Tiga..
Dua..
Satu.
Lampu studio mulai menyorot ke stage. Segmen keempat dimulai dengan
kelima anggota girlband Diamond yang
mulai menyanyikan single terbaru
mereka secara acoustic. Single keempat yang diluncurkan dari
album perdana mereka merupakan lagu recycle–Dealova.
Salah satu anggota girlband yang berambut sebahu mulai
memetik gitar yang berada dipangkuannya. Ia duduk pada sebuah kursi tinggi
ditengah-tengah stage dan dikelilingi
keempat anggota girlband Diamond
lainnya.
“Aku
ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu. Aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin
bisa kau rindu. Karena langkah merapuh tanpa dirimu. Oh, karena hati telah
letih.”
Suara salah satu anggota girlband yang berambut ikal panjang
membuka penampilan mereka kali ini. Anggota lainnya yang berdagu tirus
mengambil alih suara dua.
“Aku
ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh. Aku ingin kau tahu bahwa ku
selalu memujamu. Tanpamu sepinya waktu merantai hati. Oh, bayangmu
seakan-akan..”
Perpaduan suara antara dua anggota girlband yang sama-sama bersuara lembut
memukau penonton dalam studio dan penonton di rumah–acara merupakan live show.
“Kau
seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu. Seperti udara yang
kuhela kau selalu ada.”
Kelima anggota Diamond mulai
menyanyi bersama dengan perpecahan suara yang terdengar apik. Keempat anggota girlband yang tidak memegang alat musik
mengangkat tangannya ke atas, mengajak penonton di studio untuk ikut bernyanyi.
“Hanya
dirimu yang bisa membuatku tenang. Tanpa dirimu aku merasa hilang. Dan sepi.
Dan sepi.”
Salah seorang anggota Diamond yang
berpostur tubuh paling tinggi menutup penampilan singkat mereka dengan
falsetnya hingga menimbulkan keriuhan tepuk tangan dalam studio.
“Diamond!” seru sang host, tangan kanannya menunjuk kelima
anggota Diamond.
Kelima anggota Diamond membungkukkan
badan sedikit lalu kembali duduk bersebelahan disisi stage. Mereka ikut membawa serta gitar yang tadi digunakan untuk mengiringi
menyanyikan lagu Dealova.
“Om Botak, aku titip gitar. Jangan
diapa-apain!” Sivia –anggota Diamond yang tadi bermain gitar– meletakkan gitar
kesayangannya pada meja sang host
kemudian kembali duduk diantara keempat anggota Diamond lainnya.
“Om Botak?” ulang sang host dengan mata menatap Sivia tajam.
Penonton dalam studio tertawa, sedangkan Sivia –sang tersangka utama– hanya
nyengir lebar.
“Om, kan, memang botak.” Ify
–anggota girlband yang berdagu tirus–
menyahut dari samping Sivia.
“Iya, saya tahu saya botak.” Host tersebut –Dedy Corbuzier– mulai
menatap kelima anggota Diamond dengan tajam. Penonton dalam studio kembali
tertawa.
“You’re
botak and you know it.” Acha
menimpali. Anggota Diamond yang berambut ikal panjang itu lalu mengacungkan jari
telunjuk dan tengahnya –peace–
begitu melihat Dedy mulai memelototinya.
Pricilla –yang tadi menutup
penampilan singkat Diamond dengan falset– terkekeh mendengar ucapan Acha. “Ini
yang bintang tamu siapa, yang host siapa. Kenapa malah host-nya yang di-bully?”
“Iya, iya. Oik, kenapa?” Dedy
menyela begitu melihat anggota lain girlband
tersebut mulai membuka mulut. Ancang-ancang sebelum gadis itu –Oik– ikut mem-bully-nya.
“Nggak, nggak jadi.” Oik menggeleng.
“Cuman mau bilang, tadi disuruh Mas yang itu,” Oik mengedik pada seorang kru
disudut studio. “buat cepet-cepet mulai... apa, ya? Itu deh, pokoknya. Nggak
tahu apa. Eh, nggak tau.”
Sementara Dedy berbincang dengan
kelima anggota Diamond, beberapa kru mulai menata dua buah kursi yang
dipisahkan dengan sebuah meja pada spot
utama stage. Sebentar lagi akan
dimulai bagian Question of Life.
“Om Botak nggak boleh jahat-jahat
sama Oik. Nanti ditonjok sama yang sekarang lagi di backstage.” Sivia berbicara dengan wajah polos yang mendramatisir
suasana.
“Backstage?
Siapa yang di backstage?” tanya Dedy,
melirik Oik sekilas.
“Nggak ada! Nggak ada yang di backstage. Krunya Diamond doang, kok.
Ih, Sivia! Ngapain, sih?!” Oik mulai berseru panik dengan wajah memerah.
“Ini acaranya siapa, sih, Om Botak?
Yang punya acara, kok, bisa nggak tahu siapa yang lagi di backstage.” Ify terkekeh, memperlihatkan deretan giginya yang rapi
berbehel.
“Eh, Ify barusan ganti karet behel
kemarin. Jadi warna tosca sekarang.
Lucu, kan, Om?” ujar Oik, mengalihkan pembicaraan.
“Oik ngeles! Ih! Salting! Pipinya
merah!” Pricilla berseru heboh, semakin membuat Oik salah tingkah.
“Ih, Pricilla jahat banget. Oik lagi
ulang tahun, nih! Nggak boleh jahat-jahat!” Ify memukul pelan lengan Pricilla.
“Oh, Oik ulang tahun?” tanya Dedy.
“Iya, Om.” Oik mengangguk malu.
Dan dalam hitungan detik, lagu Happy Birthday menggema dalam studio.
Oik tersenyum cerah. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih–entah pada siapa.
“Ulang tahun yang ke-berapa?” tanya
Dedy.
“Sembilan belas, Om.” Oik nyengir
lebar. “Udah gede, nih.”
“Yang di backstage udah ngucapin belum, Ik?” tanya Sivia usil.
“Apa, sih, lo? Mulai lagi!” Oik
mendadak sewot.
“Siapa, sih, yang ada di backstage?” tanya Dedy dengan wajah
sebal karena pertanyaannya tak kunjung dijawab.
Acha pun ikut buka suara. “Ada si
solois itu, Om, di backstage.
Nungguin Oik. Itu, tuh.. Si Al––,”
Belum sempat Acha menyelesaikan
ucapannya, Oik sudah melemparkan bantal sofa yang tadi dipeluknya tepat kewajah
Acha. “Acha, apaan?! Nggak, nggak. Acha bohong, Om. Nggak ada siapa-siapa di backstage.”
“Al? Al siapa? Al Ghazaly–anaknya
Ahmad Dhani?” tanya Dedy, ia menatap bingung pada kelima anggota Diamond yang
mulai ribut sendiri.
“Alvin Jonathan, Om!” ujar Ify
datar.
**
Cakka baru saja tiba di apartemennya.
Ia baru selesai sesi latihan bersama personel Rockability lainnya. Ia melihat
seisi apartemennya yang kosong. Seperti kakaknya sudah berangkat kuliah. Cakka
hanya mengangkat bahunya tak acuh.
Lelaki itu melepas jaketnya dan
melemparkannya begitu saja kearah sofa. Ia mengambil remote televisi dan menyalakannya. Merasakan tenggorokannya yang
kering, Cakka melangkah menuju dapur. Ia menuangkan orange juice instan pada gelasnya kemudian kembali ke ruang tengah
dan duduk nyaman diatas sofanya.
Cakka menyeruput sedikit orange juice-nya kemudian meletakkannya
diatas meja. Ia merasakan ponsel dalam saku celananya bergetar, pertanda sebuah
SMS masuk. Cakka mengeluarkannya dan membuka pesan dari Shilla –manager Rockability– tersebut. Seperti
biasa, mengingatkan jadwal latihan untuk esok hari.
Ia mendengar jingle salah satu acara terfavorit dari televisi. Cakka seperti
mengenalinya. Ia pun mendongakkan kepala, menatap televisi. Oh, benar dugannya.
Hitam Putih. Siapa bintang tamunya kali ini? Cakka ingat, ia dan personel
Rockability lainnya baru saja menjadi bintang tamu dalam acara tersebut minggu
lalu.
Sang host –Dedy– mulai membuka segmen dengan seruan khasnya–sinis. Cakka
kembali mengambil orange juice-nya
dan menyeruputnya. Ia terbatuk ketika mengetahui siapa bintang tamu Hitam Putih
kali ini. Cakka meletakkan gelasnya dan fokus dengan acara tersebut.
“Diamond?” desisnya tak percaya.
**
Di dalam studio, Dedy mulai
menghampiri kelima anggota Diamond. Mencari-cari siapa yang akan ia pilih
mewakili Diamond dalam Question of Life.
“Siapa, nih?” tanya Dedy.
“Nggak mau! Jangan aku, Om!”
Pricilla menutup wajahnya dengan bantal sofa.
“Jangan aku juga, Om. Janji, deh,
nggak akan manggil pakai sebutan Om Botak lagi!” Sivia nyengir lebar menatap
Dedy.
“Om, aku anak alim, Om. Jangan aku.”
Acha tersenyum memelas, menangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada.
“Om, Sivia aja. Dia yang palig
nakal, Om.” Oik menunjuk Sivia dengan telunjuknya.
“Eits, eits!” Ify menggelengkan
kepalanya begitu mengetahui Dedy tengah menatapnya. “Aku yang paling tua
disini. Nggak bisa, nggak bisa.”
Dedy menatap Ify tak mengerti
kemudian menatap kamera. “Apa hubungannya yang paling tua sama Question of Life?” tanyanya.
Studio salah satu televisi swasta
Indonesia tersebut kembali riuh dengan tawa.
“Hom pim pah aja, deh, kalian
berlima.” Suruh Dedy dengan tak sabar.
“Nggak mau!” koor kelima anggota
Diamond dengan kompak.
Dedy kembali menatap kamera dengan
wajah masam. “Susah, nih, kalau punya bintang tamu anak ABG. Pada suka
semaunya!”
“Sivia aja, Om!”
“Nggak mau. Oik aja!”
“Acha, nih, mupeng!”
“Ify aja, Om. Yang paling tua!”
“Yang paling tembem aja, Om.
Pricilla!”
Dedy menggelengkan kepalanya menatap
kelima bintang tamunya kali ini. Ia pun menarik paksa salah seorang anggota
Diamond dan mendudukkannya pada salah satu kursi di spot utama stage, lalu ia
duduk di hadapannya.
“Yeay! Oik! Semangat!” Pricilla
bertepuk tangan heboh.
“Nah, gitu! Yang paling muda aja!”
Ify terkekeh menatap Oik.
“Go
Oik! Go Oik! Go!” Acha berdiri, lalu bertepuk tangan, kemudian kembali duduk.
“Untung bukan gue!” Sivia mengelus
dadanya seraya nyengir lebar.
“Sialan lo semua!” Oik merengut
menatap keempat partner-nya dalam
Diamond.
“Ssssttt!!” Dedy mendesis sebal.
Kelima bintang tamunya benar-benar tidak bisa diam. “Oik, udah ngerti cara
ngejawabnya, kan? Jadi nanti ada dua sesi. Yang pertanya saya kasih pertanyaan
dan kamu harus jawab. Yang kedua tanpa pertanyaan. Oke?”
“Om, aku udah ngerti. Nggak usah
dijelasin.” Oik menatap Dedy dengan polos.
Dedy memasang wajah sebal–lagi. Ia
mulai membuka-buka note hitam
miliknya.
“Pacaran sehat adalah pacaran
yang...?”
“Sehat? Nggak sakit!”
“Hah?!” Dedy menatap Oik bingung.
“Pacaran sehat. Pacaran sehat, Oik! Pacaran sehat adalah pacaran yang...?”
“Yang... nggak macem-macem,” Oik
nyengir lebar.
“Macem-macem gimana?” tanya Dedy
lagi dengan wajah usilnya.
“Yang... gitu, deh! Kepo banget,
Om?” Oik menjulurkan lidahnya, mengejek Dedy.
“Udah pernah macem-macem, ya, sama
pacarnya?” tanya Dedy lagi.
“Nggak!” Oik menggeleng cepat.
“Nggak punya pacar!”
“Bohong!” sahut Ify dan Pricilla.
“Lho? Udah putus sama personelnya
Rockability?” tanya Dedy menatap Oik.
“Cakka, Om, namanya.” Acha
menimpali.
“Iya, Cakka.” Dedy melirik Acha
sekilas lalu kembali pada Oik. “Udah putus sama Cakka, ya?”
“Udah, Om,” Oik mengangguk kikuk.
Wajahnya mendadak keruh.
“Sebulan yang lalu, Om, putusnya!
Kudet banget, sih, Om Botak,” seloroh Sivia.
“Berani manggil saya Om Botak lagi?”
Dedy menengok pada Sivia dan Sivia menggeleng heboh.
“Ampuni saya, Om! Saya udah tobat!”
Dedy menggeleng kemudian menengok
pada Oik. “Saya putus dengan mantan saya karena...?”
Oik gelagapan. “Hm, karena... karena
apa, ya?” Oik menengok pada keempat sahabatnya. “Karena apa, woy?”
“Eh, eh, eh,” seruan Dedy membuat
Oik kembali menatapnya. “Nggak boleh nanya temen. Lagian kamu yang putus, kok,
bisa nggak tahu alasannya?!”
“Apa, ya, Om?” tanya Oik balik
seraya nyengir.
“Saya putus dengan Cakka Rockability
karena...?” Dedy kembali mengulang pertanyaannya dengan embel-embel nama mantan
kekasih Oik dibelakangnya.
“Karena udah nggak cocok!” ujar Oik
spontan.
Dedy mengangguk kemudian tertawa.
“Sekarang saya sedang dekat dengan...?”
“Om, please.. Kenapa pertanyaannya gitu banget?” keluh Oik.
“Oik harus jujur!” seru Acha heboh.
“Jujur pale lu peyang! Gue lagi
nggak deket sama siapa-siapa!” Oik menatap Acha dengan tajam.
“Sekarang saya sedang dekat
dengan...?”
“Dengan... Ify, Sivia, Pricilla,
Acha!”
“Oik..” Nada suara Dedy mulai
terdengar menyeramkan.
“Yang di backstage, Ik!” sahut Ify.
“Alvin Jonathan!” jawab Oik lantang
lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia yakin pipinya kini telah merona
merah.
“Saya merasa jelek banget pada
saat...?”
“Bangun tidur!” sela Sivia. Gadis
itu kemudian tertawa terpingkal-pingkal karena membayangkan wajah kuyu Oik
ketika baru saja bangun tidur.
Oik menjentikkan jarinya. “Bangun
tidur,”
“Pertanyaan terakhir,” Dedy menatap
Oik jahil. “Saya nyaman berada didekat Alvin Jonathan karena...?”
“Om! Nggak ada yang bilang aku
nyaman deket Alvin!” Oik memekik. Ia dapat mendengar Ify, Sivia, Pricilla, dan
Acha yang tertawa heboh.
“Jawab aja..” desak Dedy.
“Karena... Alvin baik, pengertian.
Udah, ah! Rese, nih, Om Botak,” seru Oik sebal.
Studio kembali riuh. Dedy memasang
wajah keruhnya karena kembali dipanggil Om Botak oleh anggota Diamond.
Oik mendadak bingung karena studio
dan teman-temannya yang riuh sekali. Oik menengok pada sebuah layar dibelakang
anggota Diamond. Rupanya layar itu sedang menampilkan slide foto-fotonya bersama Alvin.
“Ini kapan diambil fotonya?” tanya
Dedy.
Oik menatap fotonya bersama Alvin
yang tampak sedang makan es krim berdua dengan latar belakang patung Merlion.
Tangan kanan Alvin memegang cone es
krim dan tangan kirinya merangkul Oik yang tersenyum lebar menatap kamera.
Oik tampak berpikir. “Dua minggu
yang lalu kayaknya, Om.”
“Kalian ke Spore berdua?”
“Nggak!” Oik menggeleng cepat. “Sama
temen-temen satu management lainnya
juga. Cuman kebetulan ini fotonya berdua.”
“Alvin
sama Diamond itu satu management?”
“He’eh,” Oik mengangguk.
Foto berganti. Kini fotonya dan
Cakka yang terpampang disana. Keduanya berfoto disebuah ruang tengah–entah
rumah siapa. Cakka tampak sedang memakan pizza dan Oik melirik Cakka.
“Ini...?”
“Sama Cakka, Om,” Oik menjawab
seraya tersenyum kecut.
“Ah, Om Botak flashback, nih!” seru Sivia.
“Sivia, kamu nakal sekali?!” balas
Dedy dengan sebal.
“Om, lanjutin Question of Life-nya!” sergah Ify begitu melihat Oik yang mulai
murung.
“Oh, iya!” Dedy pun kembali fokus
pada Oik, tak menghiraukan foto-foto lainnya yang terpampang dilyara. “Pacaran
atau kuliah?”
“Kuliah!”
“Mall
atau kafe?”
“Kafe!”
“Pantesan tembem.” Dedy menatap Oik
mengerti. “Karir atau kuliah?”
Oik menahan napasnya. “Ku...liah,”
“Ayah atau ibu?”
“Ibu,”
“Ibu atau pacar?”
“Nggak punya pacar, Om!” koreksi
Oik.
“Oh, oke. Ibu atau gebetan?”
“Om..” Oik menggelengkan kepalanya.
“Ibu atau Alvin?”
“Ibu!” jawab Oik langsung.
“Ik, yang di backstage sakit hati ntar,” seloroh Acha.
“Terkenal atau kaya?”
“Terkenal aja, deh. Terkenal, kan,
duit gampang datengnya.
“Matre
lo!” seru Ify lalu terkekeh.
“Sahabat atau gebetan?”
“Sahabat, dong!”
“Yang di backstage udah terkapar karena serangan jantung denger elo nggak
milih dia, Ik.” Pricilla kembali bersuara.
“Serba salah, kan, jadi gue?! Gue
milih sahabat, salah. Gue milih gebetan, salah.” Oik menggelengkan kepalanya
tak mengerti.
“Cantik atau pintar?”
“Susah, nih, Om. Aku, kan, cantik
sama pinter.”
“Pilih salah satu, Oik!” ujar Dedy,
sebal.
“Pinter, deh.”
“Berarti jelek nggak masalah, ya?”
“Nggak gitu juga!” seru Oik sewot.
Dedy tertawa puas.
“Personel band atau solois?” Dedy kembali tertawa.
“Ngecengin mulu, nih!” Oik mendadak
cemberut.
“Kalau pilih personel band, ntar yang di backstage serangan jantung lagi.” Ify menyahut.
“Kalau pilih solois, ntar sang
mantan kecewa.” Acha meneruskan.
“Anggota girlband, deh!” Oik menjawab lalu nyengir lebar.
“Nggak bisa.” Dedy kembali sebal.
“Personel band atau solois?”
“Solois!” Oik menjawab dengan setengah
hati.
“PDKT atau CLBK?”
“PDKT! Kalau ada yang baru, ngapain
sama yang lama?” seloroh Oik.
“Wajah atau tubuh?”
“Tubuh.”
“Salon atau bioskop?”
“Bioskop, lah!”
“Justin Bieber atau Bruno Mars?”
“Bruno Mars, deh.”
“Mendadak kaya atau bisa go international bareng Diamond?”
“Go
international,”
“Punya sedikit fans atau banyak haters?”
“Eh, gila! Jahat banget
pertanyaannya?!” Oik melirik Dedy sebal. “Sedikit fans, deh.”
“Kehilangan sahabat atau kehilangan
karir?”
“Wah, ngajak ribut.” Oik menggebrak
meja kemudian tertawa. “Nggak mau milih!”
“Kehilangan sahabat atau kehilangan
karir?” ulang Dedy.
“Maksa amat, Om?” ejek Oik.
“Kehilangan sahabat atau kehilangan
karir?” ulang Dedy lagi.
“Sahabat, deh.”
Keempat anggota Diamond lainnya
mulai bersorak heboh mendengar jawaban Oik.
“Kalian itu partner, lebih dari sahabat. Tenang aja.” Oik melirik keempatnya
kemudian terkekeh pelan.
“Gebetan baru atau girlband baru?”
“Gebetan baru!” Oik menjawab mantap.
“Coy! Telepon UGD, coy! Yang di backstage terkapar kehabisan napas!”
seru Sivia yang mengundang riuh tawa penonton dalam studio.
“Diamond atau Cakka?”
“Diamond, dong!”
“Eh, Cakka nge-BBM gue, nih. Mau
ngelabrak Om Botak katanya.” Pricilla berpura-pura menengok ponselnya lalu
nyengir menatap Oik dan Dedy.
“Diamond atau... Alvin?” seru Dedy
bersemangat.
“Abis, nih, yang di backstage. Koma pasti abis ini.” Acha
menengok kearah sudut belakang stage,
berpura-pura mencari Alvin.
“Diamond,” Oik menjawab yakin.
“Terakhir.” Dedy tertawa. “Alvin
atau Cakka?”
**
Cukup!
Cakka mematikan televisinya dengan
amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. Ia mengenakan jaketnya dengan asal,
mengambil kunci mobil, kemudian berlalu dari ruang tengah. Begitu ia akan
keluar dari apartemennya, ia berpapasan dengan Shilla.
“Mau kemana, Kka?” tanya Shilla
seraya menenteng cheese cake kesukaan
Cakka. “Nih, buat lo.”
Cakka tak mengiraukan Shilla dan cheese cake yang kini disodorkan
padanya. “Bukan urusan lo,” kata Cakka dengan nada dingin.
Shilla menatap Cakka yang bergerak
menjauh dan membuang cheese cake-nya
begitu saja dikoridor apartemen. “Kka! Tunggu!” Ia pun berlari menghampiri
Cakka.
Cakka menatap Shilla datar. Begitu
keduanya masuk dalam lift dan pintu lift tertutup, Cakka segera menekan
tombol lift hingga membawanya ke lobby apartemen. Cakka melangkah cepat
menuju parking area dengan diikuti
Shilla yang kesusahan menyamai langkahnya dengan Cakka.
“Lo mau kemana, sih, Kka?” tanya
Shilla lagi, berusaha menghentikan laju langkah lelaki itu dengan cara menahan
lengannya.
Cakka menatap Shilla sebal lalu
menghentakkan lengannya, membuat tangan Shilla tak lagi menahan lengannya. “Gue
bilang bukan urusan lo!”
Shilla berdiri dengan Cakka yang
memunggunginya. Keduanya kini telah berada disisi mobil Cakka. Rupanya lelaki itu
sedang membuka kunci mobilnya. Begitu terbuka, ia langsung masuk dan menyalakan
mesin.
“Kka! Dengerin gue!” Shilla
mengetuk-ngetuk kaca mobil Cakka.
Dengan terpaksa, Cakka membukanya
dan menatap Shilla sinis. “Lo ngapain, sih?!”
“Harusnya gue yang nanya ke elo!”
Shilla berteriak dengan suara bergetar. “Elo yang ngapain?! Elo, tuh, kayak
orang kesetanan! Kenapa, sih, Kka?” tanya Shilla lirih.
Cakka membuang pandangannya. “Lo
nggak usah ikut campur urusan gue.”
“Tapi gue manager lo!” sela Shilla cepat.
“Elo manager Rockability, bukan manager
gue.” Cakka berkata dengan mata menatap Shilla tajam.
“Elo mau kemana, Kka? Ini udah
hampir jam delapan malem. Waktunya lo istirahat.” Shilla menyeka air mata yang
mulai meleleh dipipinya dengan cepat.
“Gue mau ke studio salah satu
televisi swasta. Gue lihat Oik disana. Sama Alvin. Puas lo?!” Cakka kembali
menutup kaca mobilnya dan berlalu meninggalkan Shilla.
“Tapi gue sayang sama elo, Kka.
Kenapa lo nggak nyadar juga?” lirih Shilla.
Air matanya kembali meleleh menatap
mobil Cakka yang semakin menjauh. Ia terduduk di parking area apartemen Cakka. Ia menangisi dirinya yang terlanjur
mencintai Cakka. Ia menangisi Cakka yang tak menyadari perasaannya. Dan,
terlebih, ia menangisi Cakka yang tak kunjung bisa melupakan Oik–mantannya.
**
Alvin sedang menyalakan lilin pada
kue tart untuk Oik. Lima menit lagi acara selesai dan Oik beserta anggota
Diamond lainnya pasti akan menuju backstage
untuk bersiap-siap pulang. Alvin sengaja memberikan tart untuk Oik pada malam
hari karena pagi tadi Oik sibuk mempersiapkan untuk hadir dalam acara ini.
Alvin mendengar derap langkah
seseorang di belakangnya. Dan, belum sempat ia menengok ke belakang, ia sudah
tersungkur karena tonjokan seseorang.
“Makan, tuh!” suara berat seseorang
mengagetkan Alvin.
Alvin berusaha memfokuskan
pandangannya pada seseorang yang berdiri di hadapannya. Alvin mencoba untuk
berdiri dan terkesiap kaget menyadari siapa yang telah memukulnya. “Cakka?”
“Hai, Alvin!”
“Lo ngapain kesini?” tanya Alvin tak
suka.
“Harusnya gue yang tanya begitu ke
elo!” Cakka kembali melayangkan tinjunya pada pipi Alvin. “Ngapain lo disini?!
Mau narik simpatinya Oik, hah?!”
Alvin meringis kesakitan. Darah
mulai menetes dari sudut bibirnya. “Asal lo tahu, Oik yang minta gue buat
nemenin dia dateng ke acara ini.”
“Sialan lo!”
Cakka sudah akan meninju Alvin lagi
ketika tangannya ditahan oleh seseorang. Cakka menengok dan mendapati Oik
tengah menahan tangannya. Ia juga mendapati keempat anggota Diamond lainnya
yang tengah menatapnya cemas.
“Stop, Kka,” ujar Oik lirih.
Alvin tersenyum tipis menatap Oik.
Ia lalu mengambil kue tart untuk Oik dan menunjukkannya pada gadis itu. “Happy birthday, Oik.”
“Makasih, Vin.” Oik tersenyum sedih.
Tangannya terulur untuk menghapus darah pada sudut bibir Alvin. Cakka meradang
melihatnya.
“Happy
birthday, Oik. Happy birthday, Oik. Happy birthday, happy birthday... happy
birthday, Oik.” Alvin menyenandungkan lagu sederhana itu dengan meringis
menahan perih pada sudut bibirnya.
Cakka mendorong Alvin menjauh. Ia
menghadap Oik. Kedua tangannya menyentuh lengan Oik. Cakka menatap Oik dalam,
berharap Oik bisa membaca perasaannya lewat bola matanya.
“Ik, kenapa...?” tanya Cakka dengan
suara tercekat.
Oik menggeleng. “Kita udah putus,
Kka!”
“Dan secepet itu kamu dapet
penggantiku?” tanya Cakka tak mengerti.
“Iya!” Oik menatap Cakka dengan
pandangan menantang. “Ak–Gue capek sama lo! Gue capek jadi satu-satunya yang
ngerasa sakit!” Oik berteriak histeris.
“Sakit? Sakit apa?” Cakka bertanya
dengan suara lembutnya. Tangannya menyentuh pipi Oik, mengusapnya perlahan.
“Kamu nggak tahu, Kka. Kamu nggak
tahu rasanya jadi aku! Udah, kita udah putus.” Oik mulai menangis. Ia melepaskan
tangan Cakka dari lengan dan pipinya lalu beranjak membopong Alvin.
“Ik!” Cakka memanggil Oik yang
berlalu dari hadapannya bersama Alvin.
Oik menengok sekilas dengan air mata
yang masih berlinang. “Kamu nggak tahu, Kka. Aku capek, sakit, sedih.” Ia
kemudian menghapus air matanya. “Makasih untuk kado ulang tahunnya. Baik-baik
sama Rockability dan... Shilla.”
Oik benar-benar berlalu dari hadapan
Cakka. Bersama Alvin. Ify, Sivia, Pricilla, Acha, dan para kru Diamond pun
hanya dapat menatap Cakka prihatin lalu bergegas menyusul Oik serta Alvin.
Cakka termenung di tempatnya.
Pandangannya kosong.
“OIIIIIIKKKKK!!!!!”
THE END