Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

LUVAFFAIR [Prolog]

            Seorang gadis berpakaian kebaya tengah berdiri di tengah-tengah kerumunan sebuah resepsi pernikahan yang diadakan di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Matanya menyusuri setiap sudut auditorium yang ramai itu.
            Matanya terantuk pada pelaminan. Dua orang mempelai yang mengenakan pakaian adat Jawa tengah menyalami para tamu. Tak sengaja, pandangan sang mempelai wanita bertubrukan dengan pandangannya. Gadis itu lalu tersenyum lebar dan berlalu.
            Dengan mencincing sedikit seweknya, gadis itu melangkah menuju sudut sebelah kanan pelaminan. Ada empat gubuk kecil yang masing-masing menyediakan makanan yang berbeda. Pemberhentian pertamanya adalah gubuk yang menyediakan siomay.
            Begitu mendapat sepiring siomay, ia segera melahapnya dan menuju tengah-tengah auditorium–tempat berbagai minuman berada. Setelah menelan potongan siomay terakhirnya, gadis itu meletakkan piringnya sembarangan dan menyambar segelas jus jeruk.
            “Eh?” Gadis itu terkesiap bingung ketika ada seorang lelaki pula yang kini tengah mengambil gelas jus yang sama dengannya.
            “Buat kamu aja,” kata lelaki berjas itu. Ia melepaskan tangannya dari gelas jus jeruk.
            Gadis itu tersenyum kikuk kemudian meminum jus jeruknya. Lelaki itu kemudian mengambil gelas jus jeruk yang lain dan meminumnya, keduanya saling memunggungi.
            “Oiiiikkkk!!! Nduk! Dari mana aja?”
            Sang gadis yang merasa namanya disebut, segera menengok ke sumber suara. Ada Tantenya di sampingnya. Gadis itu –Oik– cepat-cepat meletakkan gelas yang telah kosong tersebut dan menghadap Tantenya.
            “Apa toh, Tante?” tanya Oik sebal. Ia tak suka jika ada yang mengganggunya ketika berwisata kuliner seperti ini.
            “Ibumu bilang kamu ndak boleh ke mana-mana. Ngeyel banget toh, kamu ini?” ujar Tantenya lagi.
            Oik memajukan bibirnya pertanda sebal. “Oik capek duduk terus, Tante,”
            “Mbakmu itu lagi resepsi, Nduk. Kamu kok, malah keluyuran. Duduk aja di deket pelaminan. Ibumu nyariin kamu tadi, Nduk. Susah banget toh, kamu ini dibilangin?”
            Oik hanya mengangguk dengan wajah malas. Ia mengikuti kemana Tantenya ini menyeretnya. Dengan tangan yang menggamit lengan Oik kencang-kencang, Tantenya itu masih saja mengomeli gadis itu.
            “Wis, toh. Kamu duduk sini aja, Oik,” Tantenya mulai memaksa Oik untuk duduk di sebelah kanan pelaminan, tempat khusus untuk anggota keluarga kedua mempelai. “Jangan ngeluyur lagi, Nduk. Nanti Ibumu bingung di meja terima tamu sana. Wis, yo.. Tante mau jadi terima tamu dulu.”
            Dan dalam sekejap mata, Oik sudah tidak dapat menemukan Tantenya. Pasti beliau sudah berdiri di pintu masuk auditorium untuk menjadi penerima tamu.
            Oik menengok ke samping. Ada meja dengan puluhan cupcakes lucu diatasnya. Dengan mata berbinar gemas, Oik mengambil salah satu cupcakes dan memperhatikan kue mungil itu.
            “Hai,” sapa sebuah suara.
            Oik menengok ke samping. Ia mendapati lelaki berjas yang ia temui dimeja tempat mengambil minum tadi tengah berada di sampingnya. Oik tersenyum simpul pada lelaki itu dan kembali fokus pada cupcakesnya.
            Baru saja Oik menggigit cupcakes tersebut, ia menyadari ada sesuatu yang mengganjal. Kemudian, ia menengok pada lelaki berjas itu dan memiringkan kepalanya karena bingung.
            “Kok kamu bisa di sini? Aku nggak kenal kamu,” kata Oik.
            Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya dengan wajah sebal. “Harusnya aku yang nanya ke kamu. Kamu siapa? Kok bisa ada di tempat khusus keluarga mempelai begini.”
            Oik mengerjap menyadari lelaki itu tetap terlihat tampan walaupun tengah sebal. “Aku–Aku... adik sepupunya Mbak Dera.”
            “Serius?” tanya lelaki itu tak percaya.
            Oik mengangguk cepat, meyakinkan. “Serius! Terus kamu ini siapa?”
            “Kok aku nggak kenal kamu?” tanya lelaki itu lagi, tanpa menjawab pertanyaan Oik.
            “Ih!” Oik mendengus sebal. “Aku itu tanya. Mbok ya dijawab. Kamu ini siapa?”
            “Aku adiknya Mas Elang,”
            Oik membulatkan mulutnya dengan wajah berbinar. Akhirnya ia mempunya saudara bertampang diatas rata-rata. Siapa sih, yang nggak mau punya sepupu seganteng ini? Oik mulai berpikir bahwa hidupnya ini seperti pada novel-novel remaja karena mendapat sepupu seganteng Justin Bieber.
            “Berarti kita sepupu, ya?” tanya Oik dengan sangat antusias.
            Lelaki itu melirik Oik tak mengerti lalu tertawa terbahak-bahak. “Ya. Kita sepupu.”
            “Aku Oik. Kamu?” Oik mengulurkan tangannya pada lelaki itu yang akhirnya dibalas uluran tangan pula. Keduanya berjabat tangan.

            “Aku Cakka.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar