Oik baru saja akan memasuki kamar
kosnya ketika ia mendengar sebuah suara yang lumayan familiar tengah memanggil
namanya. Ia menengok ke samping, arah sumber suara. Salah satu teman kosnya
tengah menatapnya.
“Ya? Ada apa?” tanya Oik.
“Ini,” Osa –teman kosanya tersebut–
mengangsurkan sebuah amplop pada Oik. “Tadi ada yang titip untuk kamu.”
Oik menerima amplop tersebut dengan
kening berkerut bingung. “Dari siapa, Sa?”
“Aku nggak tahu namanya. Dia bilang,
kamu harus cepat-cepat baca isi suratnya.”
“Oh,” Oik mengangguk. “Makasih, Sa.”
Osa mengangguk dan kembali masuk ke
dalam kamar kosnya. Sepeninggal Osa, Oik masuk ke kamar kosnya dan meletakkan
tasnya pada meja belajar. Setelahnya, ia merebahkan tubuhnya pada ranjang.
“Dari siapa, ya?” gumamnya ketika ia
mulai membuka amplop tersebut.
Oik membaca setiap huruf yang
tertera pada surat tersebut. Oik merasakan dadanya sesak begitu menyadari
tulisan tangan siapa itu. Oik segera bangkit dari posisi rebahannya dan
mencari-cari ponselnya. Kemudian, ia menelepon seseorang.
“Halo? Alvin, bisa anterin aku?”
**
Oik dan Alvin baru saja sampai
disebuah kafe daerah Surabaya Pusat. Oik turun dari boncengan motor Alvin dan
mengembalikan helm milik lelaki itu.
“Kamu yakin nggak mau aku antar
sampai dalam?” tanya Alvin cemas.
“Nggak,” Oik menggeleng dengan
senyum yang dipaksakan. “Aku nggak mau kamu mengacaukan pertemuan pertamaku
dengan dia.”
“Apa dia juga datang sendirian?”
tanya Alvin lagi.
Oik mengangkat bahunya. “Aku bilang,
aku nggak tahu. Teman kosku cuman menyampaikan surat dari dia.”
“Kenapa nggak lewat SMS aja?”
“Aku nggak tahu, Alvin.” Oik
terpekik sebal. “Mungkin dia tadinya datang ke tempat kosku dan aku nggak ada.
Jadi dia memutuskan untuk titip surat aja ke Osa–teman kosku.”
“Ya sudah, tunggu apa lagi?”
Oik tersenyum tipis. Ia merasakan
Alvin mulai mendorongnya untuk masuk ke dalam kafe tersebut. Oik menurut, ia
melangkah masuk dan meninggalkan Alvin yang terdiam diatas motornya. Rupanya
lelaki itu mempunyai firasat buruk mengenai pertemuan ini.
Oik mengedarkan pandangannya ke
seluruh penjuru teras kafe itu. Ada beberapa meja bundar yang masing-masing
dikelilingi oleh empat kursi kayu di teras kafe. Penerangan di luar sini
menggunakan lampion berwarna merah yang menggantung pada seutas tali diatas
sana. Oik tak menemukannya berada di teras.
Oik mengangguk paham. Mungkin dia
memilih duduk di dalam. Ya. Oik mendorong pintu masuk kafe –yang terbuat dari
kayu dengan kaca tembus pandang pada tengah-tengahnya– dan melangkah masuk.
Ramai sekali.
Oik menemukannya berada disudut
kafe. Di dekat meja kasir. Oik tersenyum penuh antusias melihatnya. Oik
mengangkat tangan kanannya, menyapa orang tersebut–yang kebetulan juga sedang
menatapnya.
“Ha––,” Oik mengatupkan bibirnya,
menyadari orang itu tak sendirian.
Orang itu berdiri sejenak,
mempersilahkan Oik untuk duduk di hadapannya. Oik menelan bulat-bulat sapaan
untuknya ketika melihat gadis yang duduk di samping orang tersebut tengah
menatapnya tajam. Oik duduk dengan perasaan tak nyaman.
“Hai, Gab.” Oik menyapa lelaki yang
duduk di hadapannya dengan lirih.
“Hai,” Gabriel menyapa Oik balik
dengan dinding.
“Apa aku tembus pandang?” sindir
seorang gadis yang duduk di samping Gabriel–Angel, adiknya.
Oik menarik napasnya dalam-dalam
lalu menghembuskannya perlahan. “Hai, Angel.”
“Hai juga, Oik!” Angel tersenyum
miring.
“Aku perlu bicara sama kamu, Ik.”
Gabriel menatap Oik dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Aku...,”
“Kamu nggak perlu seneng dulu karena
Mas Gabriel ngundang kamu kesini.” Angel menyela dengan sinis. “Kalau bukan
karena terpaksa dan kasihana sama kamu, pasti Mas Gabriel lebih memilih untuk
memberitahu kamu lewat telepon.”
Oik mengangguk perlahan. Ia mulai
menyadari ada yang tak beres.
“Angel!” Gabriel memperingatkan
adiknya itu dengan suara rendah, lalu ia berpaling pada Oik. “Oik, sebelumnya
aku minta maaf.”
“Aku juga minta maaf, Gab. Harusnya
aku yang temui kamu duluan. Kamu baru keluar dari rumah sakit, aku tahu itu.”
Oik tersenyum meminta maaf pada Gabriel.
“Bukan. Bukan masalah itu, Ik.” Gabriel
mulai bergerak-gerak gelisah di tempatnya.
“Ya?” Oik menatap Gabriel tepat pada
manik matanya. Dan Oik tahu betul lelaki di hadapannya itu sedang gelisah
setengah mati.
Angel memutar bola matanya, malas. “Langsung
keintinya aja, Mas.”
Oik menatap Angel penuh tanya,
meminta penjelasan. Sedangkan yang ditatap pun hanya melengos malas setelah
memberikan isyarat untuk bertanya saja pada Gabriel. Pada titik ini, Oik
benar-benar merasa jengah.
“Ada apa, Gab?” tanya Oik tak sabar.
“Ngel?” Ketika Gabriel tak kunjung menjawab, Oik beralih pada Angel.
“Mas Gabriel akan––,”
Belum sempat Angel meneruskan
kata-katanya, Gabriel sudah menyela. “Kita putus, Ik.”
Telak! Oik menahan napasnya melihat Gabriel
yang kini berubah dingin. Angel pun sudah tersenyum puas di tempatnya.
“Pu...tus? Tap-Tapi, kenapa..., Gab?”
Oik menggigit bibirnya. Air matanya hampir meluncur. Bagaimana ia tidak shock jika diputuskan secara tiba-tiba
begini?
Gabriel setengah mati menahan
dirinya untuk tidak menarik kata-katanya kembali ketika melihat ekspresi
terluka Oik. Ia menengok pada Angel dan mendapati adiknya itu tengah memberi
isyarat untuk melanjutkan semuanya.
“Keputusanku udah bulat, Ik. Kita putus.”
Gabriel menahan napas ketika melihat satu butir air mata Oik yang meluncur
dipipi mulus gadis itu.
“Aku... butuh penjelasa, Gab.” Oik
meneruskan kata-katanya dengan susah payah.
Dari awal, Oik memang sudah merasa
bahwa Gabriel berbeda. Tatapan mata lelaki itu tak sehangat biasanya, tak
sehangat sebelum lelaki itu dirawat di rumah sakit. Begitupula saat ini. Oik menggigil
menatap lelaki itu. Gabriel menghujamkan tatapan dinginnya padanya. Hanya satu
yang Oik tak tahu. Gabriel tengah berperang dengan hatinya sendiri untuk
melanjutkan ini atau berhenti saja.
“Benar kata kedua orangtuaku, Ik. Kita
berbeda. Kita nggak akan punya masa
depan.”
“Kalau yang kalian maksud berbeda adalah,” Oik mengusap cepat air
matanya yang luruh. “kamu langit dan aku buminya... Oke.”
“Bukan, bukan itu.” Gabriel mendadak
panik.
“Apa lagi? Keluargamu memang dari
dulu berpikiran begitu, kan, Gab? Aku tahu.” Oik tersenyum miris. “Oke. Kita putus.”
“Kita berbeda, Ik. Kita menyembah Tuhan yang berbeda.” Gabriel menatap
kalung salib yang ia pakai. “Aku dengan salibku, dan kamu dengan tasbihmu.”
“Agama? Kepercayaan?” tanya Oik. “Hal
paling klise tetapi memang nggak bisa disatukan.” Oik mengangguk mengerti.
“Ya.” Gabriel pun ikut mengangguk.
“Mas Gabriel udah dijodohkan.” Angel
menimpali, gemas karena kakaknya itu tak kunjung melanjutkan pembicaraan.
“Dijodohkan? Dan kamu udah setuju,
Gab?” tanya Oik tak percaya. “Kenapa kamu nggak putuskan aku duluan?”
“Karena Mas Gabriel masih berbaik
hati sama Mbak Oik.” Angel menatap Oik dari sudut matanya dengan sinis. “Nggak
perlu merasa sedih, Mbak. Mas Gabriel bukan cuman satu-satunya laki-laki di
dunia. Iya, kan? Mbak Oik masih bisa cari yang lain.” Angel berujar dengan nada
menyindir.
“Pertanyaan terakhir.” Oik menelan
ludahnya. “Kamu dijodohkan dengan siapa?”
“Aku nggak tahu, Ik.”
“Dan kamu masih bisa setuju?”
“Dengan anak dari rekan bisnis Papa.”
“Oh,” Oik mengangguk. “Namanya?”
Gabriel kembali menggeleng tak tahu.
“Dari keluarga Soekamto.”
Oik mengangguk mengerti lalu melirik
jam tangannya sekilas. “Sudah hampir jam sembilan. Aku harus pulang.” Oik bangkit
lalu tersenyum paksa pada Gabriel dan Angel. “Aku permisi dulu.”
Tanpa menunggu jawaban dari
keduanya, Oik sudah melangkah meninggalkan mereka. Dengan langkah tergesa dan
air mata yang sudah menggenang dipelupuk, ia menghampiri Alvin yang masih setia
duduk diatas motornya.
“Vin..” panggil Oik dengan suara
bergetar.
“Ya?” Alvin –yang tadinya sedang
memainkan ponselnya– segera mendongak begitu mendengar suara Oik. “Kenapa, Ik?”
tanya Alvin panik, wajahnya pias melihat ekspresi terluka Oik.
“Aku putus,” lirih Oik.
“Kemari,” Alvin merentangkan
tangannya lebar-lebar, mempersilahkan Oik memeluknya. Dalam sekejap, Oik pun
telah berada dalam dekapan Alvin. “Mau cerita?”
Oik mengangguk dalam pelukan Alvin. “Gabriel
bilang aku dan dia berbeda.”
“Ya. Agama?” timpal Alvin.
Oik kembali mengangguk. “Dan dia
udah dijodohkan dengan anak dari rekan bisnis Papanya. Gabriel setuju. Bahkan dia
udah setuju sebelum dia memutuskan aku.”
Alvin menghembuskan napasnya. Ia mengelus
puncak kepala Oik. “Siapa namanya?”
“Gabriel nggak tahu. Gabriel cuman
tahu kalau nama keluarga dari orang yang dijodohkan dengan dia adalah...
Soekamto.”
“Soekamto?” ulang Alvin, merasa
familiar dengan nama tersebut.
“Ya.” Oik mengangguk kecil.
0 komentar:
Posting Komentar