnya. Oik menengok. Jendela kamar Cakka rupanya sedang dalam keadaan terbuka. Jendela itu menghadap pada taman samping rumah Cakka. Oik meletakkan pigura foto Pricilla dan berjalan tertatih-tatih menuju jendela tersebut.
Oik dapat melihat dengan jelas sebuah kelinci kecil yang berlarian di taman mungil itu. Kelinci. Binatang peliharaan Pricilla satu-satunya. Rupanya Cakka membawanya kemari. Oik tersenyum kaku.
“Kamu nggak suka kalau... aku bersama Cakka, ya, Pris?” tanya Oik, entah pada siapa.
Tubuhnya limbung bersamaan dengan pintu kamar Cakka yang terbuka. Oik sudah terjatuh ketika Cakka menghampirinya dengan panik. Cakka kembali menggendong Oik dan mendudukkannya diranjangnya.
“Kenapa, sih, Ik?” tanya Cakka dengan lirih.
Oik menggeleng. “Cuma pingin lihat kelinci kecil itu. Itu punya Pricilla, kan?”
Cakka mengangguk. “Aku membawanya kesini.”
“Obat kangen Pricilla,” gumam Oik seraya tertawa kecil.
“Kamu tahu? Aku tadi panik sekali waktu lihat kamu jatuh di taman. Dan barusan, aku panik untuk yang kedua kalinya.”
“Oh,” Oik melirik Cakka sekilas lalu kembali menatap kelinci di luar sana.
“Aku nggak mau malaikatku kenapa-kenapa,” kata Cakka, matanya menatap Oik lekat-lekat.
Oik tersenyum tanpa memandang Cakka. “Malaikat kamu itu Pricilla, Cakka.”
“Kamu malaikat kecilku.”
“Pricilla---,”
Cakka mendaratkan telunjuknya pada bibir Oik dan mengarahkan wajah Oik agar balik menatapnya. Oik menatapnya jengah.
“Pricilla memang malaikatku. Tapi itu dulu. Sekarang, kamu malaikatku. Malaikat kecilku. Malaikat yang harus aku jaga agar terus berada disini.” Cakka menunjuk hatinya tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Oik.
“Jadi, hanya butuh waktu kurang dari satu minggu buat kamu menemukan... malaikat yang baru?” tanya Oik.
Cakka mengangguk yakin. “Untuk apa melihat kebelakang kalau sesuatu yang lebih baik menantimu didepan sana?”
“Aku mau pulang,” lirih Oik.
Cakka menganggukkan kepalanya dengan pasrah. Ia pun menuntun Oik untuk mengambil kruknya dan membiarkan gadis itu berjalan terseok-seok di depannya. Setiap kali ia sudah berada di samping Oik, gadis itu kembali mempercepat jalannya.
“Hay,” sapa sebuah suara dengan ragu-ragu.
Oik menengok kearahnya dengan bingung.
“Elang, kakaknya Cakka.”
“Oh,” Oik mengangguk. “Oik, Mas.”
“Mau pulang?” tanya Elang.
Oik mengangguk lagi. “Iya, Mas.”
“Ayo, aku antar,” Cakka menyahut. Rupanya ia sudah menyalakan mesin mobilnya.
Oik sudah akan menggeleng ketika sebuah ketukan terdengar dari pagar rumah Cakka. Baik Oik, Cakka, maupun Elang sama-sama terkejut melihat seorang gadis berambut panjang yang berdiri di luar pagar. Cakka menatapnya kosong.
“Pricilla,” gumam Cakka.
Setetes bening kristal turun dari mata Oik. Cepat-cepat Oik menghapusnya. “Itu... malaikat kamu.”
Cakka menggeleng. “Ayo, aku antar pulang,”
Oik mendorong-dorong Cakka. “Itu Pricilla, Cakka. Temui dia!”
Cakka menggeleng. “Tapi kamu malaikat kecil---,”
“Cakka..” Oik memandang mata Cakka dalam-dalam. “Aku bukan malaikat kecilmu. Aku hanya manusia biasa. Nggak ada malaikat yang lumpuh, kan? Pricilla malaikatmu, Cakka. Aku pulang diantar Mas Elang saja. Oke, Mas?”
Elang mengangguk kaku. Ia dan Oik segera masuk kedalam mobil. Mobil melaju. Oik tak dapat menahan kristal-kristal itu lebih lama lagi terkurung dalam kelopak matanya. Pertahanannya runtuh ketika melihat bayangan Cakka dan Pricilla dari kaca spion mobil. Elang terdiam dibuatnya.
**
Pantai Senggigi, 20 Januari 2013
Matahari sudah hampir terbenam ketika sebuah mobil baru saja terparkir di pinggir pantai. Kedua orang yang duduk di dalamnya menatap kagum kilauan oranye yang terpendar dari arah barat.
“Pantai..” lirih sang gadis.
“Mau lihat sunset di pantai?” tawar sang lelaki.
Gadis itu tak mengindahkan tawaran lelaki di sampingnya. “Aku ingin jal....an-jalan... di pantai.”
Lelaki itu turun lalu berbalik membuka pintu di samping kemudi dan berjongkok. Ia menengok ke belakang ketika tak mendapat reaksi apa pun dari gadis itu.
“Tunggu apa lagi? Ayo, naik kepunggungku!” perintahnya.
Gadis itu menatapnya ragu.
“Kamu bisa pakai kakiku untuk mengantarmu ke bibir pantai. Cepat! Keburu matahari benar-benar tenggeleam!”
“Kenapa kamu nggak kembali pada... Pricilla, malaikatmu?”
**
Cakka menatap mobilnya yang telah hilang pada tikungan tak jauh dari rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia mengalihkan pandangannya pada gadis di hadapannya dan segera memeluknya. Rasanya... hambar.
“Pricilla...?”
Gadis itu melepaskan pelukan Cakka perlahan. “Aku bukan Pricilla.”
“Kamu pasti Pricilla!” Cakka berteriak seperti orang kesetanan.
“Aku... Acha, adik Kak Pricilla.”
Cakka menatapnya tak percaya. “Mana mungkin?!”
“Aku kemari sama sekali nggak ada niat untuk... bikin Kak Cakka dan Kak Oik jadi terpisah dengan keadaan sama-sama sedih begini.” Acha, gadis itu, memandang Cakka dengan perasaan serba salah.
Cakka menatapnya tak mengerti.
“Aku cuma mau menyampaikan kabar kalau... jasad Kak Pricilla sudah ditemukan... dan sudah dikuburkan pagi tadi.”
Cakka menggeleng tak percaya. “Sudah dikuburkan?”
Acha tersenyum lembut. “Kejar Kak Oik, Kak.”
“Apa?”
“Pahami isi hati kakak. Apa iya Kak Pricilla masih ada disana, seperti dulu?”
**
“Jadi...” gadis dalam gendongan itu menggantungkan kalimatnya.
“Pricilla sudah nggak ada dihatimu?” tanya gadis itu ragu-ragu.
“Iya, Oik.”
Gadis dalam gendongan itu tersenyum cerah. Oik sudah mendapatkan kembali mentarinya yang sempat hilang.
Rupanya Cakka benar-benar membawanya ke bibir pantai. Mentari hampir tenggelam sepenuhnya. Hanya tinggal hitungan detik saja bumi akan benar-benar gelap tanpa sinarnya.
“Kita hitung mundur, ya,” bisik Cakka.
“Lima..”
“Empat..”
“Tiga..”
“Dua..”
“Satu..”
Bersamaan dengan bumi yang mulai gelap, Oik mendaratkan bibirnya dipipi Cakka. Setelah itu, ia membenamkan wajahnya dalam-dalam pada leher lelaki yang masih menggendongnya itu.
“OIIIIIIIIKKKK!!!!”
THE END
0 komentar:
Posting Komentar