Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

THE ONLY EXCEPTION [Cerpen #4thAnnivCaikersFamily]

Jogjakarta, 7 Juni 2013

            Oik, masih ingat, kan, ini tanggal berapa? Masih ingat, kan, apa yang terjadi empat tahun lalu? Masih ingat, kan, kita jadian empat tahun yang lalu?
            Happy 4th anniversary, honey!
            Make it lasts, please. Tetap jadi Oikku sampai kapan pun, ya, karena aku akan jadi Cakkamu sampai kapan pun juga. Jangan berubah karena aku cinta kamu apa adanya. Aku suka kamu yang childish, cerewet, selalu bersemangat, dan over-perhatian, kok. Jadi, jangan hilangkan itu semua. You’re my extraordinary girl, Oik.
            Setiap kita merayakan anniversary, kamu pasti meminta hadiah dariku. Kali ini, karena kita belum bisa bertemu, aku akan memberikan kamu hadiah dalam bentuk lain. Aku akan menceritakan bagaimana Papa dan Mamaku. Kamu ingin tahu soal mereka, kan? Baiklah, aku akan menceritakannya. Ini kali pertama aku menceritakan mengenai mereka pada seseorang dan seseorang itu kamu, Ik. Kamu spesial. Makadari itu kamu adalah orang pertama yang aku ceritakan soal ini.
            Sebelum aku menceritakan semuanya, aku cuma mau bilang... aku punya lagu untuk kamu. Ini memang bukan lagu ciptaanku sendiri dan bukan aku pula yang menyanyikannya. Hanya saja, aku rasa lagu ini cocok untuk kamu. The Only Exception. Tahu lagu itu, kan? Lagu dari Paramore. It’s so you, Oik.
            Semuanya bermula ketika aku berumur 13 tahun. Aku baru saja menjadi siswa putih-biru pada saat itu. Papa dan Mama mulai sering bertengkar karena masalah sepele. Setiap harinya aku harus mendengar teriakan-teriakan penuh amarah dari mereka dari dalam kamar. Aku sendirian, Ik. Mas Elang selalu sibuk dengan sekolah dan bandnya.
            Suatu hari aku melihat Papa berdiri di teras rumah. Kesedihan tampak jelas dari wajahnya. Aku nggak pernah lihat Papa sesedih itu, Ik. Aku nggak berani mendekat, jadi aku hanya melihat Papa dari balik tirai ruang tamu. Setelah beberapa menit terdiam, Papa mulai menangis sesenggukan. Aku bingung harus berbuat apa. Mas Elang nggak pulang dari semalam. Biasanya Mas Elang menginap di rumah temannya.
            Lalu aku ingat. Tadi malam Papa dan Mama bertengkar sangat hebat. Aku terdiam di kamar sendirian. Buku yang tadinya kubaca untuk bahan ulangan minggu depannya, aku buang begitu saja. Aku sadar aku nggak sekuat itu untuk dengar pertengkaran mereka yang lagi-lagi karena masalah sepele. Aku butuh Mas Elang. Tapi setiap saat aku butuh kakakku, dia selalu nggak pernah ada untuk aku.
            Ternyata laki-laki sekeras dan sekuat Papa pun bisa menangis karena cinta, karena Mama. Semakin lama tangisan kecil Papa semakin terdengar olehku. Papa mulai terisak, walaupun pelan. Aku bingung waktu itu, Ik. Apakah aku harus menghampiri Papa lalu menghiburnya atau malah meninggalkannya sendirian dan memberikan waktu Papa untuk menangis sepuasnya.
            Akhirnya opsi kedua yang aku pilih. Aku meninggalkan Papa sendirian di teras. Aku kembali ke kamarku dan terdiam. Keluargaku berantakan. Aku nggak tahu apakah ada hal lain yang lebih buruk daripada ini. Papa menangis, Mama pergi entah kemana, Mas Elang pun jarang pulang ke rumah.
            Sejak saat itu Mama juga jadi jarang pulang. Aku nggak tahu Mama tinggal dimana. Penghuni rumah saat itu hanya aku dan Papa. Kami berdua pun jarang mengobrol. Berbicara hanya seperlunya. Dan bila Mama sudah pulang ke rumah, mereka berdua akan kembali bertengkar. Itu seperti nggak ada satu hari pun yang lewat untuk mereka berdua bertengkar.
            Pertengkaran Papa dan Mama terhebat yang kedua terjadi ketika aku akan lulus SMP. Malam itu, Papa dan Mama bertengkar di ruang tamu. Aku mendengar jelas pertengkaran mereka dari dapur. Aku hanya mampu diam sampai suara menggelegar Papa terdengar. Papa mengancam akan menceraikan Mama. Setelahnya, semua terjadi begitu cepat. Mama kembali pergi dan Papa kembali ke kamarnya.
            Aku tahu Papa telah mematahkan hatinya sendiri dengan ancaman perceraian itu. Papa menjadi semakin pendiam sejak saat itu. Jika Papa bertemu dengan Mama dan keduanya bertengkar, Papa hanya akan membalas teriakan amarah Mama dengan suara tertahan. Papa juga terlihat berusaha menahan amarahnya. Mungkin itu adalah salah satu usaha Papa untuk membuat Mama tetap tinggal. Aku pun nggak tahu apa yang membuat Mama nggak betah di rumah.
            Waktu berlalu begitu cepat. Selama itu pun aku tahu Papa sedang menata kembali hatinya. Mama semakin jarang pulang. Papa juga sudah mulai terbiasa dengan itu. Papa mulai menyuruh pembantu rumah tangga kami untuk hanya memasakan makanan dengan porsi sedikit, hanya untuk Papa dan aku.
            Suatu hari, Mas Elang pulang membawa surat keterangan kelulusannya. Aku tahu waktu ini akan datang. Aku menceritakan semuanya kepada Mas Elang secara singkat. Hal itu membuat Mas Elang semakin membulatkan tekadnya untuk berkuliah diluar kota, di Bandung. Mas Elang lebih terluka daripada aku.
            Papa dan Mama bertengkar lagi, Ik. Mungkin ini puncak dari semua pertengkaran mereka. Papa yang akhir ini hanya diam saja jika bertengkar dengan Mama, kini juga berbalik berteriak pada Mama. Rumah kami penuh dengan teriakan mereka berdua.
            Hingga pada suatu titik, Papa mengusir Mama. Papa bilang Mama nggak perlu pulang ke rumah ini lagi karena Papa sudah nggak butuh Mama. Selama lima menit nggak ada suara lagi yang aku dengar. Tetapi setelah itu, aku melihat siluet tubuh Mama yang membawa kopernya keluar dari rumah. Mama benar-benar pergi.
            Dari teras rumah, Mama memaki-maki Papa. Mama bilang kalau beliau nggak akan melupakan bagaimana Papa mengusirnya. Mama juga bilang kalau Papa nggak cinta Papa, nggak pernah ada cinta diantara mereka berdua. Lalu, aku dan Mas Elang itu apa? Bukannya kami –harusnya– adalah buah cinta mereka?
            Mama menantang Papa untuk benar-benar mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan. Dan Papa menyanggupinya. Mama pergi dengan langkah berderap, meninggalkan rumah kami. Aku syok. Aku nggak pernah menyangka kalau akan begini akhirnya. Sebelumnya aku malah berpikir akan membuat mereka adem-ayem seperti dulu lagi. Akhirnya aku sadar itu nggak mungkin.
            Selama sebulan lebih Papa mulai mengurus dokumen-dokumen untuk perceraian mereka. Papa jadi mondar-mandir Jogjakarta-Semarang. Aku dengar dari Papa, sidang perceraian Papa dan Mama akan dilaksanakan di Semarang. Mas Elang pun nggak tahu-menahu soal ini. Papa juga sudah mengontak salah satu pengacara terkenal di Jogjakarta.
            Sidang perceraian pertama berlangsung dua tahun kemudian dan dilaksanakan di Semarang. Ketika itu aku nggak datang karena sedang mempersiapkan Ujian Nasional SMA. Mas Elang sepertinya juga nggak datang karena sedang mengerjakan skripsi. Biasanya dalam sidang pertama akan disarankan menjalankan mediasi.
            Dan memang benar. Papa dan Mama menjalani masa mediasi selama hampir satu tahun. Masing-masing didampingi pengacara. Mediasi pun ternyata gagal. Papa dan Mama bersikukuh untuk bercerai. Papa dan Mama menjadi sosok mengerikan yang nggak aku kenal.
            Sejak saat itu aku mulai ragu dengan adanya cinta. Papa dan Mama saja yang menikah hampir 20 tahun bisa bercerai. Oh, Mama juga pernah mengatakan kalau nggak pernah ada cinta dianatara mereka. Lalu, cinta itu apa? Sesuatu yang nggak berguna?
            Dalam hati aku tahu kalau cinta itu nggak ada yang bertahan selamanya. Waktu akan menghapuskan rasa itu. Atau memang, perasaan itu hanya kamuflase dari rasa-rasa lain. Ya, perasaan lain yang mengatasnamakan cinta. Papa dan Mama, contohnya. Aku nggak tahu bagaimana mereka bisa mempertahankan pernikahan hampir selama 20 tahun dan mengatakan nggak pernah ada cinta, seolah-olah aku dan Mas Elang itu nggak ada. Sakit hati? Pasti.
            Kita harus mempertahankan cinta kalau ingin terus bersama dengan pasangan masing-masing. Begitu, kan? Lalu, bagaimana caranya? Menghentikan waktu agar ia nggak bisa melunturkan perasaan abstrak itu? Atau malah lebih baik kita nggak perlu mengecap manisnya cinta agar kita juga nggak perlu merasakan pahitnya?
            Aku jadi anti-pati dengan cinta, Ik. Aku menjaga hatiku baik-baik agar nggak merasakan perasaan itu. Aku terlalu takut untuk jatuh. Karena dimana-mana jatuh itu nggak enak, sakit. Biarlah sekalian aku nggak pernah jatuh cinta daripada hatiku jatuh pada tangan yang salah. Tapi semua berubah sejak kita bertemu.
            Sebelum aku kenal kamu, aku percaya kalau hidup sendirian itu lebih baik. Atau, paling nggak, aku hanya kenal dengan Ayah dan Mas Elang. Mereka berdua nggak mungkin menyakiti aku, kan? Aku nggak mau kenal dengan banyak orang. Takut menghadapi masalah yang datang, takut sakit hati. Dengan nggak mengenal banyak orang itu berarti aku memperkecil kemungkinan akan jatuh cinta dan sakit hati, kan? Karena aku percaya nggak ada orang yang berhak disakiti.
            Kamu masih ingat pertemuan pertama kita, kan? Waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya dan kita bertemu di sebuah kafe dekat rumahmu. Kamu datang menghampiri aku dengan baju yang basah kuyup karena kehujanan. Kita mengobrol banyak waktu itu. Aku berkata padamu kalau aku sedang ada urusan, kan? Makadari itu aku menyempatkan datang. Padahal hari itu hatiku sedang kacau. Paginya persidangan kedua Papa dan Mama dilaksanakan di Semarang. Mereka berdua resmi bercerai dengan hak asuh atas aku dan Mas Elang diberikan pada Papa.
            Sejak kita bertemu, aku jadi nggak se-antipati seperti dulu dengan cinta. Kamu itu mungil, kamu tahu? Karena itu aku jadi ingin selalu melindungi kamu. Masih ingat, kan, jaket yang aku berikan kepada kamu waktu pertemuan pertama kita? Itu gerakan alam bawah sadarku untuk menyerahkannya pada kamu.
            Aku nggak bermaksud untuk menggombal atau membual, tapi itu nyata. Aku jadi lebih bisa terbuka. Aku sendiri nggak tahu kenapa. Kamu memberikan pengaruh tersendiri untuk aku. Belum lagi pertemuan-pertemuan singkat kita ketika mencuri-curi jadwal kuliah untuk saling mengunjungi. Percakapan kita lewat SMS, jejaring sosial, bahkan percakapan online lewat Skype pun membuat hatiku seperti tergelitik.
            Pernah, suatu hari, Papa memandangku dengan aneh. Aku nggak tahu jenis pandangan macam apa itu. Tapi Papa hanya tersenyum setelahnya. Papa bilang aku sudah besar. Papa mengatakan hal itu setelah kita menghabiskan berjam-jam mengobrol via Skype. Apa Papa menyadari sesuatu, ya? Akhirnya setelah aku bercerita pada Mas Elang, aku tahu apa yang Papa maksud. Itu soal kamu, soal kita.
            Pertama kalinya kamu mengunjungiku setelah kita jadian adalah pada awal bulan Agustus. Aku menjemput kamu di Stasiun Tugu pada siang hari. Kamu bilang kalau kamu akan berada di Jogjakarta selama hampir satu minggu. Kamu tahu? Aku sudah merencanakan akan mengajak kamu pergi kemana saja sejak seminggu sebelum kamu datang. Aku mencari referensi angkringan paling bagus untuk kita kunjungi. Kebetulan saat kamu datang ke rumahku, Papa sedang nggak ada di rumah. Tetapi aku sudah bilang sebelumnya pada Papa kalau pacarku akan menginap disini.
            Kita pergi ke banyak tempat yang belum pernah kamu kunjungi. Setiap pagi selama satu minggu pun kamu memasakkan kita makanan untuk sarapan dan makan siang. Sedangkan malamnya kita selalu mengunjungi angkringan yang berbeda selama satu minggu itu. Ternyata referensi angkringan bagus dari Mas Elang berguna juga.
            Aku nggak percaya kalau akhirnya aku bisa jatuh cinta. Seharusnya orang-orang nggak perlu menamainya dengan jatuh cinta karena jatuh itu dimana-mana selalu sakit. Cukup menyebutnya cinta saja. Dengan begitu, nggak ada kata jatuh. Dengan harapan, setiap kali kita merasakan cinta, kita nggak perlu juga untuk jatuh dan merasakan sakit. Begitu, kan?
            Aku sempat berdoa pada malam hari. Ketika itu kamu sudah tidur. Karena aku yang masih belum percaya bahwa cinta akan sebahagia ini, aku berdoa pada Tuhan.. Kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku. Cinta itu berjuta rasanya, aku percaya. Dan dari jutaan rasa itu, nggak ada yang membuat aku sakit.
            Pada masa awal kita pacaran, aku masih belum percaya kalau kamu ada disisiku. Aku juga masih belum percaya kalau aku bisa berkompromi dengan diriku sendiri untuk merobohkan benteng dalam hatiku. Kamu juga membuat aku percaya kalau cinta itu ada. Nggak hanya aku yang membuat kamu percaya lagi pada cinta, kamu juga melakukan hal yang sama untuk aku.
            Hari terakhir kamu berada di Jogjakarta, aku tertidur sampai tengah hari karena malam sebelumnya kita berkeliling Jogjakarta. Karena alarm yang nggak berbunyi seperti semestinya, aku pun nggak bangun seperti semestinya. Padahal jadwal kereta yang akan membawamu kembali ke Salatiga adalah pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima.
            Siangnya, ketika aku bangun, aku nggak menemukan kamu di seluruh sudut rumahku. Aku mulai panik dan berpikiran kalau seminggu bersamamu memang benar-benar mimpi. Sampai akhirnya aku menemukan surat didekat alarmku. Surat dari kamu. Barulah aku benar-benar yakin kalau seminggu ini bukan sekedar mimpi.
            Dalam surat itu kamu bilang kalau kamu nggak tega membangunkan aku untuk mengantar kamu ke stasiun. Jadinya kamu berangkat sendiri menggunakan becak. Aku merasa bersalah sekali karena sebelumnya aku sudah berjanji akan mengantar kamu ke stasiun. Sepertinya aku tahu siapa yang mematikan alarmku waktu itu. Kamu, ya?
            Pada awal Februari kemarin, aku ke rumahmu. Tetapi ternyata kamu nggak ada. Ayah kamu bilang kamu sedang ke Semarang bersama teman-teman sefakultasmu. Akhirnya aku mengobrol bersama beliau selama lebih dari empat jam.
            Ayah kamu memang sudah merestui kita berdua semenjak awal kita pacaran, tapi... sejak kapan beliau menjadi sebegini bersemangatnya untuk menikahkan kita? Lagipula kita berdua juga masih beum lulus kuliah. Kita masih mengurus skripsi. Ketika itu beliau berkata bahwa kita berdua sudah cukup dewasa untuk itu.
            Aku hanya tertawa saja ketika beliau memintaku kembali berkunjung ke Salatiga bersama Papa dan Mama. Aku tertawa bukan karena menyetujui idenya tetapi lebih kepada... Papa dan Mama? Mereka sudah bercerai.
            Satu yang paling aku ingat. Beliau ingin akhir tahun ini aku sudah melamar kamu. Aku masih memikirkannya. Aku takut akhir tahun nanti kita berdua belum wisuda. Aku ingat betul komitmen kita. Kita nggak akan melangkah kejenjang yang lebih tinggi kalau kita berdua belum wisuda. Aku sendiri, akan diwisuda pada pertengahan Oktober.
            Bagaimana menurutmu? Papa juga berkata kalau kita sudah cukup dewasa. Beberapa kali Papa memang bertanya mengenai hal sensitif itu tetapi aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Apakah Ayahmu nggak pernah menyinggung soal itu di hadapanmu?
            Ya sudahlah. Mungkin kita memang perlu bertemu untuk membicarakannya. Hanya aku dan kamu. Nggak perlu mengajak Papa dan Ayah terlebih dahulu. Aku takut mereka akan menyuruh kita menikah secepatnya sementara kita berdua belum lulus kuliah. Aku nggak mau proses pembuat skripsi kita terganggu.
            Mungkin minggu depan aku akan ke Salatiga. Mengunjungi sepupuku dan kamu. Kamu ingin kita bertemu dimana? Bagaimana kalau di kafe tempat pertemuan pertama kita? Setelah kita berbicara berdua, barulah aku akan menemui Ayahmua. Begitu?
            Sekali lagi, selamat tanggal 7 Juni yang keempat, Oikku. Tetap jadi Oikku yang seperti ini, ya. Semoga kita langgeng dan waktu juga nggak akan melunturkan perasaan ini. Semoga proses pembuatan skripsi kita juga nggak menemui banyak masalah agar cepat disidang bersama para dosen.
            You’re the only exception..

Tons of love,
Cakka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar