Oik berjalan menyusuri koridor RS Graha Amerta Surabaya dalam diam. Ia peluk erat-erat map kuliahnya. Sekilas ia melirik jam tangannya dan menemukan jarum jam tengah menunjuk angka sembilan dan dua belas.
Oik mendesah. Inilah rutinitas sehari-harinya semenjak beberapa bulan yang lalu. Selepas kuliah malam, ia langsung menyebrang jalan raya kecil di depan fakultasnya dan memasukki salah satu rumah sakit terkemuka di Surabaya.
Oik berhenti sejenak di depan sebuah ruangan rawat inap bernomor 754. Gadis itu mengatur napasnya dan masuk ke dalam ruangan itu dengan kali gemetar. Oik menguatkan hatinya dengan susah payah ketika melihat satu-satunya tumpuan hidupnya tengah tergolek lemah di atas ranjang rumah sakit.
"Gabriel.. Gabriel.. Gabriel.." Oik terus menyebut namanya sembari melangkah mendekati ranjang tersebut.
"Hay, bagaimana kabarmu?" tanya Oik ketika ia baru saja berhasil duduk pada sebuah kursi plastik di samping ranjang.
"Kapan kamu akan membuka kelopak matamu?" tanya Oik lagi. Jemarinya menyusuri setiap leluk wajah Gabriel.
"Aku kangen kamu, Gab." bisik Oik, bersamaan dengan luruhnya air matanya. Oik menghapusnya cepat-cepat. "Oh, ya.. Aku lupa kalau kamu benci lihat aku menangis. Maaf."
"Cepat sadar ya, Pangeranku." Oik banglit berdiri dan mencium kening Gabriel perlahan. "Aku harus pulang sekarang. Mama dan papamu pasti datang sebentar lagi dan mereka nggak suka lihat aku di sini."
Oik perlahan melangkah meninggalkan Gabriel yang telah koma selama hampir sebulan, meninggalkan pangerannya, dan meninggalkan satu-satunya tumpuannya di dunia ini selain para sahabatnya. Oik tersenyum miris ketika mengingat salah satu fakta terburuk dalam hidupnya tersebut.
"Tidur yang nyenyak, Gab. Besok malam selepas kuliah aku pasti kemari lagi." kata Oik sebelum ia menutup pintu ruang rawat Gabriel.
0 komentar:
Posting Komentar