Pagi itu Oik sedang meminum teh
hangatnya sembari duduk di ruang tamu ketika terdengar bunyi klakson mobil yang
memekakkan telinga. Dengan mata mengerjap kaget, Oik meletakkan gelas tehnya
dan buru-buru berlari ke pekarangan rumahnya.
Oik tinggal di pinggiran kota
Salatiga. Ia dan keluarganya tinggal serumah dengan keluarga dari dua adik
Bapaknya. Tiga keluarga ini tinggal dalam tiga rumah yang berbeda namun masih
dalam satu area dan dilindungi dengan pagar yang sama.
Oik berkacak pinggang di terasnya.
Ia menengok ke dua rumah di samping kanan rumahnya. Rumah para Tante dan Omnya
itu masih sepi. Sepertinya masih sibuk dengan rutinitas pagi masing-masing.
TIN! TIN!
“Siapa toh, pagi-pagi ngeklakson terus?!” ujar Oik jengkel.
Ia kemudian berlari ke pagar
rumahnya. Rupanya ada mobil yang menunggu untuk dibukakan pagar. Oik
menyipitkan matanya, mencoba mengenali mobil siapakah itu.
“Oik! Bukain pagernya!” seru seorang
gadis yang baru saja turun dari mobil.
“Mbak Dera?” sapa Oik kaget, gadis
itu mengangguk cepat.
Oik pun segera membukakan pagar.
Mobil itu memasukki pekarangan rumahnya dan berhenti di depan rumah Tantenya.
Dera berjalan menghampiri. Setelah menutup kembali pagernya, Oik berjalan
beriringan bersama dengan Dera menuju rumah keluarga Dera.
“Mbak Dera ngapain balik lagi?”
tanya Oik.
Dera menengok pada Oik sekilas. “Mau
ngambil pakaianku yang ketinggalan, Ik.”
Oik mengangguk mengerti. Keduanya
berhenti di samping Peugeot 207 yang tadi dinaiki Dera. Tak lama kemudian, dua
orang lelaki berwajah mirip turun.
“Halo, Ik!” sapa Elang. Ia menepuk
pelan lengan Oik.
Dera dan Elang kemudian berjalan
mendahului Oik dan Cakka. Oik dan Cakka bertos kemudian tertawa. Keduanya
mengikuti Dera dan Elang yang duduk-duduk di teras rumah Dera. Keempatnya duduk
melingkar pada kursi kayu teras rumah Dera.
Keempatnya mengobrol seru dalam
beberapa jam. Hingga pada akhirnya, Dera pamit masuk ke dalam rumahnya untuk
mengepak barang-barangnya yang ketinggalan. Setelah resepsi pernikahannya dua
minggu yang lalu, Dera langsung berpindah ke rumah Elang di Jogjakarta.
“Mas Elang mau kemana?” tanya Cakka
begitu melihat kakaknya itu berdiri.
“Mau bantuin Dera aja,” jawab Elang
lalu ngeloyor masuk ke dalam.
Cakka berdecak kemudian melirik jam
tangannya sekilas. Baru pukul sepuluh. Ia menengok pada Oik yang sama bosannya
dengan dia.
“Ik.. Jalan-jalan, yuk?” ajak Cakka.
Oik mendongak dengan wajah bingung.
“Jalan-jalan kemana?”
Cakka mengangkat bahunya dengan
wajah cuek. “Kemana aja. Terserah kamu.” Ia kemudian menarik lengan Oik agar
berdiri juga. Dengan wajah kesal, Oik menuruti permintaan Cakka.
“Kita mau kemana, Kka?” tanya Oik
sebal.
“Enaknya kemana?” tanya Cakka balik
dengan wajah konyol.
Oik pun berjalan mendahului Cakka.
Sebenarnya Oik canggung juga berdua dengan Cakka begini. Mereka baru sekali
mengobrol. Itu pun hanya mengobrol basa-basi. Hanya karena Cakka yang kini
merupakan sepupunya, jangan harap Oik bisa rileks-rileks saja bersamanya.
Kring! Kring!
Cakka dan Oik dikagetkan oleh bunyi
bel sepeda angin tepat dari belakang mereka. keduanya menengok dan mendapati
seorang lelaki berwajah khas Jawa tengah mengendarai sebuah sepeda angin butut.
“Halo!” sapa Oik dengan wajah
berbinar.
“Halo juga, Ik.” Sapa lelaki itu
balik. Wajahnya tak kalah berbinarnya dengan wajah Oik tadi. “Aku duluan ya,
Ik. Mau bantu-bantu Bapak sama Ibu di pasar.”
Oik hanya mengangguk. Tak lupa pula
ia memasang senyum termanisnya untuk mengantarkan kepergian lelaki itu. setelah
lelaki itu hilang pada tikungan di depan sana, wajah Oik kembali datar dan
biasa-biasa saja.
“Ik,” Cakka menyenggol lengan Oik.
“Tadi itu siapa?” tanyanya penasaran.
“Namanya Dipta. Kami udah pacaran
hampir setahun.” Oik merasakan panas dipipinya. Volume suaranya juga semakin
mengecil ketika menyebutkan hubungannya dengan Dipta.
“Oik malu-malu!” ejek Cakka kemudian
tertawa kencang.
Oik melirik Cakka dengan sebal lalu
berjalan cepat, meninggalkan sepupu barunya itu jauh di belakang. Cakka kalang
kabut mengikutinya.
“Eh, Ik! Ik! Oik! Tunggu!” seru
Cakka. Ia berlari-lari kecil menghampiri Oik yang kini telah berada jauh di
depannya. Cakka menengok kesana-kemari dan ia hanya melihat sawah. Hanya sawah.
Oik menengok ke belakang dengan
terus berjalan. “Apa, Kka?”
“Ini kemana?” tanya Cakka dengan
ngos-ngosan begitu ia berhasil menyamai langkahnya dengan Oik.
Oik merentangkan tangannya,
menunjukkan sawah yang terhampar di sekitar mereka. “Sawah, Kka. Emangnya di
Jogja ndak ada sawah?”
“Di deket rumahku nggak ada sawah,”
jawab Cakka sembari menggaruknya tengkuknya yang tak gatal.
“Mau duduk di saung itu?” tanya Oik.
Tangan kanannya menunjuk pada saung tua yang berdiri di tengah-tengah hijaunya
sawah.
“Boleh,” Cakka menjawab singkat.
Oik pun berjalan menuju saung
tersebut melalui pematang sawah yang tanahnya tak rata. Oik mendengar Cakka
yang berkali-kali berdecak kesal karena hampir terperosok masuk ke dalam sawah.
Oik tertawa kecil dalam hati.
Oik sudah duduk manis diatas saung
ketika Cakka menghampirinya dengan kaki yang belepotan tanah basah. Oik
menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mempersilahkan Cakka untuk duduk. Cakka pun
duduk di samping Oik setelah ia berhasil melepas sandalnya yang berlumuran
tanah.
“Ini sawah keluargaku, Kka. Punya
Bapakku sama dua adiknya. Ibunya Mbak Dera itu salah satu adik dari Bapakku,”
ujar Oik. Matanya tak lepas dari sawah yang menghampar di hadapannya.
“Oh,” Cakka mengangguk. “Kamu nggak
sekolah, Ik?”
Oik menggeleng kemudian tersenyum
ketika merasakan angin menerpa wajahnya. “Nggak. Kamu sendiri?”
“Nggak juga. Ini kan, Sabtu. Sekolahku
kalau Sabtu sama Minggu libur. Sekolahmu juga, kan?” tanya Cakka.
“Nggak.” Oik menggeleng dengan wajah
polosnya. “Aku lagi libur. Kan, udah kelas dua belas. Tinggal nunggu pengumuman
aja. Pengumuman kelulusan sih, udah kemarin. Ini lagi nunggu pengumuman
siapa-siapa aja yang keterima masuk universitas pakai jalur undangan.”
Cakka menatap Oik dengan wajah
kaget. “Kamu udah kelas dua belas?”
“Iya. Kenapa? Kayak udah kuliah ya,
wajahku?” Oik terkekeh.
“Aku ngiranya kamu adik kelasku,
Ik.” Cakka menatap Oik tak percaya.
“Adik kelas? Aku ngiranya kamu udah
kuliah, Kka. Wajahmu dewasa buanget.”
Oik nyengir lebar setelahnya.
Suasana kembali hening. Keduanya
sibuk memandangi para petani yang sedang bekerja di sawah. Semilir angin
membelai kulit keduanya, menggelitik indra peraba mereka dan meninggalkan
sensasi sejuk.
Tiba-tiba saja terdengar dering
ponsel. Cakka langsung mengambil ponsel dalam saku celananya dan mengangkat
panggilan masuk tersebut. Oik hanya meliriknya sekilas dan kembali menatap ke depan.
Tak munafik, Oik juga curi-curi dengar percakapn via ponsel itu.
“Iya, ini udah sampai Salatiga.
Kenapa?” Cakka terdiam sebentar, mendengarkan lawan bicaranya yang sedang
mengomel. “Iya. Nggak nginep, kok. Ntar sore juga balik ke Jogja. Iya, aku langsung
ngerjain tugas juga nanti.”
Beberapa saat kemudian, panggilan
pun diputus oleh Cakka. Ia kembali mengantongi ponselnya. Cakka melirik Oik
yang terdiam menatap sawah.
“Betah banget, Ik, mandangin sawah?”
tanya Cakka.
“Iya. Gimana ndak betah? Wong dari
kecil aku mainnya di sini.” Cakka tertawa kecil kemudian, membuat Oik
memincingkan matanya. “Kamu ini kenapa to,
Kka? Kok, ketawa-ketawa sendiri?”
“Nggak, nggak apa-apa.” Cakka
menghentikan laju tawanya. “Lucu aja. Kamu ngomongnya medok banget.”
“Apa ada yang salah? Namanya juga
orang Jawa.” Oik melengos keki.
Cakka melompat turun dari saung.
“Ik, bosen..” rajuknya.
“Ya, terus?” Oik menyilangkan kedua
tangannya di depan dada sambil menatap Cakka sebal. Memang benar Cakka
berpenampilan dan berwajah dewasa, tetapi kelakuannya masih seperti anak kecil
yang doyan merajuk.
“Jalan-jalan, yuk!” ajak Cakka
dengan bersemangat. Ia mulai menarik-narik tangan Oik agar gadis itu turun dari
saung juga dan menjejakkan kakinya ditanah sawah yang lembek.
“Di sini ndak ada mall, Cakka.
Kamu mau jalan-jalan kemana?” Oik mengalah pada sifat kekanak-kanakan Cakka. Ia
pun ikut turun dari saung.
Cakka berjalan pelan dengan diiringi
Oik di sampingnya. “Jalan-jalan keliling desa aja. Oke? Kamu pasti tau kan,
pemandangan bagus apa di desa ini.”
“Pemandangan bagus?” tanya Oik,
Cakka mengangguk. Oik terlihat berpikir sejenak sebelum wajahnya berubah
sumringah karena ide cemerlang baru saja melintas diotaknya. “Kamu mau ke kali? Kalau kamu beruntung, kamu bisa
lihat penduduk sini yang mandiin kerbau di kali.
Gimana?”
“Kali?
Sungai, maksud kamu?” tanya Cakka balik dengan wajah bingung.
Oik mengangguk antusias. “Iya! Iya!
Gimana? Kamu mau ndak?”
Dengan agak terpaksa, Cakka pun
menganggukkan kepalanya. Cakka belum pernah sekalipun bermain di sungai. Dan
ini akan menjadi pengalaman pertamanya bermain air di sungai. Membayangkan ia
akan bermain air bersama kerbau membuatnya bergidik jijik.
Oik melangkah mendahului Cakka.
Cakka dapat melihat Oik yang sangat bersemangat menuju sungai desa.
Mencurigakan.
Oik membimbing Cakka berjalan diatas
pematang sawah. Dengan tertawa mengejek, Oik menggandeng Cakka yang masih saja
kesulitan berpijak pada tanah sawah. Setelah terbebas dari tanah sawah yang
lembek, keduanya berjalan beriringan menyusuri jalanan desa. Setelah berjalan
selama kira-kira lima menit, keduanya sampai pada hutan kecil di bagian timur
desa.
“Sungainya mana, Ik?” Sepanjang mata
memandang, Cakka hanya melihat puluhan pohon bambu yang menjulang tinggi.
“Di situ,” jemari Oik menunjuk
sekumpulan pohon bambu yang tumbuh di depan mereka.
Cakka memincingkan matanya. Apa Oik
sudah gila? Atau buta? Sekumpulan pohon bambu dibilangnya kali? Cakka menatap Oik yang masih berjalan santai di depannya dan
kembali mengikuti langkah gadis itu.
“Oik, mana sung––,”
Perkataan Cakka terputus tatkala ia
melihat Oik menyibakkan dedaunan bambu yang ada di hadapan mereka. Rupanya di
balik pepohonan bambu itulah kali
yang dimaksud Oik berada.
“Ayo, sini!” Oik melambaikan
tangannya pada Cakka yang masih terdiam di tempat. Melihat Cakka yang sama
sekali tak memberikan respon, Oik pun menghampirinya lalu menyeret lelaki itu
untuk berjalan mendekat pada kali.
“Kamu ini lelet banget, Kka.”
Oik menyeret Cakka menuju pinggir kali. Tak jauh dari mereka, ada
sebongkah batu besar yang dapat diduduki. “Mau duduk situ?” tawar Oik, Cakka
hanya mengangguk.
Oik melangkah menuju batu superbesar
tersebut diikuti Cakka. Oik melirik Cakka, memberikan kode bahwa Cakka bisa
duduk diatas batu tersebut. Oik tersenyum melihat Cakka yang telah duduk manis
diatas batu.
Oik menghirup udara dalam-dalam lalu
menghembuskannya perlahan. Cakka pun juga begitu. Lelaki itu mengakui dalam
hati bahwa udara di desa ini sangat sejuk.
Sebuah kali kecil terhampar di hadapan Cakka dan Oik. Arusnya tidak
terlalu kuat, juga tidak terlalu kecil. Airnya jernih, tidak seperti kali di kota-kota besar. Terdapat
bongkahan batu berukuran sedang didalamnya. Di ujung kali –yang bercabang dua diujungnya– terdapat beberapa anak kecil
yang sedang bermain, menyiratkan air pada satu dan lainnya.
“Oik!” panggil sebuah suara.
Oik menengok ke samping dan
mendapati seorang lelaki tengah memandikan kerbaunya di sana. “Halo!” Oik
menyapa balik. Lelaki itu pun kembali menyabuni karbaunya. Oik mengalihkan
pandangan pada Cakka. “Mau ikut mandiin kerbau ndak?”
“Itu siapa? Cowok yang tadi di
jalan?” tanya Cakka balik tanpa menggubris pertanyaan Oik.
Oik mengangguk. “Iya, itu Dipta. Mau
ndak?”
“Boleh, deh.” Cakka pun turun dari
batu besar tersebut.
Cakka mengikuti Oik melepas alas
kakinya dan meletakkannya dibantaran kali.
Dengan sedikit berjingkat, Cakka mengekor Oik melompati batu yang satu ke batu
yang lainnya untuk menuju tempat Dipta saat ini.
“Mending lewat batu-batu gini aja,
Kka. Nanti kalau langsung masuk kali,
celana kamu bisa basah.” Ujar Oik singkat, Cakka mengangguk mengerti.
“Dipta,” sapa Oik malu-malu ketika
ia dan Cakka sudah berada di samping lelaki itu.
Dipta menengok pada Oik dan Cakka
sekilas lalu kembali menyabuni karbaunya. Tanggung, hanya tinggal kaki depannya
saja yang belum terkena sabun. “Tumben nyusul aku ke kali, Ik? Biasanya kamu nungguin aku di rumahku.”
“Aku nggak nyusul kamu, Dip. Ini,
lho.. Cakka, sepupu baruku, minta diajakin jalan-jalan. Yo wis, aku ajak aja ke sini.” Oik melihat Dipta telah selesai
menyabuni kerbaunya. Lelaki itu pun sudah membilas tangannya dengan air sungai.
Kemudian Oik menengok Cakka. “Kka, ini Dipta–pacarku. Dip, ini Cakka–sepupuku.”
Kedua lelaki itu lantas saling
berjabat tangan dengan menyunggingkan senyum.
“Ik, mau bantuin aku ngebilas si kebo?” tawar Dipta, Oik mengangguk
bersemangat.
Dan di sinilah Cakka sekarang.
Memandang Oik dan Dipta yang saling bekerja sama membilas kerbau milik Dipta.
Ketika keduanya tak sengaja bertemu pandang, Cakka dapat melihat Oik yang
mengalihkan pandangan dengan wajah yang bersemu merah dan Dipta yang terkekeh
pelan.
“Ik, balik sekarang aja. Udah
Dhuhur.” Cakka berseru ketika adzan Dhuhur baru saja selesai berkumandang.
Oik menoleh pada Cakka dengan wajah
kesal. “Iya, iya. Sebentar.” Oik membalas dengan ketus.
Cakka terkikik. Bukannya ia tak
menyadari bahwa Oik masih ingin bersama Dipta. Hanya saja, Cakka suk melihat
Oik yang sedang kesal. Seperti saat ini. Setelah Oik berpamitan malu-malu pada
Dipta, Cakka segera menarik lengan gadis itu untuk segera pulang.
“Dadah, Dipta!” Oik melambaikan
tangan pada Dipta yang juga dibalas lambaian tangan dengan lelaki itu. Setelah
saling melempar senyum malu-malu satu sama lain, Oik berbalik pada Cakka. “Kamu
ini jahat buanget, Kka?! Aku kan,
lagi sama Dipta tadi!”
“Udah Dhuhur, Oik,” ujar Cakka,
mengingatkan.
“Iya, aku tahu,” balas Oik dengan
keki.
Keduanya pun berjalan beriringan
menuju rumah Oik dalam keadaan hening. Oik sendiri masih kesal pada Cakka yang
sudah mengajaknya pulang cepat-cepat. Padahal Oik masih ingin membantu Dipta
memandikan kerbaunya.
“Oik! Cakka!”
Keduanya melihat Dera yang tengah
berkacak pinggang di teras rumahnya, memanggil-manggil mereka. Oik segera
membuka pagar. Tanpa menutupnya kemudian, ia mengekor Cakka yang menghampiri
Dera dan Elang di teras.
“Dari mana aja?” tanya Elang sambil
menatap Cakka dan Oik yang menenteng alas kaki masing-masing.
“Main di kali, Mas,” jawab Oik singkat. Elang mengangguk paham.
“Kka, sholat Dhuhur dulu sana. Habis
itu kita langsung pulang.” Cakka hanya mengangguk. Dengan diiringi Oik, ia
berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudlu lalu sholat di mushola rumah Oik.
Tak berapa lama kemudian, keduanya
kembali ke teras. Rupanya Elang dan Dera tengah memasukkan tas-tas berisi
barang-barang Dera ke dalam mobil, Cakka dan Oik pun menyusul.
“Langsung balik, Mbak?” tanya Oik
pada Dera yang baru saja memasukkan sebuah tas besar berisikan bonekanya.
“Iya, Ik,” Dera mengangguk. “Kamu
nggak mau ikut ke Jogja juga?” tawar Dera.
Oik menggeleng. “Masih nunggu
pengumuman jalur undangan, Mbak.”
“Kamu daftar di mana aja emang?”
“UGM, Mbak.” Oik tersenyum lebar
diakhir kalimatnya.
“Semoga keterima, ya!” seru Dera. Ia
merangkul Oik sekilas lalu masuk ke dalam mobil. Elang dan Cakka pun sudah
berada di dalam.
“Balik dulu, Ik,” pamit Elang.
Oik mengangguk pelan. “Iya, Mas.
Hati-hati nyetirnya.”
“Oik, mau kuliah di mana?” tanya
Cakka dari dalam mobil.
“UGM, Kka.”
“Wah! Deket rumahku!” Cakka berseru
riang. “Ikut ke Jogja, yuk, Ik?!”
“Besok-besok aja, Kka. Aku masih
nunggu pengumuman.” Tolak Oik dengan halus.
Setelah berbasa-basi sebentar, Elang
pun menyalakan mesin mobilnya. Setelah memanasi mesinnya dalam beberapa menit,
Elang melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Oik. Oik melambaikan tangan pada
ketiganya–entah ketiganya melihat atau tidak.
0 komentar:
Posting Komentar