Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

THE DEATHLY WAY [Cerpen]

            Kelas tampak lengang. Hanya ada seorang mahasiswa yang masih betah duduk di bangkunya untuk menyalin tulisan acak-acakan dari papan tulis. Mata kuliah memang telah usai semenjak beberapa menit yang lalu.
            Mahasiswa itu pun kini telah selesai menyalin. Ia segera membereskan alat tulisnya dan memasukkannya kedalam tas. Ia berjalan keluar kelas dengan mencangklong tas punggungnya. Tepat ketika ia berada di ambang pintu kelas, seseorang menutup akses keluarnya.
            “Eits, eits, eits! Mau kemana lo?” sapa suara itu.
            Mahasiswa itu mengangkat wajahnya perlahan, seorang lelaki berwajah Chinese tengah berdiri di hadapannya dengan wajah menantang.
            “Ada apa, ya?” tanyanya.
            Keenam lelaki di hadapannya tertawa bengis. Ia pun mundur beberapa langkah.
            “Sepi, Vin. Langsung aja!” seorang laki-laki berambung gondrong memberi aba-aba pada lelaki Chinese di sampingnya –Alvin–.
            Alvin mengangguk. Ia melirik kelima temannya bergantian, memberikan kode. Kelima orang temannya itu langsung mendorong seorang mahasiswa tadi masuk ke dalam kelas dengan kasar.
            Pandangan Alvin menyapu setiap sudut koridor kampusnya. Baguslah, tak ada seorang pun di sana. Alvin segera masuk ke dalam kelas dan mengunci pintunya. Ia mendapati kelima temannya tengah berdiri mengelilingi seseorang berpenampilan cupu yang terduduk di lantai.
            “Cakka, Cakka, Cakka..” Alvin bergumam seraya tersenyum sinis.
            “Sikat, Vin!” seru seseorang dengan mata lebarnya.
            Alvin meliriknya dan kembali melemparkan senyum sinisnya kepada Cakka. “Maksud lo apa?”
            “Apa?” Cakka memandang Alvin tak mengerti.
            “Lo ngapain ngedeketin Oik?” tanya seseorang bertubuh kurus dan tinggi.
            “Gue? Kapan?”
            Keenam lelaki di hadapan Cakka kembali tertawa meremehkan, mengantarkan Cakka mengulang kembali kejadian beberapa hari yang lalu. Cakka mengangguk mengerti.
            “Gimana? Udah inget?” tanya seorang lelaki berbehel di samping Alvin.
            Cakka mengangguk. “Tapi gue ga ada maksud ngedeketin Oik.”
            Seorang lelaki berwajah kalem menendang tubuh Cakka yang masih terduduk di lantai dengan gemas. “Ga usah ngeles lo!”
            “Gue saranin sekarang juga lo minta maaf sama Alvin.” ujar seseorang berambut gondrong.
            “Buat apa?” tanya Cakka dengan wajah mendongak tinggi-tinggi.
            “Lo nantang?” lelaki bertubuh kurus dan tinggi itu mengangkat tangannya, bersiap untuk menonjok Cakka.
            Temannya yang bermata lebar menahannya. “Lo mau ga selamet, ya?”
            “Kalaupun gue ngedeketin Oik, memang kenapa? Alvin pacarnya? Suaminya?” tanya Cakka.
            Alvin tersenyum sinis. “Minta. Maaf. Sama. Gue. Sekarang. Juga.”
            Cakka tetap menggeleng. “Lo bukan siapa-siapanya Oik. Gue ga perlu minta maaf ke elo.”
            Lelaki berbehel itu melayangkan tinjunya kepada Cakka. Cakka mengaduh kesakitan.
            “Ayo.. Lo mau minta maaf apa babak belur ditangan kita?” tanya lelaki berwajah kalem.
            “Maaf.” Cakka bergumam singkat.
            “Lo diajarin tata krama sama nyokap lo ga, sih?” Alvin berseru kencang.
            Cakka mendongak menatap Alvin. “Maaf.”
            “Sambil cium kaki gue kalau perlu!” Alvin kembali menambahkan.
            Cakka menggeram dalam hati. Ia bergerak untuk mencium kaki Alvin. Begitu keningnya telah menyentuh permukaan sepatu Alvin, keenam lelaki yang mengelilinginya tertawa puas. Cakka mengepalkan kedua telapak tangannya erat-erat.

**

            Seorang lelaki berwajah manis sedang mengaduk-aduk minumannya dengan gusar. Berkali-kali ia melirik jam tangannya tetapi yang ia tunggu tak kunjung datang. Ia mengedarkan pandangannya, tak terlihat sama sekali sosok itu. Kemana dia?
            “Cakka lelet banget, sih?! Nyalin catetan aja seabad!” gumamnya gusar.
            Tak menunggu lama, ia segera membayar minumannya dan berjalan cepat keluar dari kantin kampus lalu menuju kelas Cakka.
            “Hay, Gab!” sapa seseorang.
            Lelaki itu –Gabriel– menengok. “Eh, Oik.”
            “Buru-buru banget? Mau kemana?” tanya gadis berwajah manis itu, Oik.
            “Nyusulin Cakka ke kelas. Dia lelet banget.” Gabriel menjawab dengan tersenyum.
            Oik mengangguk mengerti. “Ya udah, gue duluan ya. Salam buat–”
            “Cakka.” Gabriel yang meneruskan.
            “Iya, buat Cakka. Sekalian bilangin makasih kedia.”
            Kini giliran Gabriel yang mengangguk.
            Oik pun melambaikan tangannya pada Gabriel lalu melenggang menuju lapangan parkir kampus. Gabriel hanya mengedikkan bahunya dan berlalu menyusuri koridor kampus yang bermuara di kelas Cakka.
            Gabriel menatap sekitarnya dengan bingung. Sepi sekali koridornya. Berarti mata kuliah sudah lama usai. Lalu, kemana Cakka?
            Gabriel telah sampai di depan kelas Cakka. Tangannya menyentuh handle pintu. Gabriel memutarnya dan sedikit mendorongnya. Kening Gabriel mengkerut. Pintunya tak dapat dibuka.
            Gabriel pun memutuskan untuk mengintip ke dalam melalui jendela. Matanya melebar melihat apa yang tengah terjadi di dalam sana.
            “Alvin? Rio? Ray? Deva? Ozy? Dayat?” gumamnya, tak percaya.
            Lalu pandangannya beradu dengan Cakka. Cakka menatapnya dengan wajah memelas. Gabriel mengalihkan pandangannya kepada keenam lelaki yang mengelilingi Cakka dengan penuh amarah.

**

            Gabriel membuka pintu kamar kosnya dengan sebelah tangan sebelah sebelah tangannya yang lain menahan tubuh Cakka agar tidak ambruk. Darah masih menetes dari sudut bibir Cakka. Gabriel menatapnya tak mengerti.
            Setelah pintu terbuka, Gabriel segera mendudukkan Cakka diatas kasurnya. Ia meletakkan tasnya dan tas milik Cakka di sudut kamar. Gabriel bergerak mengambil kotak P3K didalam lemari dan menyerahkannya pada Cakka.
            “Kok bisa gini, Kka?” tanya Gabriel.
            “Ga tau.” Cakka menjawab singkat.
            “Oik?” tebak Gabriel.
            Cakka hanya mengedikkan bahunya. Tangannya sibuk membersihkan darah di sudut bibirnya dengan kapas.
            “Elo, sih, susah banget gue bilangin! Gue udah bilang... jangan deket-deket Oik karena Alvin udah ngeklaim Oik sebagai miliknya! Gini, kan, jadinya.” Gabriel masih saja berceloteh heboh.
            Cakka memandang Gabriel datar. “Daripada lo ngoceh ga jelas, mending lo bantuin gue bersihin nih luka.”
            Gabriel berdecak kesal. Tapi akhirnya ia pun membantu Cakka membersihkan luka disudut bibirnya. Memangnya siapa lagi yang akan membantu Cakka kalau bukan Gabriel? Sahabatnya di Jakarta hanya Gabriel seorang.
            “Udah, lo ga usah pikirin lagi itu mereka. Atau... lo mau balas dendam?” ujar Gabriel.
            Cakka memasang wajah datarnya. “Karma masih berlaku, Gab.”
            “Kalau elo mau balas dendam kemereka, gue bisa bantu.”
            “Ya, ya, ya..”

**

            Cakka terduduk disebuah kursi panjang di depan ruang dosen. Tangannya menggenggam sebuket mawar merah yang wangi. Ia melirik pintu ruang dosen dengan gelisah. Pintu itu tak kunjung terbuka.
            Akhirnya setelah menunggu sekian lama, pintu itu terbuka. Seorang gadis manis keluar. Cakka segera berdiri dan menghampirinya dengan kaki bergetar karena grogi.
            “Hay!” sapa Cakka.
            Gadis manis itu menengok kearahnya dan tersenyum simpul. “Hay juga. Siapa, ya?”
            “Cakka, temennya Gabriel.”
            “Oh,” gadis itu membulatkan bibirnya. “Kenapa, Cakka?”
            “Ini..” Cakka menyerahkan sebuket mawar merah yang ia bawa. “Happy birthday, Oik.”
            Gadis manis itu –Oik– menerimanya dengan senang. “Makasih, ya!”
            Cakka pun juga ikut tersenyum.
            Tanpa keduanya sadari, Alvin menatap kejadian itu dari balik papan mading dengan api yang menyala-nyala dari kedua mata sipitnya.

**

            Suasana kampus pagi itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Puluhan mahasiswa bergerombol di depan perpustakaan kampus. Pita berwarna kuning telah menutup seluruh akses untuk masuk ke dalam perpustakaan. Seluruh mahasiswa melongokkan kepala ke dalam dengan penasaran.
            Beberapa polisi berlalu-lalang di sekitar kampus. Sebuah ambulance juga telah terparkir di depan perpustakaan. Seorang polisi tampak sedang berkoordinasi dengan petugas ambulance.
            Oik memandang keanehan tersebut dengan kening berkerut. Ia menyenggol lengan Alvin yang sedang berjalan di sampingnya.
            “Ada apa, sih, Vin?” tanya Oik.
            Alvin menggelengkan kepalanya tak tahu. “Coba tanya polisi aja.” Alvin mengedik pada seorang polisi yang berjalan menuju mereka.
            “Pak, permisi... ada apa, ya?” tanya Oik pada sang polisi.
            Sang polisi mengedik beberapa saat pada perpustakaan kampus dan menghela napas prihatin.
            Tepat saat itu, ponsel Alvin bergetar. Alvin segera mengambilnya dari saku celana dan membaca sebuah pesan singkat yang baru saja masuk. Mata Alvin kontan melebar membaca pesan singkat dari Deva tersebut.
            “Ada seorang mahasiswa yang tewas di dalam. Kami sedang dalam proses evakuasi mayatnya. Tadi pagi petugas perpustakaan menelepon kami dan melaporkan bahwa seorang mahasiswa telah tewas tertimpa rak-rak buku.”
            Oik membekap mulutnya kaget. “Siapa, Pak?”
            “Mahasiswa itu bernama–”
            “Dayat..” Alvin bergumam dengan pandangan kosong.
            “Hah?!” Oik menatap Alvin. Ia segera mengambil alih ponsel Alvin dan membaca pesan singkat tersebut. Oik beralih pada sang polisi. “Dayat, Pak?” tanyanya, tak percaya.
            Polisi tersebut mengangguk. “Maaf, saya tidak bisa berlama-lama disini.”
            Oik hanya mengangguk. Polisi tersebut pun berlalu. Oik kini menatap Alvin. Lelaki itu masih menatap kosong kearah gedung perpustakaan.
            “Vin?” panggilnya.
            “Aku kemarin masih ngobrol sama Dayat, Ik. Kok sekarang...”
            “Ssstt!!” Oik menenangkan Alvin dengan cara mengusap bahunya lembut.
            Oik mengedik pada perpustakaan kampus. Gerombolan mahasiswa tengah memberi jalan untuk empat orang polisi yang menenteng sebuah kantung mayat berwarna kuning menuju ambulance.
            Alvin mengikuti arah pandang Oik. Mata keduanya terpaku kepada kantung kuning yang membungkus mayat Dayat tersebut. Kantung sedikit terbuka, menampakkan wajah Dayat yang mulai memucat. Matanya melotot sempurna, seakan-akan melihat sang malaikat pencabut nyawa sedang berdiri di depannya.

**

            Deva baru saja tiba di rumah kontrakannya. Setelah menghadiri pemakaman Dayat tadi siang, ia bersama keempat sahabatnya yang lain berkumpul di rumah Ray. Rupanya mereka semua benar-benar kehilangan Dayat.
            Deva melemparkan tasnya ke sembarang arah dan bergegas menuju kamar mandi tanpa mengunci pintu. Badannya sudah lengket semua karena keringat. Yang ia butuhkan sekarang hanya mandi.
            Deva menyalakan lampu kamar mandinya. Setelah melepas pakaiannya, ia menyibakkan tirai kamar mandi lalu menutupnya kembali. Tangannya terulur untuk menyalakan shower. Ia mengatur suhushowernya agar air yang mengucur bertemperatur hangat.
            Lelaki bermata lebar itu bersiul-siul ditengah mandinya. Tanpa ia sadari, seorang lelaki yang menggunakan penutup kepala berwarna hitam memasukki rumah kontrakannya. Lelaki berpenutup kepala itu segera memasukki satu-persatu ruangan dalam rumah kontrakannya. Ia menemukan Deva yang tengah berada di kamar mandi.
            Lelaki itu bergerak perlahan memasukki kamar mandi. Kakinya berjingkat hati-hati. Ia dapat melihat siluet tubuh Deva yang tengah mencuci rambutnya di balik tirai. Ia melihat sekeliling. Tak ada satu benda pun yang dapat ia gunakan untuk...
            “AAAAAAHHH!!!”
            Suara teriakan Deva menggema di dalam kamar mandi. Deva berusaha menggapai-gapai sesuatu tapi hasilnya nihil. Setiap ia hampir berhasil memukul sang lelaki berpenutup kepala, lelaki itu sudah melayangkan bogemnya terlebih dahulu.
            Deva kehabisan napas karena lelaki itu telah membalut tubuhnya dengan tirai kamar mandi. Karena tirai tersebut tidak berwarna, lelaki itu dapat melihat ekspresi wajah Deva yang tersiksa karena tidak mendapat pasokan oksigen. Lelaki itu tertawa puas.
            Kebetulan lelaki itu tak sengaja menemukan sabuk Deva yang tergeletak begitu saja di lantai kamar mandi. Ia segera mengambilnya dan melingkarkannya pada leher Deva.
            “AAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!”
            Darah segar keluar dari mulut Deva dan menodai tirai bening kamar mandi yang membungkusnya. Dadanya sudah tak lagi naik-turun, menandakan ia tak lagi bernapas. Kedua kelopak mata Deva perlahan menutup dan akhirnya... menutup sepenuhnya.
            Lelaki berpenutup kepala itu menggeletakkan tubuh Deva begitu saja di lantai kamar mandi. Dengan tersenyum miring, ia berjalan meninggalkannya.

**

            Ozy berlari-lari kecil menuju rumah Deva. Ia berniat mengembalikan jaket Deva yang tadi tertinggal di Ray. Suasana petang itu –entah mengapa– terasa berbeda. Ozy berusaha mengabaikan perasaan tak enaknya dan mengetuk pintu rumah Deva.
            “Ini udah lima menit ngetuk, kok, Deva ga keluar-keluar?!” gerutunya, sebal.
            Ia iseng membuka pintu rumah kontrakan Deva. Dan ternyata, pintunya tak terkunci. Ozy hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia pun masuk ke dalam.
            Ozy tak menemukan Deva di kamarnya, di ruang tengah, di ruang tamu, dan di dapur. Ozy tak habis pikir. Kemana sahabatnya yang satu itu?
            “Ah! Kamar mandi!”
            Dengan segera, Ozy menuju kamar mandi Deva. Lagi-lagi, pintunya tak terkunci. Ia melongo hebat begitu masuk ke dalam. Matanya melebar dan tubuhnya mulai gemetar.
            “AAAAAAAHHHH!!!!! DEVAAAAAAAA?????!!!!!”

**

            Alvin, Rio, dan Ray berjalan menghampiri Ozy. Ketiganya dapat melihat dengan jelas Ozy yang masih shock dan terduduk lemas di atas motornya. Ketiganya menghampiri Ozy dan berusaha menenangkannya.
            “Kok bisa, sih, Zy?” tanya Rio, tak percaya.
            Ozy hanya menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk rumah kontrakan Deva dengan pandangan kosong.
            “Lo bener-bener ga lihat ada yang mencurigakan?” tanya Ray.
            Ozy menggeleng kembali. Bibir pucatnya terkunci rapat.
            Alvin hanya dapat memandang hilir-mudik polisi di depannya dengan pandangan bertanya. Ada apa ini sebenarnya?

**

            Alvin, Rio, Ray, Ozy, dan beberapa teman Deva yang lain kini berada di bandara. Mereka semua mengantarkan jasad Deva pulang ke kota asalnya, Denpasar. Jasad Deva memang sudah diperbolehkan oleh pihak kepolisian untuk dibawa pulang setelah semalaman ‘menginap’ di ruang otopsi.
            Setelah pesawat yang membawa jasad Deva lepas landas, kerumunan kecil itu perlahan bubar. Alvin, Rio, Ray, dan Ozy berjalan beriringan menuju tempat parkir. Keempatnya berhenti di depan mobil Ray.
            “Kalian berempat balik, gih. Istirahat.” Ray memandang ketiga sahabatnya dengan tersenyum tipis.
            “Lo sendiri ga balik, Ray?” tanya Ozy.
            Ray menggeleng pelan. “Gue mau ke Puncak sebentar. Sepupu gue udah nunggu dijemput.”
            “Ya udah,” Alvin mengangguk. “Ati-ati lo.”
            Ray pun segera masuk ke dalam mobilnya setelah berpamitan pada Alvin, Rio, dan Ozy. Ray membunyikan klakson mobilnya ketika melewati ketiga sahabatnya yang sedang berjalan menuju parkiran motor. Alvin, Rio, dan Ozy melambaikan tangan pada Ray. Ray pun melesat meninggalkan mereka.
            “Kok perasaan gue ga enak, ya?” gumam Rio.
            Alvin menepuk bahu Rio dan tersenyum. “Lo butuh istirahat, Yo.”
            “Iya. Gue langsung tidur begitu sampai kos.” Rio mengangguk paham.
            “Masalahnya... perasaan gue juga ga enak.” Ozy berkata lirih.
            “Apa, Zy?” tanya Alvin yang tidak sepenuhnya mendengar perkataan Ozy.
            “Ga,” Ozy menggeleng. “Bukan apa-apa.”

**

            Ray mengemudikan mobilnya dengan tenang. Jalanan berkelok-kelok di hadapannya ia anggap remeh karena –memang– ia telah berkali-kali melewatinya. Ray pun menginjak gas mobilnya lebih dalam lagi sehingga mobilnya melaju lebih kencang.
            Ponsel Ray tiba-tiba saja berbunyi. Dengan masih memandang jalanan di depannya, Ray membaca sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal yang baru saja masuk ke ponselnya.
Elo yg slnjtnya!
            “Apa, sih? Ini kerjaan orang iseng atau salah kirim?” Ray terkekeh membaca isi pesan singkat tersebut.
            Ray kembali meletakkan ponselnya begitu saja. Beberapa puluh meter di hadapannya, jalan mulai berkelok turun dengan jurang yang berada di kanan dan kirinya. Ray harus menurunkan kecepatan mobilnya atau –paling tidak– menginjak rem. Tunggu dulu...
            “Kenapa remnya ga berfungsi?!” Ray berteriak frustasi.
            Kelokan tajam di depannya semakin mendekat. Ray menginjak pedal rem mobilnya berkali-kali dan sama-sekali tidak ada efeknya. Ray bergerak-gerak dengan gusar. Jalanan sepi. Tak ada yang bisa menolongnya.
            Lalu, tiba-tiba saja, ponselnya terjatuh di dekat kakinya.
            “Elah! Dikeadaan begini masih aja aneh-aneh!”
            Ray pun membungkuk, berusaha meraih ponselnya. Tanpa ia ketahui, mobilnya telah berada di sebuah kelokan dengan jurang curam di sampingnya. Ray tak sempat membelokkan mobilnya dan jadilah ia beserta mobilnya meluncur bebas masuk ke dalam jurang.
            “AAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!!”

**

            Lelaki berpenutup kepala yang sama. Ia melirik kerumunan kecil di lobby bandara. Sebentar lagi, pekerjaannya hampir selesai.
            Nah! Kabel rem mobil itu telah putus.
            Dengan senyum sesinis setan, ia bergerak meninggalkan bandara tanpa seorang pun yang mencurigai gerak-geriknya.

**

            Suasana di TPU Kalibata pagi itu terlihat ramai. Belasan karangan bunga yang ditujukan untuk keluarga Ray terpampang di pintu masuk TPU. Tiga orang lelaki sedang berdiri di bawah rindangnya pohon dengan wajah gusar.
            “Sekarang tinggal kita bertiga. Ini ada, sih, sebenernya?!” tanya Rio.
            “Mana gue tau?!” balas Ozy dengan tak kalah gusarnya.
            “Ini semua pasti kerjaan dia..” Alvin berkata dengan dingin.
            “Siapa?” tanya Rio dan Ozy berbarengan.
            “Cakka.” Alvin bergumam dengan amarah tertahan.
            “Cakka? Anak culun itu? Ngaco lo!” Ozy berjingkat tak percaya.
            “Siapa lagi?!” Alvin menatap Ozy sangar.
            “Gabriel?” gumam Rio.
            “Iya!” Ozy berkata takut-takut. “Dia, kan, sohibnya Cakka banget!”
            “Sekarang ga penting siapa pelakunya. Yang jelas, dia ga akan berhenti sampai disini aja. Masih ada gue dan lo berdua yang belum di bunuh. Selanjutnya siapa? Gue?” Alvin beralih menatap Ozy. “Lo?” Lalu, beralih pada Rio. “Atau lo?”

**

            “Udah ada tiga orang yang mampus!”
            “Terus?”
            “Ngaku aja kalau elo yang bunuh mereka!”
            “Punya bukti apa lo, nuduh-nuduh gue?”
            “Please, lo berhenti.”
            “Berhenti apa? Bukan gue yang bunuh mereka!”
            “Gue tahu lo bohong!”
            “Ya ini karma mereka!”

**

            Sudah seminggu berlalu semenjak kematian Ray dan mereka bertiga –Alvin, Rio, Ozy– sehat-sehat saja. Tak ada sesuatu yang membahayakan terjadi pada mereka bertiga. Alvin sudah kembali sibuk mendekati Oik, Rio sibuk dengan skripsinya, dan Ozy sibuk dengan pekerjaan sampingannya sebagai seorang fotografer.
            Kini ketiganya tengah berkumpul di kantin kampus dan mengobrol bersama.
            “Sepi ya, sekarang kita tinggal bertiga.” Ozy berkata dengan raut wajah sedih.
            “Kalau gitu, kita bertiga harus terus sama-sama,” ujar Rio, menepuk pundak Ozy dan Alvin bergantian.
            “Kalian gimana sekarang?” tanya Alvin.       
            “Gue sidang skripsi bulan depan. Doain, ya!” Rio tersenyum lebar setelahnya.
            “Lo?” Alvin melirik Ozy yang tengah mengaduk-aduk jusnya.
            “Biasa..” Ozy mengedikkan bahunya. “Besok gue ada job di stasiun yang udah ga kepakai gitu. Anak-anak SMP mau bikin buku tahunan.”
            Alvin mengangguk-angguk mendengar jawaban kedua sahabatnya yang tersisa.
            “Kalau lo sendiri?” tanya Rio, melirik Alvin.
            “Si culun udah ga pernah deket-deket Oik lagi.” Alvin tersenyum miring.
            “Cepet tembak, dong, makanya kalau ga mau ada yang deketin dia, bro!” Ozy menepuk pundak Alvin dengan bersemangat.
            “Ga usah pacaran, langsung kawin aja.” kata Alvin, kalem.
            Rio dan Ozy tertawa lebar mendengar jawaban Alvin. Keduanya meninju lengan Alvin dan dibalas dengan lemparan kerupuk oleh laki-laki sipit itu.

**

            “Mas, yakin mau di tengah rel kereta gini?” tanya seorang gadis cilik.
            Ozy hanya tersenyum mengiyakan. Rupanya klien-klien kecilnya ini masih parno dengan lokasi pemotretan buku tahunan mereka. Ozy masih sibuk mengatur kameranya ketika anak-anak SMP itu sudah siap difoto.
            “Ga usah takut. Ini stasiunnya udah ga difungsikan lagi. Jadi ga bakalan ada kereta yang nabrak elo-elo pada.” kata Ozy.
            Anak-anak SMP itu hanya mengangguk mengerti. Mereka pun segera berdiri di tempat masing-masing untuk difoto bersama-sama terlebih dahulu. Mereka semua berjejer di pinggir rel dengan latar belakang sebuah gerbong kereta yang tidak terpakai.
            Ozy pun segera membidikkan kameranya kearah mereka semua dan melihat hasilnya.
            “Kurang bagus!” desisnya.
            Ozy melangkah menghampiri anak-anak itu dan mengarahkan mereka agar terlihat bagus dalam jepretannya. Mereka semua larut dalam arahan Ozy, tak menyadari sesuatu...
            Deru mesin kereta api terdengar ditelinga mereka. Mereka sama-sekali tak menghiraukannya dan mengira kereta itu lewat di rel tak jauh dari mereka. Sampai akhirnya...
            “AAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!!!!!!!”
            “MAAAASSS????!!!!”
            Anak-anak SMP itu melihat sendiri bagaimana tubuh Ozy tertabrak kereta dan terseret hingga beberapa meter. Semuanya terdiam di tempat ketika melihat tubuh Ozy yang sudah tak berbentuk tak jauh dari mereka.
            Seorang lelaki berpenutup kepala kembali memamerkan seringaiannya di bawah plang kereta api.

**

            “Sekarang bener-bener tinggal gue dan elo.” Rio sudah akan menangis setelah mendapat kabar kematian Ozy.
            Alvin dan Oik yang berdiri di hadapannya juga sama sepertinya. Ketiganya benar-benar tak habis pikir dengan kematian sahabat-sahabat Alvin dan Rio akhir-akhir ini.
            “Pasti Cakka. Iya. Pasti.” Alvin bergumam dengan rahang mengeras.
            “Maksud kamu?” tanya Oik.
            “Pelakunya pasti Cakka, Ik. Pasti Cakka yang ngebunuh Dayat, Deva, Ray, dan Ozy. Dan sebentar lagi pasti giliran gue dan Alvin!” seru Rio frustasi.
            “Kenapa kalian nuduh Cakka?” teriak Oik balik.
            “Karena... karena–” Alvin tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
            “Karena kami semua nyuruh dia cium kaki Alvin setelah dia ngedeketin elo tempo hari.” Rio berkata jujur.
            “Cium kaki Alvin?” Oik terperangah.
            “Maaf, Ik..” gumam Alvin.
            “Kalian berdua...” Oik menampar Alvin dan Rio satu-persatu. “Jahat banget!” desisnya.
            Oik berderap meninggalkan Alvin dan Rio tanpa menengok kembali pada dua lelaki itu.

**

            Malam itu, ketika Cakka membuka tirai kamar kosnya, ia melihat Gabriel yang pergi dengan terburu-buru menggunakan motornya. Cakka segera mengambil jaket dan kunci motornya lalu diam-diam mengikuti Gabriel.

**

            Rio membuka pintu rumahnya dengan lesu. Ia baru bermain futsal dengan teman-teman sekampusnya. Entah kemana tante, om, dan sepupunya. Sepertinya mereka sedang bepergian dan lupa berpamitan kepada Rio sebelumnya.
            Dengan tidak menghiraukan badannya yang lengket semua karena keringat, Rio berjalan menuju kamarnya. Tanpa berganti pakaian pula, Rio tertidur di kasurnya.

**

            Ia berhasil masuk ke dalam rumah itu. Dengan segera, ia bergegas menuju dapur. Ketika ia melewati sebuah kamar, ia membuka pintunya. Ada Rio yang tertidur pulas di dalam. Dengan tanpa menutup pintunya, ia kembali berjalan menuju dapur.
            Ia juga sudah memastikan seluruh jendela di rumah ini tertutup rapat. Ketika ia sampai di dapur, ia segera berjalan menuju tabung LPG dan melepas selangnya.
            Setelah itu, dengan cepat ia keluar dari rumah tersebut. Tak lupa pula ia mengunci dari luar pintu ruang tamu –satu-satunya akses keluar dari rumah tersebut– dan berjalan menuju sebuah pohon rindang. Ia mengamati rumah itu dari bawah pohon dengan tersenyum miring.

**

            Rio terbangun karena bau-bauan aneh menusuk hidungnya. Begitu ia membuka mata, seluruh sudut rumahnya telah penuh dengan asap keabu-abuan. Bau-bauan aneh itu mulai membuatnya sesak napas dan lemas.
            Rio segera bangkit dan berlari keluar rumah. Ketika ia sampai di ruang tamu, pintu sudah dalam keadaan terkunci dan ia tak menemukan kunci itu dimanapun. Rio panik.
            “Sial! Mana, sih, itu kunci?!”

**

            Setengah jam berlalu.
            Lelaki berpenutup kepala itu melebarkan senyumannya. Sudah tak ada lagi aktivitas yang terlihat di dalam rumah. Gedoran-gedoran paksa dari dalam rumah juga sudah tak tampak lagi. Ia yakin, pasti seseorang di dalam sana sudah pergi kealam lain.

**

            Alvin berjalan dengan malas menuju ruang tamu kediamannya. Semenjak lima menit yang lalu, seseorang menggedor-gedor pintu rumahnya seperti orang kesetanan. Dan begitu Alvin membukanya, pandangannya mendadak murka.
            “Lo ngapain kesini?!” seru Alvin.
            “Dengerin gue! Lo harus selametin Rio sebelum–”
            Ponsel dalam saku Alvin berbunyi, ada sebuah telepon masuk. Alvin segera mengangkatnya dan mengabaikan lelaki di hadapannya. Alvin terdiam mendengarkan lawan bicaranya.
            “Apa? Rio... mati?”

**

            “Gue mohon lo berhenti.”
            “Ga akan.”
            “Biarin Alvin. Jangan dendam. Gue aja udah ga dendam sama dia.”
            “Diem lo! Selangkah lagi dan dendam kita berdua akan terbalaskan.”
            “Ayolah! Lo udah bunuh lima orang!”
            “Bukan urusan lo!”

**

            Alvin termenung seorang diri di pelataran kampusnya malam itu. Ia memutar kembali kejadian-kejadian beruntun yang menimpa sahabat-sahabatnya dan menyebabkan kematian mereka.
            Ia baru saja membuka paksa loker milik kelima sahabatnya dan mengambil seluruh barang-barang mereka untuk disimpang sebagai kenang-kenangan. Alvin telah memasukkan seluruh barang-barang Rio, Ozy, Ray, Deva, dan Dayat ke dalam mobilnya. Kini, ia tengah bersandar di kap mobilnya dengan pandangan menerawang.
            Tin tin!
            Suara klakson mobil terdengar begitu nyaring di pelataran kampus. Alvin terkesiap dan memandang sebuah mobil di dekatnya.
            “Tinggal elo yang belum mampus.” desis sang pengemudi.
            “Elo?!” Alvin menatap sang pengemudi tak percaya.
            “Kenapa? Heran? Gue yang udah bunuh lima sohib lo dan sekarang... waktunya gue bunuh elo!”
            Alvin merasakan kakinya lemas. Ia melangkah menuju mobilnya.
            “Mau kemana lo, naik mobil? Asal lo tahu aja, gue udah sabotase mesin mobil lo.”
            Alvin mengumpat kesal dengan keringat dingin yang terus membanjiri wajahnya. Dengan gemetar, Alvin berlari meninggalkan pelataran kampus. Sayangnya, pintu keluar kampus masih sangat jauh.
            “Mau lari kemana lo?”
            Sang pengemudi menginjak gas mobilnya dalam-dalam. Dan, dalam satu sentakan, ia sudah menabrak tubuh Alvin hingga terpental beberapa meter ke depan. Ia tertawa puas ketika melihat tubuh Alvin yang sudah tak bergerak dan berlumuran darah.

**

            Police line kembali terpasang di area kampus ini. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul satu malam, warga sekitar berbondong-bondong untuk melihat apa yang telah terjadi. Polisi kembali hilir-mudik di kampus ini.
            Oik datang bersama lelaki yang menggandeng tangannya. Keduanya memandang dua orang polisi yang mengawal sang pengemudi mobil. Oik menatapnya tak percaya.
            “Cakka..”
            Polisi berserta sang pengemudi –Cakka– berjalan melewati Oik dan lelaki itu –Gabriel–.
            “Gue udah bilang, Kka, jangan dendam.” Gabriel menggeleng sedih.
            “Sia-sia ternyata waktu itu gue belain elo di depan Rio dan Alvin.” Oik mengerjap tak percaya.
            “Maaf..” hanya itu yang dapat Cakka ucapkan. Kedua polisi itu pun segera membawanya naik ke dalam mobil dan meluncur menuju kantor polisi.
            Oik dan Gabriel memandang kosong mobil polisi itu hingga lenyap ditelan kegelapan malam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar