Seorang gadis berpakaian kebaya
tengah berdiri di tengah-tengah kerumunan sebuah resepsi pernikahan yang
diadakan di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Matanya menyusuri setiap
sudut auditorium yang ramai itu.
Matanya terantuk pada pelaminan. Dua
orang mempelai yang mengenakan pakaian adat Jawa tengah menyalami para tamu.
Tak sengaja, pandangan sang mempelai wanita bertubrukan dengan pandangannya.
Gadis itu lalu tersenyum lebar dan berlalu.
Dengan mencincing sedikit seweknya, gadis itu melangkah menuju
sudut sebelah kanan pelaminan. Ada empat gubuk kecil yang masing-masing
menyediakan makanan yang berbeda. Pemberhentian pertamanya adalah gubuk yang
menyediakan siomay.
Begitu mendapat sepiring siomay, ia segera
melahapnya dan menuju tengah-tengah auditorium–tempat berbagai minuman berada.
Setelah menelan potongan siomay terakhirnya, gadis itu meletakkan piringnya
sembarangan dan menyambar segelas jus jeruk.
“Eh?” Gadis itu terkesiap bingung
ketika ada seorang lelaki pula yang kini tengah mengambil gelas jus yang sama
dengannya.
“Buat kamu aja,” kata lelaki berjas
itu. Ia melepaskan tangannya dari gelas jus jeruk.
Gadis itu tersenyum kikuk kemudian
meminum jus jeruknya. Lelaki itu kemudian mengambil gelas jus jeruk yang lain
dan meminumnya, keduanya saling memunggungi.
“Oiiiikkkk!!! Nduk! Dari mana aja?”
Sang gadis yang merasa namanya
disebut, segera menengok ke sumber suara. Ada Tantenya di sampingnya. Gadis itu
–Oik– cepat-cepat meletakkan gelas yang telah kosong tersebut dan menghadap
Tantenya.
“Apa toh, Tante?” tanya Oik sebal. Ia tak suka jika ada yang
mengganggunya ketika berwisata kuliner seperti ini.
“Ibumu bilang kamu ndak boleh ke mana-mana. Ngeyel banget toh, kamu ini?” ujar Tantenya lagi.
Oik memajukan bibirnya pertanda
sebal. “Oik capek duduk terus, Tante,”
“Mbakmu itu lagi resepsi, Nduk. Kamu kok, malah keluyuran. Duduk
aja di deket pelaminan. Ibumu nyariin kamu tadi, Nduk. Susah banget toh,
kamu ini dibilangin?”
Oik hanya mengangguk dengan wajah
malas. Ia mengikuti kemana Tantenya ini menyeretnya. Dengan tangan yang
menggamit lengan Oik kencang-kencang, Tantenya itu masih saja mengomeli gadis
itu.
“Wis,
toh. Kamu duduk sini aja, Oik,” Tantenya mulai memaksa Oik untuk duduk di
sebelah kanan pelaminan, tempat khusus untuk anggota keluarga kedua mempelai.
“Jangan ngeluyur lagi, Nduk. Nanti
Ibumu bingung di meja terima tamu sana. Wis,
yo.. Tante mau jadi terima tamu dulu.”
Dan dalam sekejap mata, Oik sudah
tidak dapat menemukan Tantenya. Pasti beliau sudah berdiri di pintu masuk
auditorium untuk menjadi penerima tamu.
Oik menengok ke samping. Ada meja
dengan puluhan cupcakes lucu
diatasnya. Dengan mata berbinar gemas, Oik mengambil salah satu cupcakes dan memperhatikan kue mungil
itu.
“Hai,” sapa sebuah suara.
Oik menengok ke samping. Ia
mendapati lelaki berjas yang ia temui dimeja tempat mengambil minum tadi tengah
berada di sampingnya. Oik tersenyum simpul pada lelaki itu dan kembali fokus
pada cupcakesnya.
Baru saja Oik menggigit cupcakes tersebut, ia menyadari ada
sesuatu yang mengganjal. Kemudian, ia menengok pada lelaki berjas itu dan
memiringkan kepalanya karena bingung.
“Kok kamu bisa di sini? Aku nggak
kenal kamu,” kata Oik.
Lelaki itu mengangkat sebelah
alisnya dengan wajah sebal. “Harusnya aku yang nanya ke kamu. Kamu siapa? Kok
bisa ada di tempat khusus keluarga mempelai begini.”
Oik mengerjap menyadari lelaki itu
tetap terlihat tampan walaupun tengah sebal. “Aku–Aku... adik sepupunya Mbak
Dera.”
“Serius?” tanya lelaki itu tak
percaya.
Oik mengangguk cepat, meyakinkan.
“Serius! Terus kamu ini siapa?”
“Kok aku nggak kenal kamu?” tanya
lelaki itu lagi, tanpa menjawab pertanyaan Oik.
“Ih!” Oik mendengus sebal. “Aku itu
tanya. Mbok ya dijawab. Kamu ini
siapa?”
“Aku adiknya Mas Elang,”
Oik membulatkan mulutnya dengan
wajah berbinar. Akhirnya ia mempunya saudara bertampang diatas rata-rata. Siapa
sih, yang nggak mau punya sepupu seganteng ini? Oik mulai berpikir bahwa
hidupnya ini seperti pada novel-novel remaja karena mendapat sepupu seganteng
Justin Bieber.
“Berarti kita sepupu, ya?” tanya Oik
dengan sangat antusias.
Lelaki itu melirik Oik tak mengerti
lalu tertawa terbahak-bahak. “Ya. Kita sepupu.”
“Aku Oik. Kamu?” Oik mengulurkan
tangannya pada lelaki itu yang akhirnya dibalas uluran tangan pula. Keduanya
berjabat tangan.
“Aku Cakka.”
0 komentar:
Posting Komentar